Thursday, April 30, 2009

DERAI-DERAI CINTA (17)

17. LALA

Lala bercita-cita masuk ITB. Seperti bang Imran. Bukan. Bukan hanya seperti bang Imran, tapi seperti banyak kakak kelas Lala yang sudah jadi mahasiswa ITB. Papa juga sangat ingin ada salah satu di antara mereka bersaudara yang masuk ITB. Seperti papa dulu. Sekarang harapan itu tinggal tergantung pada Lala. Kakak Lala yang paling tua, abang Lutfi adalah seorang dokter dari Fakultas Kedokteran Unpad. Kakaknya yang nomor dua, uni Lani saat ini masih melanjutkan kuliah lagi di Psikologi Unpad.

Begitu ujian akhir SMA selesai, Lala segera berangkat ke Bandung. Seperti teman-teman sekelasnya yang juga ingin melanjutkan sekolah disana. Semua berangkat sesegera mungkin untuk mempersiapkan diri melalui bimbingan belajar. ITB bagaikan sebuah magnit . Banyak sarjana teknik karyawan Caltex adalah alumni ITB. Sekarang anak-anak mereka ingin mengulang jejak.

Di Bandung mak dang Taufik mempunyai rumah di Sekeloa. Rumah yang dibeli mak dang ketika bang Lutfi mula-mula jadi mahasiswa Unpad. Sebuah rumah berukuran cukup besar dengan tiga buah kamar tidur. Mak dang sekeluarga biasa datang kesini kalau sedang cuti. Sebelum Lala datang, di rumah ini tinggal bang Lutfi dengan istrinya, teteh Yani dan uni Lani. Bang Lutfi baru saja menikah. Istrinya juga seorang dokter. Mereka sebenarnya sudah ingin pindah ke rumah mungil mereka di daerah Buah Batu tapi tidak tega meninggalkan uni Lani sendiri di rumah ini.

Bersama Lala ikut teman sekelasnya Yuni. Kedua remaja ini bersahabat karib sejak dari SD. Yuni ingin masuk fakultas kedokteran Unpad. Kalau dia diterima, Yuni rencananya akan ikut tinggal di rumah ini. Lala dan Yuni segera terlibat dengan kegiatan bimbingan belajar. Lala di bimbingan belajar Ganesa di Dago sementara Yuni ikut di jalan Dipati Ukur dekat Unpad. Jadwal belajar mereka tidak selalu sama.


***

Siang itu Lala cepat pulang karena pembimbing pelajaran fisika berhalangan. Jam dua belas kurang dia sudah sampai di rumah. Lala tadi bertemu bang Imran di dekat jalan Ganesa. Bang Imran turun dari oplet. Dia buru-buru mau berangkat kuliah. Lala minta bang Imran datang ke rumah. Bang Imran berjanji akan ke rumah nanti malam.

Uni Lani yang sibuk menyiapkan makalah tidak kemana-mana hari ini. Uni Lani selalu saja sibuk dengan makalah-makalah. Dengan seminar-seminar. Setiap makalah memerlukan daftar pustaka yang banyak. Buku-buku tebal psikologi bergeletakan di kamar dekat tempat tidurnya.

Lala dan uni Lani makan siang berdua saja. Sambil ngobrol santai.

‘Barusan aku ketemu bang Imran, un,’ Lala memulai cerita.

‘Dimana ?’

‘Di jalan Ganesa. Dia baru turun dari oplet dari arah bawah. Dia nggak lihat, lalu aku panggil.’

‘Nggak diajak kesini ?’

‘Dia mau kuliah, katanya.’

‘Dari mana dia naik oplet? Dia kan tinggal di Taman Sari.’

‘Nggak tau. Bang Imran jarang kesini, ya un ?’

‘Sekali-sekali banget.’

‘Pasti dia sibuk. Orangnya kan selalu sibuk. Sibuk berdagang.’

‘Ya. Dulu sama papa kan disuruh tinggal disini. Dia nggak mau. Imran sepertinya menjaga jarak dengan kita,’ kata Lani.

‘Mungkin nggak juga. Mungkin bukan karena menjaga jarak. Memang dia orangnya suka berdikari.’

‘Nggak tahulah. Tapi kelihatannya dia memang berbakat dagang. Dari sini dia mengirim kain ke Bukit Tinggi. Ibu temannya jadi pedagang disana.’

‘Dia cerita begitu?’

‘Ya. Ibunya Syahrul yang sama-sama tinggal dengan dia, punya toko baju di Bukit Tinggi. Syahrul sudah duluan tinggal di Bandung. Syahrul diminta ibunya mencari dan mengirim bahan tekstil dari sini, ternyata nggak jalan. Dia nggak berbakat dagang. Sama Imran hal itu ditangani dengan baik. Dia rutin mengirim tekstil dalam jumlah cukup besar ke Bukit Tinggi.’

‘Hebat. Dulu waktu SMA dia berdagang beras. Ada temannya punya toko beras di Pakan Baru. Bang Imran mengirim beras dari Bukit Tinggi.’

‘Ya. Uni pernah dengar cerita itu dari dia. Makanya dulu dia nggak mau diajak papa tinggal dan bersekolah SMA di Rumbai.’

‘Dia membiayai hidupnya sendiri sejak dari SMA. Bang Imran itu memang serba bisa.’

‘Memang. Dan pintar masak juga.’

‘Kok uni tahu ?’

‘Dia pernah memasak disini. Membuat gulai tunjang. Disuruh abang. Dan memang enak. Abang mengajaknya membuat restoran. Dia bilang, mengurus restoran itu berhabis hari.’

‘Oh, ya? Memangnya abang serius mengajak membuat restoran?’

‘Nggak juga. Tapi saking enaknya gulai tunjang Kapau yang dibuatnya, kata abang sayang kepandaian memasak sehebat itu tidak dibisniskan.’

‘Kalau begitu, entar aku mau minta dibikinin gulai tunjang lagi ah.’

‘Coba aja kapan-kapan dia datang kesini.’

‘Ntar malam dia kesini.’

‘Tadi kamu suruh dia datang ?’

‘Ya. Katanya entar abis magrib dia kesini.’

Kakak beradik itu meneruskan diskusi santai mereka di meja makan.

‘Prestasi sekolah si Imran juga bagus. Dia memang pintar,’ kata Lani.

‘Dia yang cerita?’

‘Dia bercerita waktu ditanya papa. Waktu papa datang, papa menyuruh Imran datang kesini. Papa bertanya bagaimana kemajuan kuliahnya. Katanya lumayan bagus. Tidak pernah mengulang mata kuliah. Papa menyuruh dia mengajukan permohonan beasiswa dari Caltex.’

‘Oh ya. Papa pernah cerita. Dia dapat beasiswa Caltex.’

‘Sebelumnya papa menanyakan berapa biaya hidup disini dan dari mana dapat uang. Waktu itu dia bercerita tentang perdagangan tekstil. Penghasilannya kayaknya lumayan juga. Papa terkagum-kagum waktu mendengar ceritanya.’

‘Lalu buat apa lagi minta beasiswa?’

‘Tadinya secara tidak langsung dia mengatakan seperti itu pula. Dia sanggup membiayai kuliahnya tanpa beasiswa. Duit awak untuk hidup sederhana cukup saja, mak dang, katanya dengan logat kampungnya yang khas. Tapi kata papa, beasiswa itu adalah hadiah dari suatu prestasi. Tidak semua orang berkesempatan dapat beasiswa.’

‘He..he.. Bang Imran kalau berbicara dengan papa memang sangat medok sekali. Berbahasa Minang totok. Bahasa kampung.’

‘Ya. Sama kayak papa juga. Kalau papa ngobrol dengan saudara-saudaranya, semua sangat totok.

‘Ngomong-ngomong, bang Imran itu punya pacar nggak un?’

‘Hah? Kenapa kamu nanya itu?’

‘Orang sesibuk dia sempat nggak berpikir tantang punya pacar?’

‘Uni nggak tahu. Nggak pernah nanya. Coba aja kamu tanya.’

‘Kan bisa ketahuan. Anak laki-laki kan suka pamer kalau punya pacar.’

‘Nggak tahu. Lagian dia jarang datang kesini.’

‘Pernah nginap disini?’

‘Pernah. Kalau papa disini, sama papa disuruh nginap. Ngobrolnya sama papa kan biasanya berlarut-larut. Waktu datang selain itu juga pernah disuruh abang nginap dan dia mau.’

‘Aku kagum, lho sama bang Imran itu.’

‘Kagum apa naksir?’

‘Lho. Sama saudara kok naksir?’

‘Kali-kali aja.’

‘Memang boleh aku naksir dia?’

‘Jadi beneran nih naksir?’

‘Aku ingat. Mama dulu setengah mengusir bang Imran karena takut aku akan berpacaran sama dia.’

‘Mama setengah mengusir dia? Kok kamu tahu?’

‘Aku mendengar papa dan mama bertengkar di kamar. Mama sorenya habis memarahi bang Imran gara-gara nggak pamit waktu pergi ke Pakan Baru. Pada hal waktu dia pergi mama nggak di rumah dan dia sudah pamit ke nenek. Sorenya mama marah-marah. Sampai waktu makan malam mama masih marah di depan papa. Habis tu papa dan mama bertengkar.’

‘Apa hubungannya dengan kamu ?’

‘Ya itu. Kata mama, mama nggak suka bang Imran tinggal di Rumbai, takut nanti dia pacaran sama aku. Mama memang ada-ada saja. Akhirnya, gitu deh. Nenek dan bang Imran balik lagi ke kampung.’

‘Mama bilang ke Imran bahwa mama nggak mau dia tinggal di Rumbai?’

‘Nggak sih. Nenek waktu itu tersinggung. Gara-gara apa ya? Pokoknya nenek tiba-tiba minta pulang. Bang Imran juga minta pulang. Sama papa ditanya, apa alasannya mau pulang. Apa rencananya setelah di kampung. Waktu itu dia cerita tentang rencananya berdagang beras. Kebetulan waktu papa ngobrol sama bang Imran aku juga ikut mendengar. Begitu deh.’

‘Heboh juga ceritanya.’

‘Biasalah mama. Pikiran mama kan suka sensasional.’


*****

Wednesday, April 29, 2009

DERAI-DERAI CINTA (16)

16. LIMA TAHUN KEMUDIAN

Waktu berjalan seperti merayap. Padahal sebenarnya waktu melesat dengan kecepatan tetap tapi pasti dalam sebuah keteraturan. Hari berbilang hari. Minggu berganti minggu. Bulan dan tahun berganti dengan tertib. Berlalu, merayap dengan irama tetap dan terukur. Tiga tahun Imran bersekolah di SMA di Bukit Tinggi. Dengan rutinitas hidup yang hampir seragam. Dengan pembagian waktu yang sangat ketat. Hari demi hari dirangkainya sambung menyambung. Di antara kayuhan sepeda antara kampung dan sekolah. Kayuhan sepeda dari heler yang satu ke heler yang lain. Membuat tubuhnya semakin atletis dan liat. Pada hari-hari tertentu disempatkannya menumpang truk pengangkut beras ke Pakan Baru. Dalam sebuah perjalanan pulang pergi tanpa menginap disana. Menggeluti perdagangan beras dengan mak Bahdar si pemilik toko beras di kota itu. Perdagangan yang memberinya keuntungan.

Seperti halnya mak Bahdar yang tidak berniat memperbesar tokonya, hanya mencukupkan apa adanya sejak bertahun-tahun yang lalu, demikian pula halnya dengan perdagangan Imran. Dia mengatur agar tidak kehabisan modal, lalu dapat untung sedikit untuk biaya sekolah. Bukan hanya untuk biaya sekolah di SMA tapi sebagian ditabungnya untuk nanti berangkat ke pulau Jawa begitu selesai SMA. Dia bercita-cita melanjutkan pendidikannya nanti ke ITB di Bandung.

Tiga tahun di SMA dilaluinya dengan cepat. Prestasi belajarnya sangat lumayan karena Imran memang cerdas. Dia menjadi kesayangan guru-guru karena kesopanan dan kecerdasannya. Ditambah lagi karena guru-guru tahu bahwa Imran adalah seorang yatim piatu yang bekerja sendiri membiayai hidup dan pendidikannya. Banyak guru yang bersimpati kepadanya. Guru favorit Imran dan juga yang paling sayang kepadanya adalah pak Mukhtar, guru fisika.

Selama sekolah di SMA dia tinggal bersama nenek di kampung. Nenek sangat sayang kepadanya begitu pula sebaliknya. Alhamdulillah selama itu kesehatan nenek baik-baik saja. Nenek hanya sekali meninggalkannya sendirian di kampung waktu beliau pergi ke Jakarta selama sebulan. Ketika itu tek Munah anak beliau di rawat di rumah sakit. Tidak ada masalah bagi Imran selama kepergian beliau itu. Imran sudah sangat biasa mengurus dirinya sendiri.

Kerja keras selama tiga tahun membuahkan hasil. Sekarang ijazah SMA sudah di tangannya. Imran bersiap-siap untuk pergi menyeberang ke pulau Jawa. Dia akan mencoba mengetuk pintu ITB. Tidak mudah, dia tahu itu. Namun harus dicoba. Mak dang Taufik berjanji akan menyokong biaya pendidikannya kalau Imran memerlukan. Tapi dia bertekad akan bekerja keras, entah dengan cara bagaimana, untuk membiayai dirinya sendiri. Hal yang sudah dibuktikannya selama bersekolah di SMA. Imran sangat percaya diri bahwa kali inipun dia akan mampu.

Imran berangkat bersama-sama dengan nenek dan mak etek Nursal dari kampung. Di Jakarta dia hanya mampir dua hari di rumah mak tuo Fatma. Mak tuo Fatma adalah anak perempuan nenek Piah, adik mak dang Taufik. Anak perempuan beliau yang satu lagi adalah etek Munah. Imran dibawa mak etek Nursal berkunjung ke rumah etek Munah yang tinggal cukup jauh dari tempat mak tuo Fatma.

Rizal anak mak tuo Fatma yang paling kecil seumur dengan Imran. Dia juga baru lulus SMA dan ingin melanjutkan sekolahnya ke fakultas Ekonomi. Rizal sudah dua kali pulang ke kampung. Imran sangat akrab dengan Rizal.

Imran hanya dua hari di Jakarta. Dia minta ijin untuk terus ke Bandung. Ke kota tempat terletak ITB. Disana dia akan mengikuti bimbingan belajar. Rizal mengajak Imran ikut bimbingan belajar di Jakarta tapi Imran ingin mengikutinya di Bandung.

Bandung sering disebut kota Kembang atau yang dijuluki juga Paris van Java. Bandung adalah kota mahasiswa. Kota tempat menuntut ilmu. Banyak perguruan tinggi disini. Yang negeri maupun swasta. Udaranya sejuk, mirip dengan Bukit Tinggi. Imran dapat menyesuaikan diri dengan sangat mudah di kota ini.

Di Bandung dia tinggal bersama Syahrul, kakak kelasnya di SMA. Syahrul adalah anak pak Mukhtar, guru fisika di SMA. Pak guru yang sangat menyayangi Imran itu menyuruhnya tinggal bersama Syahrul di Taman Sari. Syahrul yang sudah mahasiswa ITB mengontrak sebuah kamar kecil disitu. Sangat pas-pasan untuk ditempati berdua. Lingkungan itu adalah lingkungan mahasiswa perantau yang tinggal mengontrak kamar-kamar kecil. Mahasiswa yang tinggal disini datang dari berbagai pelosok tanah air. Mereka kuliah di berbagai perguruan tinggi di Bandung.

