Monday, April 13, 2009

DERAI-DERAI CINTA (2)

2. IMRAN

Pemandangan di kampung inipun sangat elok. Di sebelah selatan terlihat gunung Marapi dengan gagahnya. Kalau diperhatikan dengan teliti terlihat punggungan gunung ini berlembah-lembah. Semua bagian gunung, termasuk lembah-lembah itu ditumbuhi pohon-pohon kayu. Agak jauh ke arah timur terlihat pula gunung Singgalang. Kedua gunung itu diliputi warna biru kehijauan. Menyejukkan mata memandang.

Di tengah kampung mengalir sebuah sungai kecil. Penduduk menyebutnya batang air. Batang air itu mengalirkan air untuk mengairi sawah-sawah di kampung. Airnya tidak deras. Di dasarnya terdapat batu-batu gunung berbagai macam ukuran. Di pinggir batang air banyak tumbuh pohon betung dengan pucuknya menari-nari lemah gemulai.

Rumah penduduk terlihat bertumpuk-tumpuk. Ada yang terletak di pinggir jalan kampung yang dapat dilalui kendaraan beroda empat, ada pula yang terletak di tengah kampung. Ke bagian tengah ini hanya ada jalan setapak. Sebagian jalan setapak itu melalui pekarangan-pekarangan rumah. Antara satu tumpukan dengan tumpukan lain terdapat kebun-kebun pisang. Ada beberapa buah rumah gadang bergonjong di kampung ini. Yang lebih banyak adalah rumah kayu tanpa gonjong serta rumah tembok bergaya rumah-rumah di kota. