Saturday, October 29, 2011

KENANGAN MASA PRRI (7)

7. Gempar

Letnan Sutopo, komandan tentara APRI di Biaro terbangun ketika mendengar suara tembakan. Bunyi tembakan terdengar sangat dekat dari pos mereka. Sutopo bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan keluar. Ada empat orang tentara piket di beranda rumah yang mereka jadikan pos itu.

‘Suara letusan apa lagi tadi itu,’ tanyanya sambil menuangkan kopi dari termos ke cangkir.

‘Alaah….. Paling si Mancun latihan menembak lagi, komandan,’ jawab Bidin, tentara OPR yang sedang piket.

‘Latihan menembak kerbau?’

‘Ha…ha..ha..ha… Latihan menembak tentara-tentara luar itulah komandan. Mungkin banyak yang tertangkap dan dihabisi dekat sini.’

‘Itu yang aku tidak suka. Kenapa mesti di dekat sini mereka lakukan. Kalau masyarakat di Biaro ini sudah tidak perlu ditakut-takuti.’

‘Betul juga komandan….. Suara letusan tadi itu paling di simpang tiga dekat Sicamin.’

‘Mau kau bertaruh? Berapa orang kira-kira yang mereka berondong?’

‘Kalau dari suara letusan tadi itu, paling tidak ada lima atau enam orang, komandan.’

‘Sudah semakin ahli kau menebak.’

‘Kalau menurut komandan berapa orang?’

‘Aku rasa sebanyak yang kau katakan tadi. Hebat sekali kalau mereka berhasil menangkap pemberontak sebanyak itu.’

‘Berita yang didengar si Mancun memang sangat bisa dipercaya komandan.’

Sutopo menyalakan rokok kretek Gatotkaca untuk menghalau rasa dingin di ujung malam. Bau asap rokok kretek itu harum. Tapi bagi si Bidin, rokok seperti itu tidak enak untuk dihisap. Letnan Sutopo pernah memberinya sebatang, begitu dihisap dia langsung terbatuk-batuk. Si Bidin lebih suka dengan rokok Peros, rokok putih buatan lokal.

‘Mau coba kretek lagi Bidin?’ tanya Sutopo.

Indak komandan. Indak telap saya menghisap rokok serupa itu. Diranguk hidung saya,’ jawab Bidin.

‘Rokok Peros mu itu tembakaunya dicampur dengan kerisik daun pisang…. He..he..he..’

‘Mana pula mungkin komandan. Ini tembakau asli. Tembakau Pikumbuh. Dulu, dijual orang ke Medan tembakau Pikumbuh ini,’ Bidin tidak mau kalah.

‘Apa kepanjangan Peros kau bilang?’

‘Perusahaan rokok Sikumbang. Orang Sikumbang yang membuatnya.’

‘Ada pabriknya di Sikumbang itu?’

‘Ada peragat pembuatnya. Orang Sikumbang bergotong royong membuatnya.’

Mereka berbincang-bincang santai. Sutopo yang sehari-hari tampak sangar, ternyata bisa juga beramah tamah dengan Bidin. Bidin memang yang paling bisa diajak berbicara di antara belasan anggota OPR di pos itu. Bahasa Indonesianya lumayan dapat dimengerti.

Beberapa menit berlalu. Sutopo merasa heran bahwa anak buahnya yang pergi berpatroli belum juga kembali. Padahal sudah agak lama suara letusan senjata api terdengar. Dan dia berkeyakinan bahwa suara senjata itu berasal dari tembakan yang dilakukan anak-anak buahnya.

‘Kemana mereka? Ada setengah jam sejak bunyi letusan tadi, mereka belum juga muncul,’ Sutopo bertanya.

‘Iya komandan…..’

‘Apa yang kau iyakan?’

‘Iya…. Sudah lama betul. Belum kembali juga mereka.’

‘Pergi kau susul. Kau dan kau, pergi bersama Bidin,’ perintah Sutopo kepada dua orang OPR yang sedang piket.

‘Siap komandan,’ jawab Bidin.

Ketiga anggota OPR itu berangkat tergopoh-gopoh menuju ke arah selatan. Dengan senjata terkokang di tangan. Itu suatu keharusan. Harus senantiasa siap menghadapi segala kemungkinan yang paling buruk. Di siang hari mereka sangat bangga menyandang senjata atau memegang bedil seperti ini. Rasanya mereka lebih tentara dari tentara APRI yang datang dari Jakarta.

Malam yang sangat dingin. Tapi tidak terlalu gelap. Di langit berjuta bintang bergemerlap. Di selatan remang-remang terlihat sosok gunung Marapi dan Singgalang, membatasi untaian bintang gemintang yang bertabur berjuta-juta itu. Keduanya bagai menjaga kesunyian malam. Suara jengkerik berderik-derik, suara kodok bersahut-sahutan di bandar air dan kepakan kelelawar menghiasi kesepian ujung malam.

‘Kemana pula akan kita cari mereka ini?’ tanya Samsul.

‘Kita cari ke mudik. Bunyi letusan tadi itu di dekat-dekat sini saja. Harusnya mereka tidak jauh dari sini.’

'Entah-entah mereka dilarikan hantu haru-haru,’ Maan ikut berkomentar.

‘Yang indak-indak saja isi pikiran waang,’ Bidin kesal.

‘Kalau bukan dilarikan hantu haru-haru, kemana pula pergi mereka sesudah menembaki tentara luar tadi itu,’ Maan membela diri.