Kedua anak muda itu ternyata cocok. Sebelumnya Syahrul sering mendengar dari ayahnya tentang kemandirian Imran. Syahrul sangat bersimpati kepada Imran. Setelah tinggal bersama-sama terlihat bahwa Imran memang lebih cekatan. Dia memasak sendiri untuk mereka berdua. Jauh lebih irit dari makan di warung atau merantang, kata Imran. Dan tentu saja lebih enak.

Imran bekerja keras mempersiapkan diri untuk melalui ujian saringan masuk ITB. Dia belajar sampai jauh malam. Diikutinya bimbingan belajar di Mesjid Salman ITB. Di rumah dia banyak pula belajar dengan Syahrul. Syahrul adalah guru bimbingan belajar untuk murid-murid SMA. Seorang ‘guru’ yang pintar dan efisien. Mudah menangkap apa-apa yang diterangkannya.

Akhirnya ujian saringan masuk itu dilaluinya. Usaha sudah. Ujian sudah. Tinggal sekarang doa dan kesabaran sambil menunggu hasilnya. Selama masa menunggu pengumuman hasil ujian, Imran melakukan survai perdagangan tekstil. Sebelum berangkat dari Bukit Tinggi, pak Mukhtar menyuruhnya mempelajari pasar tekstil untuk dikirim ke Bukit Tinggi. Hal yang pernah disuruh lakukan pak Mukhtar kepada Syahrul tapi dia tidak berhasil. Syahrul tidak sedikitpun tertarik dengan dunia dagang.

Imran segera menemukan mata rantai itu. Didatanginya pabrik tekstil. Dibelinya beberapa contoh kain untuk dikirimkan ke Bukit Tinggi. Istri pak Mukhtar mempunyai toko kain di pasar atas. Dan mulailah berjalan perdagangan itu.

Pengumuman penerimaan mahasiswa baru keluar. Alhamdulillah, ternyata Imran lulus. Dia diterima di bagian Geologi. Dijalaninya kuliah itu dengan tekun. Dunia mahasiswa jauh lebih asyik dari dunia SMA. Mahasiswa dituntut untuk mengatur waktu seefisien mungkin. Membagi antara waktu kuliah, waktu praktikum, waktu belajar di perpustakaan, waktu membuat laporan, waktu belajar di rumah. Dan bagi Imran ditambah pula dengan waktu mengurus barang dagangan. Dia mengatur waktu dengan sangat baik.

Demikianlah, waktu berjalan pula selama dua tahun lagi. Ditengah kesibukan kegiatan kuliah. Cepat sekali rasanya waktu itu berlalu. Tahu-tahu sudah selesai lagi sebuah semester. Ada liburan di ujung setiap semester. Pada waktu libur Imran pergi ke Jakarta mengunjungi keluarga mak tuo Fatma dan etek Munah. Nenek Piah lebih banyak tinggal di Jakarta akhir-akhir ini. Beliau sudah semakin tua. Anak-anak perempuan beliau, menahan beliau di Jakarta. Mungkin juga beliau tidak terlalu betah lagi tinggal di kampung sejak Imran sudah tidak lagi bersama beliau. Nenek sangat senang setiap kali Imran datang berkunjung.


***

Imran bertemu Lala di rumah mak tuo Fatma waktu dia sedang di Jakarta. Sudah lama mereka tidak bertemu. Waktu masih SMA dulu Imran pernah mampir beberapa kali ke rumah mak dang di Rumbai. Lala sudah akan jadi mahasiswa pula. Dia ingin pula masuk ITB. Lala sangat senang bertemu Imran. Dia sangat mengagumi Imran. Bagi Lala Imran adalah sosok yang sangat istimewa. Seorang yang sangat ulet dan ternyata juga pintar. Dan sekarang sangat tampan.

Imran sekarang sangat berbeda dengan yang dulu dikenalnya beberapa hari di Rumbai. Sekarang Imran adalah sosok yang sangat dewasa dan percaya diri. Bahasanya santun tapi berwibawa. Pengetahuannya luas. Intonasi bicaranya tidak lagi ‘totok’ seperti dulu. Berbicara dengannya sangat menyenangkan. Lala banyak bertanya tentang persiapan menghadapi ujian saringan masuk ke ITB. Imran memberi saran sesuai dengan pengalaman dan pengetahuannya.

Lala akan tinggal bersama kakak-kakaknya di Sekeloa di Bandung. Dulu mak dang pernah menawari Imran untuk tinggal bersama-sama di rumah itu. Tawaran yang ditolak Imran dengan sopan.

***

Imran tinggal beberapa hari di Jakarta. Kalau di Jakarta dia memang lebih senang di rumah mak tuo Fatma karena disini ada sepupunya Rizal yang kuliah di Fakultas Ekonomi UI. Keduanya seumur. Imran sangat cocok dengan Rizal. Cocok sejak masih kecil dulu, ketika Rizal pernah pulang ke kampung. Mereka bermain ke sawah mencari belut. Rizal selalu mengingat kenangan masa kanak-kanak itu. Di Jakarta Rizal yang membawanya menerukai kota yang luas ini. Mereka berkeliling Jakarta naik bus kota.

Nenek lebih banyak tinggal di rumah tek Munah. Imran sering berkunjung kesitu untuk melihat beliau. Nenek sangat sehat. Nenek sangat senang setiap kali dikunjungi Imran. Ada-ada saja yang akan beliau ceritakan. Beliau menyayangi semua cucu-cucu, tapi sayangnya kepada Imran berbeda. Imran sering jadi buah bibir nenek kalau bercerita dengan cucu beliau yang lain. ‘Kalian tiru itu si Imran. Dia tekun, pekerja keras, pintar,’ begitu selalu kata beliau.

Baik di rumah mak tuo Fatma maupun di rumah tek Munah, Imran benar-benar merasa seperti di rumah orang tua sendiri. Beliau-beliau itu memperlakukannya seperti anak sendiri dengan sangat tulus. Dalam kekerabatan Minangkabau asli. Dan Imran sangat pandai membawa diri.

Setelah masa libur selesai, Imran kembali lagi ke Bandung. Meneruskan perjuangannya. Dan perdagangannya.


*****

DERAI-DERAI CINTA (15)

15. BALIK KAMPUNG

Seperti keputusan nenek yang tidak bisa ditawar sedikitpun, nenek dan Imran akan kembali ke kampung. Mak dang tidak bisa berkutik. Kalau nenek sudah mengambil keputusan tidak ada ceritanya beliau menariknya kembali. Mak dang tahu betul itu. Karena pernah kejadian, nenek mengatakan akan pulang, mak dang berusaha mengulur-ulur waktu, lalu nenek berangkat sendiri. Beliau angkat koper kecil beliau sendiri. Naik oplet ke terminal bus di Pakan Baru sendiri. Terus pulang ke kampung. Mak dang tergopoh-gopoh menyusul beliau ke kampung untuk minta maaf.

Mak dang bukannya tidak menasihati tante Ratna agar bersikap lebih santun kepada nenek. Agar pandai-pandai mengambil hati beliau. Tante Ratna bukan tidak berusaha mematuhinya. Tapi selalu saja terjadi lagi hal-hal yang menyebabkan nenek tersinggung.

Sampai saat terakhir mak dang masih mencoba menahan Imran agar mau bersekolah dan tinggal di Rumbai. Imran tidak berubah. Dia sudah menyusun rencana kerjanya sendiri. Dia harus mandiri. Kalau dia tinggal dengan keluarga mak dang, disamping beresiko mengganggu ketenteraman rumah tangga beliau, juga akan menjadikan pribadinya kerdil. Akan menjadikan dirinya ikut-ikutan manja. Imran merasa tidak pantas untuk hidup di lingkungan seperti ini.

Tadi malam mak dang dan Imran berbincang-bincang sesudah makan. Mak dang akhirnya menyerah. Rupanya Imran tidak hanya bermodal nekad. Dia punya rencana yang masuk akal untuk dicoba. Bahkan dia sudah merintis jalan untuk usahanya itu dalam beberapa hari terakhir.

‘Sebegitu keras hatimu mau kembali pulang, apa kira-kira rencanamu sesungguhnya Ran?’ tanya mak dang.

‘Menjelang masuk sekolah awak akan berdagang, mak dang,’ jawab Imran.

‘Selama dua bulan ini? Apa yang akan engkau perdagangkan? Pisang?’

‘Ya, mak dang selama dua bulan ini. Awak akan berjualan beras. Akan awak beli beras di Bukit Tinggi, awak bawa ke Pakan Baru. Mak Bahdar kenalan awak di pasar Pakan Baru bersedia menampungnya,’ jawab Imran.

‘Berjualan beras? Berjualan beras itu memerlukan modal. Modal yang cukup besar. Apakah kau akan berhutang dulu kepada penjual di Bukit Tinggi? Siapa yang akan mau menghutangimu disana?’

‘Insya Allah tidak berhutang mak dang. Awak diberi tahu mak Bahdar untuk membeli beras di mesin giling. Pemilik mesin giling di sekitar Bukit Tinggi biasa menjual beras mereka ke pedagang beras Pakan Baru. Akan awak hubungi heler di sekitar kampung. Awak beli berasnya. Modal adalah sedikit mak dang. Almarhumah ibu meninggalkan sebuah rupiah emas. Itu yang akan awak jadikan modal,’ jawab Imran rinci.

Mak dang terdiam. Anak ini rupanya tidak main-main.

‘Lalu dengan apa beras itu akan dibawa kemari?’

‘Awak sudah berkenalan dengan sopir truk pengangkut beras. Truk itu membawa beras beberapa orang pedagang. Jarang sekali seorang pedagang menyewa satu truk sendiri. Pemilik-pemilik beras itu ada yang ikut dengan truk mengawal berasnya, ada yang menitipkan saja ke sopir truk. Yang terakhir ini biasanya orang yang sudah punya langganan penampung di Pakan Baru. Kalau nanti awak mendapatkan seribu kilo beras, akan awak kawal sendiri beras itu kesini, mak dang.’

Mak dang mengangguk-angguk.

‘Uang satu rupiah emas itu bisa untuk membeli seribu kilo beras?’ tanya mak dang.

‘Lebih kurang, mak dang. Lebih kurang sebanyak itu. Sudah termasuk untuk ongkos angkut,’ jawab Imran.

‘Tidak takut kau akan gagal?’

‘Akan awak mulai dengan bismillah, mak dang.’

‘Lalu dimana kau akan bersekolah?’

‘Akan awak coba mendaftar di SMA Bukit Tinggi.’

‘Dan tinggal di kampung?’

‘Iya, mak dang. Kalau awak diterima, awak berulang dari kampung dengan sepeda.’

Mak dang kembali mengangguk-angguk. Kelihatannya beliau cukup puas mendengar rencana Imran.

Lala mendengar obrolan itu dari tempat dia belajar. Lala kagum mendengar. Walaupun masih remaja, bang Imran ini punya keberanian dan rencana yang matang. Dia sudah mempelajari dan menyiapkan langkah yang akan ditempuhnya.

‘Lalu? Kalau kau datang ke Pakan Baru membawa beras. Apakah kau pulang lagi ke kampung di hari yang sama ?’ tanya mak dang lagi.

‘Kalau harga beras dibayar tunai, awak segera balik lagi mak dang.’

‘Kalau tidak?’

‘Terpaksa awak tunggu. Mungkin sehari dua.’

‘Kalau sampai menunggu, kau kesini nanti ya?’

‘Baik, mak dang.’

‘Tentang rupiah emas peninggalan ibumu itu. Kau bawa kesini?’

‘Awak bawa. Awak simpan di dalam tas.’

‘Hanya sebuah rupiah itu saja peninggalan ibu?’

‘Ada sebuah cincin dan sebuah kalung lagi. Hanya itu,’ jawab Imran.

‘Semua kau bawa?’

‘Iya, mak dang.’

‘Bagaimana kalau mak dang beli rupiah emasmu itu? Lalu uangnya mak dang kirimkan melalui bank? Dari pada kau bawa-bawa seperti itu, penuh resiko.’

‘Boleh saja, mak dang.’

‘Pergilah ambil!’ kata mak dang.

Imran mengambil barang emas itu di kamar dan menyerahkannya kepada mak dang.

‘Kau tahu berapa harganya?’

‘Tidak tahu, mak dang.’

‘Besok kita tanyakan di toko emas. Baik, rupiah emas ini mak dang ambil. Uangnya mak dang kirim melalui bank BNI di Bukit Tinggi. Sebaiknya kau buka tabungan di bank itu. Cincin dan kalung ini kau simpan baik-baik.’

‘Ya, mak dang,’ jawab Imran.

‘Baiklah. Mak dang setuju kau mencoba belajar berdagang. Lakukanlah dengan hati-hati. Mak dang akan membantumu nanti jika diperlukan,’ kata mak dang menyudahi perbincangan mereka.

***

Mak dang ikut mengantar nenek ke kampung kali ini. Hari Sabtu pagi mereka berangkat dari Rumbai. Tante Ratna menangis waktu minta maaf sama nenek. Dan beliau juga minta maaf kepada Imran.

Lala juga sedih. Lala tahu betul kenapa nenek tiba-tiba minta pulang. Pasti karena tersinggung oleh mama lagi. Jelas mama yang salah. Mama tidak bisa sabar. Iyalah, mama marah bang Imran pergi tanpa pamit. Lalu nenek menengahi, bang Imran sudah pamit ke nenek ketika mama sedang tidak di rumah. Harusnya kan tidak ada masalah. Tapi mama bukannya menerima, malahan membantah nenek dengan kata-kata tentang peraturan di rumah ini. Apa salahnya sih, seandainya mama diam saja ?

Dan bang Imran. Lala sangat bersimpati kepadanya. Bang Imran itu penyabar, sopan dan taat dengan shalat. Kalau saja bang Imran sekolah di Rumbai, Lala akan senang sekali. Lala sudah terlanjur memperkenalkannya kepada teman-temannya sebagai kakak sepupunya dari kampung yang akan masuk SMA Rumbai. Ternyata mama bersikap aneh. Mama tidak suka dengan bang Imran. Entah apa alasan mama sebenarnya.

Tadi malam Lala mendengar obrolan papa sama bang Imran. Mudah-mudahan usaha yang direncanakannya itu berhasil.


***

Monday, April 27, 2009

DERAI-DERAI CINTA (14)

14. PAMIT MUNDUR

Suasana jadi agak kaku di meja makan pagi itu. Seperti biasa, mak dang buru-buru ketika sarapan. Nenek seperti tidak ada nafsu makan. Begitu juga dengan Imran. Mak dang melihat keduanya dengan sudut mata.

‘Kok tidak bersemangat mak makan?‘ tanya mak dang memecah kesunyian.

‘Ndak apa-apa,’ jawab nenek.

‘Makanlah, mak. Nanti sakit perut mak,’ kata tante Ratna.

Nenek diam saja.

‘Kamu ke Pakan Baru hari ini, Ran ?’ tanya mak dang pula.

‘Tidak mak dang. Awak di rumah saja,’ jawab Imran.

‘Kamu juga. Kenapa sedikit sekali makan?’ tanya mak dang lagi.

‘Tidak apa-apa, mak dang.’

Mak dang juga sudah selesai makan dan bersiap mau berangkat ke kantor.

‘Taufik! Mak mau pulang,’ kata nenek, ketika mak dang baru mau berdiri.

Mak dang tidak jadi berdiri. Pasti beliau kaget mendengar kata-kata nenek.

‘Kenapa mak? Bagaimana mak mau pulang?’

‘Sudah cukup pula waktu mak disini. Sekarang mak mau pulang,’ jawab nenek.

‘Bagaimana mak mau pulang? Keadaan di kampung sedang centang parenang begitu?’

‘Tidak apa-apa. Biar sekalian mak urus semua yang rusak dan kacau balau itu. Mak cari tukang. Diupah orang mengurus dan membersihkan sawah.’

‘Tidak usahlah, mak. Dulu kan sudah dijanjikan si Nursal dan si Tamrin bahwa mereka yang akan mengurusnya di kampung. Mak disini saja dulu.‘

‘Mak tidak akan banyak cakap, Taufik. Mak akan menyuruh si Imran membeli karcis bus ke Pakan Baru hari ini. Mak akan pulang.’

‘Nantilah, mak. Nanti malamlah kita bicarakan lagi. Pergilah ambo ke kantor dulu,’ kata mak dang.

Mak dang tahu betul bagaimana kerasnya nenek.

‘Baik, kalau memang masih ada yang ingin kau bicarakan. Urusan mak mau pulang tidak ada lagi yang perlu dibincangkan.’

‘Janganlah begitu, mak. Kan kasihan pula si Imran. Mak temanilah dia dulu paling tidak sampai dia mulai bersekolah.’

‘Kau tanyalah dimana dia mau bersekolah.’

‘Kau akan bersekolah disini kan, Imran ?’

‘Maaf mak dang. Awak rasa.........’

‘Aaaaah, sudahlah! Nantilah kita bicarakan lagi.’

Mak dang berdiri. Beliau berpamitan dengan mak mau berangkat ke kantor. Tante Ratna dan Lala hanya bisa diam. Mata Lala terlihat berlinang oleh air mata.


***

Kenyamanan adalah ketenangan hati. Kenyamanan ternyata tidak dipengaruhi oleh cuaca buatan. Tidak dipengaruhi oleh kesejukan ruangan ber AC. Ruangan di rumah ini dingin dan sejuk karena pendingin udara. Tapi tidak nyaman sedikit juga terasa oleh nenek. Beliau tersinggung. Sebagai orang tua, sebagai mertua, sebagai nenek-nenek beliau merasa dilecehkan.

Beliau merasa kehadiran beliau di rumah ini tidak diinginkan. Nenek sebenarnya bukanlah orang tua yang sulit. Beliau bukan seorang mertua yang cerewet, yang suka ikut campur urusan anak dan menantu. Namun dalam kesederhanaan itu beliau mempunyai harga diri. Harga diri perempuan. Harga diri perempuan tua Minang.

Tante Ratna, istri mak dang adalah orang yang suka ceplas-ceplos, seperti yang beliau katakan sendiri. Kalau ada yang terasa di hati beliau sampaikan tanpa basa-basi. Tanpa berpikir panjang. Memang kadang-kadang terasa menyakitkan bagi orang yang tidak terbiasa dengan cara-cara seperti itu. Disini awal ketidak serasian antara tante Ratna dengan nenek. Nenek orang kampung, orang yang sangat ketat dengan adat sopan santun. Bagi nenek, berbicara itu ada etikanya. Bagaimana berbicara dengan orang yang lebih tua, berbicara dengan suami, berbicara dengan yang lebih muda. Tidak bisa semua disamaratakan saja.

Nenek lebih banyak berada di kamar. Mau ke dapur, dilarang tante Ratna. Berbicara dengan Sri, dikomentari tante Ratna sebagai sesuatu yang tidak perlu. Nanti bisa membuat Sri besar kepala kalau terlalu berakrab-akrab dengannya. Jadi tidak tahu apa lagi yang bisa dikerjakan nenek. Tante Ratna sekali-sekali mengajak nenek berbincang-bincang. Tapi sering berakhir dengan ketidak senangan nenek. Terutama kalau tante Ratna mengatakan, tidak bisa begitu dong, mak. Bagi nenek kata-kata seperti ini menyakitkan hati.



***

Pulang dari kantor mak dang tidak kemana-mana sore itu. Beliau mencari nenek yang sedang berada di kamar dengan Imran.

‘Sedang apa mak? Bagaimana kalau kita pergi berjalan-jalan sore ini, mak?’

‘Tidak usahlah. Sudah terlalu petang,’ jawab nenek.

‘Apa saja kerja, mak? Di kamar saja seharian?’

‘Apa lagi yang akan dikerjakan? Di rumah ini tidak banyak yang boleh mak kerjakan,’ jawab nenek terus terang.

Mak dang mengerti apa yang dimaksud nenek.

‘Tidak ada mak pergi berjalan-jalan di dekat-dekat sini?’

‘Berjalan kemana?’

‘Maksud ambo, kalau di kamar terus kan bisa pusing kepala, mak. Kan bisa juga mak pergi melemaskan otot berjalan-jalan di depan rumah sana. Tidak ada kau ajak nenek berjalan-jalan, Ran?’ tanya mak dang.

‘Pernah mak, dang. Kami berjalan ke arah sekolah Lala sore-sore dua hari yang lalu. Tapi tidak jauh-jauh,’ jawab Imran.

‘Iyalah. Hitung-hitung untuk olah raga. Marilah kita ke luar duduk, mak. Sambil minum teh,’ ajak mak dang.

‘Sebelum cerita berpanjang-panjang, mak dan Imran akan pulang hari Sabtu ini. Tiga hari lagi. Kalau kau belikan karcis bus, alhamdulillah. Kalau tak kau belikan, uang mak ada untuk membelinya,’ kata-kata nenek keluar dengan tegas.

Mak dang tidak segera menjawab. Beliau menarik nafas dalam-dalam.

‘Kenapa rupanya, mak? Mak tersinggung lagi?’

‘Syukurlah kalau kau tahu mak tersinggung,’ jawab nenek.

‘Mak! Si Ratna itu, kalaupun mulutnya kasar, hatinya tidaklah seperti itu mak.’

‘Itu urusan kaulah Taufik. Mak tidak pernah dan tidak akan pernah ikut campur urusan kau dengan rumah tanggamu.’

‘Bagaimana mak akan tinggal di kampung sementara keadaan sedang hancur begitu. Mak tunggulah sampai kondisi kampung jadi lebih baik dulu.’

‘Tidak apa-apa. Biar mak saksikan dan mak urus apa-apa yang perlu diurus di kampung sana.’

‘Tadi ambo telepon si Fatmah di Jakarta. Dia tidak setuju kalau mak tinggal di kampung sementara ini. Ditawarinya mak untuk datang ke Jakarta. Kalau pendapat ambo, disini mak agak sebulan dua, nanti sesudah itu mak ke Jakarta pula ke tempat si Fatmah dan si Munah. Urusan kampung kita serahkan saja dulu kepada si Tamrin dan si Nursal.’

‘Tidak. Pikiran mak sudah bulat. Mak akan pulang ke kampung. Kalau mak mau, nanti dari kampung mak pergi ke Jakarta,’ jawab nenek.

Mak dang tidak bisa lagi berbicara. Beliau tahu betul watak nenek. Kalau beliau sudah memutuskan sesuatu, pantang bagi beliau berbalik surut.

Semua terdiam. Sunyi untuk beberapa saat.

‘Sedang kau Imran? Bagaimana?’ tanya mak dang.

‘Biarlah awak sekolah di kampung saja mak dang.’

‘Kenapa tidak mau kau sekolah disini?’

‘Tidak usahlah mak dang. Biarlah di kampung saja.’

‘Bagaimana kau akan bersekolah di kampung? Kampung kita masih diselimuti kehancuran? Dulu kau berusaha menjual pisang, sekarang tidak ada lagi pisang yang tumbuh. Sawah-sawah kita gagal dipanen. Bagaimana kau akan hidup di kampung?’

‘Insya Allah nanti ada saja jalan, mak dang. Biarlah awak di kampung saja.’

‘Kau marah pada mak tuo Ratna? Kau tersinggung?’

‘Tidak mak dang. Awak tidak tersinggung,’ jawab Imran.

‘Mak dang ingin kau disini. Bersekolah disini. Mak dang akan membiayai sekolahmu sampai nanti kau masuk perguruan tinggi. Kau tidak tertarik ?’

‘Terima kasih mak dang. Awak minta maaf, biarlah awak pulang ke kampung saja.’

‘Kau ternyata juga keras hati. Begini sajalah. Mak dang anjurkan kau berpikir panjang agak beberapa hari ini. Berdoa kepada Allah minta petunjuk. Sebelum kau benar-benar memutuskan untuk balik lagi ke kampung.’

Imran tidak menjawab. Mak dang menarik nafas dalam-dalam sambil menerawang ke langit-langit. Entah apa yang beliau pikirkan. Kembali sepi.


*****

Sunday, April 26, 2009

DERAI-DERAI CINTA (13)

13. PERTENGKARAN

Lamat-lamat terdengar pertengkaran di kamar mama. Lala sengaja mendengar dari ruang tengah. Dia berusaha untuk mendengarkan baik-baik.

....................

‘Mama nggak suka dengan Imran ada disini.’

‘Alasannya apa? Alasan yang masuk di akal? Dia itu kemenakan papa.’

‘Dia kan bukan kemenakan kandung papa.’

‘Dia itu kemenakan papa. Secara adat Minang dia kemenakan papa.’

‘Mama kan juga orang Minang. Tapi harusnya tidak begitu-begitu amat berkemenakan.‘

‘Tidak bisa. Kami ini orang kampung. Di kampung kepedulian kami terhadap saudara dan kemenakan memang demikian. Papa berasal dari lingkungan yang saling perduli seperti itu. Imran itu kemenakan papa. Dia itu cucu mak. Tidak lihat bagaimana dia menghormati mak? Karena membantu mak dia tinggal ibunya dan waktu itu ibu kandungnya ditimpa bencana.’

‘Jadi karena itu papa mau membalas budi?’

‘Ya Allah.... Bukan karena mau membalas budi. Bukan hanya karena itu dia papa bawa kesini. Dia anak yatim piatu. Kampung dilanda musibah. Masak mama tidak memahami semua itu? Masak kita tidak punya rasa peri kemanusiaan sedikit juga?’

‘Tapi papa tidak melihat resiko yang bisa timbul dengan keberadaannya disini.’

‘Resiko apa? Dia itu bukan orang jahat. Dia anak baik-baik yang tahu sopan santun. Yang tahu diri. Mama jangan mengada-ada memburuk-burukkannya.’

‘Mama tidak mengada-ada. Wanita itu firasatnya halus. Mama sudah melihat gelagat. Lala memberikan perhatian berlebihan kepada Imran. Lala nanti akan jatuh cinta kepada Imran. Mereka akan berpacaran disini. Di rumah ini. Di belakang kita.’

Lala tersentak kaget. Kok mama berpikiran seperti itu.

‘Masya Allah........ Mama benar-benar keterlaluan. Mama benar-benar mengada-ada. Lala itu kan masih anak-anak? Lala memperlakukan Imran seperti abangnya, karena dia tahu Imran kemenakan papa. Karena dia tahu papa yang membawa Imran kesini. Anak kita justru anak yang sopan. Yang tahu tata krama. Pikiran mama benar-benar absurd. Benar-benar tidak masuk di akal.’

‘Terserah papa mau mengatakan apa saja. Mama telah memperhatikannya. Mama yakin keberadaan Imran disini akan berpengaruh buruk kepada Lala.’

‘Tidak baik berprasangka buruk seperti itu. Kita kan bisa saja menasihati Lala seandainya memang ada hal-hal yang tidak wajar di antara mereka. Mama berpikirlah yang jernih.’

‘Mama justru berpikir jernih, pa. Sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, lebih baik kita berhati-hati.’

‘Tidak. Itu tidak benar. Papa tidak setuju.’

‘Terserah papa. Papa kan memang yang berkuasa. Kepala rumah tangga ini. Mama hanya ingin papa tahu, mama tidak suka dengan keberadaan Imran ikut menumpang di rumah ini.’

......................................


Lala tidak mau lagi mendengarkannya. Dia masuk ke kamarnya dan menangis. Kok mama sampai setega itu? Sejahat itu?

Lala malah jadi sangat bersimpati kepada Imran. Kepada bang Imran. Orang kampung yang lugu tapi sangat sopan. Orang yang ramah dan baik hati. Kenapa mesti dibenci mama ? Ah, mama memang serba tidak jelas. Mama reseh.

Tapi tiba-tiba pintu kamar Lala dibuka dan mama muncul. Mama masuk ke kamar Lala dengan mata merah karena menangis. Biasanya memang begitu. Kalau mama habis bertengkar dengan papa, mama ngambeg dan masuk ke kamar Lala. Harusnya mama juga melihat kalau mata Lala juga merah.

Mama langsung tiduran di tempat tidur Lala. Lala diam saja. Sampai akhirnya mama sendiri yang mulai ngomong.

‘Papa itu egois.’

Dalam hati Lala, apa bukannya mama yang egois.

‘Kenapa, ma,’ tanya Lala pura-pura.

‘Mama tidak suka dengan keberadaan Imran disini,’ kata mama.

‘Memangnya kenapa, ma ?’

‘Tidak kenapa-kenapa. Mama tidak suka aja.’

‘Kan kasihan, ma. Dia sudah tidak punya orang tua. Kenapa mama tidak suka?’

‘Tu, kan? Kamu sudah sangat perhatian kepadanya?’

‘Lala, nggak ngerti maksud mama.’

‘Ah, sudahlah. Kamu juga sama aja.’

‘Lala benar-benar ingin tahu. Mama nggak sukanya itu kenapa? Apa kesalahan bang Imran? Masak gara-gara dia nggak pamit ke mama waktu mau pergi, marahnya mama sampai segitu benar?’

‘Bukan hanya itu, Lala. Bukan hanya itu. Mama nggak suka dengannya.’

‘Kan harus ada alasannya, dong ma. Apa alasan mama nggak suka?’

‘Ya nggak suka.’

‘Lala tadi dengar mama bertengkar dengan papa,’ kata Lala.

‘Kamu dengar apa?’ kata mama sambil bangun dan langsung duduk di tempat tidur.

‘Mama takut Lala jadi naksir sama bang Imran, gitu, kan? Lala kan masih kecil, ma. Lala menganggap bang Imran itu saudara. Memang salah kalau Lala baik sama dia?’

‘Kalian anak-anak remaja yang sebentar lagi memasuki masa panca roba. Ada dalam satu rumah. Kalian akan saling tergoda. Mama nggak mau itu sampai terjadi...’

‘Ya....., mama. Mama itu terlalu berkhayal, tahu nggak ?’

‘Kamu jangan sok tahu. Mama ini orang tua. Mama tahu apa yang bisa terjadi.’

‘Nggak akan segitunya lah, ma.’

Mama diam. Mereka berdua diam.


***

Imran masih berpikir keras, bagaimana caranya memberi tahu mak dang, bahwa dia ingin pulang saja. Makin cepat makin baik. Hatinya sudah semakin mantap. Tinggal di kampung sambil bersekolah sambil mengurus ibu sudah dijalaninya. Tidak ada masalah. Untuk makan, hasil sawah masih mencukupi. Untuk tambahan biaya, hasil berjualan pisang juga lumayan. Dia akan berusaha berdagang apa saja nanti karena pohon pisang di kampung hancur semua. Imran yakin dia mampu. Di kampung, dia berada di lingkungannya sendiri. Sedangkan disini dia adalah tamu. Ikut menumpang. Yang lebih parah dia bisa merusakkan rumah tangga mak dang. Tanda-tanda ke arah itu sudah nampak seperti yang dialaminya malam ini. Dia tidak ingin itu sampai terjadi.

Nenek juga tidak bisa tidur. Nenek tidak pernah bisa bertahan lebih dari dua minggu di rumah mak dang. Beliau tidak cocok dengan sopan santun tante Ratna yang menurut beliau tidak pantas. Kalau berbicara tidak ada sopan santunnya. Tante Ratna sepertinya tidak menganggap beliau sebagai mertua. Nenek tidak pula mengharapkan agar beliau diperlakukan istimewa berlebihan. Cukuplah yang wajar-wajar saja. Tapi yang wajar itupun tidak ada. Makanya nenek tidak betah tinggal disini. Mak dang harusnya tahu bahwa hubungan istri beliau dengan nenek tidak harmonis. Sepertinya mak dang tidak dapat berbuat banyak untuk memperbaikinya. Perlakuan mak dang dalam menghormati nenek sangat baik. Hanya saja, keberadaan beliau di rumah sangat terbatas.

Makanya nenek juga berpikir untuk segera pulang saja ke kampung. Di kampung beliau punya kesibukan sendiri. Tidak ada orang yang melarang-larang. Kalau Imran berkeras untuk tidak mau bersekolah di Rumbai, nenek akan pulang ke kampung bersama Imran. Biarlah mereka tinggal di rumah lama yang tidak rusak.


*****

Saturday, April 25, 2009

DERAI-DERAI CINTA (12)

12. SEBUAH INSIDEN

Dua hari kemudian, Imran minta izin kepada mak dang untuk pergi ke Pakan Baru lagi. Dia kembali mendatangi kedai beras mak Bahdar. Duduk disana sambil banyak bertanya seperti pertama kali datang. Tentang tata niaga beras. Tentang resiko bagi pedagang dari Bukit Tinggi seandainya ada gangguan di perjalanan antara Bukit Tinggi dan Pakan Baru. Mak Bahdar menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan wajar. Di dalam hidup ini tidak ada yang tidak mengandung resiko, katanya. Disana perlunya bertawakkal kepada Allah, tambahnya pula.

Imran semakin tertarik mendengar penjelasan orang ini. Seorang pedagang yang saleh. Kesalehan yang terbayang dari wajahnya yang selalu bersih berseri.

‘Apakah kau benar-benar tertarik untuk jadi pedagang?’ tanya mak Bahdar.

‘Awak ingin belajar dulu mak. Meskipun awak sangat tertarik, awak tidak punya modal,’ jawab Imran pula.

‘Siapa tahu, mamakmu yang pegawai Caltex itu mau memberi modal,’ katanya lagi.

‘Tidaklah akan semudah itu, mak.’

‘Untuk belajar itu sebenarnya mudah. Kau perhatikan saja orang berjual beli di pasar. Disini, di pasar ini. Hanya, kalau kau berdagang, tidak akan jadi kau bersekolah.’

‘Entah jugalah, mak. Awak ragu-ragu jadinya. Antara akan menerima tawaran mamak awak untuk terus bersekolah, atau mau mencoba-coba peruntungan berdagang. Untuk berdagang awak tidak punya modal,’ kata Imran.

‘Kalau menurut pendapat saya, lebih baiklah kau bersekolah. Kau masih sangat muda. Bersekolahlah yang tinggi. Dengan ilmu, nanti akan lebih mudah bagimu mengharungi kehidupan. Orang semakin sulit sekarang mendapat kesempatan untuk bersekolah. Kau sangat beruntung dengan adanya jaminan dari mamakmu. Tinggal bersungguh-sungguh saja. Kenapa mesti jadi pedagang sekarang?’ kata mak Bahdar menasihati.

‘Iya juga, mak.’

‘Itu pendapat saya. Mana yang akan kau tempuh, tentu terpulang kepadamu sendiri.’

‘Maaf, mak. Apakah mamak keberatan, kalau awak datang kesini belajar seperti ini menjelang datang waktu bersekolah?’ tanya Imran pula.

‘Bagi saya tidak ada masalah. Kalau kau mau, kau boleh datang kesini tiap hari. Akan kuajari kau bagaimana mengenal jenis-jenis beras. Mengetahui harganya, menjualnya. Bagaimana? Lantas angan?’ tanya mak Bahdar.

Lantas, mak. Tapi tentu awak perlu minta ijin dulu kepada mamak awak. Mudah-mudahan beliau mengijinkan,’ jawab Imran.

***

Imran menyampaikan keinginannya itu kepada mak dang. Mak dang tidak keberatan, karena belajar berdagang itu hanya untuk pengisi waktu. Tahun ajaran baru sekolah masih lebih dua bulan lagi. Sayang memang kalau Imran tidak ada kegiatan selama itu.

Dimulainya kegiatan itu, pergi ke pasar di Pakan Baru. Berangkat dari rumah sekitar jam delapan pagi. Waktu akan berangkat dicarinya tante Ratna untuk berpamitan tetapi beliau tidak ada. Kata mbak Sri, beliau ke rumah tetangga. Imran menunggu kira-kira seperempat jam dan akhirnya dia berangkat setelah terlebih dahulu minta tolong dipamitkan melalui nenek. Tidak terpikirkan bahwa hal ini akan jadi masalah.

Sore hari, ketika baru pulang, Imran dipanggil tante Ratna dan dimarahi.

‘Kalau mau pergi-pergi dari rumah, kamu harus minta ijin dulu. Harus berpamitan, mengerti?!’ kata tante Ratna.

‘Dia tadi sudah menunggu Ratna dan akhirnya menitipkan pesan sama mak,’ nenek mencoba membela Imran.

‘Mak nggak boleh seperti itu, mak. Mak nggak boleh membela, kalau dia memang salah. Di rumah ini ada aturan. Ada peraturan. Tidak boleh semau-mau sendiri,’ tante Ratna masih marah.

‘Awak minta maaf, tante. Awak mengaku salah,’ kata Imran berhati-hati.

Nenek gemetar. Kelihatan sekali beliau tersinggung dengan peristiwa itu. Tante Ratna meninggalkan nenek dan Imran berdua dalam kamar.

‘Sudahlah, nek. Memang awak salah,’ kata Imran membujuk nenek.

Ternyata urusan itu tidak hanya sampai disana. Waktu makan malam, tante Ratna kembali membahas hal itu di depan mak dang.

‘Imran membuat kesalahan fatal hari ini. Dia pergi tanpa berpamitan,’ kata tante Ratna.

Nenek dan Imran berhenti makan. Keduanya tidak meneruskan suap mereka.

‘Maksudnya?’ tanya mak dang pendek.

‘Dia pergi ke Pakan Baru tanpa bilang-bilang. Tanpa berpamitan.’

‘Imran sudah minta ijin ke papa mau belajar berdagang di pasar Pakan Baru dan sudah papa ijinkan,’ jawab mak dang datar.

‘Ya. Tapi di rumah ini ada mama. Pantas-pantasnya kan mengasih tahu ke mama. Bukan pergi nyelonong begitu saja. Lagi pula kan nggak mungkin mama larang, apa salahnya menunggu mama sebentar. Mama ke rumah sebelah hanya sebentar.’

‘Ooo, jadi mama nggak di rumah waktu dia pergi. Kamu nggak pamit ke nenek, Ran ?’ tanya mak dang.

‘Ada mak dang,’ jawab Imran.

‘Mak dang – mak dang. Semuanya mak dang,’ kata tante Ratna sambil berdiri dan meninggalkan meja makan.

Semua melongo menyaksikan. Termasuk mak dang dan Lala.

‘Sudah, jangan dipikirkan. Lanjutkan saja makannya,’ kata mak dang.

Tapi nenek dan Imran tidak mampu menyuap nasi lagi.

‘Nggak usah dimasukin hati, bang. Nanti juga mama baik lagi. Diteruskan makannya nek. Ayo, bang..........,’ Lala ikut mengingatkan.

‘Nenek sudah kenyang,’ jawab nenek sambil mencuci tangan.

Imran hanya bisa menunduk.

Suasana terlanjur mencekam. Semua orang diam. Mak dang menyelesaikan makannya buru-buru, lalu segera menyusul tante Ratna ke kamar. Nenek dan Imran juga masuk ke kamar. Nenek menangis. Imran jadi sangat kebingungan.

Lala ikut masuk dan membujuk-bujuk nenek.

‘Nggak usah dimasukin hati, nek. Mama memang suka meledak-ledak, tapi habis tu nanti baikan lagi. Nenek nggak usah sedih, ya?’ kata Lala.

Nenek memeluk Lala.

‘Maafin mama, ya bang?’

Imran mengangguk.

Lamat-lamat dari kamar mak dang terdengar suara pertengkaran.


***

Setelah Lala keluar kamar, Imran berbicara dengan setengah berbisik dengan nenek.

‘Awak yakin nek. Tidak akan sanggup awak menompang disini. Kasihan mak dang, nanti rumah tangga mak dang rusak karena awak.’

‘Lihatlah dulu, Ran. Siapa tahu setelah dijelaskan mak dang mu, berubah suasana. Lagi pula, tante Ratnamu itu kelihatan kurang sehat. Mungkin itu sebabnya dia marah-marah,’ jawab nenek.

‘Takut awak nek. Nanti terjadi apa-apa karena awak. Biarlah awak bersekolah di kampung saja,’ tambah Imran.

Mata Imran berbinar-binar digenangi air mata.

‘Sudahlah, sementara ini tidak usah kau pergi ke Pakan Baru,’ nenek menambahkan.

Imran tidak menjawab.

Imran semakin yakin dia tidak ingin berlama-lama di rumah ini. Biarlah dia segera saja kembali ke kampung. Masalahnya, bagaimana meyakinkan mak dang, bahwa dia sudah berkesimpulan untuk kembali pulang. Kasihan mak dang. Beliau itu sangat baik.


*****

Friday, April 24, 2009

DERAI-DERAI CINTA (11)

11. CALTEX

Rumbai adalah Caltex. Disini terletak kantor dan perumahan untuk karyawan Caltex. Pegawai Caltex berasal dari bermacam-macam daerah di Indonesia ditambah orang-orang asing, terutama orang Amerika. Lingkungan ini seolah-olah bukan terletak di Indonesia. Perumahan, kantor-kantor, tempat olah raga, semua tertata rapi dan teratur. Konon bergaya Amerika.

Rumbai memang terkesan asing untuk yang baru pertama kali datang kesini. Saking asingnya, ada yang hilang bagi Imran di lingkungan ini. Yakni suara azan dan mesjid. Belum pernah sekali juga dia mendengar suara azan disini. Dan Imran bertanya dalam hati. Dimana nanti dia akan shalat Jumat? Hari Jumat pagi, ditanyakannya hal itu kepada mak dang. Jangan khawatir, mak dang kan pergi shalat Jumat juga, begitu jawab beliau. Apa mungkin untuk shalat Jumat harus pergi jauh-jauh? Kemana agaknya?

Jam setengah dua belas siang Imran sudah bersiap-siap untuk pergi ke mesjid, seperti yang biasa dilakukannya di kampung. Ternyata mak dang baru pulang dari kantor mendekati jam dua belas. Beliau makan siang dulu terburu-buru seperti biasa. Baru sesudah itu berangkat ke mesjid. Dengan naik mobil ketika hari sudah hampir jam setengah satu. Sampai di mesjid, khatib sudah berkhutbah. Sudah hampir selesai khutbah pertama. Imran mengikuti mak dang mencari tempat duduk di sela-sela jamaah lain di bagian dalam mesjid. Banyak juga jamaah yang datang terlambat seperti mereka.

Selesai shalat Jumat, begitu imam selesai membaca assalamu’alaikum, sebagain besar jamaah segera bangkit. Mereka buru-buru berdiri untuk pulang. Tidak ada waktu untuk berzikir dan berdoa sedikitpun. Apa lagi untuk shalat sunat. Begini rupanya cara orang-orang sibuk mengerjakan shalat Jumat. Sekedar pelepas hutang. Tapi benarkah sudah lepas hutang? Padahal menurut guru agama di sekolah, orang yang datang ke mesjid ketika khatib sudah mulai berkhotbah tidak akan mendapatkan pahala shalat Jumat. Pahala shalat Jumat diantaranya, diampuni dosa-dosa di antara dua shalat Jumat. Apakah mak dang tidak tahu ketentuan itu? Imran tidak berani menanyakannya.

Bukan hanya Imran yang merasa heran dengan pelaksanaan shalat Jumat yang dikerjakan sambil terbirit-birit. Nenekpun demikian pula. Beliau bertanya, kok cepat sekali selesai shalat Jumatnya, apa tidak ada khutbah? Mak dang tidak menjawab tapi tersenyum saja.


***

Hari Minggu. Mak dang mengajak berjalan-jalan. Semua ikut. Mereka pergi melihat pompa minyak bumi di Minas. Melalui jalan licin berminyak yang berbelok-belok. Di kiri kanan jalan terdapat hutan meranggas dan semak belukar. Jalan raya ini rupanya digunakan juga oleh kendaraan umum. Cerita mak dang pula, kalau hari hujan bus atau truk umum yang melalui jalan ini menggunakan rantai pada bannya untuk menghindari tergelincir karena licin. Kalau tidak memakai rantai mobil-mobil itu bisa tergelincir. Sering juga terjadi kecelakaan di jalan berminyak ini.

Mak dang menghindari seekor biawak yang sedang melintas di jalan. Di hutan semak belukar disisi jalan itu banyak binatang liar. Ada ular, biawak, babi, berjenis-jenis monyet dan gajah, kata mak dang. Biawak dan ular sering kali tergilas di sepanjang jalan ini.

‘Apakah ada harimau juga?’ tanya nenek.

‘Harimau tidak ada di daerah sini. Tapi pernah dilihat orang di rimbo panjang, sebelum masuk Pakan Baru dari arah Bukit Tinggi,’ jawab mak dang.

‘Binatang-binatang itu tidak mengganggu, mak dang?’ tanya Imran.

‘Tidak. Sejauh ini tidak pernah ada yang mengganggu.’

Sambil berbincang-bincang itu mereka sampai di Minas yang jaraknya hanya sekitar dua puluh lima kilo saja dari Rumbai. Terlihat banyak sekali pompa besar yang berputar mengangguk-angguk. Itulah pompa minyak. Mak dang bercerita tentang minyak bumi yang dikeluarkan dari dalam perut bumi Sumatera. Minyak kental berwarna hitam seperti yang dilihat Imran dituangkan di jalan raya ketika jalan itu diperbaiki. Minyak yang nanti akan dijadikan minyak tanah, bensin, solar dan berbagai macam hasil sampingan lainnya. Minyak itu dipompa dari dalam perut bumi dan disalurkan dengan pipa-pipa besar ke pelabuhan di Dumai untuk seterusnya dijual dan dikirim ke Jepang. Imran menyimak cerita mak dang itu baik-baik.

‘Makanya, Ran! Kau harus bersekolah. Bersekolah tinggi dan nanti kau bisa bekerja mencari barang tambang lain di bumi Indonesia ini,’ kata mak dang.

‘Si Imran lebih tertarik menjadi pedagang,’ kata tante Ratna.

‘Untuk jadi pedagangpun sebaiknya bersekolah yang tinggi,’ mak dang menambahkan.

Imran tidak berani berkomentar.

Mereka dibawa berkeliling-keliling dalam hutan Minas yang mempunyai banyak sekali pompa minyak mengangguk-angguk. Melihat pipa-pipa minyak yang sambung menyambung dan bertambah besar ukurannya. Mak dang sangat bangga dengan perusahaan Caltex tempat beliau bekerja.

