Tuesday, December 29, 2009

DERAI-DERAI CINTA (40)

40. MINGGU CERIA

Minggu. Hari istirahat. Hari bebas dari rutinitas perkuliahan. Dari rutinitas pekerjaan. Hari untuk sedikit bersantai. Begitu biasanya. Di samping hari untuk bereksperimen memasak bagi uni Lani dan teteh Yani. Kadang-kadang teteh Yani membuat pepes ikan mas. Kadang-kadang uni Lani membuat nasi goreng istimewa. Dan kadang-kadang Lala dan Yuni juga ikut-ikutan. Memasak yang ringan-ringan, entah kue-kue kecil. Atau panekuk alias pan cake untuk sarapan. Atau misalnya membuat es buah dengan mencampurkan bermacam-macam buah dimasukkan ke dalam parutan es batu lalu dibubuhi susu kental manis. Dan anehnya, pada hari bereksperimen itu bibik justru tambah sibuk. Melayani permintaan untuk mencari atau bahkan membelikan bahan-bahannya ke pasar.

Hari Minggu ini uni Lani mau membuat gado-gado Padang. Kenapa sih, namanya gado-gado Padang, tanya teteh Yani. Kata uni, karena pakai lontong dan kerupuk merah. Tapi bukankah gado-gado memang pakai lontong? Gado-gado Tengku Angkasa juga pakai lontong. Kalau begitu bedanya hanya pada pemakaian kerupuk merah. Tidak juga, kata uni tidak mau kalah. Gado-gado Tengku Angkasa kuah kacangnya kental dan terasa manisnya. Gado-gado Padang kuahnya tidak terlalu kental dan pedas. Nah, begitu.

Uni lalu bereksperimen dengan membuat kuah atau bumbu kacang sesuai dengan yang dia maksud. Si bibik disuruh menggiling kacang tanah yang sudah digonseng, ditambahi dengan cabe dan sedikit sekali gula jawa.

Sementara itu Lala dan Yuni sedang membersihkan pot bunga di teras depan. Mereka ditemani Imran dan Rizal. Kaki Imran sudah semakin ringan rasanya. Sudah bisa dibawa sedikit lasak walaupun kaki kiri itu masih tetap harus diistirahatkan. Rizal mengangkat dan merapihkan susunan pot-pot itu, lalu Lala dan Yuni merapihkan kembang di dalamnya. Memotong daun-daun yang layu dan mencabuti rumput di sekitarnya. Mereka bekerja sambil bersenda gurau.

‘Kembang-kembang ini keterlaluan kalau tidak mau berbunga,’ kata Rizal.

‘Memangnya kenapa?’ tanya Lala.

‘Kan keterlaluan namanya kalau kembang tidak mau berbunga,’ jawab Rizal asal-asalan.

‘Maksud Rizal, sudah dirawat baik-baik, masak tidak mau berbunga,’ Imran mencoba menjawab.

‘Apa lagi dirawat oleh……’

‘Kok nggak diterusin? Dirawat siapa?’ tanya Yuni penasaran.

‘Dirawat saya yang sengaja datang jauh-jauh dari Jakarta,’ jawab Rizal tersenyum.

‘Yeeeeei… Kok GR amat sih, bang,’ kata Lala.

‘Kan benar……’

‘Maksud Rizal sebenarnya sudah dirawat dua pasang tangan anak gadis…. Iya kan Zal?’ kata Imran pula.

‘Iya sih…. Tapi kan dibantu sepasang tangan anak bujang. Anak bujang yang gagah lagi… he..he..he..’

‘Ih…. Abang Rizal ini ke GR an amat….’

‘Nggak GR-GR amat sih. Pas-pasan aja. Memang orangnya gagah sih…..’

‘Udahlah, Yun! Nggak usah didengerin.’

Sedang mereka bergurau, bertele-tele itu dua buah becak berhenti di depan rumah. Syahrul di satu becak dan Ratih ditemani adiknya Sukma di becak yang satunya lagi.

‘Lagi gotong royong rupanya…….,’ Syahrul menyapa.

‘Kalau aku sedang berjemur… Sambil memandori orang bekerja….,’ jawab Imran.

‘Bagaimana kaki kau, Ran?’ tanya Syahrul pula.

‘Alhamdulillah sudah tidak berdenyut-denyut lagi…… Berombongan benar kalian datang,’ kata Imran.

‘Ya…. Kami ingin tahu kondisi kesehatan kak Imran. Syukurlah, sudah berangsur baik kelihatannya, ya kak,’ kata Ratih.

‘Alhamdulillah….. Sudah berangsur-angsur baik…. Sudah pada kenal, kan ini…… Ratih, ini Lala…. Kalau Yuni sudah kenal kan? Dan itu Rizal saudara saya dari Jakarta…... Itu Sukma adiknya Ratih….’

‘Waktu itu kita ketemu di rumah sakit, kan,’ kata Ratih sambil menyalami Lala.

Lala tersenyum. Mereka semua bersalam-salaman.

Lala mempersilahkan tamu-tamu itu masuk. Sementara pekerjaan mengurus kembang mereka hentikan dulu. Imran bangkit dari tempat duduknya dan ikut masuk dibantu dengan tongkat penyangga.

Suasana dalam rumah itu menjadi ramai. Oleh tawa canda anak-anak muda. Apalagi setelah abang Lutfi ikut pula bergabung. Abang Lutfi dan Rizal sangat pandai melawak.


***

Mereka bersama-sama menikmati gado-gado lontong buatan uni. Yang lontongnya dipesan di tukang lotek di jalan Dipati Ukur dari kemarin. Yang enak dan agak pedas. Dan menyantap pudding yang dibawakan Ratih. Dan es buah campur kreasi Lala dan Yuni. Semua serba mantap.

‘Hebat-hebat makanan dan minuman ini,’ celetuk abang Lutfi.

‘Siapa dulu dong yang bikin…..,’ teteh Yani mengomentari.

‘Siapa memangnya?’ tanya abang pula berpura-pura.

‘He…he..he… Siapa ya?’ Lala ikut meramaikan sambil tertawa kecil.

Yang lain tersenyum.

‘Eih….. Abang baru sadar nih…..’ abang Lutfi mengalihkan pembicaraan.

‘Lho…. Dari tadi abang tidur? Jadi tadi itu ngelindur?’ tanya Rizal.

‘Bukan….. Ini serius nih……’

‘Serius apaan?’

‘Kalian ada tiga pasang…… Mungkin nggak ya? Suatu saat kalian menjadi tiga pasangan sungguhan?’

‘Ya Allaaah….. si abang ngomong apaan sih?’ kata uni Lani.

‘Bener lho….. Tiba-tiba abang kepikiran kayak gitu…. Emangnya salah?’

‘Ya…. nggak salah sih….. Tapi kok ya ada-ada saja begitu lho….’

Lala, Yuni dan Ratih hanya melongo mendengar. Begitu juga teteh Yani dan Sukma.

‘Gimana Zal?’ abang menyambung lagi.

‘Yaaah…. Kok abang ada-ada saja begitu lho…… Ya, nggak ni? Begitu kan, kata uni barusan….he..he..he.. Tapi kok abang nanya ke aku?’

‘Ya iyalah...., nanyanya ke kamu…. Kamu setuju nggak?’

‘Wah…. Aku harus menjawab apa nih? Kalau aku bilang setuju, alasannya apa? Kalau aku bilang nggak setuju, alasannya apa?’

‘Berarti kamu cenderung setuju dong?’

‘Wuih…. Hebat betul kesimpulan abang. Kok bisa begitu?’

‘Habis…., jawabanmu nggak jelas…Udahlah… Tapi kalau pendapatmu bagaimana Ran?’

‘Kalau kata abang mungkin…. Ya mungkin saja, kalau Allah berkehendak kenapa tidak, bisa saja ada di antara kita ini nanti ditetapkan Allah menjadi pasangan. Siapa? Itu rahasia Allah,’ jawab Imran polos.

‘Tapi belum bisa diketahui dari sekarang? Belum bisa diramal?’ tanya abang lebih serius.

‘Untuk apa diramal, bang…?’

‘Dan menurutmu juga tidak perlu direncanakan? Kehidupan berumahtangga nanti itu tidak perlu dipersiapkan sejak jauh hari? Begitu?’

‘Boleh-boleh saja direncanakan.’

‘Lalu?’

‘Merencanakannya itu kan ndak perlu buru-buru. Dan ndak perlu gembar-gembor.’

‘Abang nggak terlalu faham, nih. Maksudmu…..?’

‘Maksudnya Imran nggak perlu melalui proses berpacaran, begitu kan Ran?’ uni mencoba ikut menengahi.

‘Ya… Begitulah lebih kurang, uni.’

‘Jadi begitu ya, Ran?’ abang masih penasaran.

Hening beberapa saat.

‘Kalau pendapatmu bagaimana Rul?’

‘Saya nggak ikut berpendapat, bang he..he..he,’ jawab Syahrul.

‘Kamu punya pacar?’

‘Tidak….. Belum… eh… tidak punya.’

Yang lain tertawa melihat Syahrul gugup.

‘Abang yang ditanyain dari tadi kok yang cowok melulu… Tanya yang cewek-cewek juga dong,’ teteh Yani ikut menambahi.

‘Iya..ya. Bagaimana Yun?’

Yuni hanya mesem-mesem. Tidak ada jawaban.

‘Mungkin Yuni sudah punya pacar kali bang,’ Rizal berkomentar.

‘Kayaknya belum deh….. Atau, jangan-jangan kamu….he..he..he..”

‘Lho…Kok aku?’ jawab Rizal dengan muka sedikit memerah.

‘He..he..he… Kayaknya pas juga tuh… Seandainya iya.’

‘Udahlah bang…. Nggak usahlah jadi mak comblang…. Eh, ngomong-ngomong…. bagaimana? Jadi kita pergi nonton siang ini?’ uni Lani mengalihkan perhatian.

‘Jadi dong…. Syahrul, Ratih ikut yuk. Sukma juga boleh ikut kok. Kita nonton rame-rame.’

‘Film apa, teh?’ tanya Rizal.

‘Sound of Music. Film semua umur….. Ikutan ya….!?’ Jawab teteh Yani.


*****

Tuesday, December 15, 2009

DERAI-DERAI CINTA (39)

39. SEKELOA

Setelah dua malam di rumah sakit Imran sudah dibolehkan pulang. Sudah dicobanya melatih menggunakan kedua tongkat penyangga. Tidak ada masalah. Kecuali kaki kirinya yang memang harus dijaga hati-hati sebab tersenggol sedikit saja langsung terasa nyeri.

Abang Lutfi dan teteh Yani bersungguh-sungguh menyuruh agar Imran tinggal di Sekeloa saja untuk sementara. Uni Lani juga sangat setuju. Apa lagi Lala. Dan apa lagi Yuni tentu saja. Imran akhirnya menerima tawaran itu. Dia menyadari bahwa urusan ke kamar kecil akan jadi masalah kalau dia pulang ke tempat tinggalnya di Taman Sari. Imran memberi tahu Syahrul tentang usulan ini. Bahwa dia akan mencoba tinggal disana paling tidak selama liburan semester di akhir tahun. Syahrulpun sependapat bahwa usulan itu sangat baik. Bukankah disana ada dua dokter yang akan merawatnya?

Rumah di Sekeloa itu besar. Ada tiga buah kamar yang masing-masing ditempati abang Lutfi dan teteh Yani, kamar uni Lani sendirian dan yang terakhir ditempati Lala dan Yuni. Di samping itu ada sebuah ruangan setengah terbuka, tadinya untuk mushala merangkap perpustakaan. Tapi akhir-akhir ini ruangan itu dimodifikasi untuk jadi ruangan praktek dokter. Sisi yang terbuka ditutup dengan dinding triplek. Di dalamnya ada sebuah dipan kecil untuk pemeriksaan pasien, meja kerja dokter, sebuah lemari yang entah apa isinya dan rak buku besar berisi banyak sekali buku-buku. Dengan isi seperti itu ruangan itu masih saja cukup lega. Masih ada bagian yang kosong. Memang ruangan ini digunakan kalau ada pasien yang datang berobat ke rumah. Tapi pasien yang datang ke rumah tidak banyak.

Imran akan menempati ruangan ini. Uni Lani dan Lala memindahkan sebuah dipan kecil, kembaran dipan yang terletak di bawah tempat tidur uni. Dipan kecil itu sekarang diletakkan di samping rak buku. Mereka merapihkannya dengan seprai dan bantal bersarung putih bersih. Itulah tempat tidur Imran.

Rumah itu bertambah ramai dengan kehadiran Imran. Terutama di saat makan malam bersama. Karena abang Lutfi dan teteh Yani praktek sampai sekitar jam setengah sembilan malam, makan malam selalu agak terlambat, menunggu sampai kedua dokter itu pulang.

‘Bagaimana rasanya Ran, pindah dari Hasan Sadikin ke rumkit Sekeloa ini?’ tanya abang Lutfi bercanda pada saat makan malam.

‘Sama, bang,’ jawab Imran.

‘Lho kok sama? Masak nggak ada bedanya?’

‘Sama-sama berbeda dengan di Taman Sari.’

‘Semprul……’

‘Di Sekeloa nggak ada perawatnya, ya Ran,’ teteh Yani menimpali.

‘Lha, ini? Kan ada tiga perawat..? Ada dua dokter, ada tiga perawat. Pasiennya cuman satu. Di Hasan Sadikin pasiennya banyak sekali.’

‘Itulah, bang. Yang membuat awak agak takut. Jangan-jangan ndak sanggup awak membayar biaya perawatannya nanti.’

‘Aaah…… awak jangan khawatir. Tagihannya nanti disampaikan kalau pasiennya sudah menerima gaji. Sementara ini tidak akan ada tagihan….. Tapi kalau pasiennya sudah agak baikan diminta ikut membantu staf dapur umum… he..he..he..’

‘Membuat gulai tunjang? Begitu?’ tanya Lala.

Semua tertawa.

‘Iyalah. Tapi itu nanti….. Kalau pasiennya sudah bisa diperbantukan ke dapur. Bukan sekarang-sekarang.’

‘Bang….. Kok abang suka banget dengan gulai tunjang?’ Yuni bertanya.

‘Itu sudah dari sononya….. Bukan ding… Abang dulu diperkenalkan papa dengan gulai tunjang nasi Kapau di Bukit Tinggi. Kami makan di warung di tengah pasar. Tapi rasa masakannya, wuih….. Sejak itu abang nggak pernah melupakannya. Pernah sesudah itu abang ke Bukit Tinggi, bukan ikut papa. Kalau nggak salah menemani mama waktu nenek sakit, abang pergi sendiri ke tempat nasi Kapau itu lagi. Pokoknya bukan main dah. Dan rasa gulai tunjang yang dibuat Imran persis sama dengan gulai Kapau itu. Ini abang nggak bohong…’

‘Sama, apa enakan masakan bang Imran?’ Lala menggoda.

‘Yaa, beda-beda tipislah…. Yang dimasak Imran wuiih…. Ini, baru ngomongin aja…. Titik air liur abang mengingatnya....’

‘Kalau sama, kenapa nggak dibeli aja yang di warung nasi Kapau…?’ giliran uni Lani.

‘Di warung Kapau yang di Bandung ini? Waah…jauh. Jauuh banget bedanya. Kayaknya yang di Bandung masakan Kapau tiruan, atau masakan orang Kapau yang sudah lama merantau, jadi sudah lupa resep aslinya…’

‘Masakan Imran juga masakan Kapau tiruan. Orang dia bukan orang Kapau…hayooo.’

‘Tapi sepertinya dia sudah dapat sertifikat dari orang Kapau. Masakan dia Kapau banget.’

‘Abang memuji-muji karena ada maunya,’ kata Lala.

‘Memang…. Kan abang nggak menutupinya. Ya nggak, Ran?’

Imran tersenyum.

‘Teteh pintar memasak juga ‘teh?’ Imran mengalihkan pembicaraan.

‘Nggak pinter…’

‘Teteh pinter membuat pepes ikan mas…. Pepes ikan mas itu mirip-mirip…… apa itu kalau masakan Minang….. ?’ uni Lani yang mengomentari.

‘Mirip pangek ikan. Tapi pangek tidak dibungkus daun pisang,’ jawab Imran.

‘Gulai Kapau itu ada juga pangek ikannya kan?’ tanya Lala.

‘Ya…. Pangek ikan tawes. Mereka menyebutnya ikan paweh. Ikan paweh batalua…’

‘Dimasak pakai telor maksudnya?’ tanya teteh Yani.

‘Bukan….. Ikannya yang bertelor. Ikannya gemuk-gemuk dan di dalam perutnya berisi telor ikan. Ikan seperti itu yang dimasak. Dibuat pangek. Waah… itu juga sangat OK punya.’

‘Wuuuf. Pasti mantap itu,’ kata teteh.

‘Enak mana dengan gulai tunjang bang?’ giliran Yuni.

‘Beda enaknya. Tapi kalau abang berkunjung ke nasi Kapau seperti di Bukit Tinggi itu lima kali, abang akan minta gulai tunjang tiga atau empat kali…he..he..he..’

‘Yang satu sampai dua kalinya pakai ikan tawes bertelur?’

‘Ya… yang sekalinya pakai tawes bertelur tambah belut goreng balado… Wuuuuuiih.’

‘Kata mama, abang ini bapusa-pusa di perut,’ kata uni.

‘Apa itu? Maksudnya puser?’ Kalau puser kan memang diperut…he..he..he,’

‘Pusa-pusa itu, ini ‘teh,’ kata Imran sambil menunjukkan ke pusaran rambut di kepalanya.

‘Lalu apa maksudnya? Kok dibilang ada pusaran di perut? Kan nggak ada rambut di perut… ‘ teteh penasaran.

‘Ungkapan itu diberikan kepada orang yang terlalu doyan makan,’ uni menjelaskan.

‘Ooooh. Kalau itu….. abang memang orangnya….’

‘Aaah nggak begitu-begitu amat,’ abang Lutfi membela diri.

‘Kalau makan harus masakan Padang ya, bang?’ tanya Yuni lagi.

‘Nomor satu….. asal yang enak. Tapi masakan lain OK juga. Masakan Sunda juga boleh. Masakan Cina juga boleh…. Makan steak sama kentang goreng OK.’

‘Lalap-lalapan OK juga bang?’ tanya Imran pula.

‘Nggak semua. Kayak ada terong kecil mentah, yang Yani suka banget, abang nggak suka. Daun kemangi mentah, abang juga nggak suka…’

Obrolan itu berlanjut kemana-mana.


***

Seperti itu suasana santai di Sekeloa. Sejak awal Lala, dan juga Yuni berusaha memberikan perhatian khusus kepada Imran. Mereka berlomba, meski secara halus dan diam-diam, untuk melayani Imran. Lala membuatkan minuman di pagi hari. Yuni membuatkan di sore hari. Lala mengingatkan bibik untuk memasakkan air untuk mandi Imran. Kadang-kadang Lala sendiri yang meletakkan ke kamar mandi dan memberi tahu Imran kalau air untuk mandi sudah disiapkan.

Mereka berusaha selalu menyempatkan untuk berbincang-bincang dengan Imran. Kalau bisa sendiri-sendiri, tapi kadang-kadang bertiga. Untuk bertanya. Berdiskusi. Imran memang kawan berdiskusi yang asyik. Dia mau mendengar lawan bicaranya dengan sabar. Lalu memberikan pendapatnya tanpa memaksakan dia yang benar. Itu sudah menjadi sifatnya.

Bagaimanapun sikap dan perhatian Lala dan Yuni kepadanya, Imran menanggapi semua itu sebagai ketulusan dalam persaudaraan biasa. Sedikitpun dia tidak menangkap adanya pesan khusus dalam perlakuan mereka. Imran menganggap mereka seperti adiknya sendiri. Tidak lebih.

***

Hari Jumat sore Rizal datang dari Jakarta. Berita bahwa Imran mendapat musibah telah sampai di Jakarta. Nenek sangat cemas dan menyuruh Rizal pergi melihat keadaannya. Imran senang sekali dengan kedatangan Rizal.

Suasana jadi bertambah ramai dengan kedatangan Rizal. Diskusi di meja makan pada malam harinya bertambah seru.

‘Apa kata nenek mendengar kabar cucu kesayangannya dapat musibah, Zal?’

‘Sedih banget nenek. Rasanya mau beliau ikut ke Bandung. Tentu saja dilarang mama. Waktu aku bilang aku mau ke Bandung, beliau sangat senang. Beliau menyuruh agar cepat-cepat pergi,’ jawab Rizal.

‘Langsung menyuruh etek membuat rendang, begitu?’

‘Ya, iyalah. Nenek kan selalu begitu.’

‘Terus, tadi rendang ini, khusus buat si awak saja, dong?’

‘Kayaknya sih begitu. Kan oleh-oleh untuk orang sakit he..he..he..’

‘Jadi bagaimana dong?’

‘Abang ini paling bisa….,’ kata Imran.

Begitulah omongan mereka disertai canda. Sampai berlama-lama duduk di meja makan. Disertai tertawa terkekeh-kekeh. Abang Lutfi dan Rizal sama-sama pandai melawak. Ada-ada saja celotehan mereka yang mengundang tawa.

‘Ngomong-ngomong, bang. Abang percaya nggak sama dukun patah tulang yang mampu mengobati orang patah?’ tanya Rizal.

‘Percaya dan nggak percaya.’

‘Maksud abang?’

‘Perawatan patah tulang itu pada dasarnya adalah memberi kesempatan pada bagian yang patah itu untuk tersambung kembali secara alamiah. Untuk itulah dibalut dengan gips supaya proses penyambungan itu tidak terganggu. Dukun patah tulangpun melakukan hal yang sama, biasanya dengan menggunakan penyangga dari kayu atau bambu. Prinsipnya sama-sama saja. Dengan menggunakan gips, tentu lebih aman karena perlindungan pada bagian yang patah itu lebih menyeluruh.’

‘Ada temanku jatuh dari motor, tulang kakinya remuk, dibawa ke dukun urut. Sama dukun itu diurut . Dan temanku itu sembuh kembali.’

‘Diurut itu mungkin maksudnya untuk meletakkan bagian-bagian yang kamu bilang remuk itu di tempatnya semula. Baru setelah itu dibantu kembali dengan penyangga. Untuk membiarkan bagian-bagian tulang yang patah itu saling menyatu kembali. Masih bisa diterima akal.’

‘Ada yang bilang dia dibantu oleh makhluk halus.’

‘Wah, kalau itu sih abang nggak ikut campur.’

‘Jadi abang nggak percaya?’

‘Tidak terlalu percaya.’

*****

DERAI-DERAI CINTA (38)

38. DI RUMAH SAKIT

Imran terbangun sekitar jam setengah lima subuh. Perutnya sakit. Dibangunkannya Syahrul yang tertidur di kursi dengan kepala terletak di dekat kepalanya. Tidurnya sangat lelap. Bisa-bisanya dia tertidur dalam posisi duduk seperti itu.

‘Rul…….. Rul..,’ katanya pelan-pelan membangunkan Syahrul.

‘Yaah… Kenapa?’ tanya Syahrul sambil menggeliat mengangkat kepalanya.

‘Ada urusan yang paling sulit ini……… Perutku sakit….’

‘Ooo….. Tunggu sebentar…. Aku panggilkan perawat…..’

Syahrul segera bangkit dan pergi keluar memanggil perawat. Dan perawat itu segera datang.

‘Kenapa mas?’ tanya perawat itu ramah.

‘Saya…… Saya malu ini….. Saya mau …..’ kata Imran ragu-ragu.

‘Mau apa? Mau b.a.b.?’ tanya perawat itu tersenyum.

‘Iya suster…. Tapi bagaimana caranya….?’

‘Tunggulah sebentar… Caranya biasa saja….. Jangan malu… Ini kan di rumah sakit.’

Perawat itu membantu Imran dengan telaten sekali, tanpa sedikitpun ada rasa jijik dan sungkan. Dia sudah biasa menghadapi bermacan-macan keadaan orang sakit. Imran terpaksa menyerah saja pasrah.

‘Apa mau sekalian dimandiin? Biar segar dan biar nggak bolak balik….,’ kata perawat itu.

‘Mandi? Bagaimana caranya saya dimandiin, suster?’ Imran terheran-heran.

‘Maksudnya, badannya dilap pakai lap basah…he..he.. Bukan mandi diguyur air… Mau sekarang?’

‘Oo begitu… Ya, maulah suster… terima kasih.’

Suster pergi menyiapkan air dan peralatan lainnya. Sementara itu Syahrul kembali dari luar.

‘Sudah beres?’ tanya Syahrul.

‘Sudah….. Dari mana kau?’

‘Dari mushala. Kau sudah shalat?’

‘Belum. Kata suster tadi aku sekalian mau dilap-lap. Habis itu nanti aku shalat.’

‘Oh ya? Biar aku belikan sabun dan sikat gigi. Tunggulah sebentar.’

Syahrul langsung pergi dan beberapa menit kemudian dia sudah kembali. Suster tadi segera membersihkan tubuh Imran. Dia memang cekatan sekali.

‘Aku harus segera pulang. Nanti aku ujian jam tujuh. Kau mau aku belikan roti bakar dan teh susu untuk sarapan?’

‘Rotinya aku mau. Tapi teh manis biasa saja, tidak usah pakai susu,’ jawab Imran.

‘Abangnya sangat perhatian benar. Jarang orang bersaudara seakrab ini,’ suster itu berkomentar.

