Tuesday, May 27, 2008

NEGERI INI

NEGERI INI

Pesawat itu mendarat dengan sangat mulus. Nyaris tanpa goncangan. Di luar cuaca sangat cerah. Sekarang pesawat itu bergerak pelan menuju tempat berhenti. Pramugari melaksanakan tugasnya yang terakhir, mengucapkan selamat datang di negeri tujuan ini, memberitahukan perbedaan waktu dan mengucapkan selamat jalan kepada para penumpang. Dan pesawat itu akhirnya berhenti. Para penumpang bersiap-siap untuk turun. Tidak terkecuali Bahdar.

Baru sekali ini dia berkunjung kesini. Ke negeri ayah dan bundanya. Kedatangannya bukan untuk mengunjungi orang tuanya itu karena mereka tinggal di ibukota. Dia bertugas untuk memberi penyuluhan kepada pegawai pemerintah tentang tata kota, sesuai dengan keahliannya. Penyuluhan itu akan berlangsung dua hari di hotel terbesar di kota di atas bukit. Bahdar seolah-olah sudah tahu tentang kota yang udaranya sejuk itu. Kota kebanggaan ayahnya. Cerita tentang kota itu diceritakan ayah berulang-ulang kepadanya.

Namun, temannya yang orang Negeri Ini mewanti-wanti. Negeri Ini sedang berubah ke arah kebaikan tapi sisa-sisa kebiasaan jaman jahiliyah masih belum semuanya sirna. Berhati-hati di bandara ketika memilih taksi, berhati-hati di penginapan, berhati-hati berbelanja di pasar, berhati-hati kalau sempat pergi melancong ke tujuan wisata. Berhati-hati, karena ada saja orang nakal. Orang yang menggunakan kesempatan untuk menipu. Begitu pesan temannya itu.

Bahdar keluar dari pesawat, langsung menuju ke tempat mengambil bagasi. Koper kecilnya dimasukkannya ke bagasi karena dia harus menenteng komputer jinjing dan in focus. Seorang portir menyapanya ramah dan bertanya seandainya dia memerlukan bantuan untuk membawakan bagasinya. Bahdar ingin berbuat baik kepada portir itu.

‘Saya hanya punya sebuah koper kecil,’ katanya.

‘Kalau bapak mau dibantu akan saya ambil dan antarkan ke mobil bapak,’ jawab portir itu.

‘Saya mau dibantu. Tapi, sekali lagi hanya sebuah koper kecil. Dan saya rasa tidak perlu troli itu untuk membawanya,’ Bahdar menjelaskan.

‘Tidak apa-apa, pak. Ongkosnya lima ribu rupiah untuk satu potong. Seperti bapak lihat di pengumuman itu,’ portir itu menambahkan sambil tersenyum ramah.

‘Baik kalau begitu, tolong diambilkan. Ini tanda pengenal bagasi saya,’ jawab Bahdar sambil menyerahkan secarik kecil kertas.

Portir itu berlalu dengan kertas kecil di tangannya menuju ke ban berjalan. Bahdar mencari-cari loket tempat pemesanan taksi. Tapi tidak ditemukannya. Beberapa menit saja, sang portir sudah kembali membawakan tas yang beratnya tidak sampai sepuluh kilo.

‘Bapak ada mobil jemputan?’ tanya portir itu.

‘Tidak. Saya akan menyewa taksi. Dimana tempat memesan taksi untuk ke luar kota?’ Bahdar balik bertanya.

‘Tidak ada pak. Bapak bisa mengambil langsung taksi di luar itu. Bapak ikut saja antri untuk mendapat giliran,’ kata portir itu.

‘Tapi? Tarifnya harus dirundingkan dulu atau bagaimana?’ Bahdar mulai khawatir akan langsung menemukan tantangan yang pertama.

‘Oh, tidak pak. Taksi itu semuanya menggunakan argometer. Nanti bapak harus membayar sesuai dengan biaya yang tercantum di argometernya.’

Bahdar terdiam. Dia masih berpikir tentang kemungkinan akan dijahili nanti di tengah jalan.

Sesuai saran portir itu, Bahdar masuk ke barisan antrian. Dia mendapat sebuah taksi berwarna hijau metalic. Bersih dan sangat terawat kelihatannya. Sopir taksi itu turun membukakan pintu bagasinya. Portir meletakkan koper kecil ke dalam bagasi. Bahdar memberikan uang sepuluh ribu rupiah. Portir itu mengembalikan lima ribu.

‘Tidak usah. Ambillah kelebihan uang itu,’ kata Bahdar.

‘Oh tidak pak. Tidak boleh. Hak saya hanya yang lima ribu. Terimalah kembalian uang bapak,’ kata portir itu sambil mengulurkan tangan dengan uang lima ribu rupiah.

‘Tidak boleh? Tidak boleh oleh siapa? Saya ikhlas memberikannya,’ Bahdar agar terkesiap.

‘Tidak, pak. Terima kasih. Bapak terimalah uang kembalian ini,’ ujar portir itu bersungguh-sungguh.

Bahdar betul-betul terpana. Dia tidak bisa berkata apa-apa ketika portir itu meletakkan uang itu ke tangannya dan minta ijin untuk berlalu.

Sopir taksi itu menyapanya ramah dalam bahasa daerah Negeri Ini. Ketika dilihatnya Bahdar tidak segera menjawab, karena dia masih melamunkan portir tadi, sopir taksi berganti menggunakan bahasa Indonesia.

‘Selamat datang di Negeri Ini, pak. Kemana tujuan bapak? Kemana bapak akan saya antar ?’ tanya sopir taksi itu ramah.

‘Terima kasih. Tolong antarkan saya ke kota di atas bukit,’ jawab Bahdar.

‘Baik, pak. Kita berangkat. Bismillah.’

Sopir taksi itu ternyata sangat ramah. Umurnya mungkin sebaya dengan Bahdar. Dia berbicara dengan sangat sopan. Dan beberapa kali bertanya kalau-kalau Bahdar sudah merasa cukup nyaman di dalam mobilnya. Kalau-kalau ac mobil itu sudah memadai dinginnya. Kalau-kalau Bahdar ingin mendengarkan musik. Atau kalau-kalau barangkali Bahdar ingin beristirahat tidur saja sepanjang perjalanan. Dan mobil itu dikendarainya dengan sangat hati-hati.

Bahdar menemukan kejutan kedua. Sopir taksi ini ternyata sangat profesional sekali. Dan sangat ramah sekali. Mereka terlibat dalam obrolan santai. Sopir itu menjawab setiap pertanyaan Bahdar dengan baik. Tidak berlebih-lebihan, tidak dengan nada menggurui atau sok tahu tapi hanya dengan keramahan.

Pemandangan di sepanjang jalan sangat memukau. Itulah yang jadi bahasan dalam obrolan mereka. Lebih tepatnya, Bahdar bertanya tentang objek yang dilihatnya dan sopir taksi itu menjelaskan.

Mereka sampai di kota di atas bukit dan langsung menuju ke hotel tempat Bahdar akan menginap. Sopir yang ramah itu bergegas turun membukan pintu mobil untuk Bahdar. Koper kecilnya sudah dikeluarkan petugas hotel. Bahdar mengemasi barang jinjingannya, komputer, in focus dan jaketnya.

Sopir taksi itu mengingatkan untuk memeriksa semua barang-barang agar jangan ada yang tertinggal. Ongkos taksi seperti yang tertera di argometer adalah 185,000 rupiah. Bahdar menyerahkan dua lembar uang kertas seratus dan menyuruh ambil saja kembaliannya.

Kejutan berikutnya. Sopir taksi itupun tidak mau diberi tip. Dia mengembalikan uang kembalian dan minta dengan sesopan mungkin agar Bahdar menerima uang kembaliannya.

‘Waw. Negeri apa ini? Saya ikhlas memberikan kelebihan uang ini untuk bapak. Terimalah!’ pinta Bahdar bersungguh-sungguh.

‘Terima kasih banyak, pak. Saya sudah mendapatkan yang hak saya. Selamat beristirahat, pak,’ kata sopir itu, seperti portir di bandara tadi, meletakkan uang kembalian itu ke tangan Bahdar.

Dimasukinya lobby hotel itu. Dia segera mendapatkan keramahan lain lagi. Keramahan yang tidak dibuat-buat. Dia disuruh memilih kamar, apakah yang menghadap ke pegunungan atau yang menghadap ke sisi kota. Bahdar memilih yang menghadap pegunungan. Proses check in sangat cepat dan dia segera menuju ke kamarnya di tingkat lima. Hotel ini sangat rapih dan bersih. Karyawannya tampak serba ceria dan banyak senyum. Merekapun sopan-sopan.

Bahdar sangat ingin mengetahui reaksi pegawai hotel yang mengantarkan kopernya ke kamar. Orang itu diberinya tip sepuluh ribu rupiah. Masya Allah. Orang inipun menolak.

‘Maaf, pak saya tidak menerima pemberian,’ begitu katanya.

‘Tapi anda sudah menolong membawakan koper saya,’ ujar Bahdar.

‘Itu tugas saya, pak. Itu pekerjaan saya. Saya digaji untuk itu,’ jawabnya sambil tersenyum.

Bahdar ingin berteriak rasanya menanyakan, berapa benar sih gajimu? Tapi tidak sanggup melakukannya. Dia hanya melongo.

Waktu dia sedang di kamar kecil, telepon berdering. Bahdar segera mengangkatnya.

‘Maaf, pak. Ini dari front office. Ada seorang tamu ingin menjumpai bapak, bolehkah saya mengantarkan ke tempat bapak ?’ suara di gagang telepon itu.

‘Tamu saya? Boleh saya tahu nama beliau ?’ tanya Bahdar.

‘Sebentar pak. Akan saya tanyakan.’

Terdengar suara percakapan di seberang sana.

‘Nama beliau pak Syahrul pak. Sopir taksi yang mengantar bapak dari Bandara.’

‘Sopir taksi? Ada apa? Boleh saya berbicara dengan orang itu?’ tanya Bahdar.

Gagang telepon itu diserahkan ke orang itu.

‘Pak. Maaf, pak. Ini hp bapak ketinggalan di taksi saya. Jatuh ke lantai,’ suara sopir taksi itu.

‘Waduh. Sebentar pak, saya periksa di jaket saya,’ jawab Bahdar.

Ternyata benar, hpnya tidak ada di kantong jaket. Berarti hp itu terjatuh ke lantai taksi.

‘Baik, pak Syahrul. Saya akan turun ke bawah,’ ujar Bahdar.

Bahdar segera turun ke lobby. Sopir taksi itu dengan senyum ramah menyerahkan hp itu. Bahdar hanya melongo menerimanya. Dia tidak mengucapkan apa-apa.

‘Saya pamit, pak,’ ujar sopir taksi itu.

Bahdar tersentak. Diulurkannya tangannya menyalami sopir itu.

‘Terima kasih banyak. Terima kasih banyak. Anda benar-benar mengagumkan saya,’ ucapnya setengah kebingungan.

‘Terima kasih kembali pak. Selamat istirahat,’ jawab sopir taksi itu sebelum berlalu.

Mengagumkan, desahnya dalam hati. Orang itu sungguh mengagumkan.

Bahdar menemukan banyak lagi kejutan di kota di atas bukit. Di restoran di tengah kota. Di taksi yang disewanya untuk pergi melihat-lihat ke tempat wisata. Di tempat wisatanya sendiri. Dia menemukan keramahtamahan dan kejujuran dimana-mana.

Penyuluhan yang dilakukannya berjalan dengan sangat baik. Dia malu sebenarnya, karena dalam hal keramahan masyarakat, contoh-contoh dalam makalahnya seolah-olah tidak bermakna. Prilaku masyarakat di Negeri Ini bahkan lebih baik dari contoh dalam makalah itu.

Justru dia yang bertanya dalam seminar itu gerangan apa yang menjadikan masyarakat Negeri Ini sebegitu ramah dan jujur. Jawabannya sungguh mengagumkan Bahdar. Ceramah yang santun dan terus menerus oleh para ulama serta contoh langsung dari para penjabat ditambah dengan tindakan hukum yang bersungguh-sungguh. Semua itu telah merubah prilaku masyarakat Negeri Ini.

Bahdar membawa oleh-oleh yang sangat berharga itu untuk dipersembahkannya kepada orang tuanya. Negeri Ini benar-benar telah berubah.


*****

Thursday, May 22, 2008

LAYANG-LAYANG

LAYANG - LAYANG

Ramai sungguh sorak sorai sore hari itu. Hamparan sawah luas sehabis panen itu bagaikan sebuah pasar. Pertandingan demi pertandingan sudah berlangsung. Sekarang adalah pertandingan terakhir. Pertandingan antar juara. Delapan layang-layang sudah dibawa masing-masing tukang anjung ke garis penganjungan. Bentuk dan ukuran layang-layang itu sama semuanya, hanya warnanya yang berbeda-beda. Badannya hampir berbentuk elip. Agak gemuk. Tandannya ramping di pinggang dan mengembang di bagian bawah. Di dasar tandan menempel ekornya enam lembar. Ekornya ini dilipat baik-baik ketika dibawa ke penganjungan. Kepala layang-layang itu diberi pula hiasan rautan bambu yang dibengkokkan dan diberi berumbai-rumbai terbuat dari kertas. Gagah-gagah dan elok-elok rupanya.

Penganjung membawanya dengan sangat berhati-hati. Layang-layang itu di pegang di pinggangnya, selalu mengarah kepada pemiliknya, dengan ekor yang sudah dilipat rapi, dikepit di tangan kiri. Mereka berjalan sepanjang bidang sawah, ke sebuah garis yang dibuat dari rentangan seutas tali. Itulah tempat penganjungan. Jaraknya sekitar lima puluh meter dari pemilik layang-layang. Setiap penganjung berdiri di garis tali. Jarak yang satu dengan yang lain sekitar sepuluh langkah. Di ujung tali ada seorang pemberi aba-aba memegang tongkat bambu dengan bendera terbuat dari kertas merah di ujungnya.

Penarik layang-layangpun sudah bersiap-siap. Tangan mereka terjulur memegang ujung benang yang terentang dari layang-layang. Semua berdiri di belakang sebuah garis panjang dari tali. Menunggu aba-aba.

Sekarang semua sudah siap. Tukang-tukang anjung mengangkat tangan mereka yang tetap berada di pinggang layang-layang. Kali ini tangan itu diacungkan lebih tinggi dari kepala mereka. Ekor layang-layang sudah diletakkan di tanah dalam keadaan bebas. Tidak boleh tersangkut sedikitpun. Pemberi aba-aba memastikan bahwa semua sudah siap. Dimasukkannya dua jari tangannya ke mulutnya, lalu dia bersuit panjang sambil tangan kanannya mengangkat bendera tongkat bambu.

Si penganjung melepas pegangan dari layang-layang dan si pemilik menarik talinya. Bergantian tangan kanan dan kiri mereka menarik benang dengan lincahnya. Layang-layang itu beradu cepat melesat ke udara. Melenggang-lenggok ke kiri dan ke kanan. Makin ke atas angin lebih kuat. Tibalah waktunya mengulur benang. Semua peserta berpacu mengulur dan sekali-sekali harus menyentaknya agar layang-layang itu mengapung ke udara. Di pertandingan terakhir ini yang ikut serta adalah layang-layang dan pemain-pemain yang sudah kawakan. Yang sudah memenangkan pertandingan terdahulu. Layang-layang mereka lebih ‘jinak’ dan lebih mudah diatur, sehingga tidak ada yang sampai bertabrakan.

Ke delapan layang-layang itupun berpacu. Masing-masing punya nama. Ada yang bernama Bondo, Ambun Baro, Kinantan, Salempang, Saik Ajik, Torpedo. Dengan warna yang tidak banyak variasi. Bondo misalnya berwarna kuning di kedua pinggir dengan warna hijau di tengah. Ambun Baro berwarna hitam kelam. Kinantan berwarna putih. Semua mempunyai enam lembar ekor menempel di tandannya. Dua lembar ekor yang di tengah-tengah menjulai panjang.

Peserta punya waktu sepuluh menit untuk menaikkan layang-layang itu setinggi mungkin. Semakin tinggi, karena angin lebih baik di atas, semakin mudah mengulur benang. Para pemain layang-layang itu melapisi tangan mereka dengan kain sarung ketika mengulur benang yang ditarik kencang oleh layang-layang, untuk menghindari luka tersayat benang. Layang-layang itu semakin menjauh. Sudah mulai kelihatan calon-calon pemenang. Yang tidak terlalu banyak turun ketika benang diulur, akan lebih mudah naik ke arah yang lebih tinggi.

Penonton bersorak-sorak menjagokan layang-layang favorit mereka. Heboh dan riuh rendah. Diam-diam, di antara penonton ada yang bertaruh. Mereka mengaturnya sendiri. Menerka siapa yang akan jadi juara, lalu bersepakat dengan taruhan mereka. Bertaruh ini tidak ada sangkut pautnya dengan panitia.

Setiap peserta dikenai biaya pertandingan. Mereka menyebutnya inset. Tidak ada yang tahu, entah berasal dari mana kata-kata ini. Dalam pertandingan besar seperti ini, uang inset tidak banyak artinya. Baik hadiah dan honor petugas-petugas didapat dari sumbangan sponsor.

Berpacu mengulur benang semakin seru. Layang-layang yang lebih ringan lebih mudah menarik benang. Bunyi benang lepas itu berdesing. Seorang pembantu menjaga kumparan benang agar tidak tersangkut. Pembantu itu meletakkan kumparan yang terbuat dari kaleng itu pada sebilah kayu, lalu menahan kayu itu di tangannya. Kumparan itu berputar kencang pada sumbu kayu itu.

Di sebuah munggu (=tanah yang letaknya ketinggian) pada jarak lebih kurang satu kilometer dari tempat melepas layang-layang duduk tiga orang juri. Mereka ini nanti akan menilai mana layang-layang yang paling tinggi, yang akan jadi juara. Mereka ini ahli dalam menilai dan diakui kenetralannya. Sementara itu, sesudah memberi aba-aba, si pengibar bendera pertandingan bergeser ke tengah-tengah, ke tempat di antara para juri dan para pemilik layang-layang. Matanya tidak lepas-lepas dari jam tangannya. Dia menunggu waktu sepuluh menit yang sudah ditentukan. Ketika waktu itu datang, dia berteriak. ‘Katambiiiiiin.......’, sambil kembali mengibarkan bendera merah di tongkat bambu.

Katambin berarti peringatan kepada peserta pertandingan untuk berhenti mengulur benang. Ada pula wasit benang yang mengawasi agar semua beserta mematuhi aba-aba katambin. Wasit benang ini sangat ditakuti. Kalau masih ada yang mengulur sesudah katambin disorakkan, maka peserta itu akan didiskualifikasi.

Semua pemain sekarang menahan tali layang-layang mereka. Dan layang-layang itu mendaki dengan tangkas ke ketinggian yang mampu mereka capai. Disini makin terlihatlah mutu setiap layang-layang dan keahlian pemiliknya. Pemain boleh menarik benang jika diperlukan. Yang dilarang adalah mengulurnya. Layang-layang yang baik adalah yang mampu naik sehingga benangnya hampir tegak lurus. Layang-layang seperti ini disebut ‘tegak tali’, karena seolah-olah benangnya berdiri tegak. Dia tidak banyak lagi berlenggak lenggok di atas sana.

Masa sesudah katambin adalah masa kritis dalam pertandingan. Layang-layang itu harus pas sekali keseimbangannya. Kalau sedikit saja lebih berat ke kepala, ada resiko terbalik di udara. Istilahnya mengapik. Layang-layang yang sedikit berat ke kepala itu disebut ‘jungur’. Layang-layang jungur berpotensi untuk mengapik di ketinggian. Kalau terjadi yang demikian, habislah sudah. Layang-layang itu kalah dengan sendirinya karena tidak bisa lagi dikendalikan dan dia akan turun jatuh bebas. Sebaliknya, kalau tandannya sedikit lebih berat, maka layang-layang itu akan sulit mendaki di udara. Layang-layang yang serupa itu disebut ‘bamban’. Seberapapun panjang benang di rentang, seberapapun keras angin meniup, dia tidak sanggup naik tinggi. Resiko yang ketiga adalah putus. Jika kertas layang-layang terlalu tegang, ketika di tiup angin benangnya akan sangat tegang. Akibatnya benang bisa putus. Atau kertasnya robek, dan layang-layang itu tidak bisa lagi terbang melayang.

Layang-layang jungur, atau bamban atau kertasnya terlalu tegang sudah pasti akan kalah.


Tiga orang juri telah mengamati ke delapan layang-layang itu dengan seksama. Bukan pekerjaan yang mudah. Karena di ketinggian sekitar sembilan ratus meter ke delapan layang-layang itu seperti sama saja tingginya. Tapi juri-juri itu adalah ahli. Sebuah layang-layang, si Ambun Baro terpisah lebih ke depan. Layang-layang yang satu ini nyaris tegak tali. Terbangnyapun tenang. Tanpa keputusan juri, para peserta sudah menduga, Ambun Barolah yang akan jadi juara. Di belakangnya, si Salempang, Saik Ajik dan Bondo berada nyaris pada satu garis. Salempang dan Saik Ajik sedikit melenggang lenggok sedangkan Bondo diam saja. Maka si Bondolah yang akan jadi juara kedua.

Di penghujung waktu katambin, pemilik Salempang dan Saik Ajik berusaha keras mengendalikan layang-layang mereka. Tangan mereka digerak-gerakkan untuk sedikit menarik ulur. Tujuannya agar layang-layang itu bisa digeser lagi ke depan. Usaha itu ternyata tidak mudah. Tepat di ujung waktu, Saik Ajik menggeleng ke kiri dan ke kanan lebih jauh. Gerakan itu mengurangi nilai. Diapun tersisih dari Salempang.

Tiga menit sesudah katambin, si pemberi aba-aba kembali bersuit dengan jari yang dimasukkan kemulutnya. Artinya, waktu perlombaan sudah selesai.

Para pemilik mulai menarik tali layang-layang untuk menurunkannya. Keras dan tegang sekali tali itu. Mereka menariknya perlahan-lahan. Dari jauh terdengar teriakan juri. Ambun Baro yang juara. Teriakan itu sudah merupakan keputusan. Hadiahnya sebuah sepeda, akan diserahkan panitia nanti sesudah semua layang-layang turun.

Tapi......, aih....... Beberapa meter saja di atas terlihat dua lembar benang halus berkibar. Berarti benang itu genting di titik itu. Pemiliknya berusaha menarik benang sepelan mungkin. Ambun Baro tetap tegak tali. Tinggal tiga kali tarikan lagi menjelang benang genting itu. Benang itu berdetus. Putus. Padahal baru sepertiga turun. Anak buah pemiliknya berhamburan pergi mengejar. Layang-layang juara itu harus dikejar dan didapatkan kembali. Dia terbang melambung bagaikan elang Ambun Baro. Berempat, berlima, berenam, bertujuh yang berpacu mengejarnya. Pengejaran yang akan cukup jauh. Mudah-mudahan saja tidak tersangkut di pohon. Asalkan jatuhnya ke tanah, dia harus dikembalikan kepada pemiliknya. Pengejar lain hanya boleh mengambil benangnya. Begitu aturan main.

Hari sudah berembang petang. Sebentar lagi akan masuk waktu magrib. Dan sesudah itu hari akan gelap. Akan semakin susah mengejar si Ambun Baro. Layang-layang itu tetap juga melambung-lambung di udara. Di langit, keluang (=kelelawar besar) berterbangan akan pergi dinas malam. Seekor keluang menabrak Ambun Baro tidak sengaja. Kertasnya robek. Angin tidak bisa lagi meniupnya terbang lebih jauh. Layang-layang itu pelan-pelan jatuh ke tanah, ditangkap pengejarnya. Dan dibawa kembali ke arena.

Di arena ada sedikit masalah. Peserta lain tidak menerima kemenangan Ambun Baro karena layang-layang itu putus. Padahal putusnya sesudah dia dinyatakan menang oleh juri. Baiklah, kata peserta lain itu, tapi hadiah tidak bisa diserahkan, karena ketentuan panitia, hadiah diserahkan ketika layang-layang sudah turun ke tanah. Tapi sekarang Ambun Baro masih melayap terbang entah kemana. Jadi pemiliknya tidak berhak menerima hadiah. Panitia pusing oleh protes itu. Kalau tidak diserahkan kepada pemilik Ambun Baro lalu mau dikemanakan hadiah itu?

Pemilik si Ambun Baro tidak mau ikut berbantah-bantah. Dia lebih mencemaskan layang-layangnya. Mudah-mudahan saja layang-layang itu tidak tersangkut di pohon. Layang-layang itu hasil karyanya yang terbaik. Bingkainya dibuat dari betung tua yang direndam lama. Makanya sangat liat. Dan terbukti berbeda dari layang-layang lain. Ringan tapi mantap diterbangkan.

Persis menjelang magrib dari jauh terlihat para pengejar tadi. Ambun Baro diacung-acungkan ke udara. Mereka berteriak-teriak dari jauh. Semua mata di arena beralih pandang ke arah datangnya para pengejar itu. Pemilik Ambun Baro menarik nafas lega. Layang-layang itu ternyata selamat. Hadiahpun diterimakan tanpa protes. Arena itu kembali lengang seiring terdengar azan dari mesjid.


*****

Wednesday, May 7, 2008

LENTERA

LENTERA

‘Kita dapat perintah dari tentara pusat, mulai hari Sabtu besok setiap rumah harus memasang lentera di depan rumah. Perintah ini disampaikan melalui nyiak wali nagari. Tadi siang nyiak wali menyampaikan kepada kami para wali jorong agar menyampaikannya kepada warga. Jangan dilawan pula perintah ini, daripada jadi perkara pula nantinya,’ begitu wali jorong menyampaikan kabar di hadapan penduduk kampung yang dikumpulkan di sekolah rakyat.

‘Jadi ini perintah yang tidak boleh ditawar lagi? Mantun?’ tanya Sutan Nangkodoh sinis.

Penat kita Nangkodoh. Dilawan tidak kan terlawan. Kalau Nangkodoh lawan bisa jadi dibawanya Nangkodoh tidur perai ke kantor Buter. Lantas angan Nangkodoh?’ tanya wali jorong.

‘Kita benar-benar sudah terjajah,’ Sutan Nangkodoh menggerutu.

‘Sebenarnya apa keperluan lentera itu ?’ tanya Sutan Bagindo.

‘Kata yang membuat perintah, supaya orang ronda dapat mengawasi seandainya ada tentara luar menyelinap masuk kampung,’ wali jorong menjelaskan.

‘Dimana lentera ini mesti dibeli? Dimana pula mesti diletakkan setiap malam?’ tanya tek Saripah.

‘Di pekan ada orang menjualnya, kak. Meletakkannya boleh di depan jendela. Gantungkan dengan paku di depan jendela,’ jawab wali jorong.

‘Datang angin, bisa terpanggang rumah. Berlaba besar galas,’ Sutan Nangkodoh masih menggerutu.

‘Insya Allah tidak akan sejauh itu. Lentera itukan berdinding kaca. Biar ditiup angin tidak akan apa-apa.’

‘Kencang angin, terbalik lentera itu tumpah minyaknya, disambar api. Bukankah itu mungkin terjadi?’ Katik Sati ikut berteori.

‘Hutang saya menyampaikan, tuan-tuan, kakak-kakak. Mau tuan-tuan terima, mau tuan-tuan tolak, terpulang kepada tuan-tuan juga.’

Orang banyak akhirnya diam. Yang disampaikan wali jorong itu benar. Janganlah terpikir untuk mencari perkara. Berat resikonya. Kalau takut rumah akan terpanggang, pandai-pandailah menempatkan lentera itu di depan rumah.

Mulai petang Sabtu, semua rumahpun berlenteralah. Bertambah kesibukan setiap penghuni rumah. Lentera itu berupa sebuah lampu togok atau lampu minyak tanah kecil yang diletakkan dalam kotak persegi empat. Tiga sisi kotak itu diberi berkaca dan satu sisi yang lain terbuat dari seng. Lentera itu digantungkan di depan jendela tengah dan harus menyala sejak sesudah magrib sampai terbit matahari. Tidak hanya rumah yang harus berlentera. Pintu keporo dan pos ronda juga harus. Nyalanya hampir tidak bermakna. Di tengah malam yang gelap gulita, titik api kecil itu paling jauh hanya sanggup menyinari sebuah lingkaran yang tidak lebih dari satu meter. Tapi yang penting kelihatannya adalah kepatuhan masyarakat.

Tentara pusat sering datang mengintai ke kampung itu. Pagi-pagi, ketika penghuni rumah membukakan jendela, tahu-tahu bersirobok pandang dengan tentara yang tiarap di semak-semak di depan rumah memegang bedil siap ditembakkan. Untunglah belum ada orang kampung yang ditembak ketika membuka jendela. Entah apa yang diintai tentara pusat itu. Atau boleh jadi mereka berharap, yang akan membukakan jendela anggota tentara luar.

***

Seketat-ketatnya pengawasan orang ronda, sesering-seringnya tentara pusat datang mengintai mengendap-endap, tentara luar dapat juga keluar masuk kampung dengan leluasa. Biasanya mereka datang di sekitar tengah malam. Mana mungkin tentara pusat itu akan mau berjaga sepanjang hari sepanjang malam. Di kampung itu ada beberapa orang anak muda yang ikut jadi tentara luar. Kalau sudah rindu dan teragak, mereka biasa pulang. Kadang-kadang mereka tidur di rumah agak beberapa hari. Tentu saja dengan bersembunyi-sembunyi.

Malam itu Pudin pulang ke rumah ditemani dua orang tentara, Ancin dan Maaruf. Hari sudah lewat tengah malam ketika dia mengetuk pelan-pelan dinding kamar maknya. Etek Tipah segera terbangun.

‘Engkau ?’ tanya etek Tipah setengah berbisik.

‘Iya mak, bukakanlah pintu,’ jawab Pudin.

Etek Tipah bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan mengendap-endap keluar kamar, menuju pintu rumah. Tangannya membawa lampu togok. Lampu togok itu diletakkannya agak jauh dari pintu. Dia kembali melangkah lambat-lambat ke arah pintu. Di luar terdengar suara orang berbisik-bisik. Etek Tipah berdebar-debar. Sebelum membuka pintu ditanyainya sekali lagi.

‘Engkau, Pudin?’ tanyanya.

‘Iya, mak. Kami bertiga,’ jawab Pudin.

Barulah etek Tipah yakin bahwa itu adalah suara anaknya. Dibukakannya kunci pintu dengan sangat hati-hati.

Ketiga orang yang berkelumun kain sarung itu masuk. Masing-masing memegang senjata. Pudin membantu mengunci pintu itu kembali.

‘Di bilik belakang sudah mak siapkan nasi bungkus dan cerek air. Kalian makanlah disana. Mak akan tidur kembali,’ kata tek Tipah, masih setengah berbisik.

‘Iya, mak. Pergilah mak tidur. Bapak baik-baik saja?’

‘Bapakmu baik-baik saja.’

‘Mak, kenapa lentera mak tidak dinyalakan?’

‘Ada aku nyalakan tadi. Mati terlihat olehmu?’

‘Ya, mak. Mati.’

‘Mungkin minyaknya habis. Bagaimana lagi? Perlu pula aku tambah minyaknya?’

‘Tidak usahlah mak. Biarkan sajalah. Pergi sajalah mak tidur,’ jawab Pudin.

Ketiga anggota tentara luar itu masuk ke bilik belakang. Mereka mendapatkan tiga bungkus nasi yang disediakan tek Tipah dan langsung menyantapnya. Sesudah itu mereka langsung tidur.

***

Pagi-pagi subuh tek Tipah dan suaminya Sutan Mangkudun sudah bangun seperti biasa. Mereka pergi ke sumur untuk berwudhu. Waktu kembali dari sumur dan akan naik ke rumah mata tek Tipah melihat tiga pasang sepatu kain dekat pintu. Sepatu Pudin dan kedua temannya. Tek Tipah yang sangat hati-hati mengambil ketiga pasang sepatu itu dan menyimpannya kedalam karung padi. Sesudah shalat subuh dan ketika hari sudah terang tanah, barulah dibukanya jendela. Masya Allah. Di bandur kebun di depan rumah duduk seorang tentara pusat memegang senjata. Darah tek Tipah berdesir, tapi dia berusaha tenang.

‘Hei! Ibuk! Kenapa lampu lentera tidak dihidupkan semalam?’ tanya tentara itu dengan suara garang.

‘Ada dihidupkan pak. Mungkin minyaknya habis,’ jawab tek Tipah setenang mungkin.

‘Bohong ! Memberi tanda untuk tentara pemberontak ya ?’ tanyanya tetap garang.

‘Tidak, pak. Minyaknya habis,’ jawab tek Tipah yang telah menurunkan lampu lentera itu.

‘Buka pintu. Saya mau geledah rumah ini,’ perintah tentara itu. Tentara itu memanggil temannya

‘Baik, pak. Silahkan,’ jawab tek Tipah agak gugup.

Pudin dan kedua temannya sudah terbangun mendengar perbantahan maknya dengan tentara di halaman. Tek Tipah mampir ke kamar belakang sebelum menuju pintu rumah. Dengan isyarat disuruhnya ketiga anak muda itu masuk ke dalam kapuk padi yang pintunya tertutup tikar alas kasur. Dengan sigap dan penuh kehati-hatian mereka gulung kasur tempat mereka tidur dan meletakkan ke sudut bilik. Tikar alas kasur mereka geser sedikit lalu pintu kapuk padi itu mereka buka. Ketiganya turun pelan-pelan kedalam kapuk dan menutup pintunya dari dalam. Semua dilakukan sesenyap-senyapnya.

Tentara pusat itu menggedor pintu dan berteriak.

‘Cepat buka pintu ini!’ perintahnya.

Tek Tipah berzikir dalam hati. Dibacanya ayat kursiy. Dia melangkah setenang mungkin ke pintu rumah dan membukakan kunci rumah.

‘Silahkan masuk, pak,’ katanya tenang.

‘Ada berapa orang di rumah ini?’ tanya si tentara.

‘Berdua. Saya dan suami saya. Suami saya kurang sehat, dia ada di bilik,’ jawab tek Tipah.

Dua orang tentara itu masuk ke dalam rumah tanpa melepas sepatunya. Menggeledah ke semua ruangan dan kamar. Menyenter ke arah loteng, ke belakang lemari. Di kamar belakang dilihatnya gulungan kasur di sudut dan tikar setengah kusut di lantai. Tidak ada siapa-siapa. Untunglah cerek maupun daun bekas nasi bungkuspun sudah dibawa masuk kapuk.

Di kamar depan mereka dapati Sutan Mangkudun yang berkeringat dingin di tempat tidur. Tentara itu membungkuk memeriksa kolong tempat tidur.

‘Sakit apa orang tua ini?’

‘Demam panas, pak,’ jawab tek Tipah.

‘Bukan tentara PRRI?’

‘Bukan pak.’

‘Ada anak ibuk jadi tentara PRRI?’

‘Tidak ada pak,’ jawab tek Tipah. Kepalang berbohong.

‘Mana lampu lentera tadi, coba saya lihat,’ katanya lagi.

Tek Tipah bergegas mengambil lentera itu. Tentara itu memeriksanya.

‘Tiap hari harus diperiksa. Sebelum dinyalakan, diisi dulu minyaknya. Faham?’

‘Iya, pak.’

‘Ya, sudah. Permisi.’

Kedua tentara itu keluar dari rumah dan berlalu. Etek Tipah sujud syukur begitu mereka sudah sampai di halaman. Mak Tangkudun suaminya terkencing-kencing di celana karena ketakutan.

Kira-kira sepuluh menit sesudah tentara itu berlalu, barulah Pudin membukakan pintu kapuk. Pengap juga di dalam kapuk padi itu karena memang tidak ada jendelanya. Untunglah mereka tidak sampai terbatuk ketika berada di dalamnya.

‘Bagaimana seandainya mereka tahu kita ada disini?’ tanya Maaruf yang memang agak sedikit pengkhawatir di antara mereka bertiga.

‘Kalau sudah begitu tidak ada lagi cara lain. Kita kan ada berbedil pula,’ jawab Ancin.

‘Maksudmu? Kau akan menembak mereka?’

‘Harus,’ jawab Ancin mantap.

‘Tapi sesudah itu akan mereka panggang kampung ini,’ jawab Maaruf.

‘Sudahlah. Kan dia sudah pergi. Tidak perlu pula dipertengkarkan,’ Pudin mencoba menengahi.

‘Tentara kalera,’ Maaruf masih menggerutu.

‘Bukan. Mereka tentara lentera,’ jawab Ancin.

Maaruf dan Pudin tertawa tertahan mendengarnya.


*****

Tuesday, May 6, 2008

BANDA ACEH

BANDA ACEH

Akhirnya aku mengunjungi Banda Aceh pekan yang lalu. Dalam perjalanan menjemput puteri kami kedua yang baru saja menyelesaikan tugas PTTnya di kabupaten Gayo Luwes. Tadinya ada keinginanku untuk menjemputnya ke Blangkajeuren, menemui ibu dan bapak angkatnya dan orang-orang yang telah banyak membantunya selama bertugas disana. Sayang istriku sudah menyerah duluan, trauma dengan kondisi perjalanan dengan mobil travel melalui jalan rusak, yang kami alami waktu mengunjungi kota itu sekitar setahun yang lalu. Kami akhirnya sepakat untuk menjemput puteri kami di Banda Aceh saja.

Pesawat Sriwijaya Air yang kami tompangi mendarat di Bandara Sultan Iskandar Muda jam 2 siang pada hari Kamis tanggal 1 Mai yang lalu, terlambat hampir satu jam dari jadwal. Cuaca cerah. Bahkan cukup panas. Kami dijemput puteri kami yang ditemani sejawatnya sesama dokter gigi yang adalah orang Aceh asli. Anakku telah menyewa sebuah mobil Kijang untuk kami gunakan selama kunjungan ini. Tujuan pertama kami, atas permintaanku adalah mesjid raya Banda Aceh. Aku sudah berniat akan shalat disana. Mesjid besar yang bersih, rapi dan menyejukkan. Aku menjamak dan mengqasar shalatku.

Sesudah makan siang, kami langsung menjelajahi kota, melihat sisa kerusakan akibat tsunami tanggal 26 Desember 2004. Melalui jalan dengan bangunan baru, entah rumah atau mesjid atau pertokoan. Melalui tempat pemakaman massal. Kami dibawa mengunjungi lokasi kapal PLTD yang didamparkan air pasang tsunami. Sebuah kapal yang puluhan meter panjangnya, lebih sepuluh meter tingginya dipindahkan dari tempat bersandarnya semula sejauh lebih kurang sepuluh kilometer ke daratan. Masya Allah. Aku melihat peringatan Allah yang sangat nyata. Kapal yang ribuan ton bobotnya itu ‘diletakkan’ dengan sangat ‘rapi’ memotong tegak lurus sebuah jalan, menghimpit rumah-rumah dikiri dan kanan jalan itu. Kapal itu ‘duduk’ dengan sangat eloknya disana, tidak miring, tidak oleng. Daerah sekitar kapal itu akan dijadikan sebuah taman tempat mengenang bencana tsunami. Banyak pengunjung naik ke atas kapal itu. Tapi aku tidak tertarik melakukannya. Aku benar-benar terkesima membayangkan dahsyatnya pukulan ombak tsunami yang terjadi pada hari itu, melalui keberadaan kapal PLTD ini, ditempat ini.

Kami kunjungi pula dermaga (pelabuhan) yang sedang dibangun. Supir merangkap pemandu kami memberi tahu bahwa kapal PLTD yang baru kami lihat sebelumnya dulu tertambat dekat pelabuhan itu. Di lepas pantai terlihat pulau-pulau kecil di ujung Sumatera. Pemandangan yang cantik.

Pagi hari di hari kedua kami beristirahat di penginapan karena puteri kami harus pergi mengurus surat-surat dinasnya sekalian berpamitan ke Dinas Kesehatan Propinsi. Siang itu aku shalat Jumat di mesjid raya ditemani teman anakku sesama dokter gigi. Khatib Jumat adalah bapak Profesor Jimly As Siddiqi.

Sesudah makan siang kami pergi mengunjungi musium. Sebenarnya bangunan musium ini sedang direnovasi dan diperbesar, tapi ada bagian yang dapat dikunjungi. Aku sangat senang mendapatkan informasi tentang perang Aceh yang dipajang dalam bentuk foto dengan catatan serta keterangan di dalam musium ini. Keterangan tentang perang Aceh melawan Belanda, dalam sebuah peperangan terpanjang yang dihadapi pemerintah kolonial Hindia Belanda. Tentang korban dari fihak Belanda, diantaranya Jenderal Kohler, pemimpin tentara Belanda yang tertembak dekat sebuah pohon di halaman mesjid raya. Dicatatkan pula perkataan terakhir jenderal malang itu, ‘Oh Tuhan, aku tertembak.’ Dan jenderal Belanda itu mati disitu. Pohon dekat dia tertembak oleh orang Belanda dinamai pohon Kohler.

Tentang kebrutalan serdadu-serdadu Kumpeni dalam perang itu. Tentang kegigihan pemimpin-pemimpin dan rakyat Aceh dalam melawan Belanda. Seandainya saja rakyat Aceh mendapat bantuan dana atau senjata ketika itu, belum tentu Belanda akan memenangkan peperangan.

Tidak lupa pula pemandu kami menunjukkan komplek kuburan serdadu Belanda di tengah-tengah kota yang dibiarkan dan dipelihara untuk bukti sejarah. Belanda memang telah membayar sangat mahal biaya perang menaklukkan semangat jihad masyarakat Aceh.

Kami kunjungi Lok Nga, tempat berdirinya pabrik semen di pinggir pantai yang juga rusak parah diterjang tsunami. Dan mesjid yang meskipun selamat di tengah perumahan penduduk yang hancur, sekarang juga direnovasi dan diperbesar dengan bantuan dari pemerintah Turki. Di kampung ini terlihat rumah-rumah baru yang juga dibangun atas bantuan Turki, diberi lambang bulan bintang seperti yang terdapat pada bendera Turki.

Aku menemani istriku shalat asar di mesjid kampung itu. Seorang ibu yang kehilangan suami, anak-anak dan cucunya ketika musibah tsunami menimpa, bercerita dengan berurai air mata kepada istriku. Derita yang dialami keluarganya tidak mungkin dilupakan.

Pemandu kami membawa kami ke lokasi lain yang juga dibangun atas bantuan pemerintah Turki. Aku sangat terkesan di tempat kedua ini, dimana terdapat komplek pemakaman orang-orang Turki (batu nisannya dihiasi bulan bintang). Kebetulan sore itu ada pula serombongan orang-orang Turki sedang berkunjung. Salah satu diantara mereka adalah seorang anak muda yang jadi mahasiswa di Unsyiah. Dia fasih berbahasa Indonesia.

Kekagumanku bertambah setelah mengetahui bahwa yang dikuburkan disitu adalah tentara Turki yang dulu datang menolong Aceh ketika perang melawan Portugis. Jadi mereka datang disekitar tahun 1500 an. Ketika aku bertanya sambil setengah tidak percaya (karena belum pernah mendengar cerita ini) aku dikenalkan kepada seorang bapak tua penjaga komplek makam ini. Nama orang tua itu Abdul Aziz. Beliau adalah keturunan Turki.

Beliau bercerita bahwa raja Aceh mengirim utusan meminta bantuan kepada Sultan Ottoman (sultan Selim) untuk mengusir penjajah Portugis. Utusan itu membawa lada (hasil bumi Sumatera) sebagai cendera mata. Ketika sudah mendekati pelabuhan laut kesultanan Ottoman, kapal mereka diserang badai. Lada, buah tangan yang mereka bawa tumpah ke laut. Waktu utusan itu datang menghadap Sultan, mulanya mereka ditolak karena mereka tidak membawa cendera mata. Salah seorang anggota rombongan kembali ke kapal di dermaga dan berhasil mengumpulkan secupak lada yang tertinggal. Lada secupak itu dibawa kembali menghadap Sultan sebagai bukti bahwa sebenarnya mereka ada membawa barang seserahan namun sudah terbuang ke laut.

Ringkas cerita, dengan bukti secupak lada itu, Sultan Ottoman percaya. Beliau bersedia mengirimkan bala bantuan ke Aceh. Maka datanglah rombongan tentara dan insinyur (ahli membuat meriam) ke kerajaan Aceh. Jumlah mereka 317 orang (wallahu a’lam) datang dengan beberapa buah kapal. Mereka membantu kerajaan Aceh memerangi Portugis dan berhasil mengalahkannya. Seusai perang, rupanya tentara Ottoman itu tidak kembali pulang tapi menetap dan menikah dengan penduduk setempat. Salah seorang anggota rombongan itu yang rupanya seorang ulama bernama Selahaddin (demikian tertulis di makamnya, mungkin menurut ejaan kita Salahuddin) yang oleh masyarakat Aceh dijuluki Tengku Di Bitay. Beliau mengajarkan agama Islam di mesjid di kampung itu. Bitay adalah nama kampung tersebut. Menurut cerita puteri dari bapak Abdul Aziz (yang lebih banyak berbicara) bahkan ketika Sultan Iskandar Muda masih remaja, beliau datang mengaji ke tempat Tengku Di Bitay.

Aku ditawari untuk melihat musium mini di komplek itu yang tentu saja aku terima. Di dalam musium itu ada lukisan Sultan Selim, lukisan kapal perang kesultanan Ottoman yang datang mebantu Aceh dilengkapi dengan catatan sejarah. Semua ini benar-benar merupakan informasi baru bagiku karena belum pernah aku mendengar sebelumnya.

Ketika Aceh berperang melawan Belanda di tahun 1873, sangat boleh jadi mereka kembali meminta bantuan Turki Ottoman. Hanya saja, kondisi kesultanan Ottoman pada tahun-tahun itu sudah tidak lagi perkasa.

Kami tinggalkan komplek pemakaman Bitay ketika hari sudah menjelang maghrib.

Malam itu kami berbincang-bincang di bawah pesawat Seulawah, yang sekarang menghiasi lapangan besar. Seulawah adalah pesawat pertama yang dimiliki pemerintah Indonesia, sumbangan masyarakat Aceh di awal kemerdekaan. Kami berdiskusi dalam cerita panjang tentang peperangan demi peperangan yang dilalui Aceh secara nyaris bekerkesinambungan dalam jangka waktu lebih dari seratus tahun. Semoga saja tidak ada lagi perang dan pertumpahan darah di bumi Serambi Mekah ini untuk masa mendatang.

Hari Sabtu tanggal 3 Mai, pagi kami bersiap-siap untuk meninggalkan Banda Aceh. Sempat juga kami dibawa berkeliling kota sebelum berangkat menuju Bandara, termasuk mengunjungi toko oleh-oleh, sebuah tempat wajib untuk dikunjungi istriku.

Jam satu siang kami sudah berada di Bandara. Pesawat Sriwijaya Air tepat waktu kali ini. Kami berangkat dari Bandara Sultan Iskandar Muda jam 13.40 menuju Jakarta melalui Medan.

*****