Thursday, February 28, 2008

SEMINGGU DI RANAH BAKO (bag.24)

24. Singkarak

Cuaca alhamdulillah bersahabat saja sejak beberapa hari ini, sejak mereka menjelajahi tamasya negeri Minangkabau. Kecuali sedikit hujan kemarin pagi ketika mereka akan berangkat dari kampung, setelah itu cuaca selalu cerah. Begitupun sore ini, matahari bersinar dengan cemerlang. Matahari sudah menurun ke arah barat. Hari sudah pukul tiga sore.

Sekarang mereka pacu mobil ke arah Solok. Melalui Lubuk Selasih. Gunung Talang sekarang berada di sebelah kanan jalan. Pantas saja tidak terlihat tinggi, kalau tingginya 2600m, lalu dilihat dari tempat yang lebih seribu meter tingginya. Artinya selisih tinggi gunung dan tempat melihat kurang dari 1600m. Gunung Marapi di lihat dari Bukit Tinggi masih sekitar 2000m selisih tingginya. Gunung Talang terlihat polos sampai ke puncaknya.

Dari Lubuk Selasih mereka terus menuju Solok. Melalui nagari Talang. Dan dari Talang jalan mulai menurun. Masih berliku berkelok-kelok, tapi menurun. Menurun panjang. Jalan ini ramai dengan kendaraan. Baik bus angkutan umum, bus pariwisata dan mobil-mobil kecil angkutan umum atau mobil pribadi. Maklumlah jalan ini adalah jalan yang menghubungkan Padang dengan Solok. Yang mendaki terengah-engah karena pendakian yang panjang. Yang menurun menuju ke arah Solok harus berhati-hati karena jalan ramai. Rumah adat bergonjong banyak terlihat di pinggir jalan. Rumah adat yang masih terpelihara dengan ukiran dan atap gonjong.

’Di kota Solok ada yang perlu kita kunjungi?’ tanya Aswin.

’Kalau panorama alam mungkin tidak ada. Di Solok juga ada gedung kesenian, tempat pertunjukan tari-tarian dan silat Minang, seperti yang pernah aku katakan. Di sini juga ada gelanggang pacuan kuda. Selain itu, ada atraksi yang diminati pelancong, melihat peternakan ayam kokok berlenggek, sambil mendengarkan suara kokok ayam yang ber’lenggek-lenggek’. Kamu pasti tidak faham arti kata ’lenggek’. Iya kan?’

’Tidak. Apa maksudnya?’ tanya Aswin pula.

’Kokok ayam jantan pasti kamu tahu. Kokok ayam yang umum adalah datar saja. Misalnya ’Ku ku ku kuuuuuuk’, seperti itu. Ayam kokok berlenggek, berkokok bertingkat-tingkat. Ku ku ku kuuuuk..kuuk..kuuk..kuuk. Kamu faham nggak?’

’OK. Lalu apa istimewanya?’

’Tidak ada istimewanya bagi orang yang tidak menyukai. Sama-sama kokoknya ayam. Tapi ada orang yang menyenangi karena memang berbeda dengan bunyi kokok ayam biasa.’

’Memangnya tidak semua ayam pada waktu sudah cukup umur mampu berkokok seperti itu?’ tanya Aswin.

’Tidak. Memang ada keturunan ayam tertentu yang mampu berkokok seperti itu. Dan sekali lagi ayam yang bisa berkokok seperti itu memang jarang,’ jawab Pohan.

’Dan orang datang untuk mendengar kokoknya saja?’ tanya Aswin.

’Ada yang membelinya. Untuk dipelihara di rumah mereka. Harganya jauh lebih mahal dari ayam biasa,’ jawab Pohan menjelaskan.

’Tadi malam kamu bercerita tentang balam tigo gayo yang juga mahal harganya. Kelihatannya mirip dengan ayam jago kokok berlenggek. Benar demikian?’

’Ya, benar sekali. Balam tigo gayo itu juga sangat langka. Dan setahuku tidak ada dibudidayakan orang. Makanya harganya jauh lebih mahal. Dan yang membeli tentu orang yang memang suka dan banyak uangnya.’

Merekapun sampai di Solok. Pohan membawa mobil sekedar berputar melihat-lihat kota Solok, yang seperti kota lain, banyak bangunan kantor beratap gonjong rumah adat Minang. Seperti kota lain, kota inipun sangat apik dan bersih. Terlihat anak-anak sekolah wanita yang umumnya pakai seragam dan berjilbab. Di Solok setiap murid SMP dan SMA yang beragama Islam memang diwajibkan memakai jilbab oleh pemerintah daerahnya.