Syahrul tersenyum. Dia kembali pergi membelikan sarapan untuk Imran. Setelah itu baru dia buru-buru pulang.

***
Imran merasa segar. Sudah bersih dan sudah sarapan pula. Dan sudah shalat subuh. Tidak ada rasa sakit. Hanya kaki kirinya yang dipasangi gips terasa berat dan tidak leluasa. Kaki kanannya biru lebam di dekat lutut, mungkin karena benturan waktu kecelakaan kemarin. Tapi yang lebam itu tidak terasa apa-apa.

Sedang Imran berbaring sambil menerawang, mengingat peristiwa yang menimpanya kemarin, Yuni masuk dan menyapa.

‘Assalaamu’alaikum…. Bagaimana keadaannya bang?’

Imran tersentak. Dan keheranan.

‘Wa’alaikum salaam… Ya…. Beginilah….. Lagi kena musibah…’ jawab Imran agak terbata-bata..

‘Apa yang terasa sakit?’

‘Sekarang sudah tidak ada….. Sudah tidak terasa sakit.’

‘Katanya kakinya dioperasi?’

‘Ndak. Tapi…… Yuni tahu dari mana kalau saya ada di rumah sakit?’

‘Dari saudara. Yang kemarin menolong bang Imran.’

‘Pak Fauzi?’

‘Bukan… Dari Irma…..’

‘Oo ya… Irma yang dulu datang ke rumah Ratih…. Tapi…….. Lala ndak ikut kesini?’

‘Tidak. Mungkin belum, bang. Saya dari rumah Irma. Tadi malam nginap disana.’

‘Ooo begitu…. Iya, ya…. Irma itu temannya Yuni sama-sama dari Pakan Baru juga?’

‘Sepupu. Anak oom saya. Anak adiknya mama…’

‘Oo ya… Irma dan pak Fauzi kemarin mengantarkan saya kesini.’

‘Irma bercerita, kemarin dokter yang merawat bang Imran di UGD bilang kemungkinan akan dipasang pen di kakinya.’

‘Ndak jadi. Ada dokter lain yang memeriksa saya tadi malam dan dia menyimpulkan tidak perlu dipasang pen. Jadi ndak dioperasi.’

‘Mudah-mudahan abang cepat baik. Sementara ini belum boleh bangun ya, bang?’

‘Tadi sudah saya coba duduk. Bangkit pelan-pelan. Capek juga berbaring terus.’

‘Harus sabar, bang.’

‘Ya… ‘

‘Perawat disini baik-baik?’

‘Alhamdulillah baik-baik.’

Sedang mereka berbincang-bincang itu, Ratih muncul memberi salam.

‘Tahu dari siapa saya ada disini?’ tanya Imran setelah menjawab salam Ratih.

‘Dari kak Syahrul,’ jawab Ratih. ‘Tadi kak Syahrul ketemu Sukma dan dia bilang kak Imran dirawat disini. Bagaimana, kak? Apa yang sakit?’

‘Kaki dan kepala saya. Kaki patah dan dipasangi gips. Kepala luka kena kaca dan dijahit.’

‘Kemarin itu kak Imran dari mana?’

‘Dari Asia Afrika dekat Alun-Alun. Habis itu naik angkutan Suzuki kecil itu mau pulang. Di ujung jalan Dago kecelakaan….,’ jawab Imran.

‘Ya Allah….. Kalau mau kena musibah, ya….. Terus langsung diantar kesini?’

‘Ya… Saya diantar Irma. Irma yang teman Ratih itu. Ternyata dia saudaranya Yuni ini. Dia kebetulan lewat dan melihat saya sedang berdarah-darah. Saya diantar Irma dengan saudaranya kesini.’

‘Tadi malam bang Imran ditemani bang Syahrul?’ giliran Yuni bertanya.

‘Ya... Dia tidur sambil duduk di kursi ini. Tadi dia buru-buru pergi karena pagi ini dia ujian.’

‘Pantasan tadi dia terburu-buru dari rumah…. Ngomong-ngomong, kak Imran sarapan, ya. Saya bawain nasi goreng,’ Ratih menawarkan.

‘Saya sudah sarapan roti. Tadi dibeliin Syahrul.’

‘Saya bawain nasi goreng bikinan uci. Uci menitip salam dan mendoakan kak Imran cepat sembuh.’

‘Terima kasih…. Biarlah nanti saya makan.’

Tiba-tiba muncul pula Lala sama uni Lani.

‘Wah, lagi rame, nih. Bagaimana Ran? Terlihatnya seger-seger aja. Sudah nggak sakit?’ uni Lani mencecar.

‘Sudah lumayan uni. Sudah tidak terasa sakit. Uni dan Lala berdua saja?’

‘Ada abang sama teteh juga, sebentar menyusul,’ Lala yang menjawab.

‘Yuni pagi-pagi sudah disini. Tahu dari siapa?’ tanya uni Lani ke Yuni.

‘Dari Irma un. Kemarin yang mengantar bang Imran ke sini Irma. Tadi malam dia cerita.’

‘Irma ada di angkot itu juga, bang?’ giliran Lala bertanya.

‘Ndak. Dia kebetulan lewat.’

‘Semalam bisa tidur? Kakinya nggak senut-senut?’ tanya Lala lagi.

‘Alhamdulillah bisa.…. Kemarin dikasih dokter obat. Mungkin ada obat tidurnya.’

Ruangan itu bertambah ramai ketika abang Lutfi dan teteh Yani juga datang. Abang Lutfi membawakan sepasang kruk, tongkat penyangga untuk membantu berjalan.

‘Dokter Aditya sudah datang pagi ini?’ tanya abang Lutfi.

‘Belum ada , bang.’

‘Semalam nggak susah tidur?’ abang Lutfi meraba kening Imran.

‘Aman aja, bang.’

‘Tidur nyenyak sampai pagi?’

‘Tadi pagi pas azan subuh sakit perut. Pengen ke belakang. Terus dibantu sama zuster perawat.’

‘Dibantu suster untuk ke kamar kecil? Bisa?’ Lala yang bertanya.

‘Dibantu suster disinilah. Mana mungkin ke kamar kecil,’ abang Lutfi yang menjawab.

‘He..he..he.. Nggak malu bang?’ Lala menggoda Imran.

‘Kata susternya nggak usah malu…. Ini di rumah sakit…. Ya, begitulah…’

Semua tertawa mendengar.

‘Bakalan betah dong kamu disini, he..he..he,’ abang Lutfi bercanda.

‘Ndaklah bang. Awak ingin cepat pulang. Kapan awak boleh pulang bang?’

‘Nanti kita tanya dokter Aditya. Tapi abang bilang sih kamu boleh segera pulang. Kan nggak ada demam, atau apa-apanya lagi. Cuma kakimu itu perlu waktu lama penyembuhannya.’

‘Maksudnya bagaimana, bang?’

‘Untuk bisa berjalan normal perlu waktu dua tiga bulan. Harus ditunggu sampai tulang yang patah itu bersatu kembali. Itu yang memakan waktu. Dan harus benar-benar sudah kuat baru boleh digunakan karena dia akan menopang berat badan.’

‘Sebelum dia kuat betul harus pakai tongkat, begitu ya bang,’ Lala yang bertanya.

‘Ya.. Harus begitu.’

‘Sabar aja, kak Imran,’ Ratih yang berkomentar.

Imran tersenyum.

‘Oh, ya. Kalau nanti boleh pulang, abang sarankan kamu di Sekeloa saja dulu.’

‘Kenapa, bang?’ tanya Imran.

‘Kamu akan kesulitan menggunakan kloset jongkok…..’

‘Benar… ‘ teteh Yani menambahkan.

‘Masak, sih bang?’

‘Ya, iyalah. Dan dirumahmu kan tidak ada lagi suster yang akan menolong.’

‘Waduh…. Iya juga ya….. Nantilah bang, dipikirkan…’

‘Nggak usah dipikirkan. Nggak ada jalan keluarnya sementara ini. Paling tidak sampai kakimu tidak berasa nyeri lagi kalau dibawa bergerak.’

‘Wah…. Saya bakal merepotkan, dong….’

‘Nanti di Sekeloa sering-sering saja kita buat gulai tunjang. Untuk memasak, kakimu kan tidak ada masalah.’

Semua tertawa mendengar omongan bang Lutfi.

‘Abang ini menggunakan kesempatan dalam kesempitan…’ kata Lala cemberut.

‘Lha, iya kan….? Kalau Imran di Sekeloa, tanpa dimintapun pasti dia akan berkreasi di dapur. Abang akan minta tolong agar stok tunjang selalu ada di kulkas… he..he..he..’

‘Si abang meuni serius pisan….’

Ngalor ngidul itu berlangsung sampai dokter Aditya datang jam setengah delapan. Dokter Aditya menganjurkan agar Imran diobservasi satu malam lagi di rumah sakit.


*****

Monday, December 14, 2009

DERAI-DERAI CINTA (37)

37. TIGA DARA CEMAS

Kuliah selesai jam empat sore. Diluar hari sedang hujan. Yuni dan teman-temannya masih duduk di ruang kuliah menunggu hujan reda. Sambil ngobrol.

‘Sudah lama nggak ke Titimplik, Yun,’ kata Rita.

‘Nggak lama juga. Tapi nih sekarang mau kesana,’ jawab Yuni.

‘Oh ya? Pas bener aku nanya kalau gitu ya..he..he..’

‘Kamu belum mau pulang?’

‘Ya, mau dong. Tapi kan masih hujan begitu…’

‘Kamu bawa motor?’

‘Nggak. Kenapa memang?’

‘Kalau gitu kita naik beca aja. Mau berangkat sekarang?’

‘Kasihan mang becaknya dong. Kamu nggak lihat itu hujan masih deras gitu..’

‘Benar juga ya….,’ jawab Yuni.

Sudah hampir jam lima ketika hujan baru reda. Para mahasiswa Psikologi itu mulai beranjak dari ruang kuliah. Yuni dan Rita naik becak ke rumah kos-an Rita di Titimplik. Tiba-tiba matahari terlihat menyeruak di antara gumpalan awan di sore hari itu. Lumayan membawa kehangatan di saat udara lembab. Meski tepat di atas awan hitam masih bergelayut. Sepertinya hujan akan berlanjut lagi. Dan benar saja, begitu mereka sampai di rumah hujan mulai turun kembali. Cuaca seolah-olah sekedar memberi mereka kesempatan untuk pulang tanpa gangguan hujan.

Yuni langsung menuju kamar Irma. Pintu kamar itu terbuka, tetapi Irma tidak ada di dalam. Di meja belajar Irma ada dua buah album foto. Yuni mengambil dan melihat album itu. Ketika sedang asyik mengamati foto-foto itu Irma masuk.

‘Heh, dari mana kamu?’ tanya Yuni.

‘Dari kamar mandi,’ jawab Irma pendek.

‘Oo…. Bagus-bagus ya foto ini. Kapan kalian ke Cibodas?’

‘Minggu kemarin…… Kamu nggak nanya ngapain aku di kamar mandi…?’

Yuni mengamati wajah Irma.

‘Nggak, ya? Kenapa emang? Memangnya kamu ngapain di kamar mandi?’

‘Nyuci…’

‘Oooo… tumben rajin.’

‘Kamu nggak nanya aku nyuci apa?’

‘Apaan sih? Emangnya kamu nyuci apa?’

‘Nyuci sal. Salku kena darah.’

‘Salmu kena darah? Aneh amat. Kok bisa darah sampai ke sal? Kamu jorok, ah.’

‘Kamu nggak nanya darah apa?’

‘Sial…… kamu ini ngomong apa sih? Dari tadi berteka-teki melulu? Darah apaaaa?’

‘Darah Imran….’

‘Apaa?’ tanya Yuni dengan mata mendelik.

‘Ya, darah Imran. Imran mahasiswa ITB itu.’

‘Kamu nggak sedang becanda kan?’

‘Ngapain aku becanda…… Imran kecelakaan di angkutan kota. Kepalanya berdarah dan kakinya patah……’

‘Apa kamu bilang????’

‘Tenang….. Tenang…… Aku menceritakan yang sebenarnya…’

‘Kamu bilang kakinya patah? Dan berdarah-darah? Dimana? Dimana dia sekarang?’

‘Tenang…… Tenang saja, Neng. Jangan panik …’

‘Irma! Coba ceritakan yang jelas…. ‘

‘Baik! Sekarang coba dengarkan! Aku lewat di ujung jalan Dago. Ada sebuah angkutan kota menabrak pohon. Mobil itu agak ringsek di bagian depannya. Di jok depan mobil angkutan itu ada Imran. Kepalanya berdarah. Darah mengalir di tangannya yang dipakainya untuk menutupi kepalanya itu. Aku memberikan sal yang kupakai untuk menutup lukanya. Habis itu aku menjemput uda Fauzi di Rangga Malela lalu dengan mobilnya kami antarkan Imran ke rumah sakit Hasan Sadikin. Aku dan uda Fauzi menunggu disana sampai temannya Syahrul datang. Syahrul dijemput Rinto. Sebelumnya Rinto mengiringkan aku sejak dari foto studio di jalan Merdeka. Waktu aku meninggalkan rumah sakit, kepalanya yang luka sudah dijahit. Dokter yang mengurusnya mengatakan kemungkinan Imran harus dioperasi untuk memasang pen di kakinya yang patah. Aku tidak tahu kelanjutannya.’