Sebelum siang mereka kembali ke Rumbai. Lala minta mampir dulu ke Club untuk jajan hamburger, katanya. Imran benar-benar tidak mengerti apa yang dimaksudkan Lala.

‘Nenek dan Imran tidak akan suka hamburger,’ kata mak dang.

‘Kan belum pernah nyoba. Kalau sudah mencoba, bang Imran pasti akan menyukainya. Nenek waktu itu suka kok,’ jawab Lala.

‘Roti bulat pakai daging setengah matang itu?’ tanya nenek.

‘Iya nek. Nenek dulu suka, kan?’

‘Nenek masih, ingat. Nenek tidak usah dibelikan lagi saja,’ jawab nenek.

‘Ya..... nenek..... Tapi bang Imran, mau ya?’ desak Lala.

‘Entahlah. Belum pernah melihat bentuknya,’ jawab Imran.

‘Papa berencana kita makan di restoran di Pakan Baru,’ kata mak dang.

‘Ya... papa....... Pasti di Kota Buana lagi..... ‘

‘Tidak apa-apa. Kalau Lala mau hamburger, kita beli hamburger. Habis itu kita ke Pakan Baru.’

Mereka mampir di Club. Sebuah bangunan tempat rekreasi keluarga karyawan Caltex. Ada restoran di dalamnya. Lala mengajak Imran masuk ke restoran sementara nenek, mama dan papanya menunggu saja di mobil.

Imran menonton suasana di dalam Club. Ada kolam renang disitu. Banyak anak-anak dengan orang-orang tua mereka sedang berenang. Ada juga orang asing berkulit putih. Lala membawakan dua buah hamburger dan dua gelas plastik berisi Coca Cola dan menyerahkan satu kepada Imran.

‘Ayo, bang. Coba. Makanan anak-anak muda.....’ kata Lala, sambil menarik sebuah kursi.

Imran coba mencicipi. Aneh rasanya di lidah Imran dan sebenarnya dia tidak menyukainya. Tapi dia tidak sampai hati mau mengecewakan Lala. Lala melahap roti daging itu dengan bersemangat.

‘Bagaimana, bang? Suka?’ tanya Lala.

Imran hanya tersenyum. Dikuat-kuatkannya hatinya untuk menghabiskan roti itu. Mungkin dulu nenek juga memakannya seperti ini, pikir Imran.

Lalu mereka ke Pakan Baru. Ke restoran Kota Buana seperti dugaan Lala, Ramai sekali dalam restoran. Hari Minggu begini, orang Caltex datang dengan keluarga mereka makan siang kesini. Pegawai restoran melayani mereka dengan servis istimewa. Mereka orang-orang Caltex. Orang-orang banyak uang.

Sesudah makan, tante Ratna minta diantar berbelanja sebentar. Termasuk membeli beras. Rupanya mak Bahdar tempat Imran bertamu dan berbincang-bincang beberapa hari yang lalu adalah langganan tante Ratna. Kedai itu ramai. Ramai oleh orang-orang Caltex. Dimana-mana orang Caltex sangat disenangi di kota ini. Mereka adalah orang banyak duit.

Imran belajar banyak tentang Caltex dan orang Caltex hari ini.


*****

Wednesday, April 22, 2009

DERAI-DERAI CINTA (10)

10. RUMBAI

Inilah Rumbai. Terlalu kecil untuk disebut kota. Terlalu besar untuk disebut sebuah kampung. Apapun namanya, tempat ini terlihat unik. Bersebelahan dengan hutan yang sebenar-benar hutan. Di sebelah pekarangan rumah mak dang Taufik adalah sebuah hutan. Dengan pohon kayu besar dan semak belukar tumbuh di dalamnya. Ada kelompok-kelompok rumah disini. Setumpuk rumah disini, setumpuk rumah disana. Setiap tumpukan seragam bentuk dan ukurannya. Pindah ke tumpukan lain berbeda lagi ukurannya.

Yang agak ganjil dan aneh adalah jalan rayanya. Imran melihat waktu jalan itu sedang dikerjakan. Jalan itu tidak diaspal tapi tanah berpasir, sebelumnya dibajak dengan sebuah traktor besar, lalu disiram cairan hitam kental. Menurut mak dang, cairan hitam itu adalah minyak bumi. Jadi jalan rayanya disiram minyak. Lalu dibiarkan begitu saja. Kendaraan yang lalu lalanglah yang menjadikan jalan itu licin kembali dengan warna hitam berkilat. Kata mak dang lagi, jalan itu sangat licin kalau ditimpa hujan. Makanya kendaraan Caltex menggunakan ban berpaku khusus supaya tidak terpeleset ketika hari hujan. Dan panas luar biasa ketika hari panas di siang hari. Imran sudah mencium hawa panasnya, ketika dia baru datang.

Rumah tempat tinggal keluarga mak dang adalah sebuah rumah besar. Ada tiga buah kamar. Anak mak dang bertiga, tapi hanya satu orang yang paling bungsu yang tinggal bersama-sama. Namanya Lala, duduk di kelas satu SMP. Kedua orang kakaknya sudah jadi mahasiswa dan tinggal di Bandung. Rumah besar ini dingin bagaikan di Bukit Tinggi di waktu pagi. Karena semua ruangannya memakai AC. AC adalah barang yang belum pernah dilihat Imran selama ini.

Istri mak dang, tante Ratna namanya. Konon orang awak juga tapi lahir dan besar di Bandung. Kalau berbahasa Minang logatnya kaku sekali. Imran sudah pernah bertemu dengannya ketika beberapa kali mak dang membawa keluarganya pulang ke kampung. Mula-mula Imran menyebut mak tuo, karena seperti itu dulu dia memanggilnya di kampung. Tante Ratna langsung menaikkan alis matanya mendengar panggilan mak tuo. Dia langsung mengoreksi agar dia jangan dipanggil mak tuo, tapi panggil saja ‘tante’. Bahkan kalau membahasakan mak dang Taufik kepada Imran, tante Ratna menyebutnya oom Taufik. Imran melongo saja mendengarnya. Dia jadi kikuk ketika berbicara dengan mak dang. Ragu dan takut bagaimana dia harus memanggil mamaknya itu. Masak harus diganti dengan ‘oom’?

Tante Ratna agak kaku pembawaannya. Tidak ramah. Bicaranya tidak banyak. Dia justru lebih banyak berbicara kepada pembantu rumah. Di rumah ini ada dua pembantu rumah tangga. Sepasang suami istri, orang Jawa. Mereka tinggal disini. Ada pula rumah kecilnya sendiri di belakang. Yang laki-laki dipanggil mas Karto. Istrinya bernama mbak Sri.

Imran mengamati bagaimana sambutan dan penghormatan tante Ratna kepada nenek. Basa basi kepada nenekpun kaku. Nenek dilarang ikut-ikutan bekerja di dapur. Kata tante, biarkan pekerjaan dapur diselesaikan si Sri. Sudah barang tentu pekerjaan dapur itu selesai oleh si Sri, tapi tentu nenek ingin untuk duduk mengerjakan sesuatu di dapur, seperti yang beliau lakukan di kampung. Ternyata tidak boleh. Cara berbicara tante Ratna kepada nenekpun berbeda. Berbeda dengan cara berbicara etek Ema istri mak etek Nursal atau tek Edah istri mak etek Tamrin. Etek-etek di kampung itu sangat menghormati nenek.

Inilah yang dibayangkan Imran sebelumnya. Makin bertambah keraguan hatinya untuk menerima tawaran mak dang. Bagaimana caranya akan ikut tinggal di rumah orang yang tidak terlalu akrab? Dan untuk jangka waktu panjang pula? Dia tidak yakin akan sanggup tinggal disini. Perlakuan mak dang memang baik. Beliau sangat ramah dan sering mengajak berbicara. Tapi waktu mak dang di rumah sangat sedikit. Pulang dari kantor beliau pergi lagi main tennis. Waktu bertemu mak dang hanya di meja makan waktu makan. Sangat tergesa-gesa di waktu makan siang dan agak sedikit santai waktu makan malam.

Yang agak lumayan akrab justru si Lala, puteri bungsu mak dang. Mungkin karena sudah diberi tahu mak dang, Lala merayu Imran agar mau bersekolah di Rumbai saja. Imran diajaknya pergi melihat sekolah itu. Sebuah bangunan sekolah yang megah. Terletak di punggungan bukit. Bukit yang ganjil di mata Imran. Bukit yang ditanami rumput, tanpa pepohonan, tempat orang-orang dewasa bermain memukul bola kecil dengan tongkat. Kata Lala, orang-orang itu bermain golf.

Lala juga mengajaknya berkeliling-keliling naik sepeda di dalam komplek di Rumbai. Melalui jalan berminyak naik turun. Lala menceritakan segala-galanya. Tentang daerah perumahan, tentang perkantoran, rumah sakit, tentang lapangan olah raga, kolam renang. Lala menyebutkan istilah-istilah yang tidak semua bisa dimengerti Imran.

Dua tiga hari tinggal di Rumbai, Imran merasakan dirinya semakin jadi orang asing. Lingkungan ini bukanlah lingkungannya. Tante Ratna bahkan tidak suka melihat dia berbincang-bincang dengan mas Karto. Sudah beberapa kali, ketika dia mengajak pembantu itu berbicara, mas Karto disuruh tante Ratna mengerjakan pekerjaan lain. Akhirnya, Imran hanya bisa berbicara dengan nenek di kamar. Imran merasa bahwa nenek juga tidak terlalu betah disini tapi beliau lebih sabar. Nenek menasihatinya agar pandai-pandai membawa diri.

Mak Dang menyuruh Imran pergi berjalan-jalan ke Pakan Baru, kalau bosan tinggal di rumah. Beliau tunjukkan bagaimana caranya pergi ke kota itu, dimana naik kendaraan, kendaraan apa yang harus dinaiki dan sebagainya.

***

Imran menerima anjuran itu dengan senang hati. Dia pergi ke Pakan Baru. Kota itu terletak sekitar enam kilometer dari Rumbai. Imran langsung pergi ke pasar tempat orang berjualan bahan-bahan makanan. Diperhatikannya tempat orang berjualan beras, sayur mayur, buah-buahan termasuk pisang. Hampir semua barang-barang itu didatangkan dari Bukit Tinggi atau setidak-tidaknya dari Sumatera Barat.

Waktu berada di sebuah kedai beras dilihatnya orang sedang membongkar karung goni berisi beras dari sebuah truk besar. Didatanginya pemilik kedai itu untuk memperkenalkan diri. Orang kedai itu agak terheran-heran karena tidak mengenalnya. Apalagi melihat Imran yang masih remaja.

Orang kedai yang berasal dari Lintau itu sangat ramah. Dia melayani Imran berbincang-bincang di sela-sela kesibukannya. Ditanyakannya kenapa Imran tertarik melihat orang membongkar beras. Imran bercerita tentang pengalamannya berjualan pisang. Tentang kampungnya yang ditimpa musibah galodo. Obrolan yang mengundang simpati orang kedai itu. Imran menanyakan apakah orang kedai itu berlangganan dengan pedagang beras dari Bukit Tinggi atau bisa menerima pasokan dari siapa saja. Pedagang itu menjelaskan bahwa di pasar itu berlaku perdagangan bebas. Siapapun yang membawa dan menawarkan beras kalau harga cocok akan langsung ditampung. Kalau kamu datang kesini membawa satu ton beras, kamu tanyai setiap pemilik kedai di sepanjang jalan ini untuk mencari harga, kata orang itu. Imran memperhatikan ada beberapa buah truk besar yang sedang membongkar muatan ke beberapa buah kedai di sepanjang jalan. Beras untuk makanan penduduk Pakan Baru.

Semua informasi tentang tata niaga beras yang diperolehnya itu dicatatnya dalam otak. Dia faham bahwa dalam perdagangan perlu saling kepercayaan. Tidak selamanya pedagang beras dari Bukit Tinggi itu bisa langsung menerima uang pembayaran harga berasnya secara tunai. Pedagang pengecer seperti orang kedai ini biasa minta tangguh sehari dua sebelum melunasi harga pembeliannya. Pedagang pemula, menunggu sampai pembayaran lunas sebelum berangkat lagi mengambil beras ke Bukit Tinggi. Pedagang yang sudah mapan, biasa meninggalkan saja sementara dan baru mendapatkan pembayaran pada saat kedatangan berikutnya. Yang pasti, kata orang kedai itu, harus saling amanah. Pedagang yang benar-benar pedagang sangat takut berbuat curang, katanya menambahkan.

Imran betah duduk di kedai orang itu sampai siang. Dia banyak bertanya. Tentang jenis dan kualitas beras. Tentang harganya. Tentang pembeli-pembelinya. Orang kedai itu menerangkan apa adanya dengan santai. Sambil dia melayani pembeli yang datang silih berganti. Kata orang kedai pula, pelanggannya yang terbanyak adalah pegawai Caltex.

Sudah menjelang sore ketika akhirnya dia mohon pamit kepada pemilik kedai itu. Imran telah menimba cukup banyak ilmu hari ini. Beruntung benar dia berkenalan dengan orang kedai beras yang namanya Bahdar itu. Seandainya dia ingin mencoba berdagang beras, yang perlu diketahuinya adalah jalur pembelian beras di kampung-kampung di sekitar Bukit Tinggi. Sewa kendaraan adalah sesuatu yang standar, yang semua orang membayar dengan harga yang sama. Sewa truk pengangkut beras dihitung dengan harga angkut untuk setiap kilogram beras.

Malamnya, Imran bercerita kepada nenek tentang pengalamannya hari itu.

‘Apa kau berniat mau menjadi pedagang beras?’ tanya nenek.

‘Jadi pedagang apa saja, nek. Awak tertarik ingin jadi pedagang,’ jawab Imran.

‘Bagaimana pula kau akan sekolah kalau jadi pedagang,’ kata nenek.

‘Awak masih berpikir-pikir nek. Awak ingin bersekolah. Tapi bersekolah di Rumbai ini agak kurang mantap hati awak,’ jawab Imran.

Nenek terdiam. Beliau mengerti perasaan Imran.

*****

Tuesday, April 21, 2009

DERAI-DERAI CINTA (9)

9. AKANKAH KU TINGGALKAN KAMPUNG?

Kampung yang porak poranda itu sekarang jadi ramai dengan pengunjung. Banyak orang datang dari mana-mana untuk bertakziah. Untuk melihat dari dekat akibat dari sebuah fenomena alam yang sangat mengerikan. Galodo........

Sumbangan dan bantuan masyarakat mengalir dari mana-mana. Kampung ini memang hancur secara fisik dan tentu saja demikian pula secara ekonomi. Sawah-sawah diselimuti pasir, batu-batuan, lumpur dan sampah. Kebun-kebun pisang hancur. Belum lagi rumah-rumah yang rusak, bahkan yang rata dengan tanah. Hanya sebagian kecil dari kampung itu yang selamat karena letaknya sedikit ketinggian.

Saudara-saudara serta anak kemenakan warga kampung yang tinggal di perantauan berusaha pulang untuk melihat keadaan kampung. Mak dang Taufik, anak nenek Piah yang paling tua, yang bekerja di Rumbai juga ikut pulang ke kampung. Betapa sedih dan pilu hatinya melihat semua kehancuran itu. Melihat kampung yang ditenggelamkan oleh sebuah kekuatan maha dahsyat. Sedih melihat korban yang jatuh bahkan sampai meninggal, termasuk adik sepupunya Rohana.

Adik-adik perempuannya yang di Jakarta tidak bisa segera pulang karena kerepotan masing-masing.

Mak dang Taufik tentu tidak bisa berlama-lama di kampung. Dia harus segera kembali ke tempat dia bekerja di Rumbai. Dia ingin membawa ibunya, nenek Piah bersama-sama Imran ke sana. Kedua adiknya, mak etek Tamrin dan mak etek Nursal menerima jalan keluar seperti itu karena sepertinya hanya itu kemungkinan yang paling baik untuk nenek dan Imran. Musibah besar itu pastilah menimbulkan trauma bagi nenek. Sebaiknya beliau dibawa pergi dulu dari kampung. Bisa saja nanti beliau ikut anak-anak beliau yang perempuan di Jakarta, tapi sekarang, ikut ke Rumbai adalah jalan yang terbaik.

Nenek menerima tawaran mak dang Taufik untuk pergi ke Rumbai, tapi hanya untuk sementara. Menjelang keadaan di kampung lebih baik. Menjelang rumah yang rusak diperbaiki. Bagaimanapun, sebenarnya beliau keberatan untuk meninggalkan kampung ini.

Kebalikannya, Imran masih sangat ragu dengan tawaran itu. Untuk tinggal di kampung memang akan sangat sulit baginya. Semua sudah hancur. Ibu sudah tidak ada. Rumah rusak parah. Sawah tertimbun lumpur dan pasir. Pisang yang akan diperdagangkan dari kampung ini hampir semuanya rusak dan hancur. Sementara ini, baru ilmu berdagang pisang kecil-kecilan yang dimilikinya. Tapi ikut dengan mak dang Taufik juga bukan hal mudah. Bagaimana kalau nanti disana ternyata keluarga mak dang menolaknya? Kalau anak-anak mak dang tidak menerima kehadirannya? Dan sampai kapan dia akan menjadi beban tambahan mak dang? Pusing kepalanya memikirkan semua itu.

Waktu dia diajak berbincang-bincang sore harinya, Imran mengemukakan hal itu kepada mak dang, di hadapan mak etek Nursal dan nenek. Keberatan pertamanya adalah karena dia akan menghadapi ujian akhir.

‘Kapan kamu ujian, Ran?’ tanya mak dang Taufik.

‘Minggu di muka, mak dang,’ jawab Imran.

‘Berapa lama sesudah itu keluar pengumuman hasilnya?’

‘Pengumuman hasil ujian nanti di pertengahan bulan Juni, mak dang.’

‘Mak dang pikir, begitu selesai ujian, kau segera saja ke Rumbai. Tidak perlu menunggu pengumuman ujian. Nanti hasilnya, minta tolong mak etek Nursal mengirim kesana,’ usul mak dang.

Imran tidak bisa menjawab.

‘Biarlah dengan kau saja nanti nenek pergi ke Rumbai itu. Biar nenek temani kau di rumah sampai kau selesai ujian,’ kata nenek.

Imran memandang nenek dengan sendu. Nenek sangat baik kepadanya. Beliau mau menungguinya sampai dia selesai ujian.

‘Ya, kalau mak mau begitu baik juga. Tapi kalau tidak, tadi yang ambo pikirkan, mak ikut dengan ambo besok. Sementara itu, si Imran tinggal di tempat Nursal sampai dia selesai ujian. Bisakan begitu, Nursal ?’ tanya mak dang.

‘Bisa, uda,’ jawab mak etek Nursal.

‘Pastikan sajalah. Biar mak, pergi bersama si Imran saja nanti. Biarlah mak tunggui selama dia ujian,’ kata nenek lagi.

‘Awak rasanya ingin sekolah disini-sini saja mak dang. Biar awak dekat dengan ibu. Sebenarnya awak ingin masuk sekolah agama,’ Imran memberanikan diri menyampaikan keinginannya.

Semua terdiam mendengar kata-kata Imran.

‘Begini, Ran. Kau ini kemenakan mak dang. Mak dang merasa bertanggung jawab untuk menolongmu. Kau ikut dengan mak dang, nanti mak dang yang akan menyekolahkanmu. Mak dang yang akan membiayai pendidikanmu sampai sekolah tinggi.’

‘Terima kasih, mak dang. Tapi, mungkin awak tidak akan sanggup sekolah tinggi mak dang. Awak ingin mencoba meneruskan berjualan. Berjualan apa saja, kecil-kecilan,’ jawab Imran pula.

‘Boleh saja kau bercita-cita jadi pedagang. Tapi kau masih sangat muda. Kau harus melanjutkan sekolah dulu.’

‘Awak masih ingin bersekolah. Bersekolah dekat-dekat kampung saja....’ jawab Imran terbata-bata.

‘Kenapa? Kau tidak percaya dengan janji mak dang?’

‘Bukan begitu mak dang.’

‘Lalu kenapa?’

‘Awak.... Awak... ingin tetap di kampung saja..’

‘Bagaimana kau akan tinggal di kampung ini? Dengan siapa kau akan tinggal? Nenek mak dang bawa ke Rumbai. Akan tinggal dengan mak etek Nursal atau mak etek Tamrin? Anak mereka banyak. Tentu tidak akan nyaman pula. Tinggal disini sendiri tentu akan sangat sia-sia.’

Imran terdiam. Dia kehabisan kata-kata.

‘Sebaiknya kau coba saja, Ran. Tidak mungkin kita bertahan di kampung dalam keadaan seperti sekarang ini,’ nenek menambahkan.

Imran tidak bisa berkata apa-apa. Terasa air matanya mengalir. Bukan karena cengeng. Dia bingung sekali.

Semua kembali terdiam.

‘Barangkali begini saja. Sementara ini kau persiapkan dulu dirimu menghadapi ujian. Nanti kita pikirkan lagi rencana berikutnya,’ usul mak etek memecah kesunyian.

‘Ya, boleh juga begitu. Selesaikan dulu ujianmu. Begitu selesai kau antarkan nenek ke Rumbai. Kau lihat suasana disana nanti!’

Imran tidak menjawab.

***

Imran menjalani ujian akhir dengan sebaik-baiknya karena dia sadar ujian ini wajib diikuti sebagai batu loncatan pendidikan. Dia bertekad untuk lulus dan kalau bisa dengan hasil terbaik. Ingin juga hatinya untuk melanjutkan lagi sekolah ini sejauh yang masih mungkin. Entah dengan bagaimana caranya.

Selesai sudah ujian itu. Sesuai janji sebelumnya dengan mak dang dia akan mengantar nenek ke Rumbai. Dia tetap tidak yakin akan bersekolah disana seperti yang dianjurkan mak dang Taufik.

Akhirnya mereka berangkat dengan bus umum menuju ke Pakan Baru. Sangat berat hati Imran untuk meninggalkan kampung. Meninggalkan rumah. Meninggalkan pusara ibu yang masih merah tanahnya. Akankah dia bisa segera kembali? Meskipun susana kampung yang tidak ramah sementara ini? Sepertinya dia tidak punya pilihan. Tidak mungkin dia bertahan tinggal di kampung dalam keadaan seperti itu.

Seandainya saja ada jenis usaha yang dia mampu menjalankan seperti berdagang pisang. Dan seandainya pula nenek mau bertahan tinggal di kampung, Imran pasti akan memilih untuk tetap tinggal di kampung.


*****

Sunday, April 19, 2009

DERAI-DERAI CINTA (8)

8. MUSIBAH ITU BERNAMA GALODO

Mak etek Tamrin mencari tangga betung di malam hari itu sementara mak etek Nursal mengambil kunci rumah tua, di rumah tembok, di bawah. Rumah tua itu selamat karena posisinya persis di sebelah rumah ini. Jadi terlindung dari hantaman. Tangga betung dibawa mak etek Tamrin masuk ke rumah dan disandarkan baik-baik di sisi kamar yang tidak terban. Dia turun untuk mengambil jenazah ibu. Mak etek memanggul jenazah itu sendiri kemudian menaiki tangga. Imran mengiringkan dari belakang. Imran masih terisak-isak. Jenazah ibu itu dibawa ke rumah kayu di sebelah dan dibaringkan di tengah rumah.

Jam satu malam saat itu. Sunyi sepi. Mereka duduk berempat menghadapi jenazah ibu. Jenazah dengan wajah tersenyum. Imran memandangi wajah itu dalam isak tangis. Mak etek Nursal mengurut-urut punggung Imran. Mengingatkannya agar bersabar. Semua itu adalah takdir Allah.

Mak etek Tamrin memperhatikan selendang di kepala nenek yang merah oleh bekas darah. Luka di kening nenek sudah kering sendiri karena sejak tadi beliau tutup dengan selendang.

‘Bagaimana keadaan di luar? Bagaimana jalan dari rumah anak kalian sampai kesini?’ tanya nenek.

‘Jalan penuh batu, berlumpur dan berpasir. Batu berselengkang pengkang banyak sekali. Batu-batu besar dan kayu-kayu besar. Batu sebesar ketiding padi. Dan pasir berlumpur. Agaknya banyak jatuh korban,’ jawab mak etek Nursal.

‘Di rumah si Ema bagaimana? Dan di rumah si Edah, Tamrin ?’

‘Disana karena ketinggian, alhamdulillah aman, mak. Tapi bunyi deru batu turun tadi itu sungguh mengerikan. Begitu suaranya sudah tidak terdengar, ambo bergegas menjemput si Nursal untuk kesini,’ jawab mak etek Tamrin.

‘Lepau kopi di simpang jalan runtuh separo,’ mak etek Nursal menambahkan.

‘Kau lihat orang lepaunya? Adakah selamat?’

‘Tuan Danan. Biasanya dia sendiri tidur di lepau itu. Tadi ambo mendengar suaranya. Ada beberapa orang tadi di dekat lepau itu,’ jawab mak etek Nursal.

‘Kau tidak ikut jatuh. Dimana kau tadi waktu kamar runtuh, Ran?’ tanya mak etek Tamrin.

‘Dia ke bawah menolong mak. Di bawanya mak ke samping rumah ini, terhindar dari terjangan batu. Lalu terdengar bunyi hantaman di sisi sebelah ke mudik. Terdengar bunyi kayu patah dan seperti ada yang runtuh. Si Imran bergegas ke sana, dan mak susul ketika sudah tidak terdengar lagi bunyi menderu,’ nek Piah menerangkan.

‘Takdir Tuhan Allah. Apa-apa yang sudah ditetapkan Allah untuk terjadi, maka terjadi dia. Kita harus banyak-banyak bersabar,’ kata mak etek Nursal.

Imran tidak berhenti-henti sesenggukan.

Mereka berempat menunggui jenazah itu sampai subuh. Sampai pagi. Setelah agak terang, mak etek Tamrin pergi untuk memberi tahu orang kampung.


***

Galodo. Itulah yang terjadi tadi malam. Keadaan kampung itu betul-betul hancur mengerikan. Batu-batu besar, ranting dan pokok kayu, sampah-sampah, bangkai binatang bertebaran dalam lautan pasir dan lumpur. Ditemukan pula mayat-mayat yang terbawa hanyut lalu terbenam dalam lumpur dan pasir. Mengerikan sekali. Galodo menimpa kampung dan nagari lain yang berdekatan. Tapi kampung ini mungkin yang terparah kerusakannya. Diperlukan bantuan alat-alat berat untuk membersihkan hamparan kehancuran itu. Orang kampung mencoba mendata berapa banyak korban yang jatuh. Berapa banyak rumah yang hancur. Berapa luas sawah yang tertimbun.


Sampai jam sembilan siang berhasil terdata bahwa dua puluh tiga buah rumah rusak. Enam di antaranya hancur total. Termasuk rumah dangau di tepi batang air tempat orang main koa. Korban manusia sembilan belas orang. Kehilangan binatang ternak susah untuk didata sementara. Sawah dan kebun yang rusak sangat luas. Banyak di antara sawah-sawah yang rusak itu sudah menjelang panen.

***

Muncak Amat bertemu dengan guru Sofyan ketika beliau-beliau ini melayat ke rumah. Mereka kembali terlibat dalam sebuah diskusi.

‘Dari mana datang batu-batu besar ini, guru?’ tanya Muncak Amat.

‘Dari atas sana engku. Dari lembah-lembah di sepanjang aliran sungai di atas,’ jawab guru Sofyan.

‘Maksud saya, batu-batu ini bukan berasal dari kepundan gunung Marapi, kan ?’ tanya Muncak.

‘Dulu sekali, mungkin ratusan, mungkin ribuan tahun yang lalu, batu-batu ini dilemparkan dari kepundan gunung Marapi, engku. Ketika gunung berapi meletus, bukan hanya gunung Marapi ini saja, kekuatan semburannya luar biasa. Batu sebesar-besar rumah sanggup dia melemparkan ke udara. Semburannya itu berhamburan ke mana-mana di sekitar gunung. Begitu pula yang pernah terjadi dengan gunung Marapi ini. Bahkan kalau engku perhatikan di pinggir jalan Bukit Tinggi – Paya Kumbuh, terlihat batu-batu sebesar kerbau bahkan lebih besar lagi. Semua itu dulu dimuntahkan oleh gunung Marapi. Dulu yang entah kapan-kapan. Dimasa belum ber belum. Sesudah itu, dalam perjalanan waktu, banyak di antara batu-batu itu yang berpindah dan bergeser. Ada yang bergeser sedikit demi sedikit dari tempat jatuhnya mula-mula. Itu terjadi di lembah-lembah. Dia jatuh dari punggungan gunung, mungkin karena goncangan gempa. Atau bisa juga batu-batu itu hanyut akibat terjangan air seperti ini. Oleh galodo, seperti ini,’ guru Sofyan menjelaskan.

‘Dahsyat sekali kekuatan air yang menghanyutkan batu-batu sebesar ini,’ kata Muncak Amat bergumam.

‘Memang demikian engku. Kalau sebuah telaga besar, seperti yang kita bincangkan beberapa hari yang lalu, lepas sumbatnya, diakibatkan desakan air juga, maka air di kolam raksasa itu tumpah ruah ke bawah. Menghanyutkan apa saja. Itulah yang terjadi tadi malam.’

‘Adakah hubungannya dengan penebangan kayu yang dilakukan secara serampangan di atas sana, guru ?’

‘Agak berbeda engku. Penebangan kayu, kalau memang itu terjadi di atas sana, bisa menyebabkan terjadinya longsor. Longsor itu artinya sebuah tebing jatuh dari tempatnya semula dan jatuhnya tidak terlalu jauh dari keberadaannya. Kalau galodo, itu murni dikarenakan tekanan air dalam jumlah banyak. Air yang menghanyutkan apa saja yang dilandanya.’

‘Kalau kita berandai-andai, seandainya kita ingin menghindari terjadinya galodo, apa yang harus dilakukan guru?’ tanya Muncak Amat lagi.

‘Mengawasi dan memeriksa terus menerus setiap lembah-lembah yang berpotensi menjadi telaga sementara. Potensi itu terjadi ketika mulut sebuah lembah tertutup. Misalnya oleh pohon kayu tumbang. Pohon yang tumbang sendirinya, tidak mesti yang ditebang manusia. Lalu pohon itu menyekat batu-batu. Menyekat sampah-sampah seperti ranting dan daun-daun kayu. Kalau ini terjadi, maka air akan tergenang di lembah. Genangan yang semakin tinggi akan mendesak tutup atau hempangan yang terbuat secara alami tadi.’

‘Perlu pula ada petugas kehutanan kalau begitu,’ jawab Muncak.

‘Ya, kalau kita ingin mengurangi ancaman galodo,’ tambah guru Sofyan.

***

Bantuan alat-alat berat dari kabupaten datang menjelang siang. Untuk membantu menyingkirkan batu-batu besar yang berhamburan. Sementara diketepikan saja dulu. Serombongan tentara dari Bukit Tinggi datang pula membantu. Mereka bekerja bergotong royong dengan penduduk kampung.

Semua orang sibuk seharian. Termasuk kesibukan memakamkan korban yang meninggal. Etek Rohana, ibu Imran dimakamkan di samping makam suaminya. Rupanya ini maksud ibu ketika mengatakan ingin menziarahi makam ayah, kenang Imran dalam hati. Dan rupanya ini arti mimpinya beberapa hari yang lalu. Sebagian besar pohon-pohon pisang di kampung ini habis rontok disapu batu-batuan.

Imran merasa sangat kesepian. Seolah-olah separo rohnya dibawa pergi oleh ibu. Ibu yang sangat dikasihinya. Ibu yang dirawatnya dengan penuh kasih sayang. Karena ibu juga sangat menyayanginya. Sekarang semua seperti berhenti dengan cara sangat tidak terduga. Dalam waktu sekejap dia telah menjadi yatim piatu. Imran merasa seperti dicampakkan dari rumah tempat dia bernaung selama ini. Rumah yang kini dalam keadaan rusak berat dan pasti tidak aman untuk ditinggali. Sesak dadanya membayangkan semua itu.

Tapi dia segera sadar. Dia masih perlu bersyukur. Untung masih ada nenek. Masih ada mak etek Nursal dan mak etek Tamrin. Meski Imran tidak tahu entah akan bagaimana nasibnya besok-besok. Tadi sudah disepakati, di antara nenek dan kedua mak etek itu, bahwa nenek dan Imran akan tinggal sementara di rumah lama ini. Rumah yang selalu dirawat dan dipelihara nenek meskipun beliau menempati rumah tembok baru. Karena sekarang rumah tembok itu dalam keadaan rusak pula. Sebagian besar jendela kacanya hancur.


*****

Saturday, April 18, 2009

DERAI-DERAI CINTA (7)

7. MUSIBAH BESAR

Hujan semakin lebat. Suara curahannya menimpa atap semakin keras saja. Imran tidak bisa tidur. Kenapa, ya? Ibu banyak bercerita tentang ayah? Ingin berziarah ke pusara ayah? Diapun jadi ingat ayah. Ayah yang dulu memboncengnya naik sepeda berkeliling kampung. Ayah yang membawanya berjalan-jalan ke kebun binatang di Bukit Tinggi. Ayah yang mengajarnya mengaji. Karena ayah memang guru mengaji di kampung. Dan ayah tiba-tiba meninggal akibat sakit tetanus. Sesudah kakinya tertusuk duri aur di tepi batang air. Hanya dua hari beliau sakit lalu meninggal. Betapa sedihnya ibu kala itu. Berhari-hari mata ibu sembab karena menangis.

Beberapa bulan kemudian ibu bangkit dari duka mendalam itu. Melanjutkan usaha ayah berdagang pisang. Dan ternyata ibu mampu. Mengumpul dan menjual pisang ke kota. Dan ibu memberinya tanggung jawab menanak nasi ketika ibu pulang terlambat. Atau menggoreng telor untuk lauk. Imran jadi bisa dan terbiasa dengan pekerjaan dapur.

Sampai suatu hari, setahun lebih yang lalu ibu jatuh sakit. Apakah karena ibu terlalu letih? Tapi bukan karena itu kata pak mantri di kampung ini. Ibu berpenyakit tekanan darah tinggi. Yang berakhir dengan kelumpuhan.

Atas saran pak mantri ibu dimasukkan ke rumah sakit. Imran menunggui beliau di rumah sakit. Dari rumah sakit dia berangkat ke sekolah. Ke rumah sakit dia kembali pulang dari sekolah. Setelah hampir sebulan ibu minta dibawa pulang. Dan dia merawat ibu di rumah.

Semua bayangan masa lalu itu berputar menari-nari di kepala Imran. Dia berbalik ke kanan dan ke kiri di atas dipan kayu itu. Dan matanya tidak kunjung bisa tidur. Meski dia telah menguap berkali-kali. Hujan mulai agak reda. Tapi suara guruh menggemuruh berulang-ulang. Dari celah pintu terlihat kilat berapi-api.

Tapi akhirnya dia tertidur juga. Di ujung kegelisahannya.

***

Petir menggelegar keras sekali. Imran terloncat bangun karena kaget. Jantungnya berdebar keras karena terkejut. Dilihatnya ibu. Ibu tidur nyenyak. Imran duduk memperhatikan celah jendela. Kilat masih sabung menyabung di luar sana. Dibacanya laa hawla quwwata illa billah ketika kilat menyambar. Tidak sengaja matanya kembali melihat ke arah ibu. Masya Allah..... Ibu sedang mengangkat kedua tangannya. Ya, tangan kiri ibu yang lumpuh juga ikut diangkat. Tangan itu menggapai-gapai. Tiba-tiba petir menggelegar sekali lagi. Imran hampir meloncat karena terkejut. Tangan ibu kembali diturunkannya seolah-olah sedang menggenggam sesuatu. Ibu tersenyum. Imran ikut tersenyum. Rupanya ini arti mimpi itu. Ibu memetik petir, yang baru saja menggelegar. Dan tangan ibu seperti tangan normal. Bukan tangan sakit yang lumpuh. Ya Allah, inilah rupanya arti mimpi ibuku, desah Imran dalam hati.

Beberapa puluh detik kemudian, tiba-tiba terdengar suara menderu. Bukan suara curah hujan di atap seng. Bukan suara guruh. Suara apa itu? Imran tidak sempat berpikir. Suara itu semakin keras. Imran melompat turun dari dipan dan menuju ke jendela. Dibukanya jendela karena ingin melihat sumber suara itu. Kebetulan kilat menyambar. Imran tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Puluhan benda-benda sebesar ketiding besar berkejar-kejaran dari arah gunung Marapi. Imran terkesiap. Tidak tahu apa yang harus diperbuat. Dia juga tidak tahu benda apa itu.

Suara gemuruh itu semakin dan semakin dekat. Dan mulai terdengar suara berdengkang menghantam sisi rumah. Dan suara kaca pecah dari rumah sebelah. Rumah yang ditempati nek Piah. Ya Allah.....

Imran berteriak Allahu Akbar. Ibu terbangun dan langsung terkejut mendengar suara berdengkang-dengkang. Dan suara kaca pecah. Dan suara nek Piah berteriak minta tolong.

‘Ran! Tolong nek Piah, Ran. Tolong nenekmu ke bawah!’ teriak ibu.

Imran berlari ke pintu keluar. Dibukanya kunci pintu. Gelap di luar sana. Kilat menyambar lagi dan dia lihat di antara tangga dan rumah sebelah tidak ada apa-apa. Imran lari turun menuju rumah nek Piah. Jendela-jendela kaca di bagian samping rumah itu hancur berantakan.

‘Nek, buka pintunya nek,’ teriak Imran.

Samar-samar terlihat bayangan nek Piah di dalam. Nek Piah mendekat ke arah pintu dan membuka kunci. Beliau membuka pintu. Muka nenek itu berdarah. Imran membimbing tangan nenek itu ke luar dari rumah. Suara gemuruh dan berdengkang-dengkang masih tetap berlanjut.

Sebuah hantaman sangat kuat terdengar di sisi rumah. Persis di sisi kamar ibu. Diikuti suara kayu patah berderak. Dan suara sesuatu yang ambruk. Imran membimbing nenek ke sisi lain rumah karena tempat itu terlindung dari hantaman.

‘Nenek tunggu disini sebentar nek. Awak mau melihat ibu ke atas. Nenek tutup luka nenek dengan selendang ya...’ kata Imran.

Imran bergegas naik tangga ke rumah. Bunyi tangga itu sekarang berderak-derik. Imran melangkah hati-hati. Dia sampai di atas dan didorongnya pintu. Pintu itu keras sekali. Imran tidak sabar. Ditendangnya pintu itu sekuat tenaga. Pintu terbuka. Imran menuju ke kamar. Ya Allah......... Lantai kamar itu ambruk. Tempat tidur ibu ikut runtuh ke bawah dalam posisi terguling. Imran berteriak memanggil ibu. Tidak ada jawaban. Imran melihat ibu tertelungkup di sisi bawah tempat tidur yang terguling.

Imran tidak bisa segera turun ke tempat ibu karena lantai yang terjungkal. Tadi Imran melihat tumpukan kain bekas cucian di atas kursi di luar. Diambilnya dua helai kain panjang dan diikatkannya ke pegangan pintu. Berpegangan pada kain panjang itu Imran turun ke bawah. Dibalikkannya tubuh ibu dengan sedikit susah. Nafas ibu tersengal-sengal dan dari mulut beliau keluar darah. Ibu memandang Imran dengan tersenyum.

‘Hati.... ha...ti....se..pe..ning....gal... ibu...nak.... laa ilaha illallaah.......’

Itulah kalimat beliau yang terakhir. Imran menjerit memanggil ibu yang ada dipelukannya. Ibu yang sekarang sudah jadi jasad. Begitu cepatnya. Imran menangis. Menangis parau.

Sekarang diluar sunyi senyap. Tidak ada lagi bunyi menderu. Nenek Piah berjalan sambil meraba-raba menuju tangga. Beliau mendengar teriakan Imran. Nenek Piah menaiki tangga sambil berpegangan tangan.

Nenek berjalan menuju kamar. Lantai yang diinjaknya berbunyi berderak-derak. Imran mendengar suara tapak kaki melangkah.

‘Siapa disitu?’ tanya Imran.

‘Nenek, Ran. Dimana kau? Apa yang terjadi?’ tanya nenek.

‘Jangan kesini nek. Lantai terban. Ibu, nek....... Ibu....... ‘ teriak Imran dalam tangis.

‘Kenapa ibumu? Bagaimana dia?’ tanya nenek.

‘Ibu sudah pergi nek....... Nenek jangan kesini.... ‘

‘Ibumu kenapa? Si Ana kenapa? Dimana dia?’ Nenek ikut histeris. Beliau berteriak dan menangis.

‘Ibu jatuh, nek....... Tempat tidur terguling....... Ibu sudah tidak ada..........’ jawab Imran dalam tangis.

‘Ya Allaaah..... Ana.... Anaa...... kenapa kau nak....... Ya Allaaah.....’ nenek semakin histeris.

Nenek dan Imran bertangis-tangisan di tempat masing-masing. Kira-kira setengah jam kemudian terdengar suara orang di luar. Mak etek Nursal dan mak etek Tamrin datang. Terdengar suara mak etek memanggil-manggil.

Mendengar suara tangisan nenek dan Imran kedua orang itu naik ke rumah. Kembali suara tangga berderak-derak.

‘Kenapa mak?’ tanya mak etek Tamrin.

‘Si Ana, Tamrin.... si Ana.....’ hanya itu jawab nenek.

Dari dalam kamar di bagian bawah terdengar isakan tangis Imran. Kedua mak etek itu melangkah hati-hati ke arah kamar.

‘Imran!’ mak etek Nursal memanggil.

‘Mak etek...... Ibu...mak etek.... Ibu sudah pergi.......’ jawab Imran


*****

Friday, April 17, 2009

DERAI-DERAI CINTA (6)

6. FIRASAT

Sehabis maghrib Muncak Amat mendatangi rumah guru Sofyan. Dia ingin berbincang-bincang lagi dengan guru itu. Muncak berfirasat ada bahaya yang sedang mengancam kampung. Dan dia ingin menanyakan kemungkinan itu. Guru Sofyan mempersilahkan Muncak Amat naik ke rumahnya. Kedua orang itu langsung terlibat dalam sebuah diskusi.

‘Ada apa engku Muncak? Masih penasaran dengan urusan air di batang air?’ tanya guru Sofyan begitu Muncak Amat duduk.

‘Benar guru. Cobalah guru jelaskan. Tidakkah mengkhawatirkan menurut pendapat guru, ketika air terkumpul di suatu tempat di atas gunung sana? Harusnya tempat terkumpulnya itu bukan tempat yang biasa menampung air. Bagaimana caranya tiba-tiba saja ada kolam tempat menampung air?’ tanya Muncak Amat.

‘Mungkin bukan sekedar kolam engku. Engku bayangkan saja lembah-lembah di punggung gunung itu. Sebuah lembah bisa saja berbentuk cekung menyerupai kuali. Mungkin disana air terkumpul,’ jawab guru Sofyan.

‘Seperti telaga, begitu ?’

‘Ya. Bisa seperti telaga.’

‘Bila terjadinya telaga itu? Karena selama ini air menghilir lancar-lancar saja ?’ tanya Muncak yang sangat kritis.

‘Betul juga. Atau mungkin.........., ini yang lebih masuk di akal, ada cekungan lembah yang tersumbat. Mungkin tersumbat oleh batu-batu, atau pohon-pohon kayu runtuh,’ kata guru Sofyan.

Kali ini dia menerawang ke langit-langit. Mungkin membayangkan yang baru saja dikatakannya.

‘Apakah itu aman guru? Kalau memang ada batu-batu besar atau pokok-pokok kayu rimba yang menahannya?’

‘Mudah-mudahan saja, engku,’ jawab guru Sofyan.

‘Tapi....... Seandainya, penahan air itu runtuh?’

‘Ya... lepaslah air ke bawah. Dihanyutkannya apa yang ada di lembah-lembah, di sepanjang batang air.’

‘Di hanyutkannya segala sampah rimba. Segala macam kayu dan ranting yang menyekat. Tentu begitu guru?’

‘Betul, engku. Apapun yang bisa dihanyutkan air tentu dihanyutkannya.’

‘Itu benar yang saya takutkan. Dan saya sudah memindahkan kerbau-kerbau saya dari kandangnya di tepi batang air itu.’

‘Baik juga itu untuk berjaga-jaga, engku. Itu kan seandainya air yang tertahan di atas sana lepas dan menghantam sekali gus. Boleh juga kita berharap, air itu akan mengalir saja pelan-pelan seperti yang kita lihat di batang air saat ini,’ jawab guru Sofyan.

‘Benar guru. Tapi ini firasat saja. Entah kenapa saya cemas saja. Baiklah guru, sepertinya hari mau hujan lagi. Sudah terdengar lagi guruh. Saya pergi dulu.’

‘Baik kalau begitu, engku.’


***

Tidak ada orang lain yang cemas seperti Muncak Amat. Karena siang tadi udara cerah sesudah seminggu diguyur hujan, mereka yang biasa main koa malam ini berkumpul lagi di dangau tempat mereka biasa main. Menikmati perburuan di atas tikar atau berburu babi di atas tikar. Begitu istilahnya. Begitu kalau hobi.

***

Imran memijit kaki ibu sesudah mereka makan malam. Sambil berbincang-bincang. Seperti biasa, ibu menasihati Imran.

‘Tek Ema tidak mau sama sekali menerima uang harga pisang, Ran?’ tanya ibu.

‘Tidak mau, bu. Awak katakan, inikan barang dagangan, tek. Biarlah awak bayar. Tapi kata etek, sudah etek terima bayarannya dan etek berikan untukmu,’ jawab Imran.

‘Uangnya kau berikan sungguh-sungguh, bukan? Bukan hanya seperti mau membayar?’

‘Sungguh-sungguh, bu. Awak serahkan ke tangan etek. Beliau ambil lalu dimasukkan kembali ke saku baju awak,’ Imran menjelaskan.

‘Dalam perdagangan sebenarnya, tidak ada pemberian seperti itu. Atau, kau memberikan dekat mak etek Nursal barangkali?’

‘Tidak, bu. Mak etek belum pulang dari kantor.’

‘Berarti dia ingin beramal. Karena kau anak yatim,’ kata ibu pula.

Imran teringat kata-kata mak Budin yang juga berbuat baik karena dia anak yatim.

‘Ran, dalam berdagang yang paling penting adalah kejujuran. Kamu harus faham itu,’ ibu menyambung pembicaraan.

‘Awak faham, bu.’

‘Ketika berjanji ditepati. Kalau berhutang jangan ditunda-tunda membayarnya. Begitu dulu petuah ayahmu. Dan ibu selalu memeliharanya.’

Imran terdiam.

‘Ayahmu memang banyak berpetuah. Banyak dia menasihati ibu. Menerangkan masalah agama kepada ibu. Dia berpesan agar ibu mendidikmu untuk bisa mandiri sejak kanak. Kau masih ingat ayah, kan? Masih ingat bagaimana disiplinnya dia?’

‘Awak masih ingat, bu. Ayah selalu sayang kepada awak. Tapi pernah juga awak dimarahi ayah, kalau awak malas-malas mengaji.’

‘Tentu saja beliau marah. Tapi semarah-marahnya, ayahmu tidak pernah dia memukulmu bukan?’

‘Tidak pernah, bu.’

‘Entah kenapa ibu jadi ingat ayah. Ingin rasanya ibu pergi menziarahi pusaranya. Tapi dimana pula akan mungkin.’

Imran kembali terdiam beberapa saat. Tiba-tiba dia ingat sesuatu.

‘Bagaimana kalau awak mengaji, bu? Dan awak doakan lagi ayah?’

‘Mengajilah. Pergilah berwuduk. Mengajilah, biar ibu dengarkan.’

Imran pergi berwuduk ke belakang. Agak heran dia, kenapa tiba-tiba ibu ingat ayah? Apakah memang seperti itu selalu perasaan beliau? Selalu mengenang ayah? Rupanya beliau benar-benar mencintai ayah. Padahal ayah sudah meninggal sejak lebih dari enam tahun. Beliau masih menyimpan derai-derai cinta.

Sudah sejak tadi terdengar suara guruh di luar. Kadang-kadang terlihat kilat dari sebelah dinding sumur. Sepertinya hari akan hujan lagi.

Imran sudah selesai berwuduk dan kembali ke kamar. Diambilnya kain sarung dan disarungkannya. Dia duduk di samping ibu di tempat tidur dan mulai mengaji. Dibacanya surat Yasiin. Ibu menyimak bacaan Imran.

Setelah selesai membaca surat Yasiin, ibu menyuruh Imran membaca surat ar Rahman, surat ke 55. Imran membacanya. Membaca fabiayyi alaa irabbikuma tukatztzibaan berulang-ulang dalam surat itu. Tidak sengaja mata Imran melirik ibu. Dilihatnya ibu menangis. Airmatanya bercucuran. Imran menghentikan bacaannya, tapi ibu menyuruh melanjutkan. Imran kembali mengaji sampai selesai.

Fabiayyi alaa irabbikuma tukatztzibaan... Maka nikmat Tuhanmu manakah yang engkau dustakan? Itu artinya. Ayahmu dulu menerangkan arti surat ar Rahman itu kepada ibu. Jangan sampai kita mendustakan segala karunia Tuhan. Melupakan segala nikmat yang diberikan Tuhan. Jangan sampai kita mengingkari Nya. Allah menjanjikan surga untuk orang-orang yang beriman, yang senantiasa taat patuh kepada perintah Nya. Kau camkan itu, nak!’ kata ibu.

Tanpa disadarinya, air mata Imran juga mengalir. Diambilnya tafsir al Quran. Dibukanya surat ar Rahman dan dibacanya arti ayat-ayat itu. Imran pun menangis.

Di luar hujan sudah mulai turun. Cukup lebat. Bunyi air hujan jatuh, menderu di atap seng. Terdengar pula suara guruh.

Imran ingat cerita mimpi ibu tentang petir. Dadanya berdebar-debar. Tapi, bukankah beberapa hari yang lalu petir menyambar berkali-kali, tidak terjadi apa-apa? Apakah ini sebuah firasat? Atau terbawa larut oleh ma’na surat ar Rahman?

Ibu sudah tertidur. Dipandanginya wajah ibu. Ibu tersenyum dalam tidurnya. Mungkin ibu tengah bermimpi. Imran berusaha pula untuk tidur.

*****

Thursday, April 16, 2009

DERAI-DERAI CINTA (5)

5. ALAM YANG GANJIL

Keesokan harinya ternyata cuaca cerah. Matahari bersinar cemerlang. Timbul semangat karenanya, sebab sudah beberapa hari ini matahari tidak terlihat di pagi hari. Gunung Marapi masih berselimut pada bagian puncaknya. Di bagian lainnya terlihat bersih berwarna biru cerah. Sarasah (air terjun) di bagian tengah gunung terlihat dengan jelas seperti sebuah codetan. Berwarna putih.

Kegiatan orang kampung kembali berjalan normal. Yang mengumpulkan pisang kembali mengumpulkan pisang. Banyak yang berancang-ancang mau menjemur padi sebelum digiling di heler. Sepertinya akan panas sehari ini.

Imran tidak bersekolah. Dia libur karena ini adalah minggu tenang sebelum ujian akhir. Dia berusaha belajar sebaik-baiknya sebelum menghadapi ujian minggu depan. Dan pagi ini disempatkannya pergi menebang pisang di kebun istri mak etek Nursal. Dua tandan besar pisang ambon itu dibawanya pulang dengan menggunakan gerobak dorong. Etek Ema, istri mak etek Nursal, tidak mau menerima uang pembelian pisang. Gunakan untuk keperluan sekolahmu, kata etek Ema. Imran sangat berterima kasih. Memang selalu demikian. Sudah beberapa kali dia disuruh menebang pisang di sana, tapi etek Ema tidak mau menerima uang. Paling-paling dia hanya meminta dua sisir pisang ditinggalkan. Yang lain disuruh ambil semua.

Sebelum sampai di rumah, Imran berpapasan dengan mobil toke pisang yang dulu membawanya ke Paya Kumbuh.

‘Mau langsung kau jual?’ tanya mak Budin, toke itu.

‘Boleh. Pisang ini sudah tidak perlu diperam. Sudah mulai masak. Di rumah ada dua tandan pisang batu yang sudah masak. Silahkan mak Budin ambil semua,’ jawab Imran.

‘Atau, mau kau ikut menjualnya ke Bukit?’ tanya mak Budin.

‘Ah, tidak. Awak mau belajar. Awak mau ujian minggu depan,’ jawab Imran.

‘Katanya kau tidak mau lagi ikut dengan mobilku, benar?’

‘Sekarang ini tidak. Karena awak mau belajar,’ jawab Imran tegas.

‘Ya, sudahlah. Naikkanlah pisang itu! Pergilah ambil yang lain, yang kau katakan ada di rumah!’ perintah toke itu.

Imran mengangkatnya ke atas truk. Di atas truk itu sudah banyak tandan pisang yang lain. Rupanya toke itu akan segera menjualnya ke Bukit Tinggi.

‘Mamak tunggulah sebentar. Awak jemput ke rumah,’ kata Imran.

Mak Budin mengangguk. Dimatikannya mesin mobil. Imran segera kembali mendorong gerobak dengan dua bakul besar pisang batu yang sudah masak, siap untuk dibuat jadi goreng pisang.

‘Untung benar dibawa keluar sekarang. Kalau tidak, besok-besok pisang itu akan semakin lunak. Sudah susah menjualnya,’ kata mak Budin.

Imran mengangkat pisang-pisang yang sudah dipisah menjadi banyak sisir ke dalam truk.

‘Angkat saja dengan ketiding-ketidingmu itu. Nanti aku kembalikan,’ perintah mak Budin.

Imran setuju.

‘Jadi berapa sisir semua pisang ambon tadi? Berapa pula pisang batu?’

Imran menghitung dan memberitahukan jumlahnya. Mak Budin menghitung harganya, mengeluarkan uang dari dompet dan menyerahkan uang itu kepada Imran.

‘Kenapa sebanyak ini? Ini kan harga di pasar, mak?’ tanya Imran.

‘Ya, harga di pasar. Aku anggap kau sendiri yang menjualnya di pasar. Aku ingin kau tahu, bahwa aku bukan laki-laki yang suka beranak jawi! Kau catat itu! Aku menolongmu karena bersimpati dengan keadaanmu. Karena kau anak yatim,’ kata mak Budin, yang sudah kembali duduk di belakang kemudi.

Imran menatap mobil truk itu bergerak, berlalu dan akhirnya menjauh.

***

Sampai sore, hari masih tetap panas. Berbeda benar dengan kemarin yang hujan sehari suntuk. Panas sampai petang rupanya hari ini. Imran minta izin ibu untuk pergi ke pekan, pergi membeli obat gosok. Obat gosok yang diberikan nenek sudah hampir habis. Tangan ibu yang waktu itu terlihat bisa digerakkan sedikit, tetap seperti itu saja. Tidak ada perubahan lebih lanjut. Tapi ibu senang dipijit dan diurut dengan obat gosok. Hangat dan enak terasa. Imran berharap, mudah-mudahan lama kelamaan ada juga pengaruh obat gosok itu nantinya.

Imran mengendarai sepeda dengan santai. Ketika melintas di dekat batang air, diperhatikannya anak-anak kecil sedang memandikan kerbau. Ada satu hal yang menarik perhatiannya. Air batang air itu biasa-biasa saja. Tidak deras mengalir seperti biasanya sesudah beberapa hari hujan. Imran sadar bahwa hal itu agak aneh, tapi dia tidak tahu apa sebabnya.

Setelah membeli obat gosok dia segera pulang. Untuk kembali belajar.

***

Karena hari cerah, bertambah pula gairah orang main domino di lepau. Berlapoh-lapoh dan berdentang-dentang bunyi batu plastik itu dihempaskan. Yang menonton tidak kalah asyik. Sambil mengobrol hilir mudik. Yang main kadang-kadang ikut pula menimpali.

Muncak Amat yang duduk di sudut lepau melaporkan pengamatannya tentang air batang air. Terjadilah hotar panjang.

‘Ada yang agak ganjil. Hampir seminggu hari hujan, selama itu pula gunung Marapi berselimut awan gelap, tapi air batang air biasa-biasa saja,’ kata Muncak Amat.

‘Lalu kenapa?’ tanya Lelo yang sedang mengamati batu dominonya.

‘Tidak normal air batang air seperti itu. Harusnya lebih deras,’ jawab Muncak Amat.

‘Muncak berbahasa tinggi. Pakai istilah tidak normal segala. Yang normal itu seperti apa...... ? Taroklah ganja anam itu Pudin dari pada mati terkepit,’ Yusran Sati, mandan Lelo ikut menimpali sambil tetap berkomentar tentang permainannya.

‘Yang normal...., yang biasa, kalau berhari-hari hujan, air batang air itu deras berhari-hari pula,’ Muncak Amat menjelaskan lagi.

‘Jadi dimana salahnya kalau begitu ?’ tanya Pudin Gindo.

‘Salahnya, ganja anam kau sudah mati he..he..he... Salahnya? Entah? Dimana salahnya Muncak?’ tanya Yusran.

‘Salahnya? Kemana pergi air hujan yang banyak itu?’

‘Pertanyaan Muncak betul-betul seperti pertanyaan profesor. Siapa pula yang akan tahu kemana perginya?’ Lelo berkomentar sambil menghempaskan batunya yang terakhir.

‘Betul Lelo. Pertanyaan Muncak ini sulit. Tidak pandai kita menjawab,’ kata Pudin yang dapat giliran mengocok batu.

‘Aku sependapat dengan Muncak. Cobalah perhatikan serasah itu. Airnya besar. Terlihat dari sini codetan putih air serasah jatuh. Karena di atas gunung Marapipun hujan besar selama ini. Tapi entah kemana pergi air itu,’ guru Sofyan ikut berkomentar.

‘Cobalah terangkan kalau begitu, guru! Kemana agaknya pergi air. Sepertinya hal itu menjadikan Muncak Amat rusuh benar,’ kata Lelo, kali ini sambil menghempaskan balak enam.

‘Kalau menurutku, kalau air itu tidak turun, tidak mengalir kesini, berarti masih tertahan di atas,’ jawab guru Sofyan.

‘Siapa pula agaknya yang menahan, guru? Atau jangan-jangan orang bunian...he..he..’ Lelo terkekeh.

‘Tidak mesti. Dan lagi, aku belum pernah bertemu orang bunian. Aku tidak tahu kalau mereka banyak minum,’ jawab guru, ikut-ikutan melantur.

‘Seandainya tertahan, dimana pula akan tertahannya guru? Bukankah tidak ada kolam besar di atas gunung itu?’ tanya Muncak Amat bersungguh-sungguh.

‘Kolam besar mungkin saja ada di atas sana engku Muncak. Cobalah engku perhatikan, kan ada lembah-lembah juga di sela-sela punggung gunung Marapi itu,’ guru Sofyan menjelaskan.

‘Kalau begitu kan sudah jelas. Apa pula yang ganjil? Berarti air itu tertahan di kolam-kolam dalam lembah seperti yang dikatakan guru Sofyan,’ kata Lelo.

‘Bagaimana kalau air di kolam besar itu tumpah, kalau benar ada kolam besar di atas sana?’ tanya Muncak Amat.

‘Aih, Muncak.... Tidak disini seharusnya Muncak berpidato. Panjang betul telaahan Muncak. Kalau dia tumpah tentu mengalir dia ke hilir. Besar kembali air batang air yang Muncak risaukan itu...... Pas aku Gindo.... Batuku pun ikut pusing mendengar pemikiran Muncak Amat....’ kata Yusran Sati.

‘Tidakkah engku-engku takut kampung ini akan disiram banjir?’ tanya Muncak Amat lagi.

‘Yang pasti-pasti sajalah yang akan dipikirkan Muncak. Kalau semua dipikirkan, tidak pantas kita tinggal di kampung ini. Tidak takut pulakah Muncak seandainya gunung Marapi ini meletus?’ giliran Lelo berkomentar.

Semua tediam sementara.

‘Ada lagi yang ganjil,’ kali ini Sinaro yang berbicara.

‘Apa pula lagi? Atau jangan-jangan sudah mau kiamat agaknya, banyak betul hal yang ganjil-ganjil,’ giliran Pudin Gindo.

‘Sudah lama aku tidak melihat landak. Tadi pagi aku lihat empat ekor di tepi batang air,’ kata Sinaro.

‘Lalu? Apa pula urusannya?’

‘Barangkali saja landak itu ingin berjemur panas matahari, sesudah sepekan hari hujan,’ Lelo mencoba menjawab.

‘Landak itu biasanya keluar malam dari sarangnya di tepi batang air. Dimana tepatnya Sinaro melihatnya?’ tanya guru Sofyan.

‘Di rumpun betung di pinggir batang air,’ jawab Sinaro.

‘Entahlah, mungkin juga......’ guru Sofyan tidak meneruskan kata-katanya.

‘Mungkin juga apa, guru?’ tanya Pudin Gindo.

‘Mungkin juga mereka merasa sarang mereka di tepi batang air tidak aman,’ jawab guru.

‘Itupun hal yang repot kalau begitu. Bagaimana pula akan menanyakannya kepada landak?’ sergah Lelo.

‘Mudah-mudahan saja tidak ada apa-apa. Sudahlah, sudah terlalu petang. Aku mau pulang dulu,’ kata guru Sofyan.

Dia keluar, meninggalkan lepau. Pertandingan domino pun sudah berakhir.


*****