Wednesday, April 30, 2008

PERTEMUAN

PERTEMUAN

Sekitar setahun yang lalu aku mendapatkan nomor telepon (hp) seorang keturunan Syekh Ahmad Khatib yang bermukim di Jeddah. Dari perkenalannya dengan angku Ridwan Sirin, dia menyatakan keinginannya untuk menelusuri jejak keturunannya di Tanah Minangkabau. Keinginannya itu disampaikan angku Ridwan ke ustad Zulharbi yang secara tidak disengaja sampai kepadaku, ketika kami sedang pergi mengantarkan sumbangan untuk korban gempa di Sumatera Barat.

Ringkas cerita, aku mencoba mengontaknya melalui pesan singkat sms, yang berlanjut dengan pembicaraan kami di telepon. Dari awal aku katakan bahwa aku bukanlah orang yang dicarinya, dan aku menjelaskan hubunganku dengan kakek buyutnya yang bersangkut paut secara kekerabatan Minangkabau sedangkan orang yang dicarinya adalah kakek buyut secara nasab.

‘Bagaimanapun juga, kita masih karib kerabat. Akan aku beritahukan kepada saudaraku yang biasa bepergian ke Jakarta, agar menghubungimu kalau kebetulan dia ke Jakarta,’ katanya.

‘Akupun insya Allah akan menelponmu seandainya aku berkunjung kesana,’ kataku waktu itu.

Sayangnya, sejak kontak telepon sekali itu tidak pernah lagi kami berbagi berita.

Waktu aku berkesempatan mengunjungi Tanah Suci beberapa hari yang lalu, aku kembali mengontaknya. Mula-mula aku kirim sms, dari nomor lokal yang aku beli disana. Nomor yang ternyata bermasalah di hari-hari pertama, karena tidak bisa menerima panggilan dan tidak bisa menerima sms. Akhirnya aku telepon dia. Kami berbicara lagi di telepon. Aku utarakan keinginanku untuk bertemu dengannya. Dia menolaknya karena dalam keadaan sakit yang cukup serius dan tidak diperkenalkan menerima tamu.

‘Aku akan memberi tahu kakakku agar menghubungimu. Kapan kau akan berada di Makkah?’ tanyanya.

Aku memberikan jadwal perjalananku dan juga waktu aku akan berada di Makkah.

Ketika kami sampai di Makkah, aku menerima telepon dari seorang wanita yang memperkenalkan dirinya sebagai keturunan Al Khatib.

‘Aku adalah kakak dari A yang sebelumnya sudah berbicara denganmu. Aku ingin mengundangmu datang ke rumah kami,’ katanya. ‘Tapi sebaiknya kau lanjutkan pembicaraan dengan suamiku,’ tambahnya.

Kudengar suara laki-laki yang menyapaku dengan panggilan brother Muhammad. Diulanginya undangan yang sudah disampaikan istrinya.

‘Insya Allah,’ jawabku. ‘Dimana kalian tinggal dan bagaimana caranya aku datang ke tempatmu?’ tanyaku pula.

‘Aku akan mengirim orang menjemputmu. Jam berapa kau bisa datang?’ tanyanya.

‘Setiap saat sesudah shalat isya,’ jawabku.

‘Baiklah. Kau tunggu jam setengah sepuluh malam hari Senin, di hotelmu,’ ujarnya.

Jam setengah sepuluh malam memang agak sedikit kemalaman, tapi itulah waktu yang lebih mudah berkendaraan di jalan-jalan kota ini. Karena usai shalat isya adalah jam setengah sembilan malam dan saat itu jalanan tumpah ruah dengan manusia yang baru keluar dari mesjid.

Aku dan istriku menunggunya di lobby hotel. Seorang berpakaian maghribi ditemani petugas hotel mendekatiku dan bertanya sambil menyebut namaku. Laki-laki berpakaian maghribi itu mengatakan sesuatu, yang aku tangkap maksudnya bahwa dia utusan Dr. Obeid untuk menjemputku.

Kami segera berangkat menuju tempat kediamannya yang tidak terlalu jauh. Mobilnya disupiri orang Jawa Timur. Dia dan istrinya bekerja di rumah Dr. Obeid. Ditambahkannya lagi bahwa sopir ada dua orang dan keduanya bersama istri mereka bekerja di rumah itu. Laki-laki berpakaian maghribi itu adalah orang senegara Dr Obeid, orang Mesir dan juga bekerja di rumah yang sama sebagai penjaga merangkap orang kepercayaan.

Hampir tengah malam itu jalan masih agak macet. Sudah lebih jam sepuluh malam ketika kami sampai disana. Sebuah rumah yang cukup besar. Si laki-laki Mesir (namanya Ibrahim) mengantarkan kami ke sebuah ruangan tamu besar dan mempersilahkan kami duduk menunggu sebentar.

Beberapa saat kemudian datang F, wanita tuan rumah yang sebelumnya sudah berbicara denganku di telepon. Penampilannya agak sedikit formal mula-mula. Dia bersalaman dengan istriku dan mengangguk kepadaku. Aku balas mengangguk.

‘Anda kakaknya A?’ tanyaku agak sedikit asal-asalan.

‘Ya, kakaknya yang paling tua. A adalah adik bungsuku,’ jawabnya.

‘Berapa orang kalian bersaudara?’ tanyaku.

‘Delapan orang,’ jawabnya.

‘Dan salah satunya pilot Saudia Arabia?’ tanyaku pula.

‘Bukan. Tidak ada saudaraku yang pilot,’ jawabnya.

Mungkin aku salah dengar dari A.

‘Kenapa kau katakan A tidak bisa dikunjungi? Apakah dia dirawat di rumah sakit?’ tanyaku.

‘Dia di rumahnya di Jeddah. Atas saran dokter dia harus meminimalisir menerima tamu. Sebenarnya dia juga sangat ingin bertemu denganmu,’ jawabnya.

‘Apakah dia sudah bercerita tentang obrolan kami di telepon ?’ tanyaku lagi-lagi agak bodoh.

‘Ya. Dia sudah menceritakannya,’ jawabnya.

Kami melanjutkan obrolan basa basi. Dia menanyakan berapa lama aku akan berada di Makkah. Yang agak aku herankan, sudah lebih lima menit, dia masih tetap sendirian saja. Aku tidak tahan untuk tidak menanyakan dimana suaminya.

‘Dia masih ada pekerjaan sedikit. Sebentar lagi dia akan hadir disini,’ jawabnya.

Betul saja. Tidak berapa lama kemudian, suaminya, Dr. Obeid masuk ke ruangan tamu besar ini. Kami bersalaman dan dia memelukku. Usianya sudah sekitar 65 tahun, terlihat sehat. Ternyata dia lawan berbicara yang sangat baik. Orangnya ramah dan humoris.

Aku ulangi lagi pembicaraan mengenai bagaimana awalnya aku berkenalan dengan A, melalui teman-teman di internet, pembicaraan di telepon dengannya dan sebagainya. Dia menanyakan bagaimana hubungan kekeluargaanku dengan Syekh Ahmad Khatib. Aku beritahu dia bahwa aku membawa ‘pohon keluarga’ versi Minangkabau dan akan aku perlihatkan kalau dia berminat. Ternyata dia sangat berminat. Aku menjelaskan bahwa budaya Minangkabau membuat ranji ini melalui jalur ibu, dan setiap laki-laki hanya dicatat istri dan anak-anaknya saja.

‘Kalau begitu, tentu kau punya catatan tentang istri dan anak-anak Syekh Ahmad Khatib ?’ tanyanya.

‘Ya', jawabku. 'Beliau mula-mula kawin dengan X, punya anak dua orang laki-laki. Waktu X meninggal beliau menikahi adiknya Y dan darinya beliau punya anak satu laki-laki dan satu perempuan,’ aku menjelaskan sambil menunjukkan nama-nama itu di dalam ranji.

‘Sahih,’ katanya.

‘Siapa nama anak laki-laki beliau yang paling muda?’ tanyanya mengujiku.

‘Abdul Hamid. Menurut catatan beliau pernah datang dua kali ke Minangkabau. Yang pertama ketika beliau masih sangat muda. Menurut cerita yang aku dapat, beliau hampir menikah dengan wanita di kampungku waktu itu. Tapi tidak jadi dan aku tidak tahu kenapa. Yang kedua di tahun 50an. Aku dengar beliau jadi duta besar Arab Saudi ketika itu. Aku tidak tahu apakah beliau jadi duta besar di Indonesia atau di negara lain,’ jawabku.

‘Sahih,’ katanya. ‘Abdul Hamid adalah ayah dari Fouad. Dan Fouad adalah mertuaku, ayah dari F he..he..he..’ dia menjelaskan sambil tertawa.

‘Tahun 50an beliau jadi duta besar di Pakistan. Dan berkunjung ke Indonesia dalam kunjungan kerja,’ F menambahkan.

‘Apakah kamu punya catatan tentang nama ayah Syekh Ahmad Khatib?’

‘Ayah beliau bernama Abdul Latief Khatib bin Syekh Tuanku Imam Abdullah bin Abdul Aziz. Hanya sejauh itu yang ada catatannya padaku,’ jawabku.

‘Catatan kami memperkirakan kakek beliau berasal dari Makkah juga,’ F menambahkan.

‘Wallahu a’lam, aku tidak tahu,’ jawabku.

Meski dalam hati aku menyangkalnya. Kecuali jika yang dimaksud bahwa kakek beliau juga seorang haji.

Selanjutnya perbincangan kami berjalan akrab. Aku dan istriku diperlakukan sangat baik seperti saudara kandung rasanya. Kami dijamu makan malam. Menunya makanan ala Mesir dan ada juga makanan Indonesia yang sengaja disiapkan untuk kami.

‘Just in case you do not like this Egiptian cuisine,’ katanya.

‘Aku tidak ada masalah dengan makanan. Aku bisa makan apa saja, insya Allah,’ jawabku.

Dan kami makan sambil terus melanjutkan obrolan. Dia sudah beberapa kali datang ke Jakarta dan katanya dia sangat menyukai durian. Kami makan berlima, termasuk anak bungsunya yang sebaya dengan anak bungsuku, seorang dokter yang baru saja menamatkan pendidikannya.

Sesudah makan kami masih melanjutkan lagi perbincangan. Dr. Obeid seorang sarjana Ph.D. dari Virginia Univ. di Amerika. Terakhir dia menjabat sebagai dekan Fakultas Elektro di Universitas Raja Saud di Riadh.

Dia menyenangi politik dan sepertinya dia adalah seorang pengamat politik yang baik. Dia kenal dengan almarhum Muhammad Natsir personally, katanya.


Aku terpancing juga untuk sedikit berkomentar tentang politik dunia dengannya. Inilah kelemahan kita sebagai umat Islam. Kita dipecah belah oleh barat dan kita seperti tidak mau menyadarinya, katanya.

Panjang cerita kami sampai lebih jam satu malam. Istriku sudah sangat terkantuk-kantuk sebenarnya. Aku menceritakan bahwa kami sedang membangun sebuah lembaga pendidikan dengan melekatkan nama Syekh Ahmad Khatib di kampung, insya Allah tempat mendidik calon ulama, diawali dengan pendidikan penghafal al Quran. Dia sangat antusias pula menyambutnya.

F menanyakan apakah aku tidak tahu tentang pertemuan dengan gubernur Sumatera Barat yang juga akan dihadiri oleh saudaranya di Jeddah. Maksudnya, apakah ada kaitannya dengan lembaga pendidikan yang aku maksudkan. Aku jelaskan bahwa kedatangan gubernur Sumatera Barat sangat boleh jadi menyangkut rencana pembangunan sebuah mesjid di Padang yang juga akan mengabadikan nama beliau.

Sudah hampir jam setengah dua malam waktu kami diantarkan kembali ke hotel oleh supirnya ditemani Ibrahim yang menjemput kami tadi. Tapi kali ini dengan supirnya yang satu lagi.


*****

Tuesday, April 29, 2008

BALAHAN (2)

BALAHAN (2, habis)

‘Kenapa kalian yang datang menjemput kami? Maksudku, kenapa tidak diserahkan sama si Akang ini saja?’ tanyaku waktu kami sudah di dalam mobil.

‘Dia belum terlalu faham jalan-jalan di kota ini. Dan Jamal, kakakku lagi sakit kaki, dia menyuruh kami menjemput kalian,’ jawabnya.

‘Hebat sekali bahasa Indonesiamu. Dimana kamu belajar ?’ tanyaku.

‘Aku belajar dengan ibu. Dan aku sudah beberapa kali berkunjung ke Malaysia, jadi aku bisa,’ jawabnya.

‘Dan kau?’ tanyaku kepada saudaranya.

Wanita itu hanya tersipu dan tidak menjawab.

‘Dia tidak bisa,’ kata adiknya menjelaskan.

Kami melalui jalan mulus dan sepi seperti ke arah luar kota di bawah teriknya panas.

‘Kita sengaja memilih jalan ini karena lebih sepi meski jadi tambah jauh,’ kata sepupu wanitaku itu.

Dia langsung akrab dengan istriku. Mereka bercakap-cakap entah apa saja. Tiba-tiba dia mengeluarkan sebuah album foto untuk diperlihatkannya kepada istriku sambil menjelaskan siapa-siapa yang ada di dalam foto itu. Istriku rupanya mengenali beberapa wajah yang sudah pernah bertemu dengan kami dan berusaha menunjukkan kepadaku. Tangan sepupuku itu segera menahan tangan istriku sambil mengatakan.

‘Dia tidak boleh melihatnya,’ menunjuk kepadaku sambil tersenyum.

‘Kenapa?’ tanya istriku agak heran.

‘Dia bukan mahram orang-orang di foto ini,’ jawabnya.

Aku langsung faham maksudnya.

Setelah beberapa menit berkendaraan akhirnya kami sampai di sebuah komplek perumahan. Masih dalam kota. Beriringan kami memasuki rumah dalam bangunan bertingkat itu. Di dalamnya terdapat apartemen-apartemen. Sepupu wanita itu menjelaskan sambil lalu penghuni masing-masing apartemen itu. Kami naik lift untuk ke tingkat tiga, memasuki apartemen besar yang dihuni ibu mereka.

Jamal sudah menanti disana. Dia menggunakan tongkat penyangga karena lututnya baru dioperasi. Kami bersalaman. Aku dikenalkan kepada etek, yang namanya sama dengan nama ibuku. Wajahnya asli Minang, tidak dapat dipungkiri sedikitpun. Tapi dia tidak bisa berbahasa Minang bahkan tidak bisa berbahasa Indonesia kecuali sekadar menanyakan ‘apa kabar’. Aku menanyakan dimana ibu Jamal. Dia mengatakan sebentar lagi ibunya akan keluar. Setelah kami duduk berbincang-bincang beberapa menit, ibu tua itu dibawa masuk di atas kursi roda. Wajahnyapun sangat Minang. Penglihatan dan pendengarannya sudah sangat terbatas, tapi suaranya masih baik. Dia menyapaku dalam bahasa Indonesia.

Aku mengeluarkan lembaran ranji yang besar itu. Aku tunjukkan nama-nama yang tertera di ranji itu. Aku tunjukkan nama inyiak buyut. Nama adik-adik beliau. Aku tunjukkan nama nenek buyutku, nama nenekku, ibuku sampai ke namaku di dalam ranji. Inilah nenek buyut yang dulu kembali ke kampung kataku. Telunjukku bergeser ke kanan. Aku tunjukkan nama nenek buyutnya, neneknya, ibunya bersaudara. Dan nenek ini yang dulu bertahan tinggal disini, kataku.

Dia mengamati ranji itu dengan seksama.

‘Kenapa namaku dan adik-adiku tidak ada disini? Bukankah seharusnya namaku juga dimasukkan karena kelihatannya posisi kita sama?’ tanyanya.

‘Benar,’ jawabku. ‘Namamu akan aku tulis disini. Mari kita lengkapi data ini. Seperti yang aku jelaskan padamu, ‘pohon keluarga’ ini ditulis berdasarkan garis ibu. Nama-nama melalui garis ibu ditulis berkelanjutan sementara nama kita, laki-laki berhenti sampai anak-anak kita saja. Orang Minang menyebut anak-anak kita itu anak pisang dalam persukuan,’ aku mencoba menjelaskan.

‘Jadi, namaku dan nama anak-anakku boleh masuk kedalamnya?’ tanyanya antusias.

‘Ya. Namamu, nama istri dan anak-anakmu kita tuliskan disini, tapi berhenti sampai disitu saja. Kecuali nama-nama adik perempuanmu. Kalau dia punya anak perempuan lagi, nama-nama itu akan berlanjut dalam ranji ini,’ tambahku.

‘Dan nama suami perempuan-perempuan itu?’

‘Ya, dan nama suami setiap perempuan itu, bila ada juga nama daerah asalnya,’ jawabku.

‘Baik. Sekarang kau lengkapi data itu. Tuliskan nama ayahku, nama suami ibuku. Beliau berasal dari Lampung. Dan nama kami bersaudara,’ katanya.

Aku mengikuti yang dikatakannya, menuliskan nama-nama itu. Cukup banyak nama-nama yang belum masuk ke dalam catatan ranji ini. Termasuk nama-nama anak-anak mak eteknya (adik ibunya yang sudah almarhum) yang punya dua orang istri dan enam orang anak.

Etek yang namanya sama dengan nama ibuku tersipu-sipu melihat kami melengkapi data ranji itu.

Jamal menterjemahkan bahwa nama ibuku sama dengan namanya. Bahkan nama nenek kami rupanya juga sama. Etek itu tertawa mendengar keterangan itu. Melalui Jamal dia menanyakan apakah ibuku masih ada, yang aku jawab sudah tidak ada.

Kami makan siang bersama. Cukup mengejutkan bahwa masakan mereka adalah masakan Minang. Ada rendang ayam, goreng ikan balado dan sayur berkuah santan. Walau rasanya sudah tidak asli.

Kami berbincang-bincang sambil makan (praktis hanya aku dan Jamal). Aku baru tahu bahwa etek yang muda tidak tinggal disini tapi di tempat iparnya, istri adiknya almarhum. Karena obrolan yang panjang aku tidak jadi bisa pergi shalat asar ke mesjid. Jamal mengajakku shalat berjamaah dan memintaku jadi imam.

Aku tanyakan pula apakah mereka tidak ada kontak dengan cucu-cucu inyiak buyut, yang ternyata memang hampir tidak ada. Jamal balik bertanya kepadaku apakah aku mengenal mereka. Aku jawab sejujurnya aku belum mengenal mereka satupun tapi nanti malam aku akan menemui salah satu dari mereka.

‘Mereka tinggal di kota ini? tanyanya.

‘Ya, mereka tinggal dikota ini,’ jawabku.

‘Jam berapa kau berjanji ke tempat mereka?’

‘Sesudah shalat isya, insya Allah,’ jawabku.

‘Mereka akan menjemputmu?’

‘Insya Allah,’ jawabku.

Sementara itu etek muda mengatakan sesuatu kepada Jamal. Rupanya dia menyuruh agar kami besok siang makan di rumahnya. Di rumah tempat dia tinggal dengan adik iparnya. Tentu aku tidak mungkin menolaknya.

Pertemuan itu kami akhiri menjelang senja. Aku mohon diri karena akan shalat magrib di mesjid. Pertemuan yang sangat berkesan.


*****

BALAHAN

‘BALAHAN’

Masih terngiang di telingaku peringatan itu, ketika dulu kami terlibat dalam sebuah diskusi.

‘Sudah tiga kali kau kunjungi negeri itu, kau belum pernah bertemu mereka? Balahan kita itu? Kenapa begitu?’

‘Kali pertama aku kesana, aku berjumpa dengan mamak. Beliau sangat senang ketika itu. Kami berbincang dalam bahasa kampung kita yang totok. Beliau memperkenalkan aku kepada anak-anak beliau yang langsung sangat akrab denganku. Ketika aku berkunjung lagi beberapa tahun kemudian, aku jumpai anak-anak mamak itu yang tetap sangat akrab. Aku jadi lupa bertanya tentang karib kita yang lain. Maklumlah kunjungan ke rumah anak-anak mamak itu hanya sebentar saja. Begitu juga halnya ketika aku datang lagi untuk ketiga kalinya.’

‘Hubungan yang sudah kau bina dengan anak pisang kita itu sangat baik. Tapi saudara mara kita sendiri tetap pula harus didatangi. Kalau kau berkunjung lagi kesana, kau harus mengunjungi mereka. Mereka itu balahan kita (saudara sepayung dalam persukuan yang tinggal terpisah di rantau lain).’

‘Aku tahu. Insya Allah aku akan berusaha mencari mereka kalau aku kesana lagi nanti,’ jawabku.

‘Kau kan tahu, nama-nama mereka itu ada dalam ranji. Dan nama-nama itu tidak lengkap. Kau harus melengkapinya.’

‘Meskipun mereka tidak tertarik lagi dengan sistim kekerabatan kita?’

‘Belum tentu. Paling tidak kau dapat menunjukkan kepada mereka bahwa antara kita ada sauh bersauh. Kait berkait dalam kekeluargaan.’


*****

Dengan izin Allah kesempatan berkunjung itu datang pula kembali. Kali ini aku berniat benar untuk mencari balahan kami itu. Aku membawa selembar besar ranji untuk kutunjukkan kepada mereka. Seandainya saja mereka tertarik untuk melihatnya.

Aku mendapatkan nomor hp saudara sepupu itu. Begitu sampai di kotanya, aku segera menelpon sambil memperkenalkan diriku, yang adalah sepupunya menurut cara di kampung. Sambutannya biasa-biasa saja. Tidak terlalu meriah dan tidak pula dingin. Aku menanyakan keadaan mereka, keadaan etek yang adalah ibunya dan etek satunya lagi, adik ibunya. Kami berbicara di telepon sedikit berbasa basi. Aku utarakan keinginanku untuk bertemu dengannya, sekaligus dengan ibu dan eteknya. Dia menyambut keinginanku itu kembali biasa-biasa saja.

‘Telepon aku kapan kau akan datang, nanti aku beritahu alamat kami. Kau bisa mendapatkannya dengan mudah dengan taxi,’ katanya.

‘Insya Allah,’ jawabku. ‘Sementara itu tolong kau sampaikan salamku kepada ibumu dan kepada etek,’ tambahku.

Besoknya aku sedang di kamar mandi ketika hp ku berdering. Istriku yang mengangkat. Di sebelah sana terdengar suara yang mengatakan ingin berbicara denganku, orang yang menelponnya tadi malam, katanya kepada istriku. Istriku menyerahkan hp itu kepadaku dan aku menjawab sapaannya.

‘Aku Jamal. Aku minta maaf. Aku telah memberi tahu etek tentang pembicaraan tadi malam dan dia meminta bertemu dengan kau hari ini. Bisa?’ tanyanya.

‘Insya Allah,’ jawabku. ‘Berikan alamatmu, aku akan mencarinya dengan taksi nanti sesudah shalat zhuhur.’

‘Maaf. Aku sedang sakit. Aku tidak bisa keluar. Akan kukirim sopir. Dimana kau bisa menunggunya?’

‘Tidak usah repot-repot. Berikan saja alamatmu,’ jawabku.

‘Kau tunggu di depan rumah sakit Djiyad. Di dekat pintu Raja Abdul Aziz. Aku menyuruh sopir mencarimu kesana. OK?’

‘Baiklah. Dengan satu lagi syarat. Kau harus mengijinkan aku untuk kembali ke mesjid untuk shalat asar.’

‘Insya Allah. Kau tunggu ya...’

Kami menunggu di tempat yang disepakati itu sesudah selesai shalat zuhur. Agak lama. Mungkin karena jalanan macet. Hp ku berdering. Suara perempuan. Kali ini fasih berbahasa Indonesia. Dia menyuruhku pindah ke dekat hotel Balad ? karena jalan sangat macet, katanya. Mana aku tahu lokasi hotel Balad. Aku tidak tahu dimana tempatnya, aku akan tetap menunggu disini, jawabku.

Cukup lama kami berbicara di telepon untuk mengetahui posisi kami. Sampai akhirnya dia sudah berada sekitar tiga meter dariku. Istriku memberi tahu, bahwa aku sedang berbicara dengan wanita itu, katanya sambil menunjuk kepada seorang wanita berabaya hitam tanpa cadar, mungkin agar dapat kukenali. Aku memperhatikan wanita itu yang masih saja berbicara kepadaku melalui hp nya.

‘Kau berbicara kepadaku ?’ tanyaku mendekatinya sambil tersenyum.

‘Hah, akhirnya. Muhammad Dafiq?’ tanyanya sambil menarik nafas lega.

‘Ya,’ jawabku pendek.

‘Mari kita ke sana. Mobil tidak dapat masuk kesini. Ditahan polisi di sebelah sana,’ katanya.

‘Ini istriku,’ aku memperkenalkan istriku kepadanya.

Mereka bersalaman.

Dimobil ada wanita lain lagi yang ternyata adalah kakaknya yang sayangnya tidak bisa berbahasa Indonesia. Sopir mereka orang Sunda, tapi baru bekerja dan tidak terlalu tahu jalan.

Kami menaiki kendaraan itu menuju ke rumahnya. Entah dibagian mana kota.


(besok disambung insya Allah)