Yuni ternganga mendengar uraian panjang Irma. Lama dia tidak bisa berkata-kata.

‘Kau mau mengantarkan aku melihatnya ke rumah sakit?’ tanya Yuni kemudian.

‘Tidak di saat hujan lebat seperti sekarang ini.’

‘Kalau nanti hujan berhenti?’

‘Kalau belum terlalu malam…….’

‘Aku benar-benar ingin melihat keadaannya…’


***

Lutfi dan Yani agak terlambat pulang dari biasanya. Pasien sore itu banyak. Pasien-pasien itu menunggu ketika Lutfi pergi ke rumah sakit Hasan Sadikin melihat Imran,. Tidak semua terlayani oleh Yani sendirian. Setelah kembali, Lutfi meneruskan memeriksa mereka. Sudah jam setengah sepuluh waktu kedua dokter muda itu sampai di rumah. Uni Lani dan Lala masih duduk di meja makan sesudah selesai makan.

‘Imran kecelakan,’ kata abang Lutfi memberi tahu begitu masuk rumah.

‘Hah?’ uni dan Lala berteriak kaget bersamaan.

‘Ya… Dia dapat musibah. Sekarang dia dirawat di Hasan Sadikin,’ abang Lutfi menambahkan.

‘Musibah apa bang? Bagaimana keadaannya?’ tanya Lala.

‘Angkutan yang ditompanginya mengalami kecelakaan. Kaki Imran patah dan harus digips. Tadi waktu abang tinggalkan dia sudah istirahat di kamar rawat ditemani Syahrul.’

‘Kita pergi melihatnya sekarang ‘yok, un,’ Lala mengajak uni Lani.

Uni tidak segera menjawab.

‘Abang rasa sekarang sudah kemalaman. Bagaimana kalau besok pagi saja?’

‘Aku kepingin melihat dia sekarang. Kita pinjam mobil abang, deh. Uni yang nyetir. Mau nggak un?’

‘Biar dia istirahat malam ini. Kalau kita kesana, pasti akan mengganggu waktu istirahatnya. Besok pagi-pagi abang antarin deh. Gimana?’

‘Kayaknya benar seperti kata abang,’ uni Lani menambahkan.

Lala akhirnya mengalah.

***

Syahrul meninggalkan rumah sakit pagi-pagi sekali karena dia akan ujian. Dan dia harus pulang dulu kerumah. Keadaan Imran tidak mengkhawatirkan. Tadi malam dia bisa tidur dengan tenang karena dokter memberinya obat untuk menghilangkan rasa sakit. Perawat-perawat rumah sakit berlaku sangat baik dalam melayani dan mengurus keperluan Imran.

Di gang menuju rumah, Syahrul bertemu dengan Sukma yang baru pulang dari berbelanja di Balubur.

‘Dari mana kak, pagi-pagi begini?’ Sukma yang duluan menyapa.

‘Dari rumah sakit. Kak Imran kecelakaan kemarin dan dirawat di rumah sakit,’ jawab Syahrul.

‘Kecelakaan? Kecelakaan apa, kak?’

‘Kecelakaan mobil. Mobil yang ditompanginya menabrak pohon.’

‘Bagaimana keadaannya?’

‘Kakinya patah.’

‘Aduuuh kasihan…. Di rumah sakit mana?’

‘Di Hasan Sadikin.’

‘Aduh kasihan ya kak. Mudah-mudahan kak Imran cepat sembuh….’

‘Ya.. Kamu doain saja.’

Syahrul sudah sampai di rumah pondokannya dan Sukma berlari menuju rumahnya.

Sampai di rumah Sukma segera melapor ke semua orang yang sedang sibuk bersiap-siap di pagi itu.

‘Kak Imran kecelakaan…’ katanya.

‘Apa?’ tanya Ratih yang paling duluan bertanya.

‘Kak Imran kecelakaan mobil angkutan kemarin. Dia sekarang di rumah sakit. Aku barusan dikasih tahu kak Syahrul,’ jawab Sukma.

‘Di rumah sakit mana?’ tanya uci pula.

‘Kata kak Syahrul di rumah sakit Hasan Sadikin.’

Ratih bergegas keluar ke rumah Syahrul ingin menanyakan kepastian berita itu. Ditemuinya Syahrul sedang buru-buru mau berangkat lagi.

‘Kak! Benar kak Imran dapat musibah?’

‘Ya,’ jawab Syahrul pendek, sambil mengunci pintu rumah.

‘Di ruang berapa?’

‘Kok saya malahan lupa nomornya. Kalau kamu mau pergi melihatnya kamu tanyakan saja di bagian informasi.’

‘Bagaimana keadaannya, kak?’

‘Kakinya dipasangi gips. Kepalanya diverban dan kemarin dijahit. Tapi keadaannya tenang-tenang saja kok. Maaf, ya. Saya harus buru-buru. Saya mau ujian.’

‘Kok pagi-pagi amat, kak. Baru juga jam setengah tujuh.’

‘He..he.. Kami ujiannya jam tujuh. Jam tujuh kurang sudah harus ada di ruangan… Maaf sekali lagi ya….’

Syahrul langsung berangkat. Ratih masih termangu mendengar informasi dari Syahrul.


*****

Saturday, December 12, 2009

DERAI-DERAI CINTA (36)

36. IMRAN DIRAWAT

Syahrul kembali membawa sebungkus nasi dan sebotol aqua. Di dekat Imran saat itu hanya ada Rinto. Imran masih terbaring di tempat tidur UGD. Syahrul mengambil sebuah bangku-bangku dan duduk di dekat tempat tidur itu. Dibukanya bungkusan nasi Padang itu dan dimulainya menyendokkan ke mulut Imran.

‘Jadi repot kau,’ kata Imran.

‘Sebegini ini ndak ada repotnya,’ jawab Syahrul.

‘Hebat banget persaudaraan kalian,’ Rinto menyela.

Keduanya hanya tersenyum.

‘Bagaimana kejadiannya tadi?’ tanya Syahrul.

‘Ada pengandara motor jatuh di depan angkutan yang aku tompangi. Sopir angkutan itu terkejut dan membanting stirnya ke kiri. Ndak tahunya langsung menabrak pohon,’ jawab Imran.

‘Sopir itu bagaimana?’

‘Aku lihat dia luka juga. Tapi tidak parah dan dia masih bisa keluar dari mobil. Aku sudahlah patah, pintu sebelah kiri tidak pula bisa dibuka.’

‘Jadi bagaimana caranya kau keluar?’

‘Digotong polisi sama Rinto. Mula-mula badanku ditarik polisi itu ke pintu sebelah kanan. Sesudah itu digotong mereka bertiga.’

‘Kesini diantar mobil polisi?’

‘Tidak. Diantar si Irma, temannya Rinto. Si Irma datang dengan ada satu orang lagi, namanya Fauzi. Aku dibawa pakai mobil pak Fauzi itu.’

‘Uda Fauzi… he..he..he..’ Rinto membetulkan sambil tertawa.

‘Siapa itu?’

‘Kayaknya saudaranya Irma,’ jawab Rinto.

‘Dan kau, kebetulan lewat dekat kejadian waktu itu?’ tanya Syahrul ke Rinto.

‘Ya… Gue ketemu Irma di jalan Merdeka. Irma habis mengambil foto disana. Waktu dia mau pergi gue ikutin. Rencananya gue mau ikutin sampai ke kos-annya dia. Di ujung jalan Dago kita lihat ada rame-rame. Kita berhenti. Gue langsung ngenalin dia nih, lagi berdarah-darah.’

‘Yaa…namanya musibah. Luka di kepala itu kenapa, Ran?’

‘Kena pecahan kaca.’

‘Kaca dari mana? Bukannya kaca depan mobil itu pecahnya buyar begitu?’

‘Kaca jendela di belakang tempat dudukku. Itu kan kaca biasa.’

‘Besar lukanya?’

‘Kata dokter tidak besar, tapi agak dalam. Kaca itu tadi tertancap disini, lalu aku keluarkan dan aku buang.’

‘Bagaimana ketahuannya ada pecahan kaca disana?’

‘Mula-mula aku merasa bahu kananku basah. Aku raba pakai tangan kiri. Ternyata darah. Aku raba dari mana sumber darah. Waktu itu tanganku meraba pecahan kaca tertancap di kepala. Lalu aku buang.’

‘Tertancapnya nggak dalam?’ Rinto yang bertanya.

‘Ndak. Kaca itu runcing.’

‘Yang lain nggak ada yang sakit?’ tanya Rinto lagi.

‘Ya… kakiku.’

‘Kaki kau bagaimana rasanya?’

‘Tadi tidak berasa. Sekarang baru mulai agak sedikit nyeri. Tadi aku tidak merasa apa-apa, tapi tidak bisa digerakkan.’

‘Sebenarnya, ada juga sih dukun patah tulang. Gue kenal ada dukun kayak gitu di Cimahi. Tapi sekarang udah di rumah sakit gini apa mungkin dibawa lagi kesana?’

‘Sebenarnya mungkin aja. Bagaimana pendapat kau, Ran?’

‘Tadi dokter yang mengobati aku bilang dia mau menghubungi bang Lutfi. Tadi dia bilang juga bahwa perawatan kakiku bisa maksimal dengan menggunakan pen. Artinya aku harus dioperasi. Aku sudah bilang setuju mau dipasangi pen.’

‘Ya, itu sih terserah lu.’

‘Coba kau tanya juga nanti ke bang Lutfi, Ran?’ saran Syahrul.

‘Bang Lutfi itu dokter, kan?’

‘Ya.’

‘Kalau lu tanya sama dokter mana mungkin dia percaya sama dukun.’

Imran tidak menjawab. Dia memberi isyarat kepada Syahrul bahwa dia sudah kenyang.

‘Habiskan sedikit lagi,’ kata Syahrul.

‘Cukuplah. Aku sudah kenyang,’ jawab Imran.


***

Lutfi dan Yani melayani pasien masing-masing di ruang praktek yang terpisah di tempat praktek mungil mereka. Kedua dokter muda itu disenangi pasien karena mereka sangat ramah dan telaten. Di musim penghujan ini banyak orang yang batuk pilek.

Tiba-tiba telepon berdering. Yani yang mengangkat. Telepon itu dari dokter Aditya di rumah sakit Hasan Sadikin. Dia ingin berbicara dengan Lutfi. Yani menyerahkan gagang telepon itu kepada Lutfi.

Lutfi terlibat dalam pembicaraan singkat dengan dr. Aditya di ujung telepon.

‘Abang harus segera pergi, Yan. Imran kecelakaan,’ kata Lutfi begitu selesai berbicara di telepon.

‘Kenapa dia? Bagaimana keadaannya?’ tanya Yani.

‘Kata dr. Aditya kepalanya luka, sudah dijahit. Kakinya fracture. Dr. Aditya menyuruh abang segera datang,’ jawab Lutfi sambil bergegas mau pergi.

‘Hati-hati, bang,’ Yani mengingatkan.

Lutfi segera berangkat. Di luar hari hujan gerimis.


***

Lutfi bertemu dengan dr. Aditya di ruang UGD. Mereka berbincang sebentar sambil menuju ke tempat Imran terbaring.

‘Bagaimana Ran?’ tanya abang Lutfi.

‘Kaki saya terasa semakin sakit, bang,’ jawab Imran.

Lutfi memeriksa kaki Imran yang patah itu.

‘Tadi saya sudah konsultasikan ke dr. Lukito. Dia berjanji akan segera kesini. Tapi belum datang,’ kata dr. Aditya.

‘Pendapat dokter bagaimana?’ tanya Lutfi.

‘Pendapat saya bisa langsung digips saja. Tapi sebaiknya kita dengar saran dr. Lukito.... Tu dia datang.’

Dr. Lukito menyalami kedua sejawatnya itu.

‘Kenapa, mas?’ dia bertanya ke Imran.

‘Kecelakaan angkutan kota, dokter,’ jawab Imran.

Dr. Lukito memeriksa kaki Imran dengan hati-hati. Imran meringis kesakitan. Dokter itu mengajak Imran ngobrol. Dr. Lukito sangat ramah.

‘Kecelakaan dimana?’

‘Di Dago, dokter,’ jawab Imran.

‘Kenapa? Angkutannya menabrak apa?’

‘Menabrak pohon. Menghindarkan pengendara motor yang jatuh.’

‘Jatuh kenapa? Ngebut dia?’