’Waktu yang tepat untuk rehat kopi,’ celetuk Aswin.

’Baik. Mari kita makan lamang tapai di sini. Ada sebuah boffet di tengah kota yang cukup terkenal dengan lamang tapainya,’ kata Pohan.

Mereka mampir ke boffet Saiyo. Mereka pesan lamang tapai dan kopi untuk Aswin. ’Orang Amerika’ ini memang sangat penggemar kopi. Pohan memesan teh telor. Katanya bagus untuk penambah tenaga untuk menyetir. Nikmat sekali lamang tapai di boffet ini. Pantas saja pengunjungnya banyak.

’Di mana peternakan ayam kokok bertingkat itu?’ tanya Aswin.

’He..he..he.. Bukan bertingkat. Berlenggek. Ayam kokok berlenggek. Di jalan ke Bukit Tinggi. Kenapa? Kamu penasaran? Ingin mendengarkan kokoknya?’

’Apakah siang-siang begini ayam itu masih berkokok?’

’Lah, ayam kan tidak mengenal waktu untuk berkokok. Kamu pikir mereka berkokok hanya pagi hari saja?’

’OK. Mau juga aku mendengar kokok berlenggek kalau memang di jalan yang akan kita lalui juga.’

Setelah cukup istirahat mereka berangkat lagi. Meninggalkan kota Solok.

’Dimana letak kota Sawah Lunto penghasil batu bara?’ tanya Aswin.

’Melalui jalan di belakang kita. Dari jalan kita memasuki Solok tadi ada simpangan ke kanan. Itu jalan ke Sawah Lunto. Sekaligus jalan ke bagian selatan Sumatera. Sawah Lunto sekitar 35 kilometer dari Solok,’ jawab Pohan.

’OK. Aku pikir tadinya kita akan melalui Sawah Lunto,’ kata Aswin pula.

’Sebenarnya kita bisa juga liwat Sawah Lunto. Terus ke Batusangkar melalui Talawi. Melalui Pagar Ruyung lalu menepuh jalan yang kita lalui hari Senin kemarin. Tapi kita tidak akan melihat danau Singkarak,’ Pohan menjelaskan.

’No problem. Kita liwat jalan ini saja. Melihat danau Singkarak. Menyusuri danau Singkarak berpuluh kilometer seperti yang kamu katakan.’

Ya. Sebentar lagi, sesudah melampaui jalan lurus ini kita mendekati pinggir danau Singkarak bagian selatan,’ kata Pohan.

Jalan lurus dengan sawah terbentang luas di kiri dan kanannya. Di sebelah kanan terlihat bukit yang sejajar dengan jalan yang mereka tempuh. Pohan membelokkan mobil ke kiri melalui sebuah jalan kampung yang lebih sempit. Jalan menuju ke peternakan ayam kokok berlenggek. ’Peternakan’ itu sebenarnya sebuah tanah yang cukup luas dan dipagari tinggi sekelilingnya dengan pagar kawat. Ada beberapa buah kandang ayam yang juga ditutupi dengan kawat. Kandang-kandang itu sangat terawat dan bersih. Di tanah lapang itu banyak sekali ayam. Ada ayam yang sudah besar, induk ayam dengan anak-anaknya dan ayam-ayam yang masih muda berkeliaran bebas. Semuanya ayam kampung biasa. Baru saja mereka masuk mendekat ke kandang yang berpagar tinggi itu, terdengar suara kokok ayam. Berlenggek. Ayam-ayam itu berkokok bersahut-sahutan. Ku ku ku kuuk kuuk kuuk kuuk. Sepertinya mereka mendemonstrasikan kebolehan mereka berkokok karena ada tamu yang datang. Aswin memperhatikan bunyi kokok itu. Sekarang dia bertanya-tanya, apakah ada ayam yang berkokok tanpa ’lenggek’. Dan ternyata ada. Dari kumpulan di kandang yang terpisah. Ku ku ku kuuk.

’Ini bukan kokok yang favorit?’ tanya Aswin.

’Kamu dengar ’kan bedanya? Coba dengarkan sebentar lagi,’ kata Pohan.

Dan ternyata memang beda. Antara yang berlenggek dan yang non lenggek. Padahal penampilan kedua jenis ayam itu tidak ada bedanya.