‘Atau mungkin juga mereka kembali lagi ke mudik. Kembali lagi ke rumah wali jorong itu. Jangan-jangan yang ditembak tadi termasuk wali jorong. Lalu mereka kembali menyilau istrinya. Itu yang paling mungkin,’ Samsul berteori.

‘Jadi kita harus mencari sampai ke rumah wali jorong Asmar? Jangan-jangan kita pula dipintas tentara luar nanti,’ Maan mulai agak takut.

‘Di mana pula akan ada tentara luar di sini. Tentara luar di sana di atas gunung Marapi,’ jawab Bidin bersemangat.

‘Sst…. Tenanglah. Aku mendengar seperti suara orang merintih di hadapan kita,’ Samsul mengingatkan.

‘A… a.. a…pa ka ta waang?’ Maan tiba-tiba jadi tergagap.

Maan merapatkan tubuhnya ke tubuh Samsul. Jantungnya tiba-tiba berdebar kencang. Bidin juga tidak kalah gugup. Suara rintihan itu semakin jelas terdengar. Ketiga tentara OPR itu masih berusaha maju dengan langkah terseret-seret.

Bidin menyorot arah suara rintihan itu dengan lampu senter. Betapa terkejutnya mereka melihat yang tergeletak itu adalah seseorang yang berseragam tentara. Dengan tangan menggigil Bidin mengarahkan cahaya senter ke sekitarnya. Terlihat pemandangan yang lebih mengerikan. Bidin segera mengenali salah satu dari yang tergeletak itu. Mancun. Teman sekampungnya yang bertubuh gempal. Tubuh Mancun sudah tidak bergerak.

‘Ba…. Ba ba gai.. mana ini?’ Maan bertanya dengan suara menggigil. Tak terasa dia mengeluarkan air seni. Maan terkencing di celana saking ketakutannya.

‘Kita segera balik ke pos,’ Bidin setengah berbisik sambil tubuhnya diputarnya mengarah kembali ke pos.

Samsul dan Maan sama-sama bergayut, berpegangan di baju Bidin. Mereka berjalan setengah berlari dengan tubuh membungkuk. Mendekati pos ketiganya berpacu lari seperti sedang dikejar hantu. Dikejar hantu haru-haru. Sampai di pos, Bidin jatuh seperti tapai. Dan pingsan.

‘Kenapa kalian!’ bentak Sutopo.

Maan dan Samsul seperti orang gagap. Keduanya tak pandai berbicara. Tubuh keduanya menggigil dan tangannya menunjuk-nunjuk.

‘Ada apa? Ada apa?’ Sutopo meremas leher baju Samsul dan menggoncang-goncang tubuh serdadu OPR itu. ‘Apa yang kalian lihat?’ bentaknya lagi.

‘Ter….. ter…. Terbunuh,’ jawab Samsul gagap. Hanya kata-kata itu yang keluar dari mulutnya. Tubuhnya ikut pula menggelonsor dan diapun pingsan.

Sutopo mengeluarkan pluit dari kantong celananya. Pluit itu ditiupnya dengan nada tanda bahaya. Semua tentara yang sedang tidur di pos itu terbangun dan bergegas keluar dengan membawa senjata masing-masing. Sutopo memberi penjelasan singkat. Ada sesuatu yang sangat mencurigakan sedang terjadi. Mereka akan memeriksa sesuatu itu bersama-sama. Maan, satu-satunya yang tidak pingsan di antara mereka bertiga, dipaksa menjadi penunjuk jalan. Dengan tubuh menggigil ketakutan, Maan hanya bisa menunjuk-nunjuk ke arah selatan. Lima belas orang tentara APRI itu berjalan berpencar, mengikuti Maan yang didorong Sutopo agar tidak ambruk.

Mereka sampai di tempat itu. Tidak ada lagi suara rintihan. Tubuh-tubuh malang terkapar bersimbah darah. Sutopo gemetar menyaksikan pemandangan itu. Begitupun anak buahnya. Diperiksa dan dihitungnya jumlah yang tergeletak. Ada delapan orang. Tidak, ada sembilan orang. Yang satu orang lagi ada di dalam selokan. Dalam bandar air. Semua sudah jadi mayat. Berarti ada satu orang lagi yang belum terlihat.

Sutopo memerintahkan dua orang anak buahnya kembali ke pos dan menghubungi Bukit Tinggi dengan radio untuk minta bantuan.

*****


Saturday, October 22, 2011

KENANGAN MASA PRRI (6)

6. Serangan Kilat Menjelang Subuh

Rombongan tentara PRRI itu segera mengambil tempat yang tersembunyi, beberapa puluh meter dari rumah tuan Asmar. Semua berjaga-jaga, ingin melihat siapa kiranya tamu yang dihebohkan anjing-anjing kampung itu. Benar saja, ternyata mereka adalah tentara APRI dari Biaro. Besar betul nyali tentara pusat itu, datang di tengah malam ke kampung yang cukup jauh dari pos mereka. Apakah tentara-tentara itu begitu yakinnya merasa bahwa daerah ini semua sudah menjadi daerah taklukan mereka?

Kasim berada dekat tandas di seberang tebat ikan. Diamati dan dicobanya menghitung jumlah rombongan yang datang. Ada sembilan atau sepuluh orang. Sesudah menggedor dinding rumah tuan Asmar, lima orang naik ke rumah. Kasim melihat mereka dengan sangat jelas dalam keremangan malam. Sisanya berjaga-jaga di pekarangan sambil berjalan mondar-mandir. Sambil merokok pula. Anjing-anjing kampung sementara sudah berhenti menyalak.

Tamrin merangkak hati-hati ke dekat Kasim dan mencoleknya.

‘Kita berangkat,’ bisiknya.

Keduanya merangkak pelan-pelan dan bergabung dengan anggota rombongan yang lain. Setelah itu semuanya berjalan dengan senyap di pematang sawah melintasi jalan kampung di sebelah timur. Tanpa suara mereka berjalan beriringan ke utara dari kampung itu, ke arah Biaro, melalui pematang sawah yang jaraknya sekitar dua puluh lima meter dari jalan. Keistimewaan tentara PRRI ini mereka tidak pernah disalak anjing karena setiap kali masuk kampung, mereka rajin memberi anjing-anjing yang suka heboh itu dengan sejemput makanan.

‘Akan kita hadang mereka di Sicamin. Di pesawangan itu kita habisi mereka. Berapa orang tadi kau hitung?’ tanya komandan Basa kepada Kasim.

‘Sembilan atau sepuluh. Lima naik ke rumah, yang di halaman tidak terlalu jelas. Mungkin empat atau lima. Aku mendengar seorang memanggil-manggil nyiak Jorong, sebelum mereka naik ke rumah,’ jawab Kasim.

‘Pastilah OPR-OPR pembawa sial itu. Huh, mereka itu memang menyebalkan.’

Beberapa menit kemudian mereka sudah sampai di Sicamin. Dari arah selatan kembali terdengar salak anjing. Masih cukup jauh dari tempat mereka berada. Komandan Basa memberi perintah kilat mengatur strategi.

‘Kasim! Kau dan Tamrin di sebelah utara dekat pohon limau itu. Aku dan Said di pematang di sini. Kau juga di belakangku Junaidi! Hamid dan Kutar di pematang sawah di seberang sana, antara tempatku ini dengan Kasim, di seberang jalan. Mereka akan berjalan beriring-iring, begitu biasanya. Mungkin berdua-berdua atau bertiga-bertiga. Aku yang akan menembak lebih dahulu begitu mereka melewati jalan di depanku ini. Kau Kasim, kau tembak dari depan sesudah aku menembak. Kau perhatikan benar mereka ketika menembak. Hamid dan Kutar mengamati seandainya masih ada di antara mereka yang bergerak sesudah itu kau habisi. Mereka akan berlalu dalam waktu lima menit lagi. Apakah jelas yang aku perintahkan?’

‘Jelas komandan,’ jawab mereka hampir serempak.

‘Ingat! Tidak ada yang menembak sebelum aku menembak. Begitu aku menembak, langsung kau perhatikan dan tembak pula sasaran. Jelas Kasim?’

‘Jelas, komandan.’

‘Baik! Sekarang ke posisi masing-masing. Bismillah……’

‘Masih boleh bertanya komandan?’ tanya Hamid.

‘Ada apa lagi?’

‘Seandainya ada yang lolos ke utara, seorang atau dua orang apakah kita kejar?’

‘Kalau mereka tidak berbalik menembak kita, akan kita biarkan. Rasa-rasanya OPR-OPR itu tidak akan berani menembak. Biar mereka melapor ke induk semangnya.’

‘Baik komandan, sudah jelas.’

Semua menuju ke posisi sesuai yang diperintahkan komandan Basa. Kasim dan Tamrin ke balik pohon limau, kira-kira sepuluh meter dari tempat komandan Basa. Semua menunggu dengan jantung berdegup keras. Dengan senjata terkokang siap ditembakkan. Pelan-pelan mulai terdengar derap sepatu dari arah selatan. Seperti yang diduga, mereka berjalan berkelompok dua dan tiga orang. Ternyata semuanya sepuluh orang. Pelan-pelan terdengar mereka bercakap-cakap. Percaya diri betul mereka itu. Lamat-lamat terdengar obrolan mereka dalam bahasa Indonesia beraksen Jawa. Rupanya dua orang yang di depan yang sedang berbicara.

‘Sontoloyo betul informasi kau.’

‘Infonya betul komandan. Mungkin harinya kita yang salah.’

‘Jadi? Besok mau diulang lagi kesana?’

‘Serancaknya begitu komandan. Inyiak jorong itu…… Semua orang tahu dia itu berkawan dengan tentara luar itu.’

‘Kalau berkawan, di kampung itu mungkin semua berkawan. Kau memang sontoloyo, kau bilang pasti ada pemberontak di rumah itu. Mana buktinya?’

Komandan Basa mendengar jelas perbincangan mereka. Tentara APRI itu mulai melintas di depan tempat dia bersembunyi. Dihitungnya, semua sepuluh orang, berjalan dengan santainya. Dua di paling depan, tiga di tengah dan berlima di paling belakang. Mereka pasti tidak mengkhawatirkan apapun. Apalagi mereka semakin dekat ke pos mereka di Biaro. Inilah waktunya. Semua sudah berada di sebelah depan komandan Basa, dengan posisi membelakanginya. Komandan Basa menarik pelatuk. Senjata itu menyalak memercikkan bunga api. Lima orang yang berada di belakang semua tersungkur bersimbah darah dari kepala mereka. Senjata Kasim ikut menyalak dari arah depan. Tiga orang di paling depan juga tersungkur. Dua orang di antara rombongan itu meloncat indah ke samping kiri jalan menghindari tembakan. Yang satu mendarat di dalam Bandar. Tepat di hadapan Hamid. Tanpa ampun, bedil Hamid pun menyalak. Tentara yang bersalto menyelamatkan diri itu menggeliat meregang nyawa. Hamid melihat yang satu orang lagi merangkak dalam Bandar air menuju ke utara. Kutar juga melihatnya. Dia pun merangkak mendekati tentara yang satu itu di pematang bandar dengan bedil terarah kepadanya. Sepertinya tentara yang satu itu tidak sadar bahwa dia diikuti. Setelah dekat Kutar menempelkan ujung senjatanya ke tubuh tentara malang itu.

‘Berdiri tanpa senjata dan angkat tangan kau!’ perintahnya.

Tentara itu berdiri dengan tubuh menggigil ketakutan. Kutar mendorongnya dengan ujung bedil dan menyuruhnya berjalan di pematang bandar air, mengarah ke selatan.

Beberapa menit berlalu. Suasana sunyi mencekam. Terdengar rintihan dari tentara yang terluka. Rupanya tidak semuanya mati terbunuh. Komandan Basa memberi isyarat kepada anak buahnya untuk segera berlalu dari tempat itu.

‘Bagaimana kalau aku ambil sebuah senjata mereka, komandan?’ tanya Kasim.

‘Ambillah! Hati-hati kau! Di antara mereka masih ada yang hidup.’

‘Bagaimana kalau sekalian kuhabisi kalau memang ada?’

‘Kalau dia sudah tidak membahayakan, jangan…... Kita bukan tentara buas. Kau amat-amati mereka Hamid!’

Ternyata ada dua orang yang merintih-rintih dengan luka masing-masing di dada dan di leher. Yang lain sudah tidak bernyawa. Kasim mengambil sebuah senjata tentara itu berikut pelurunya.

‘Untuk tongkat kau Junaidi,’ katanya sambil menyerahkan senapan itu ke tangan Junaidi.

Jantung Junaidi masih berdebar-debar menyaksikan drama maut itu.

‘Yang satu ini bagaimana komandan?’ tanya Kutar.

‘Kita bawa dulu ke atas,’ perintah komandan Basa. ‘Ikat tangannya dan tutup matanya, Hamid!’ tambahnya pula.

Tangan tentara tawanan itu diikat dengan tali dari kulit batang pisang dan matanya ditutup dengan kain sarung. Dia masih menggigil ketakutan dan tidak berkata sepatah juapun. Mereka segera meninggalkan tempat itu. Berjalan di pematang sawah menuju arah timur, menjauh dari jalan raya. Said menuntun tawanan itu yang berjalan tertatih-tatih dan berkali-kali hampir jatuh. Akhirnya mereka sampai di tepi sebuah batang air. Komandan Basa memberi isyarat agar tawanan itu diikatkan ke pohon enau yang tumbuh di situ. Pastilah tentara tawanan itu menyangka bahwa dia akan segera dihabisi.

‘Kau kami ampuni dan akan kami tinggalkan di sini. Mudah-mudahan temanmu cepat menemukan kau kembali. Seandainya kau belum dimangsa ular tentunya. Kalau kita bertemu lagi di pertempuran lain, dan aku punya kesempatan lagi, kau tidak akan kumaafkan lagi. Kau belum belum boleh berteriak sebelum kami jauh dari sini. Kalau kau berteriak, dan kami mendengarnya akan kutembak kau,’ komandan Basa memperingatkan tawanannya.

Tentara tawanan itu tidak berkata apa-apa. Mungkin dia masih belum yakin bahwa dia tidak akan dihabisi. Dia berdiri pasrah dalam keadaan terikat ke pohon enau.

Hari sudah menjelang subuh. Komandan Basa dan rombongannya menyeberangi batang air dan berlalu dari situ. Mereka menuju ke markas mereka di gunung Marapi. Junaidi berjalan penuh semangat dalam rombongan itu. Sambil menyandang bedil. Dia sudah ikut terlibat dalam peperangan itu. Pengalamannya malam itu mendebarkan sekaligus membakar semangat. Semangat untuk ikut bertempur dalam peperangan. Tanpa harus berprilaku buas dan bengis terhadap musuh. Seperti yang dicontohkan komandan Basa malam ini. Membunuh karena sedang berada dalam keadaan perang. Tapi membiarkan hidup tawanan tanpa menyakitinya. Bahkan akhirnya meninggalkannya tanpa sedikitpun dilukai.

Telah hampir terbit matahari waktu akhirnya komandan Basa mengajak rombongannya berhenti dulu untuk sembahyang subuh. Mereka sudah berada di lereng gunung Marapi. Sesudah sembahyang, baru mereka ingat bahwa nasi bungkus dari rumah wali jorong tadi malam belum disantap. Pagi buta itu mereka makan dulu di tepi hutan. Makan nasi bungkus. Di tepi batang air yang airnya bergemiricik.

*****

Saturday, October 15, 2011

KENANGAN MASA PRRI (5)

5. Bergabung

Lewat tengah malam cuaca berubah cerah. Langit penuh bintang berkelap kelip. Tapi udara terasa sangat dingin. Di kedinginan malam itu ada enam orang berjalan beriring-iring di jalan kampung. Tanpa suara. Masing-masing memakai kopiah sebo untuk melindungi kepala mereka dari terpaan angin dingin. Masing-masing berkelumun kain sarung dan masing-masing menyandang bedil. Mereka adalah tentara PRRI. Yang paling depan adalah letnan Harun. Atau dikenal anak buahnya dengan panggilan komandan Basa. Gelarnya Sutan Basa. Mereka menuju ke rumah wali jorong. Anjing tuan Asmar tidak berbunyi sedikitpun.

Tuan Asmar, wali jorong itu adalah penghubung orang PRRI dengan simpatisannya di kampung. Umumnya penduduk kampung sangat memihak kepada PRRI tapi hanya sebagian yang benar-benar bersimpati. Para simpatisan ini, secara diam-diam berpartisipasi untuk membantu tentara-tentara PRRI itu semampunya. Ada yang menyumbang uang, yang menyumbang pakaian dan obat-obatan, yang menyumbang bahan makanan. Tuan Asmar yang menampungnya dan menyimpannya hati-hati di rumahnya. Dua kali sepekan, letnan Harun dengan anak buahnya atau kadang-kadang diwakili oleh anak buahnya datang ke rumah wali jorong untuk mengambil sumbangan-sumbangan itu.

Letnan Harun memberi isyarat di dinding bilik tuan Asmar. Tuan Asmar segera tahu karena memang dia tidak tidur sejak dari tadi. Setelah berbagi kode seperti biasa, keenam tentara itu masuk melalui pintu seperti yang dimasuki Junaidi.

Ada cahaya sangat temaram dari lampu togok yang berkedip-kedip di bilik kecil itu. Keenam tentara itu duduk bersandar ke dinding di samping Junaidi yang sedang tidur setengah mendengkur berselimutkan kain sarung. Dia tidak terganggu sedikitpun dengan kedatangan rombongan ini. Tuan Asmar membangunkan Junaidi dengan menepuk pundaknya. Junaidi segera bangkit dari tidurnya. Dikuceknya matanya sambil memandang keheranan pada keenam orang yang sudah duduk di kamar itu. Junaidi bangkit menyalami mereka.

‘Bagaimana kabar?’ tanya komandan Basa berbisik.

‘Kabar baik, pak,’ jawab Junaidi.

Dalam rombongan itu rupanya ada pula Tamrin, sahabat Junaidi. Dia tidak mengenalinya sampai Tamrin melepas sebonya. Mata Junaidi terbelalak. Tamrin tersenyum kepadanya.

Tuan Asmar mengeluarkan sebuah ketiding yang ditutupi dengan karung sumpit kosong dari sebuah peti kayu di sudut bilik. Ketiding itu berisi nasi bungkus dan ceret air minum yang memang sudah disiapkan dari senja. Sumbangan diam-diam dari orang kampung simpatisan. Bungkusan nasi itu dibagikannya. Junaidi juga kebahagian. Mereka sedang bersiap-siap akan menikmati nasi bungkus itu. Dari jauh terdengar gonggongan anjing sangat ramai. Suara salak anjing-anjing kampung.

‘Itu mereka. Kemasi barang bawaan. Kita segera turun!’ perintah komandan Basa.

Semua anak buahnya bersiap mengumpulkan bungkusan termasuk bungkusan obat-obat dari dalam ketiding. Satu per satu mereka turun dari pintu di lantai menuju kandang. Termasuk Junaidi. Jantung Junaidi berdebar-debar. Salak anjing itu makin ramai saja. Mungkin hanya pada jarak sekitar lima puluh meter dari rumah dan arahnya tepat menuju ke rumah tuan Asmar. Dalam hitungan belasan detik serombongan orang yang disalak anjing itu sampai di halaman rumah wali jorong. Terdengar derap sepatu tentara. Pastinya itu tentara pusat. Mungkin mereka sedang memeriksa sekitar rumah tuan Asmar.

Beberapa puluh detik pula sebelumnya, tuan Asmar sudah kembali menurunkan tongkat pasak pintu kandang dari dalam rumah. Di atas lantai yang jadi pintu masuk dari dalam kandang kembali diletakkan ketiding berisi karung sumpit kosong. Cerek air dipindahkannya ke luar dan lampu togok dipadamkannya. Tuan Asmar berjinjit sepelan mungkin ke kamarnya yang tidak berkunci dalam kegelapan. Rombongan tentara PRRI sudah berlalu semuanya.

Tepat ketika tuan Asmar sampai di kamar, dinding di luar kamar itu diketok orang dengan kasar.

‘Nyiak Jorong………! Nyiak Jorong………! Buka pintu kami mau ke rumah,’ teriak orang dari luar itu.

Pintu itu digedor berkali-kali.

‘Ya……! Siapa….?’ Jawab tuan Asmar sambil terbatuk-batuk.

Wali jorong itu melangkah ke luar kamar dan membuka sebuah jendela di tengah rumah untuk melihat keluar. Ada empat orang tentara berpakaian hijau berdiri di sana. Salah satu dari tentara itu sengaja menyenter ke arah rombongan mereka.

‘Ada apa?’ tanya tuan Asmar.

Suaranya tidak sedikitpun menunjukkan rasa takut.

‘Kami ingin naik ke rumah,’ jawab orang itu pula.

‘Baik! Naiklah, saya bukakan pintu,’ jawab tuan Asmar.

Dia melangkah ke pintu masuk rumah di bagian tengah antara rumah dan dapur dengan membawa lampu togok yang berkibar-kibar nyaris padam ditiup angin. Ditariknya pasak pintu rumah dan dibukanya gerendelnya. Rombongan itu sudah berada di depan pintu itu.

‘Naiklah!’ tuan Asmar mempersilahkan mereka naik.

Tentara-tentara APRI itu naik satu persatu, lima orang semuanya. Tuan Asmar mengenali bahwa tiga dari lima orang tentara itu adalah OPR, tentara bantuan dari orang lokal. OPR dengan tentara yang dari Jawa ibarat anjing pemburu dengan tuannya. Anggota OPR-lah yang biasanya mengendus-endus, mencari segala sesuatu yang mereka curigai untuk kemudian dilaporkan kepada atasannya anggota APRI dari Jawa. Di halaman anjing masih menyalak sekali-sekali.

‘Kami akan menggeledah rumah ini,’ kata seorang dari tentara dengan bahasa Indonesia aksen Jawa.

‘Silahkan, pak. Ada apa rupanya?’ tanya tuan Asmar pura-pura bodoh.

Tentara itu tidak menjawab. Semuanya memeriksa setiap sudut dengan bedil terkokang di tangan, siap diletupkan. Mereka masuk ke bilik-bilik yang terbuka pintunya, termasuk bilik tempat beberapa menit yang lalu ditempati rombongan tentara lain. Hanya ada ketiding kosong dalam bilik itu. Tentara itu terus memeriksa dan menyenter ke setiap sudut sampai ke langit-langit. Tidak menemukan suatu apapun.

‘Buka pintu ini!’ perintah tentara Jawa itu lagi.

Pintu yang dimaksudnya adalah pintu kamar di sebelah kamar tidur tuan Asmar yang ditempati mertuanya. Tuan Asmar membuka pintu itu yang memang tidak dikunci. Tentara itu melihat ada seorang tidur bergelung di atas dipan kayu. Tentara itu melongok ke dalam bilik dan menyenter ke bawah dipan. Tidak ada siapa-siapa selain orang tua yang kelihatannya sangat nyenyak tidurnya.

‘Nama saudara siapa?’ tentara Jawa itu bertanya lagi.

‘Asmar, pak,’ jawab tuan Asmar pendek.

‘Saudara, wali jorong?’

‘Ya.’

‘Tadi ada orang datang ke rumah ini?’

‘Tidak.’

‘Tidak ada tentara pemberontak yang datang?’

‘Tidak ada.’

‘Yang tidur itu siapa?’

‘Mertua saya.’

‘Kami tahu tentara pemberontak suka datang ke rumah ini.’

‘Tidak ada. Tidak sesiapapun yang datang.’

‘Kamar saudara yang mana?’

‘Yang ini,’ jawab tuan asmar sambil menunjuk ke pintu biliknya.

‘Ada siapa di dalam?’

‘Istri dan anak-anak saya.’

‘Coba buka!’

Tuan Asmar membuka pintu. Tentara itu melongok ke dalam. Darah tuan Asmar berdegup. Khawatir jika tentara ini berniat berbuat jahat. Di dalam kamar iti ada sebuah ranjang besi. Ada tiga orang tidur di atas ranjang itu. Istri dan kedua anak-anaknya.

Tentara itu menyenter-nyenter ke dalam kamar. Anak tuan Asmar yang kecil terbangun dan menangis ketakutan. Semua terbangun dan mereka duduk di tempat tidur. Istri tuan Asmar menutupi kepalanya dengan selendang. Pintu kamar itu kembali ditutup tentara Jawa itu.

‘Ya sudah! Saya perintahkan kalau ada tentara pemberontak datang ke rumah ini agar saudara melapor ke kantor Buter di Biaro,’ kata tentara itu.

‘Baik,’ jawab tuan Asmar.

‘Saudara kan ketua jorong. Laporkan juga kalau ada warga di kampung ini yang bekerja sama dengan pemberontak.’

‘Ya, pak.’

Kelima tentara itu turun dari rumah. Salak anjing tuan Asmar kembali heboh. Mereka berlalu dalam kegelapan malam.

*****

Friday, October 7, 2011

Santri

SANTRI

Rafki sampai di rumah orang tuanya. Untuk berlibur hari raya selama dua minggu. Betapa menyenangkan untuk kembali berada di rumah ini, dekat ayah dan ibu serta adik-adiknya. Rafki adalah seorang santri di sekolah penghafal al Quran di luar kota, di kaki gunung Marapi. Sudah setahun dia menuntut ilmu di sana. Atas perintah ayah, karena ayah ingin dia menjadi seorang hafidz. Seorang penghafal al Quran. Doa penghafal al Quran itu diijabah Allah dengan mudah. Orang tuanya pun nanti akan dihimbaunya masuk ke surga atas izin Allah. Itulah sebabnya ayahnya, Khatib Sulaiman sangat berambisi menyekolahkan Rafki ke pesantren itu.

Dan selama setahun itu baru kali ini dia pulang ke rumah orang tuanya di Jambi. Meskipun pada awalnya dia tidak terlalu bersemangat meninggalkan rumah orang tuanya, Rafki sebagai seorang anak yang penurut, mematuhi arahan ayah itu. Tapi ternyata suasana di pondok itu cukup menyenangkan. Kawan-kawannya semua baik-baik. Ustadz-ustadznya baik-baik. Lingkungannya ramah dan menyenangkan. Di sana Rafki termasuk santri yang terbaik. Prestasi sekolahnya bagus. Dan dia sudah menghafalkan 3 juz terakhir al Quran dengan bacaan yang fasih dan bersih tajwijnya. Sebuah prestasi yang luar biasa.

Kemajuan Rafki selalu dipantau Khatib Sulaiman ayahnya. Dua kali seminggu ayah dan anak itu berkomunikasi melalui sms, melalui hape ustadz Saiful. Ayah selalu saja bertanya sudah sejauh mana kemajuan hafalan al Qurannya. Bagi ayah hal itu adalah yang paling penting. Alhamdulillah Rafki selalu melaporkan kemajuan. Melaporkan surah demi surah pada setiap juz terakhir yang sudah dihafalkan. Khatib Sulaiman bangga berbunga-bunga. Ingin sekali dia mendengarkan langsung bacaan anaknya itu. Akan dimintakannya ijin imam mesjid agar si Rafki mengimami shalat subuh di mesjid. Betapa akan menyenangkan, punya anak penghafal al Quran.

Sekaranglah tiba waktunya. Di saat Rafki pulang berlibur ini. Khatib Sulaiman yang paling bahagia dengan kepulangan anak sulungnya itu. Rafki terlihat agak kurus sedikit tapi sangat sehat. Matanya bersinar-sinar. Sinar mata seorang penghafal al Quran.

Adik Rafki yang persis di bawahnya bernama Zain, duduk di kelas lima SD. Zain juga terkagum-kagum dengan Rafki. Dengan da Rafki atau lebih ringkas dipanggilnya da Raf. Kakaknya itu sangat berpaham penampilannya sekarang. Sangat berbeda dengan ketika sebelum dia berangkat ke pesantren. Sejak sampai di rumah tadi siang, sudah beberapa kali Zain memergoki Rafki sedang bergumam dengan nada seperti orang mengaji. Tapi suaranya terlalu halus untuk bisa didengar. Zain tidak dapat menahan hatinya untuk bertanya.

‘Sedang apa da Raf ini?’ akhirnya dia bertanya.

Rafki hanya tersenyum dan terus juga seperti bergumam.

‘Da Raf mengaji?’

Rafki mengangguk.

‘Cobalah baca yang keras. Awak ingin mendengar.’

Rafki menyaringkan suaranya. Terdengar bacaannya yang sangat elok, tartil, dan teratur dengan irama agak cepat. Zain terkagum-kagum mendengarnya. Sepertinya bacaan itu sangat lancar. Tidak pernah sekali juga dia terhenti atau ragu-ragu.

‘Surah apa yang da Raf baca? Biar awak simak,’ kata Zain. Tangannya sudah memegang sebuah mushaf al Quran.

Kali ini Rafki menghentikan bacaannya. Diambilnya al Quran itu dari tangan adiknya dan dibukanya surah al Mujadalah, awal juz ke dua puluh delapan.

‘Simaklah baik-baik!’ katanya.

Rafki kembali membaca dan Zain menyimaknya. Ayat demi ayat itu dibacanya dengan jelas. Jelas panjang dan pendeknya, jelas dengungnya, jelas tasydidnya, jelas qalqalahnya. Zain semakin terkagum-kagum. Tidak ada satupun bacaan itu yang salah. Sampai Rafki menyelesaikan keduapuluhdua ayat. Dilanjutkannya pula dengan surah al Hasyr sampai selesai.pula.

Rafki masih terus mengaji. Adiknya Zain menyimak dengan bersungguh-sungguh dengan kekaguman. Betapa hebatnya kakaknya itu. Betapa hebatnya da Raf. Setelah itu kedua adik kakak itu terlibat dalam pembicaraan.

‘Berapa lama da Raf menghafalkan juz ke dua puluh delapan itu?’ tanya Zain.

‘Hampir tiga bulan sampai benar-benar hafal,’ jawab Rafki.

‘Semua teman di pondok hafal seperti itu?’

‘Hampir semua. Ada bahkan yang lebih cepat, yang sudah mulai menghafalkan juz dua puluh tujuh.’

‘Kenapa dari belakang menghafalnya?’

‘Kata ustadz memang lebih baik seperti itu. Dimulai dengan yang susah dari belakang, karena ayat-ayatnya pendek-pendek dan banyak. Tapi kalau kita berhasil menghafalkan juz-juz terakhir itu, juz seterusnya jadi lebih mudah dihafalkan. Juz ‘ama atau juz tiga puluh baru bisa hafal dalam waktu hampir lima bulan. Juz berikutnya sekitar empat bulan. Terakhir juz dua puluh delapan selama tiga bulan.’

‘Sampai kelas tiga nanti bisa hafal sampai juz berapa?’

‘Mudah-mudahan sampai sepuluh juz. Target ustadz-ustadz di pondok seperti itu dan mudah-mudahan kesampaian.’

‘Hebat sekali…… Awak juga ingin sekolah ke sana,’ kata Zain bersungguh-sungguh.

‘Sudah diberitahukan ke ayah dan mak?’

‘Sudah. Ayah sangat setuju. Hanya mak yang ragu-ragu karena nanti rumah jadi sepi kalau awak pergi. Begitu kata mak.’

‘Kan masih dua tahun lagi. Mudah-mudahan saja nanti mak tidak lagi ragu-ragu.’

‘Tolong doakan ya da Raf?!’

‘Ya, insya Allah da Raf doakan.’

Di waktu shalat maghrib, di rumah, ayah menyuruh Rafki jadi imam. Dia membaca surah al Kaafiruun dan surah al Ikhlas. Surah yang pendek. Rafki membacanya dengan fasih dan tartil. Ayahnya berkomentar bahwa kedua surah itu terlalu pendek. Ayah ingin mendengar surah yang lebih panjang dan beliau meminta agar shalat isya nanti Rafki membaca yang lebih panjang. Dan Rafki mematuhinya. Dia baca surah al Muzzammil dan al Muddatstsir. Dengan fasih. Dengan lancar dan tartil.

Khatib Sulaiman bahagia dan bangga. Bacaan anaknya itu sangat mengagumkannya dan menyenangkan hati.

‘Besok subuh kita shalat di mesjid Al Barkah,’ kata ayah.

Rafki mengangguk.

‘Da Raf akan disuruh jadi imam?’ tanya Zain.

‘Kalau Haji Ahmad menyuruh kau maju, maka kau maju saja jadi imam!’ kata ayah.

‘Kan tidak enak sama orang tua-tua ayah,’ jawab Rafki.

‘Ayah sudah memberitahu Haji Ahmad. Beliau tidak keberatan. Beliau bahkan sangat setuju. Katanya, biar anak-anak muda, atau setidak-tidaknya orang tua yang punya anak muda tertarik pula mengirim anak mereka ke sekolah penghafal al Quran.’

‘Ya da Raf. Baca surah yang tadi itu lagi saja,’ Zain ikut menyemangati.

Di waktu subuh ketiga ayah dan anak itu pergi ke mesjid Al Barkah tepat saat azan subuh dikumandangkan. Jamaah subuh di mesjid ini ada sekitar empat puluh orang. Umumnya orang tua-tua. Sebahagian besar berpakaian haji atau sekurang-kurangnya bersorban. Sesudah iqamat, Haji Ahmad memanggil Rafki yang duduk di saf belakang dan menyuruhnya jadi imam. Meski agak sungkan, tapi Rafki maju juga. Sebelum takbir memulai shalat diingatkannya para jamaah agar meluruskan shaf. ‘Sawuu sufufakum….,’ katanya. Dan mereka mulai shalat.

Rafki membaca surah al Insaan di rakaat pertama dan surah al Mursalaat di rakaat kedua. Suaranya yang nyaring dan terang itu bertambah indah berkat bantuan alat pengeras suara. Lalu mereka rukuk di rakaat kedua. Lalu I’tidal. Lalu langsung sujud. Terjadi sedikit ‘huru-hara’. Ada yang berdehem-dehem dan ada yang membaca subhanallaah. Rafki yang tidak merasa ada yang salah tidak bereaksi apa-apa dan meneruskan saja shalatnya sampai selesai. Waktu dia menoleh dan mengarahkan pandangan ke belakang, dilihatnya orang-orang tua itu pada sujud. Rafki agak terheran-heran. Rupanya beliau-beliau itu sujud sahwi. Apa yang salah? Apa yang terlupa? Rafki tidak habis pikir.

Ayah mendekat kepadanya dan berbisik.

‘Kenapa kau tidak membaca doa qunut?’

Rafki baru sadar. Rupanya itu penyebabnya. Dia tidak membaca qunut waktu shalat tadi. Tapi Rafki diam saja. Dia tidak berkomentar apa-apa.

Sampai di rumah ayah kembali menanyakan.

‘Kenapa kau tidak qunut?’

‘Qunut itu kan sunah saja ayah. Di pondok ustadz-ustadz tidak membaca doa qunut,’ jawab Rafki dengan nada biasa-biasa saja.

‘Apa? Tidak membaca qunut?’ suara ayah meninggi.

‘Tidak ayah. Membaca qunut itu tidak wajib. Di masjidil Harampun imam shalat subuh tidak membaca qunut,’ jawab Rafki.

‘Wah! Kalau begitu kau sudah masuk perangkap. Kau sudah masuk ke golongan yang keliru. Kita adalah anggota ahlus sunnah wal jamaah. Kita wajib membaca qunut. Kalau kau lupa kau harus sujud sahwi. Sayang….. Bacaanmu yang bagus tadi tidak ada artinya karena kau menyalahi aturan. Karena kau tidak membaca qunut.’

‘Ayah… Membaca qunut itu hanya sunnah. Tidak wajib. Tidak membacanya tidak menjadikan shalat tidak sah. Kami menonton di televisi Arab Saudi, di Masjidil Haram imam shalat subuh tidak membaca qunut dan tidak ada orang yang sujud sahwi,’ jawab Rafki berhati-hati.

‘Ternyata pesantrenmu itu milik golongan itu. Golongan yang suka membid-‘ah-bid-‘ahkan orang lain. Membid-‘ah-bid-’ahkan kita. Sebaiknya, atau ayah putuskan, kau tidak usah lagi balik ke sana.’

Rafki terperangah mendengar ucapan ayah. Begitu juga Zain. Bukankah sampai tadi malam ayah sangat benar bangga dengan bacaan al Quran Rafki? Benarkah dengan tidak membaca qunut waktu shalat subuh tadi dia sudah membuat kesalahan fatal? Rafki tidak ingin meneruskan bantahan dan memilih diam.

Dan ternyata ayah tidak main-main dengan keputusannya melarang Rafki kembali ke pondok.

‘Nanti kita cari pondok yang lain. Pondok dari golongan ahlus sunnah wal jamaah. Ayah akan menghubungi pimpinan pondok itu untuk memberi tahu bahwa kau tidak akan kembali lagi ke sana,’ begitu kata ayah.

Rafki sedih tidak boleh kembali ke pondok. Lebih sedih lagi karena dia yakin alasan ayah itu tidak masuk akal. Tapi dia tidak mau membantah. Dia tidak mau mendurhakai ayah. Zain juga terheran-heran dengan keputusan ayah itu yang dirasanya sangat aneh dan tidak adil. Padahal dia sudah bertekad untuk mengikuti jejak da Raf. Untuk ikut jadi santri di sekolah penghafal al Quran itu. Yang sekarang ternyata jadi buyar.


*****