‘Saya kurang tahu juga dokter. Tiba-tiba dihadapan kami motor itu terpelanting. Sopir angkutan membanting stir menghindarinya. Akibatnya mobil itu menabrak pohon.’

‘Wah! Seru juga ceritanya. Kepalanya luka kena kaca?’

‘Benar, dokter.’

‘Tapi kakinya mudah-mudahan nggak apa-apa. Nanti kita pasang gips......... Ngomong-ngomong kuliah dimana?’

‘Di geologi, dokter.’

‘Di ITB?’

‘Ya, dok.’

‘Hebat. Sudah selesai semesteran?’

‘Masih satu ujian lagi dok. Harusnya lusa saya ujian yang terakhir.’

‘Nanti minta ikut ujian susulan saja....... Baik... Nggak apa-apa ini. Dr. Aditya, saya sarankan tidak usah dipasang pen, langsung digips saja.’

Setelah memberikan saran dr. Lukito meninggalkan ruang UGD. Sementara dr. Aditya menyiapkan pemasangan gips, Lutfi mengurus kamar untuk Imran.

Sudah jam setengah tujuh malam ketika Imran masuk ke ruangan kelas dua, ruangan dengan empat tempat tidur. Ada dua pasien di kamar itu. Syahrul masih menemaninya, semenatara Rinto karena ada keperluan sudah lebih dahulu pergi. Bang Lutfi pamitan mau pergi.

‘Abang tinggal kau, ya? Tenang-tenang aja disini,’ katanya.

‘Baik, bang. Terima kasih, bang.’

‘Besok abang lihat lagi kau kesini. Nanti abang carikan kruk, tongkat penyangga. Kau harus menggunakan kruk untuk beberapa waktu.’

‘Terima kasih, bang..... tapi berapa lama awak harus tinggal di sini, bang?’

‘Kita lihatlah sehari dua ini. Kalau tidak ada keluhan kau boleh segera pulang. Tapi, untuk sementara kau terpaksa memakai tongkat penyangga.’

‘Baik, bang.’

‘OK ya? Abang pergi dulu ya?’

‘Ya, bang. Terima kasih...... Salam buat teteh, uni dan Lala, ya bang.’

‘Nanti abang sampaikan.’

Tinggal Imran dan Syahrul. Syahrul akan menemani Imran malam ini di rumah sakit.


*****

Friday, December 11, 2009

DERAI-DERAI CINTA (35)

35. MUSIBAH

Sudah lebih sebulan musim hujan hadir. Hampir setiap sore turun hujan. Bahkan seringkali hujan lebat disertai guntur dan petir. Udara di sore dan malam hari di Bandung jadi semakin dingin di saat seperti ini. Udara basah dan lembab. Bagi Imran cuaca seperti ini adalah sebuah tantangan tambahan. Kegiatan sehari-hari tetap harus berjalan. Kuliah, praktikum, asistensi, ujian-ujian, semua berjalan seperti biasa. Kalau harus keluar di saat hari hujan, dipakainya jas hujan. Ditambah payung. Tidak ada lagi masalah. Jalan yang ditempuh itu-itu juga. Tempat yang dituju itu-itu juga. Setelah sampai di tujuan, apakah di ruang kuliah, apakah di laboratorium atau di perpustakaan, dilepasnya semua atribut tambahan itu, disimpan di dalam tas plastik, maka hilanglah bekas tetesan air hujan. Lalu kegiatan dapat berjalan seperti biasa.

Untunglah ujian semester sudah segera akan berakhir. Tinggal satu ujian lagi yang akan dilaluinya hari Kamis lusa. Sesudah itu tinggal menunggu hasil semester ini. Seperti biasanya, Imran selalu optimis. Karena sebelum setiap ujian dia sudah mempersiapkan diri semaksimal mungkin. Tidak pernah dia berangkat ke ujian tanpa persiapan yang matang. Pada semester-semester yang lalu, dengan usaha seperti itu hasilnya alhamdulillah selalu memuaskan. Semester inipun dia berharap akan mendapat hasil yang sama.

Urusan pengiriman kain-kain ke Bukit Tinggi tetap berjalan seperti biasa. Bahkan akhir-akhir ini volumenya semakin bertambah. Imran menyisihkan empat sampai lima jam waktunya dalam seminggu untuk mengontrol dan menyiapkan pengiriman barang. Hari Minggu dia bekerja agak lama, memilih dan menyeleksi kain-kain. Dan hari Selasa berurusan dengan kantor ekspedisi. Karena pada hari itu biasanya kain-kain itu dikirim. Siang ini Imran harus pergi mengurus pengiriman barang tersebut.

Seperti biasanya, jam dua siang urusan itu sudah selesai. 3 koli besar paket kain sudah siap untuk diberangkatkan. Setelah urusan administrasi dengan kantor ekspedisi beres, Imran bergegas pulang karena dia akan melanjutkan belajar untuk menghadapi ujian lusa. Cuaca mendung. Tadi sudah sempat turun hujan tapi sementara ini berhenti lagi. Jalan raya masih basah dan disana sini air masih tergenang. Imran menompang angkutan kota, mobil penumpang Suzuki. Dia duduk di muka di samping sopir.

Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Ketika mobil angkutan mini itu baru saja memasuki jalan Dago dari arah jalan Merdeka, sebuah sepeda motor yang melaju kencang dan berbelok dari arah jalan R E Martadinata, terjatuh beberapa meter di depan angkutan yang ditompangi Imran. Sepertinya pengendara sepeda motor itu melanggar lampu merah dan entah kenapa dia tergelincir. Sopir angkutan kaget bukan main. Bermaksud menghindar dari menabrak pengendara motor yang terkapar di jalan di depannya, sopir itu membanting stir ke kiri. Ternyata akibatnya fatal. Mobil angkutan itu menabrak pohon pelindung di pinggir jalan. Meskipun tidak sedang berkecepatan tinggi, tapi akibat tabrakan itu cukup parah. Bagian depan sebelah kiri mobil angkot itu penyok dan terdorong ke dalam sementara kacanya pecah.

Imran menjerit kaget dan kesakitan. Darah segera mengucur dari kepalanya yang kena pecahan kaca jendela pembatas dengan tempat duduk di belakang. Kakinya terasa berat dan tidak bisa digerakkan. Tapi kesadarannya tidak hilang. Dia berusaha mengusap kepalanya yang berdarah. Ada pecahan kaca tertancap di kepalanya sebelah kanan. Pecahan kaca itu dapat diambilnya. Darah semakin keras mengalir. Imran menutup luka itu dengan tangannya sekuat-kuatnya. Tapi dia sama sekali tidak bisa menggerakkan kakinya. Sopir angkot juga luka di mukanya tapi masih dapat bergerak. Dia bisa keluar dari pintu sebelah kanan.

Penumpang di bagian belakang angkot berhamburan keluar. Mereka hampir tidak ada yang cedera. Pengendara kendaraan lain segera berhenti melihat kecelakaan itu. Beberapa orang menolong anak muda yang terjatuh dari motor yang ternyata pingsan. Anak muda itu dibawa dengan sebuah angkot lain ke rumah sakit. Polisi segera datang, mengamankan sepeda motor yang jatuh itu dan melihat ke angkot yang menabrak pohon. Dia melihat Imran yang masih duduk di dalam mobil itu.

‘Pak, tolong saya pak. Badan saya tidak bisa digerakkan,’ Imran memohon.

Polisi itu mencoba membuka pintu kiri yang ternyata macet. Imran tidak bisa segera dikeluarkan.

Di antara kerumunan orang-orang itu ada Irma dan Rinto. Irma baru saja dari jalan Merdeka dan disana dia bertemu Rinto. Irma sedang menuju pulang ke tempat kosnya dan Rinto ikut menemani. Keduanya mengendarai sepeda motor mereka masing-masing. Mereka segera berhenti di dekat kerumunan orang-orang. Rinto yang mula-mula mengenali Imran, penumpang angkutan yang berdarah-darah tapi belum dikeluarkan dari dalam mobil. Irma juga melihat Imran. Melihat tangan Imran penuh darah yang mengalir dari kepalanya, Irma spontan melepas sal dari lehernya dan melap darah di tangan Imran. Anak muda yang malang itu membuka matanya. Dilihatnya Irma dan dikenalinya anak gadis teman Ratih itu.

‘Pakai kain ini untuk menutup luka itu sementara,’ kata Irma.

Imran menurut. Dengan menempelkan sal tebal itu aliran darah lukanya bisa dihentikan sementara. Irma memberi tahu Rinto untuk menunggu karena dia akan menjemput teman yang juga masih familinya di Rangga Malela. Temannya itu punya mobil. Irma akan minta tolong teman itu mengantar Imran ke rumah sakit.

Tepat ketika Irma kembali bersama Fauzi familinya itu, badan Imran berhasil dilkeluarkan dari dalam mobil angkutan digotong oleh dua orang polisi bertiga dengan Rinto. Sepertinya kaki kirinya patah. Imran mendesah menahan sakit. Irma meminta agar Imran dinaikkan ke mobil Kijang Fauzi. Imran dibaringkan di tempat duduk di bagian tengah.

‘Kita ke rumah sakit,’ kata Irma.

‘Tolong antarkan saya ke Hasan Sadikin,’ pinta Imran.

‘Baik,’ jawab Irma. ‘Mas Rinto, tolong diberi tahu teman serumahnya bang……. Maaf, bang apa namanya bang?’ tanya Irma.

‘Saya Imran. Terima kasih sekali. Tolong beri tahu Syahrul, Rinto. Aku dibawa ke Hasan Sadikin.’

‘Baik. Aku akan cari Syahrul dan menyusul ke rumah sakit,’ jawab Rinto.

Imran dibawa ke Unit Gawat Darurat di RS Hasan Sadikin. Dokter jaga segera merawat luka di kepalanya. Luka itu tidak lebar tapi cukup dalam dan harus dijahit. Kaki kiri Imran patah di tulang keringnya. Patah itu perlu perawatan lebih teliti.

Irma dan Fauzi menunggu sampai perawatan luka di kepala Imran selesai. Dokter UGD itu menanyakan apakah Irma dan Fauzi famili Imran.

‘Bukan, dok,’ jawab Irma. ‘Tapi kenapa memangnya dok?’ tanyanya pula.

‘Kaki saudara……’

‘Imran,’ jawab Irma menjelaskan.

‘Ya, saudara Imran. Kakinya patah. Bisa langsung kita gips, tapi bisa juga kita pasangi pen. Kalau dipasangi pen, mudah-mudahan hasilnya lebih optimal. Tapi untuk memasang pen harus dioperasi. Kami harus menanyakan dulu kepada keluarga pasien, apa pilihan yang akan diambil.’

‘Wah…. Saya bukan familinya dok. Tapi kalau memang dipasang pen hasilnya bisa lebih baik, kenapa tidak dipasang pen saja dok?’ tanya Irma pula.

‘Karena menyangkut biaya juga,’ jawab dokter.

‘Begitu ya, dok,’ kali ini Irma menoleh ke arah Imran yang masih terbaring.

Imran mendengar lamat-lamat pembicaraan itu.

‘Tolong tanyakan berapa biayanya,’ kata Imran setengah berbisik karena tubuhnya terasa sangat lemah.

Dokter itu mendengar perkataan Imran. Dia lalu memberi tahu perkiraan biayanya.

‘Saya sanggupi dokter. Insya Allah saya sanggupi membayarnya. Silahkan saya dipasangi pen saja,’ jawab Imran.

‘Disini ada saudaranya? Maksud saya di Bandung ini?’ tanya dokter lagi.

‘Ada dokter. Sepupu saya. Namanya Lutfi. Dokter Lutfi.’

‘Dokter Lutfi Taufik?’

‘Ya, dokter.’

‘Oh, dia sejawat saya. Akan saya hubungi dia,’ kata dokter itu pula.

Sementara itu Syahrul datang bersama Rinto. Syahrul sangat sedih melihat keadaan Imran. Kepala Imran dibalut perban putih.

‘Apa yang sakit?’ tanya Syahrul.

‘Kakiku patah, Rul. Dan kepala ini tadi luka kena kaca,’ jawab Imran lirih.

‘Sabar!’

‘Insya Allah aku sabar.’

‘Kau pasti belum makan. Kau pasti lapar.’

‘Ya… aku lapar,’ jawab Imran polos.

‘Biar aku carikan kau makanan. Tunggulah sebentar,’ kata Syahrul sambil langsung bergegas pergi.

‘Saya barusan membelikan roti ini. Bolehkah dia makan disini dok?’ tanya Irma.

‘Boleh saja. Saya sedang menghubungi dokter Lutfi. Setelah itu nanti kita carikan kamar. Sementara biar disini dulu. Silahkan kalau mau makan,’ jawab dokter.

Irma menyerahkan roti dan susu ultra yang dibelinya di luar.

‘Makanlah bang,’ kata Irma sambil mengulurkan roti dan susu itu.

Imran menerimanya. Dia memang lapar.

‘Terima kasih. Terima kasih banyak…. Maaf, saya tidak ingat nama mbak ini,’ kata Imran.

‘Saya Irma. Teman Ratih.’

‘Ya, saya ingat mbak temannya Ratih. Tapi saya lupa namanya.’

Irma tersenyum.

Imran memakan roti yang berbungkus plastik dan minum susu kotak ultra itu.

‘Baiklah bang. Teman bang Imran sudah datang, saya tinggal dulu. Semoga abang cepat sembuh,’ Irma berpamitan.

‘Waduh….. Terima kasih banyak mbak. Terima kasih banyak mas…. Mas dan mbak telah menolong menyelamatkan saya. Terima kasih banyak,’ kata Imran bersungguh-sungguh.

‘Nggak apa-apa bang. Sesama manusia kita wajib saling menolong. Satu hal bang, jangan panggil saya mbak. Saya urang awak juo. Panggil saja nama saya Irma.’

‘Terima kasih kalau begitu Irma. Kalau mas ini?’

‘Fauzi. Uda Fauzi,’ Irma yang menjawab.

‘Terima kasih banyak, da. Maafkan saya, darah saya berceceran di mobil uda.’

‘Ndak apa-apa. Nanti bisa dicuci. Baiklah, semoga cepat sembuh, ya.’

‘Saya harus banyak-banyak minta maaf.... Sal Irma itu berlumuran darah. Bagaimana saya mengembalikannya…..?’

‘Nggak apa-apa bang. Nanti biar saya cuci,’ jawab Irma.

Irma mengambil sal berlepotan darah yang mulai mengering itu dan memasukkannya ke kantong plastik.

Irma dan Fauzi berpamitan kembali kepada Imran dan Rinto lalu meninggalkan ruangan rumah sakit itu.


*****

Thursday, December 10, 2009

DERAI-DERAI CINTA (34)

34. SAINGAN BARU?

Sudah jam setengah enam sore waktu Yuni sampai di rumah Sekeloa. Di rumah hanya ada Lala dan bibik. Lala sedang menonton tv sendirian. Ada liputan tentang gunung Marapi yang sedang aktif. Saking terpesonanya dengan liputan itu, dia tidak sadar waktu Yuni masuk rumah.

‘Asyik ‘kali kau…..’ kata Yuni menyapa.

‘Heh… kapan kau masuk? Kok nggak kedengaran? Lihat tu, kampung kita sedang dapat musibah,’ jawab Lala sambil matanya tidak berkedip dari layar tv.

‘Iya…. Heboh betul beritanya akhir-akhir ini…. Itu Bukit Tinggi kan? Ya…lihat itu…. Semua diselimuti debu… sampai kuda dan bendipun kena debu….’

‘Ah…. Berisik ‘kali kau. Dengarkan sajalah cerita itu dulu….’

‘Waduh…. Maaf……, maaf juragan puteri…. Terganggu ya…..gan…?’

Lala diam saja. Matanya terus memperhatikan tayangan tv itu. Sampai akhirnya liputan itu selesai.

‘Yaah…. Kasihan orang di sekitar gunung Marapi….. Heh ngomong-ngomong gimana keadaan Irma? Sudah sembuh betul dia?’ Lala menoleh ke Yuni.

‘Sudah…. Sudah lumayan… Besok sudah mau ikut kuliah lagi.’

‘Mamanya sudah pulang ke Jakarta?’

‘Sudah. Begitu Irma keluar dari rumah sakit tante Salma langsung pulang ke Jakarta. Katanya, sempit di kamar kos Irma….. Tante Salma memang paling bisa…’

‘Ya, iya juga ‘kali. Kan sudah lama dia meninggalkan rumah di Jakarta. Ada semingguan kan? Sejak Irma masuk rumah sakit?’

‘Sepuluh hari…’

‘Mangkanya…… Mama aja kalau sudah sepuluh hari disini pasti juga resah pengen cepat-cepat pulang.’

‘He..he… begitu rupanya kebiasaan mak-mak ya… Jadi wajar-wajar saja rupanya… Eh, uni kemana?’

‘Dia ke Jakarta tadi siang. Pulangnya besok…’

‘Oooo… Aku ada berita lho….’

‘Berita apa?’

‘Berita penting….’

‘Berita penting apa?’

‘Adalah pokoknya…’

‘Ya udah… ceritain!’

‘Ah nggak. Ntar ajalah…. Aku mau mandi dulu… Ntar abis tu baru aku ceritain… Soalnya pasti bakalan menarik buat kau juga….’

‘Semprul! Ceritain aja sekarang…. Kenapa mesti menunggu entar?’

‘Ntar aja…. Udah mau maghrib…. He..he… Biar kau penasaran dulu.’

‘Berarti nggak penting-penting amat…..’

‘Tunggu sajalah nanti!’

‘Ya sudah! Cepatlah kau pergi mandi sana!’

‘Penasaran, kan? He..he..he..’

***

Sehabis shalat maghrib Lala duduk di depan meja belajarnya sambil menghadapi diktat Biologi. Dia tidak mau mendesak Yuni tentang cerita yang mau diceritakannya tadi. Biar Yuni yang penasaran bahwa dia seolah-olah tidak tertarik mendengar yang akan diceritakan Yuni. Benar seperti yang diduga Lala. Justru Yuni yang tidak sabar ingin bercerita.

‘Mau dengar nggak nih?’ tanya Yuni mengawali.

‘Silahkan…… kalau mau cerita…’ jawab Lala dengan nada tidak terlalu tertarik.

‘Tadi aku ketemu bang Imran.’

‘Oooo… cuman itu? Ketemu terus ngapain emang?’

‘Kamu nggak mau tahu aku ketemu dimana?’

‘Ketemu dimana? Di bioskop? Nonton bareng?’

‘Di rumahnya.’

‘Hah? Kau ke rumahnya?’

‘Penasaran, kan? Mulai penasaran kan? Ya, aku ketemu bang Imran di rumahnya di Taman Sari.’

‘Ngapain kau kesana?’

‘Ada urusan. Dan ketemu bang Imran.’

‘Berurusan lalu ketemu bang Imran? Urusan apa?’

‘He..he.. pasti kau penasaran….’

‘Cerita sajalah yang jelas…… kalau kau benar-benar mau bercerita!’

‘Baik. Biar kau tidak menduga yang bukan-bukan, begini ceritanya. Tadi aku ke Taman Sari mengantar Irma ke rumah temannya. Irma mau meminjam catatan kuliah. Mau memfotokopi catatan selama dia nggak masuk. Nama temannya itu Ratih. Aku sudah kenal Ratih di tempat Irma. Tapi Ratih tidak ada di rumahnya. Sama adiknya Ratih kami diantarkan mencarinya. Lalu kami ketemu Ratih di rumah bang Imran. Berdua saja.’

‘Wah! Terus?’ Lala menutup diktat Biologi dan menoleh ke Yuni.

‘Ya…. Bang Imran berdua dengan Ratih di rumah pondokannya itu. Katanya sih sedang berdiskusi tentang gunung Marapi yang sedang meletus. Aneh kan? Mahasiswa Farmasi berdiskusi gunung meletus dengan mahasiswa geologi?’

‘Mmmh…. Agak aneh memang. Mungkin mahasiswa farmasi bertanya tentang gunung berapi ke mahasiswa geologi. Terus? Maaf aku tanya satu hal. Waktu kalian datang pintu masuk rumah bang Imran itu tertutup atau terbuka? Maksudku…, apa mereka berdua-dua itu di rumah yang tertutup?’

‘Nggak sih. Pintu masuknya terbuka. Tapi di dalam hanya ada mereka berdua. Bang Syahrul belum pulang.’

‘Bang Imran bagaimana? Kikuk? Maksudku, apa dia salah tingkah waktu kalian datang?’

‘Nggak. Dia biasa-biasa saja.’

‘Kalau begitu, aku percaya mereka tidak melakukan hal yang tidak-tidak.’

‘Yeeeeei…. Siapa yang bilang dia melakukan yang tidak-tidak?’

‘Lha… terus memang kenapa kalau begitu? Rumahnya……. Siapa tadi namanya?’

‘Ratih.’

‘Rumahnya Ratih seberapa jauh dari rumah bang Imran?’

‘Bang Imran tinggal di rumah petak di samping rumah Ratih. Sepertinya tempat bang Imran itu kepunyaan orang tua Ratih. Rumah petak dan rumah induk itu nyambung, tidak ada pagar di antaranya.’

‘Ya… iyalah kalau gitu. Mereka bertetangga. Ratih anak ibu kosnya atau ibu yang punya rumah yang disewanya. Pastilah mereka akrab. Mungkin Ratih dianggap bang Imran sebagai adiknya, begitu kali. Kan nggak ada masalah kalau gitu?’

‘Dasar kau sok tahu…. Ceritaku belum selesai kau sudah membuat kesimpulan.’

‘Lho….. ada lagi? Ya silahken diterusin!’

‘Silahken…… Meniru-niru aja kau…’

‘Mangga atuh neng….. silahkan… terusin…’

‘Ratih bilang…………’

‘Dia bilang apa?’

‘Dia bilang, dia tertarik sama bang Imran…..’

‘Kok bisa….. Kok bisa dia bilang begitu. Emangnya kau interview dia?’

‘Makanya…. Jangan sok tahu dulu….. Irma yang menginterview dia. Begini. Ratih menyuruh adiknya memfotokopikan catatan kuliah. Sementara menunggu adiknya, kami lanjutkan ngobrol-ngobrol. Irma menggoda Ratih sambil bertanya apakah dia berpacaran sama bang Imran. Dia bilang tidak. Dia bilang kalau bang Imran itu tidak tertarik untuk berpacaran. Bahkan dia bilang, sepertinya bang Imran itu tidak tertarik sama perempuan. Jadi mereka berteman saja. Bersahabat. Hanya Ratih mengulang-ulang omongan bahwa dia tertarik dengan bang Imran.’

‘Mmmmmh……. Ya nggak apa-apa juga kali. Mereka bertetangga. Lebih sering ketemu. Bang Imran itu pribadinya menarik, ganteng. Mungkin si Ratihnya juga cakep. Artinya mungkin dia merasa, seandainya dia jadi kekasih bang Imran itu pas-pas saja. Menurut aku wajar-wajar saja…’

‘Gitu? Kau nggak khawatir?’

‘Khawatir apa?’

‘Nggak khawatir………?’

‘Kok nggak diterusin?’

‘Nggak khawatir kalau bang Imran didapatkan orang lain?’

‘Siapa juga yang mendapatkan siapa…… Kan kau sudah bilang, katanya si Ratih dia tertarik tapi dia menyadari bahwa bang Imran tidak berminat….katakanlah untuk berpacaran. Dia menyadari bahwa bang Imran seperti orang yang tidak punya perhatian terhadap cewek-cewek. Sehingga dia hanya berteman saja. Begitu kan kau bilang tadi?’

‘Ya… Begitu katanya si Ratih….’

‘Nah! Apa yang dikhawatirin? Lagi pula kita, atau aku siapanya bang Imran untuk khawatir. Aku sepupunya, ding. Tapi ya….. tidak lebih dari itu.’

‘Kalau aku khawatir…. Aku khawatir dia akan jatuh cinta kepada cewek lain.’

‘He..he..he.. terus? Kau mau ngapain? Kalau nggak, pergilah suruh lamar dia sekarang-sekarang. Suruh ninik mamak kau melamar bang Imran ke papaku. Biar kau punya kepastian. Diteimanya lamaran kau atau ditolaknya….. he..he..he..’

‘Gila kau!’

‘Lho…. Kok aku yang gila? Cobalah kau pikir tenang-tenang.’

‘Kau sedang tidak membohongi hatimu, kan?’

‘Tidak.’

‘Kau bilang, kau juga tertarik sama bang Imran, kan?’

‘Iya. Betul. Aku tertarik. Aku mau jadi istrinya seandainya kami berjodoh.’

‘Lalu?’

‘Nggak ada lalu. Aku hanya berdoa saja. Aku tidak mungkin mengemis, tidak akan aku lakukan itu. Aku akan berusaha terlihat sebagai orang baik-baik di depannya. Seterusnya terserah dia.’

‘Kau akan pasrah, begitu?’

‘Kalau nggak, mau ngapain? Aku sudah mengenal sifatnya. Kalau dia bilang dia tidak suka berpacaran terus aku mau apa? Nggak akanlah aku mau merayu-rayu dia.’

‘Begitu ya?’

‘Terus kau sendiri….? Yang katanya….. kau juga tertarik kepadanya…. Kau mau ngapain?’

‘Nggak tahu juga…….’

‘Mangkanya……’

‘Terus…… Seandainya….. lima tahun ke depan…. Dia punya istri yang bukan kau…. Kau menyesal tidak?’

‘Kenapa menyesal?’

‘Seandainya istrinya aku….. he…he…he Seandainya, boleh saja kan seandainya? Terus, kau menyesal tidak? Atau kau akan memusuhiku, nggak?’

‘Nggak.’

‘Hebat….. Sudahlah kalau gitu….. Jangan-jangan kita ini sedang menggantang asap.’

‘Hah? Apa pula maksudnya itu?’

‘Kita seperti sedang membincangkan sesuatu yang tidak jelas juntrungannya, tapi hati kita bergetar….’

‘Juntrungannya sebenarnya jelas. Bang Imran….. Iya, kan? Tapi kita tidak tahu siapa yang akan mendapatkannya.’

‘Sudahlah. Pusing aku.’

‘He…he..he…’

‘Kenapa kau cengengesan?’

‘Nggak….. Sudahlah! Aku mau belajar…’


*****

Tuesday, December 8, 2009

DERAI-DERAI CINTA (33)

33. OBROLAN ANAK-ANAK DARA

Ketiga anak gadis itu berpamitan dengan Imran. Irma dan Yuni mengikuti Ratih ke rumahnya. Yuni bertanya-tanya dalam hati. Apakah Ratih pacar bang Imran? Apakah diam-diam sebenarnya bang Imran sudah punya kekasih yang tinggal di sebelah rumah? Dan dia sengaja berpura-pura tidak punya pacar? Toh berpacaran ke sebelah rumah tidak mesti menunggu malam Minggu? Tadi mereka berdua saja di tempat bang Imran. Alasan Ratih karena dia bertanya tentang masalah gunung Marapi di Sumatera Barat. Benarkah alasan itu? Atau itu hanya sekedar untuk menghindar? Yuni mengamati mata Ratih yang berbinar-binar ketika berbicara di depan bang Imran. Ah, apakah dia cemburu? Masak iya cemburu. Tapi kenapa ya? Dada Yuni berdebar-debar.

Di rumah Ratih mereka kembali terlibat dalam obrolan.

‘Kapan keluar dari rumah sakit, Ma?’ tanya Ratih.

‘Hari Selasa, kemarin,’ jawab Irma.

‘Lama juga ya, di rumah sakit?’

‘Sepuluh hari.’

‘Waktu aku nengokin kamu hari Sabtu itu kayaknya sudah sehat. Tapi masih belum boleh pulang ternyata ya?’

‘Waktu itu trombositku sudah mulai kembali naik tapi masih enam puluh ribu. Sama dokter belum dibolehin pulang. Memang sih, waktu itu rasanya badan sudah segar. Tapi kayaknya gejala demam berdarah memang begitu. Makanya kata dokter, jangan mengambil resiko. Dia suruh tunggu sampai trombosit kembali normal.’

‘Sampai naik berapa baru boleh pulang?’

‘Ketika diperiksa darah hari Senin siang sudah 160,000. Tapi hasilnya kan baru ketahuan jam delapan malam. Jadi aku baru pulang hari Selasa pagi.’

‘Sekarang sudah kuat betul?’

‘Tadi pagi masing agak pusing-pusing sih. Makanya aku belum berani pergi kuliah. Takut ambruk lagi. Tapi sekarang sudah jauh lebih lumayan.’

‘Benar. Ngapain juga dipaksain.’

‘Tapi kalau kelamaan nggak masuk kan makin repot aku nanti. Belum lagi ketinggalan praktikum.’

‘Tenang aja. Kan bisa ikut praktikum susulan. Sebentar ya, aku ambilin catatan-catatan kuliah itu. Mau langsung difotokopi semua atau sebagian-sebagian dulu?

‘Ada berapa sih? Ada lima kuliah kan? Aku fotokopi sekalian aja kali, ya. Aku mau langsung fotokopi di dekat sini saja. Biar abis tu langsung aku kembaliin. Jadi kamu nggak terganggu.’

‘Oo begitu. Sebentar aku ambil, ya.’

Ratih masuk ke dalam. Sukma datang membawakan minuman.

‘Silahkan, kakak-kakak,’ kata Sukma.

‘Wah, jadi repot kamu, Sukma. Sudah ngantarin ke depan nyari Pocut, bikinin minuman lagi. Terima kasih ya, dik.’

‘Nggak apa-apa kak. Terima kasih kembali,’ jawab Sukma sambil tersenyum manis.

Ratih kembali muncul.

‘Dik! Kamu mau ucapan terima kasih lagi nggak?’ tanya Ratih becanda.

‘Apa lagi, Cut?’

‘Kamu mau pergi memfotokopiin catatan kuliah ini nggak buat kak Irma?’

‘Mau aja. Tapi pake motor, ya? Boleh pinjam motornya nggak, kak Irma?’

‘Nggak usah pake motor. Naik sepeda aja. Dekat gitu aja kok.’

‘Ya, boleh. Tapi hanya sampai Balubur aja, jangan dibawa jauh-jauh nanti kamu berurusan sama polisi,’ jawab Irma.

Ratih menandai catatan yang perlu difotokopi itu dan menyerahkannya kepada Sukma.

‘Kamu lihat dulu hasil fotokopiannya, ya. Jangan sampai nggak kebaca.’

‘Beres, Cut,’ jawab Sukma bersemangat.

Irma memberikan uang untuk ongkos fotokopi itu. Dan Sukma segera pergi.

‘Ayo silahkan diminum, Ma, Yun,’ Ratih kembali membasakan. ‘Maaf ga ada apa-apa nih.’

Yuni dan Irma meraih cangkir teh bersamaan.

‘Ngomong-ngomong, kamu akrab banget sama Imran. Ada hubungan khusus ya?’

‘Ah, nggak. Hubungan biasa-biasa saja.’

‘Tadi berdua-duaan.’

‘Lha. Aku memang ada yang perlu ditanyakan, aku datang ke sana. Kenapa? Kamu pikir aku berpacaran dengan dia?’ tanya Ratih tersenyum.

‘Barangkali aja. Anak muda ganteng kayak gitu kan wajar aja kalau Pocut terpikat.’

‘He..he..he iya, ya,’ Ratih tertawa renyah.

‘Jadi beneran?’

‘Ah, nggak kok. Masak kamu nggak percaya sih?’

‘Sekedar bertanya aja. Boleh kan?’

‘Bener kok. Aku nggak bohong. Kak Imran itu terlalu baik. Tapi sepertinya dia tidak suka berpacaran. Jadi kami hanya sekedar berteman begitu saja.’

‘Tapi kayaknya kamu naksir deh, sama dia,’ Irma menggoda.

‘He..he.. Kan kamu sendiri bilang. Anak muda seganteng itu. Siapa yang nggak akan naksir…he..he..he.. Kamu sendiri bagaimana dengan mas Rinto?’

‘Aku juga sekedar berteman aja.’

‘Aku sering lihat mas Rinto ke sini. Mengerjakan tugas sama kak Syahrul.’

‘Syahrul teman serumahnya Imran?’

‘Benar. Kalau kamu, kayaknya kamu yang menghindar dari Rinto, ya?’

‘Tahu dari mana kamu?’

‘Aku dengar dari teman-teman.’

‘Aku juga nggak suka berpacaran. Nggak berani. Tapi kalau sekedar berteman bolehlah. Nggak apa-apa.’

‘Gitu, ya? Tapi benarkan, kalau mas Rinto mengejar-ngejar kamu?’

‘Dia sering datang. Ya, aku terima kalau sekedar untuk ngobrol-ngobrol. Kalau diajak pergi keluar aku nggak pernah mau. Pernah dia bilang kalau dia naksir ke aku. Aku bilang bahwa aku tidak mau berpacaran. Jadi gitu deh….’

‘Memang harusnya begitu, kali ya? Kamu bagaimana Yun? Diam aja dari tadi…’

‘Aku tidak ada komentar,’ jawab Yuni tersipu.

‘Punya pacar?’ tanya Ratih tersenyum.

‘Mmmh. Nggak,’ jawab Yuni juga tersenyum.

‘Emang bagusnya gitu kali, ya? Ngapain juga berpacaran. Kata uci, kalau sampai salah jalan, berat akibatnya. Apa lagi buat kita, perempuan.’

‘Nah! Tu, tahu. Tapi, uci tu siapa?’

‘Uci itu nenekku. Mamanya mamaku. Tahu nggak aku berkenalan dengan kak Imran itu gara-gara uciku itu,’

‘Oh ya?’

‘Uci terkunci di kamar mandi. Pintu kamar mandi itu nggak bisa dibuka dari dalam dan nggak bisa dibuka dari luar. Kuncinya ngadat. Di rumah waktu itu hanya ada aku dan uci. Aku kehilangan akal. Akhirnya aku pergi keluar minta tolong. Yang ada di rumah sewaan di sebelah waktu itu hanya kak Imran. Aku minta tolong ke dia. Itu asal mulanya kami berkenalan.’

‘Kejadiannya kapan? Waktu mereka baru tinggal disini?’

‘Bukan. Belum lama. Belum setahun, kali. Sebelumnya itu, aku sering sih melihat kedua anak muda itu, kak Imran sama kak Syahrul. Tapi kami seperti orang nggak kenal. Paling kalau ketemu di jalan sekedar senyum aja. Tapi sejak pristiwa kunci macet itu, kami jadi lebih akrab.’

‘Dia sering datang ke sini sesudah itu?’ tanya Yuni.

‘Nggak pernah. Pada hal dia sering lewat di depan rumah ini kalau mau ke mushala. Tapi tidak pernah mampir.’

‘Tapi kamu yang sering ke tempatnya?’ giliran Irma bertanya.

‘Beberapa kali uci menyuruh mengantar makanan ke sana. Uci merasa berhutang budi kepada kak Imran.‘

Sukma kembali dari tempat fotokopi. Diserahkannya hasil fotokopian itu ke Ratih. Ternyata hasilnya bagus dan jelas. Ratih menyerahkan fotokopian itu ke Irma.

Mereka masih melanjutkan obrolan sebentar lagi. Dan sesudah itu mereka berpamitan.

***
Mereka sengaja mampir ke tempat Imran sebelum pulang. Yuni ingin berpamitan dulu. Tapi rupanya Imran sedang pergi. Yang ada hanya Syahrul. Jadinya Yuni menitip salam saja melalui Syahrul.

‘Kamu tahu, tidak,’ kata Yuni waktu mereka sudah di jalan menuju pulang.

‘Tahu apa?’ tanya Irma.

‘Aku juga menyukai bang Imran,’ jawab Yuni polos.

‘He..he.. Terus?’

‘Ya. Aku suka. Aku naksir dia. Aku ingin jadi pacarnya.’

‘Gila. Terus apa yang kamu perbuat?’

‘Tidak ada. Belum ada apa-apa. Tapi sungguh. Aku benar-benar sangat menyukainya. Sampai termimpi-mimpi.’

‘Istighfar! He..he..he..’

‘Memang berdosa kalau anak perempuan naksir anak laki-laki?’

‘Yuni…. Yuni. Kalau berpacaran, terus kamu mau ngapain? Mau bergaul bebas? Mau celaka?’

‘Ih, kamu ini. Amit-amit. Ya nggak, lah.’

‘Lha terus mau ngapain? Cukuplah berteman saja. Nanti pasti akan datang masanya. Waktu itu nanti kita menikah. Nah, dengan suami sendiri silahkan berpacaran. Silahkan berbuat apa saja. Tidak akan berdosa.’

‘Kok kamu gitu amat, sih?’

‘Ya, aku memang begitu. Aku akan berusaha jangan sampai perlu berpacaran.’

Yuni terdiam.

Mereka sampai di tempat kos Irma. Yuni segera berpamitan. Dia ingin segera pulang ke Sekeloa. Dia ingin berbagi cerita dengan Lala tentang pertemuan tidak sengaja dengan Imran hari ini.


*****

DERAI-DERAI CINTA (32)

32. YUNI DAN RATIH

Yuni mempunyai seorang saudara sepupu yang kuliah di Farmasi Unpad. Namanya Irma. Ayah Irma adalah kakak mamanya Yuni. Umur mereka hampir sama. Tapi Irma satu angkatan di atas Yuni karena dia pernah meloncati kelas enam waktu di SD. Irma dulu bersekolah di Jakarta. Dia indekos di Titimplik. Tadinya Irma mengajak Yuni untuk kos bersama-sama, tapi Yuni sudah terlanjur setuju untuk tinggal di rumah Lala. Yuni sering datang ke tempat Irma karena memang tidak terlalu jauh dari kampus Unpad. Kadang-kadang dia menginap di sana. Begitu pula kadang-kadang Irma datang ke Sekeloa ke tempat Yuni. Hubungan mereka memang sangat akrab. Sebagai teman sebaya maupun sebagai saudara sepupu.