Lanjut lagi perjalanan. Mereka lalui negeri Saning Bakar. Dan danau Singkarak mulai kelihatan. Sangat elok di sore hari begini. Dengan riak-riak kecil di air danau. Dan perahu-perahu nelayan. Perahu untuk pergi menangkap ikan bilih. Makin lama makin nyata sosok danau Singkarak di sebelah kiri jalan. Benar sekali bahwa jalan ini umumnya menyusur tepi danau. Berkelok ketika tepi danau berkelok pula. Di sebelah kanan mereka adalah rel keretapi. Sekarang terlihat orang main ski air di tarik speed boat. Seperti di Maninjau. Dan ada pula bus air seperti di danau Di Atas tadi siang. Hanya saja di sini untuk menyeberang ke sisi sebelah barat lalu kembali. Karena kalau untuk mengitari danau tentulah akan memakan waktu terlalu lama. Mungkin diperlukan waktu tiga jam lebih untuk itu.

Mereka berhenti di kampung Kacang. Ada sebuah rumah makan merangkap kedai kopi di pinggir danau. Dengan pekarangan yang luas tempat orang bisa duduk-duduk di bawah payung besar sambil memandang ke arah danau. Aswin dan Pohan ikut duduk di situ.

’Kamu mau masuk ke danau?’ tanya Pohan.

’Nggak ah. Cukup di Maninjau dan di danau Di Atas tadi saja. Kenapa memang?’

’Siapa tahu, kamu kepingin main ski air, seperti mereka itu,’ kata Pohan.

’Nggak lah. Atau? Mungkin kamu ingin main ski air?’ Aswin balik bertanya.

’Nggak juga,’ jawab Pohan.

’Ya sudah, kita duduk-duduk saja di sini,’ jawab Aswin.

’Kamu mau minum kopi lagi?’ tanya Pohan.

’Kenapa? Nggak enak ya, kita hanya nompang duduk saja? Pesan teh saja.’

Pohan setuju. Mereka memesan teh saja. Yang datang dengan kue-kue basah. Ada lepat bugis, serabi, panekuk. Mereka duduk sambil berbincang-bincang. Sambil melihat danau.

’Berapa dalam danau ini?’ tanya Aswin.

’Hampir tiga ratus meter di bagian paling dalam,’ jawab Pohan,

’Danau ini bukan kaldera gunung api purba, tapi rekahan sebuah patahan besar yang membentang sepanjang pulau Sumatera. Begitu menurut literatur yang aku baca,’ kata Aswin.

’Ya. Patahan Semangko. Begitu disebut para ahli geologi.’

‘Betul. Kamu juga mengetahui rupanya. Pulau Sumatera bagaikan dibagi dua oleh patahan besar itu. Bahagian sebelah barat pulau Sumatera mempunyai pegunungan Bukit Barisan. Dan patahan itu melalui bagian dari Bukit Barisan. Daerah ini sangat rawan dengan bencana gempa.’


‘Ya. Kamu tahu? Betapa takutnya warga kota Padang akan bahaya gempa dan tsunami. Repotnya lagi, para ahli geologi yang memperhatikan gejala alam ini secara ilmiah, menduga bahwa gempa besar diikuti meluapnya laut sangat berpotensi untuk terjadi. Tapi ya itulah. Itu sepenuhnya di bawah kekuasaan Tuhan. Pencipta alam raya ini,’ ucap Pohan.

‘Ya. Benar. Semua ciptaan Tuhan ini berpotensi menimbulkan bahaya. Gunung Marapi atau gunung Talang bisa meletus. Letusan gunung bisa sedahsyat letusan gunung Krakatau tahun 1883. Dan itu semua ada di dekat kita. Kalau memang Tuhan mau membiarkan datangnya bencana, apalah daya kita manusia,’ Aswin menambahkan.

‘Kamupun setuju rupanya. Bahwa kita tidak mungkin lepas dari kekuasaan Tuhan. Dan untuk terhindar dari murka Tuhan, menurutku hanyalah dengan tidak berbuat dosa kepada Tuhan.’

’Tentu aku setuju. Dan aku percaya betul dengan hukuman-hukuman Tuhan. Dengan cara begitu aku memelihara diri dari melakukan perbuatan dosa.’

‘Baiklah, sudah jam lima lebih. Bagaimana? Kita lanjutkan lagi perjalanan kita?’

’OK. Tapi apa acara kita malam ini?’ tanya Aswin.

’Terserah kamu. Aku tidak punya usulan. Kita sudah main kim, sudah menonton tari-tari Minang, menonton saluang jo rabab serta randai. Kecuali kamu ingin mengulang salah satu dari acara itu,’ kata Pohan.

’Tidak usah. Mungkin kita ngobrol dengan etek dan nenek lagi saja di rumah malam ini,’ kata Aswin.


*****

No comments: