Letnan Sutopo, komandan tentara APRI di Biaro terbangun ketika mendengar suara tembakan. Bunyi tembakan terdengar sangat dekat dari pos mereka. Sutopo bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan keluar. Ada empat orang tentara piket di beranda rumah yang mereka jadikan pos itu.
‘Suara letusan apa lagi tadi itu,’ tanyanya sambil menuangkan kopi dari termos ke cangkir.
‘Alaah….. Paling si Mancun latihan menembak lagi, komandan,’ jawab Bidin, tentara OPR yang sedang piket.
‘Latihan menembak kerbau?’
‘Ha…ha..ha..ha… Latihan menembak tentara-tentara luar itulah komandan. Mungkin banyak yang tertangkap dan dihabisi dekat sini.’
‘Itu yang aku tidak suka. Kenapa mesti di dekat sini mereka lakukan. Kalau masyarakat di Biaro ini sudah tidak perlu ditakut-takuti.’
‘Betul juga komandan….. Suara letusan tadi itu paling di simpang tiga dekat Sicamin.’
‘Mau kau bertaruh? Berapa orang kira-kira yang mereka berondong?’
‘Kalau dari suara letusan tadi itu, paling tidak ada lima atau enam orang, komandan.’
‘Sudah semakin ahli kau menebak.’
‘Kalau menurut komandan berapa orang?’
‘Aku rasa sebanyak yang kau katakan tadi. Hebat sekali kalau mereka berhasil menangkap pemberontak sebanyak itu.’
‘Berita yang didengar si Mancun memang sangat bisa dipercaya komandan.’
Sutopo menyalakan rokok kretek Gatotkaca untuk menghalau rasa dingin di ujung malam. Bau asap rokok kretek itu harum. Tapi bagi si Bidin, rokok seperti itu tidak enak untuk dihisap. Letnan Sutopo pernah memberinya sebatang, begitu dihisap dia langsung terbatuk-batuk. Si Bidin lebih suka dengan rokok Peros, rokok putih buatan lokal.
‘Mau coba kretek lagi Bidin?’ tanya Sutopo.
‘Indak komandan. Indak telap saya menghisap rokok serupa itu. Diranguk hidung saya,’ jawab Bidin.
‘Rokok Peros mu itu tembakaunya dicampur dengan kerisik daun pisang…. He..he..he..’
‘Mana pula mungkin komandan. Ini tembakau asli. Tembakau Pikumbuh. Dulu, dijual orang ke Medan tembakau Pikumbuh ini,’ Bidin tidak mau kalah.
‘Apa kepanjangan Peros kau bilang?’
‘Perusahaan rokok Sikumbang. Orang Sikumbang yang membuatnya.’
‘Ada pabriknya di Sikumbang itu?’
‘Ada peragat pembuatnya. Orang Sikumbang bergotong royong membuatnya.’
Mereka berbincang-bincang santai. Sutopo yang sehari-hari tampak sangar, ternyata bisa juga beramah tamah dengan Bidin. Bidin memang yang paling bisa diajak berbicara di antara belasan anggota OPR di pos itu. Bahasa Indonesianya lumayan dapat dimengerti.
Beberapa menit berlalu. Sutopo merasa heran bahwa anak buahnya yang pergi berpatroli belum juga kembali. Padahal sudah agak lama suara letusan senjata api terdengar. Dan dia berkeyakinan bahwa suara senjata itu berasal dari tembakan yang dilakukan anak-anak buahnya.
‘Kemana mereka? Ada setengah jam sejak bunyi letusan tadi, mereka belum juga muncul,’ Sutopo bertanya.
‘Iya komandan…..’
‘Apa yang kau iyakan?’
‘Iya…. Sudah lama betul. Belum kembali juga mereka.’
‘Pergi kau susul. Kau dan kau, pergi bersama Bidin,’ perintah Sutopo kepada dua orang OPR yang sedang piket.
‘Siap komandan,’ jawab Bidin.
Ketiga anggota OPR itu berangkat tergopoh-gopoh menuju ke arah selatan. Dengan senjata terkokang di tangan. Itu suatu keharusan. Harus senantiasa siap menghadapi segala kemungkinan yang paling buruk. Di siang hari mereka sangat bangga menyandang senjata atau memegang bedil seperti ini. Rasanya mereka lebih tentara dari tentara APRI yang datang dari Jakarta.
Malam yang sangat dingin. Tapi tidak terlalu gelap. Di langit berjuta bintang bergemerlap. Di selatan remang-remang terlihat sosok gunung Marapi dan Singgalang, membatasi untaian bintang gemintang yang bertabur berjuta-juta itu. Keduanya bagai menjaga kesunyian malam. Suara jengkerik berderik-derik, suara kodok bersahut-sahutan di bandar air dan kepakan kelelawar menghiasi kesepian ujung malam.
‘Kemana pula akan kita cari mereka ini?’ tanya Samsul.
‘Kita cari ke mudik. Bunyi letusan tadi itu di dekat-dekat sini saja. Harusnya mereka tidak jauh dari sini.’
'Entah-entah mereka dilarikan hantu haru-haru,’ Maan ikut berkomentar.‘Yang indak-indak saja isi pikiran waang,’ Bidin kesal.
‘Kalau bukan dilarikan hantu haru-haru, kemana pula pergi mereka sesudah menembaki tentara luar tadi itu,’ Maan membela diri.
‘Atau mungkin juga mereka kembali lagi ke mudik. Kembali lagi ke rumah wali jorong itu. Jangan-jangan yang ditembak tadi termasuk wali jorong. Lalu mereka kembali menyilau istrinya. Itu yang paling mungkin,’ Samsul berteori.
‘Jadi kita harus mencari sampai ke rumah wali jorong Asmar? Jangan-jangan kita pula dipintas tentara luar nanti,’ Maan mulai agak takut.
‘Di mana pula akan ada tentara luar di sini. Tentara luar di sana di atas gunung Marapi,’ jawab Bidin bersemangat.
‘Sst…. Tenanglah. Aku mendengar seperti suara orang merintih di hadapan kita,’ Samsul mengingatkan.
‘A… a.. a…pa ka ta waang?’ Maan tiba-tiba jadi tergagap.
Maan merapatkan tubuhnya ke tubuh Samsul. Jantungnya tiba-tiba berdebar kencang. Bidin juga tidak kalah gugup. Suara rintihan itu semakin jelas terdengar. Ketiga tentara OPR itu masih berusaha maju dengan langkah terseret-seret.
Bidin menyorot arah suara rintihan itu dengan lampu senter. Betapa terkejutnya mereka melihat yang tergeletak itu adalah seseorang yang berseragam tentara. Dengan tangan menggigil Bidin mengarahkan cahaya senter ke sekitarnya. Terlihat pemandangan yang lebih mengerikan. Bidin segera mengenali salah satu dari yang tergeletak itu. Mancun. Teman sekampungnya yang bertubuh gempal. Tubuh Mancun sudah tidak bergerak.
‘Ba…. Ba ba gai.. mana ini?’ Maan bertanya dengan suara menggigil. Tak terasa dia mengeluarkan air seni. Maan terkencing di celana saking ketakutannya.
‘Kita segera balik ke pos,’ Bidin setengah berbisik sambil tubuhnya diputarnya mengarah kembali ke pos.
Samsul dan Maan sama-sama bergayut, berpegangan di baju Bidin. Mereka berjalan setengah berlari dengan tubuh membungkuk. Mendekati pos ketiganya berpacu lari seperti sedang dikejar hantu. Dikejar hantu haru-haru. Sampai di pos, Bidin jatuh seperti tapai. Dan pingsan.
‘Kenapa kalian!’ bentak Sutopo.
Maan dan Samsul seperti orang gagap. Keduanya tak pandai berbicara. Tubuh keduanya menggigil dan tangannya menunjuk-nunjuk.
‘Ada apa? Ada apa?’ Sutopo meremas leher baju Samsul dan menggoncang-goncang tubuh serdadu OPR itu. ‘Apa yang kalian lihat?’ bentaknya lagi.
‘Ter….. ter…. Terbunuh,’ jawab Samsul gagap. Hanya kata-kata itu yang keluar dari mulutnya. Tubuhnya ikut pula menggelonsor dan diapun pingsan.
Sutopo mengeluarkan pluit dari kantong celananya. Pluit itu ditiupnya dengan nada tanda bahaya. Semua tentara yang sedang tidur di pos itu terbangun dan bergegas keluar dengan membawa senjata masing-masing. Sutopo memberi penjelasan singkat. Ada sesuatu yang sangat mencurigakan sedang terjadi. Mereka akan memeriksa sesuatu itu bersama-sama. Maan, satu-satunya yang tidak pingsan di antara mereka bertiga, dipaksa menjadi penunjuk jalan. Dengan tubuh menggigil ketakutan, Maan hanya bisa menunjuk-nunjuk ke arah selatan. Lima belas orang tentara APRI itu berjalan berpencar, mengikuti Maan yang didorong Sutopo agar tidak ambruk.
Mereka sampai di tempat itu. Tidak ada lagi suara rintihan. Tubuh-tubuh malang terkapar bersimbah darah. Sutopo gemetar menyaksikan pemandangan itu. Begitupun anak buahnya. Diperiksa dan dihitungnya jumlah yang tergeletak. Ada delapan orang. Tidak, ada sembilan orang. Yang satu orang lagi ada di dalam selokan. Dalam bandar air. Semua sudah jadi mayat. Berarti ada satu orang lagi yang belum terlihat.
Sutopo memerintahkan dua orang anak buahnya kembali ke pos dan menghubungi Bukit Tinggi dengan radio untuk minta bantuan.
*****