Baru-baru ini Irma sakit demam berdarah dan dirawat di Rumah Sakit Hasan Sadikin selama sepuluh hari. Sebelumnya dia pulang ke Jakarta di akhir minggu. Sekembali dari Jakarta, badannya tiba-tiba jadi lemas dan panas tinggi. Ketika itu di dekat tempat tinggalnya di Grogol sedang berjangkit penyakit demam berdarah. Mula-mula dicobanya mengatasi demam itu dengan minum obat turun panas. Tapi ternyata tidak mempan. Panasnya tidak turun. Irma terpaksa tidak pergi kuliah. Melalui teman kosnya, Rita dia beritahu Yuni kalau dia sakit dan meminta Yuni datang. Rita teman kuliah Yuni di Psikologi. Irma mau minta tolong Yuni mengantarnya ke dokter.

Yuni segera datang siang harinya. Waktu itu Irma dalam keadaan demam dan panas tinggi. Mukanya merah dan matanya terlihat sayu.

‘Tolong antar aku ke dokter, Yun,’ pinta Irma.

‘Ayo kita segera pergi sekarang. Kamu sanggup dibonceng dengan motor?’ tanya Yuni.

‘Mudah-mudahan sangguplah. Aku pakai jaket tebal biar nggak kedinginan.’

‘Kita ke tempat praktek bang Lutfi saja. Di dekat sini.’

‘Terserah kamulah,’ jawab Irma pasrah.

Yuni membawa Irma ke tempat praktek bang Lutfi di jalan Diponegoro. Kebetulan bang Lutfi dan teteh Yani baru saja sampai di tempat praktek.

Kedua dokter muda itu segera memeriksa Irma.

‘Wah, ini sepertinya demam berdarah. Sebaiknya Irma diopname saja,’ kata bang Lutfi.

‘Begitu ya bang?’ jawab Irma lemas.

‘Irma harus periksa darah. Dan harus diinfus. Jadi sebaiknya segera saja diopname,’ teteh Yani menambahkan.

Irma mengangguk lemas.

‘Ya. Biar abang antar ke rumah sakit sekarang. Mau?’

‘Saya menyerah saja bang. Badan saya sangat lemas,’ jawab Irma.

‘Ayo kita segera berangkat. Naik mobil abang saja. Yuni mau ikut?’

‘Ke rumah sakit mana bang? Biar aku susul pakai motor saja. Nanti pasti perlu motor lagi untuk wira-wiri,’ jawab Yuni.

‘Ke Hasan Sadikin. Ya sudah kalau gitu. Mari kita berangkat sekarang.’

Irma diantar bang Lutfi sementara Yuni menyusul pakai sepeda motor.

Irma lalu diopname. Diinfus dan diperiksa darah tiap hari. Selama dia di rumah sakit hampir tiap hari Yuni menemaninya, bergantian dengan tante Salma, mamanya Irma yang sengaja datang dari Jakarta. Waktu itu trombosit di dalam darah Irma turun sampai rendah sekali. Sampai 20 ribuan. Baru setelah itu pelan-pelan naik kembali. Perawatan demam berdarah menghabiskan banyak waktu. Dokter tidak akan mengizinkan pasien pulang sebelum kandungan trombosit darah kembali normal. Untuk menjadikannya normal perlu beberapa hari. Tapi untunglah sekarang dia sudah sembuh dan sudah boleh pulang ke tempat kos. Tante Salma sudah kembali ke Jakarta. Irma tidak kuliah selama hampir dua minggu. Sesudah keluar dari rumah sakit Yuni masih menemani Irma dua hari lagi di tempat kosnya. Hari ini Yuni rencananya akan pulang ke Sekeloa. Tapi sebelumnya Irma minta diantarkan ke rumah temannya di Taman Sari karena dia mau meminjam catatan kuliah yang tertinggal selama dia dirawat di rumah sakit.

‘Kamu masih ingat Ratih, kan? Antarin aku ke rumahnya, yuk! Aku mau minjam catatan-catatannya. Maksudnya ntar mau aku fotokopi aja,’ kata Irma mengajak Yuni.

‘Sekarang? Pagi ini? Bagaimana kalau ntar habis kuliah? Aku kuliah hanya dua jam hari ini. Jam sebelas nanti aku sudah selesai.’

‘Iya, maksudku hari ini. Katanya kamu ‘dah mau pulang ke Sekeloa. Aku masih belum pas kayaknya bawa motor. Masih agak gemetaran. Makanya kamu tolong nganterin aku ke sana. Ntar siang juga nggak apa-apa.’

‘Ya udah. Nanti sepulang aku dari kuliah aku antar. Kamu nggak usah kuliah dulu hari ini.’

‘Memang aku belum kuat untuk kuliah hari ini kok. Mungkin besok kali, aku coba-coba.’


***

Gunung Marapi di Sumatera Barat sedang aktif. Kepundannya menyemburkan api disertai awan tebal berwarna hitam. Kota Bukit Tinggi ditutupi debu vulkanis dari gunung Marapi. Debu halus hitam kecoklatan menutupi apa saja, atap rumah, jalan-jalan dan pohon-pohon. TVRI menyiarkan gambar gunung yang sedang meradang itu. Begitu pula dengan koran-koran memuat berita yang sama. Penduduk Bukit Tinggi dan sekitarnya, meski merasa tidak nyaman tapi tidak terlalu merisaukannya. Gunung Marapi memang seringkali menunjukkan gelagat seperti itu.

Ratih yang sedang sangat tertarik dengan apa saja yang berbau Sumatera Barat mengikuti berita gunung Marapi itu dari koran. Koran Kompas memuat gambar dan berita yang cukup rinci. Ratih ingin bertanya lebih jauh tentang kejadian itu kepada Imran. Dia kan mahasiswa geologi. Tentu Imran punya pengetahuan tentang sifat gunung berapi. Dan bukankah Imran serta Syahrul berasal dari Bukit Tinggi yang terletak tidak jauh dari gunung itu?

Waktu pulang kuliah siang itu Ratih melihat pintu rumah Imran terbuka. Tidak terlihat siapa-siapa, tapi tentu ada orang di dalamnya. Ratih mengetok pintu sambil mengucapkan salam. Ternyata Imran ada di dalam. Dia juga sedang membaca koran Pikiran Rakyat di kamarnya sesudah selesai makan siang. Syahrul belum pulang dari kuliah.

‘Apa kabar?’ tanya Imran menyapa, sambil tersenyum ramah.

‘Kabar baik, kak. Tapi ada yang mau ditanyakan, nih. Kak Imran lagi sibuk?’

‘Ah ndak. Mau menanyakan apa? Silahkanlah masuk,’ jawab Imran.

Ratih masuk dan duduk di meja belajar Syahrul.

‘Pertanyaan tentang gunung meletus. Boleh?’

‘Lho. Gunung mana yang meletus?’ tanya Imran lagi.

‘Kak Imran nggak membaca koran? Maksudnya, nggak tahu tentang gunung Merapi yang sedang meletus di Sumatera Barat itu?’

‘Oh ya. Saya tahu. Namanya gunung Marapi, pakai ‘a’. Marapi. Untuk membedakan dengan gunung Merapi, pakai ‘e’, yang di Jawa Tengah. Memang gunung itu sedang aktif saat ini,’ jawab Imran datar.

‘Nggak khawatir? Maksudnya, apakah gunung itu tidak mengancam keselamatan penduduk di sekitarnya? Katanya kampung kak Imran juga di kaki gunung Marapi itu.’

‘Ya, tidak terlalu khawatir. Gunung itu memang terhitung sangat aktif. Sering menyemburkan awan panas dan api. Masyarakat di sekitarnya sudah terbiasa dengan kejadian itu,’ jawab Imran.

‘Menurut berita di koran Kompas ini kejadian seperti yang sekarang ini justru tidak sering terjadi. Maksudnya, kegiatannya sekarang terhitung cukup mengkhawatirkan. Debu yang dimuntahkannya telah menimbulkan penyakit sesak nafas penduduk.’

‘Itu benar. Tapi mudah-mudahan tidak akan lebih dari itu. Biasanya gunung itu terbatuk-batuk untuk beberapa hari setelah itu dia akan beristirahat lagi dengan tenang.’

‘Maksudnya?’

‘Maksudnya, kepundan gunung itu dalam keadaan terbuka dan hal ini insya Allah aman. Kegiatan yang terjadi di dapur magma tersalurkan keluar karena kepundan tidak tertutup. Sama halnya dengan gunung Tangkuban Perahu yang dekat ini. Gunung berapi berbahaya kalau kepundannya tersumbat. Magma akan mendesak sumbat itu dan bisa mengakibatkan letusan hebat yang melemparkan isi perut gunung itu ke udara.’

‘Oo, begitu. Jadi sementara ini gunung itu tidak mengancam dengan bahaya yang menakutkan? Begitu juga dengan gunung Tangkuban Perahu?’

‘Insya Allah demikian.’

‘Tapi, saya dengar kabarnya, gunung Marapi di Sumatera Barat itu pernah menimbulkan banjir bandang yang menghanyutkan batu-batu besar. Apakah batu-batu besar itu bukan berasal dari letusan gunung itu?’

‘Banjir bandang....... Hmmmh…. Orang kampung kami menyebutnya galodo……’

Mata Imran menerawang jauh ketika mengucapkan kata-kata itu. Ratih heran melihat raut muka Imran tiba-tiba berubah.

‘Ya… Kenapa kak? Apa yang kak Imran pikirkan? Apakah banjir batu itu bukan hasil gunung berapi?’’

‘Eh… tidak. Kalau banjir yang menghanyutkan batu-batu itu berbeda…… Memang batu-batu itu juga merupakan muntahan gunung Marapi pada jaman dulu, lalu terbawa hanyut oleh banjir yang terjadi sekarang?’

‘Saya kurang faham maksudnya. Jadi gunung Marapi itu jaman dulu pernah memuntahkan batu-batu besar? Jaman dahulu itu kapan? Lalu kalau begitu, kenapa sekarang kak Imran katakan bahaya seperti itu bisa diabaikan? Bukannya kalau gunung itu pernah dan mampu meletus serta mengeluarkan muntahan berupa batu besar-besar hal itu dapat saja terjadi kembali?’

‘Seperti saya katakan sebelumnya, sebuah gunung berapi berpotensi mendesak dan melemparkan isi perutnya kalau jalan keluar atau kawah gunung itu tersumbat. Suatu saat dulu, mungkin beribu-ribu tahun yang lalu, kawah gunung Marapi tersumbat dan dia memuntahkan batu-batu besar itu ketika meletus. Saat ini keadaannya tidak demikian. Kepundannya tidak tersumbat.’

‘Ooo… Begitu ya kak? Iyalah… Mudah-mudahan tidak terjadi mala petaka yang dahsyat. Tidak terjadi hal yang menyusahkan masyarakat…’

‘Mudah-mudahan,’ jawab Imran sambil tersenyum lirih.

***

Sedang mereka berbincang-bincang itu, Irma dan Yuni datang, ditemani Sukma adik Ratih. Mereka mencari Ratih ke rumahnya, tapi kata Sukma mungkin Cut (panggilannya kepada Ratih) sedang di rumah kak Imran. Irma minta tolong diantarkan, dan ternyata benar, Ratih sedang berbincang-bincang dengan Imran.

Yuni sangat kaget mengetahui bahwa Imran tinggal disitu. Dia tidak menyangka akan bertemu Imran. Dalam hatinya dia lebih kaget lagi ketika melihat Imran sedang berdua saja dengan Ratih di dalam rumah itu.

‘Wah, lagi berduaan nih? Jangan-jangan kami mengganggu……,’ Irma menyapa begitu dipersilahkan Imran masuk.

‘Ah, nggak. Aku lagi belajar ilmu gunung berapi sama kak Imran,’ jawab Ratih sambil tersenyum.

‘Wah! Asyik dong….. Terus? Sudah faham?’

Ratih hanya tersenyum.

‘Bang Imran tinggal disini?’ tanya Yuni masih penasaran.

‘Ya, saya tinggal disini. Berdua dengan Syahrul. Masih ingat kan teman saya Syahrul?’ jawab Imran.

‘Ya… masih ingat. Yang datang waktu bikin gulai tunjang kan? Kok dia nggak ada?’

‘Benar, yang itu. Dia belum pulang. Mungkin sedang di tempat temannya mengerjakan tugas,’ jawab Imran.

‘Lho… sudah pada kenal to?’ Irma menyela.

‘Bang Imran kan sering ke Sekeloa…. Bang Imran sepupunya Lala,’ Yuni menjelaskan.

‘Oooo. Pantesan. Gimana Cut? Aku mau pinjam catatan-catatan. Boleh kan?’

‘Ya bolehlah. Gimana? Kamu sudah sehat betul?’

‘Alhamdulillah. Sudah lumayan. Besok aku rencana mau mulai masuk lagi,’ jawab Irma.

Setelah berbincang berbasa basi, Ratih mohon pamit. Dia mengajak Irma dan Yuni ke rumahnya, mengambil buku-buku catatan yang akan dipinjam Irma.


*****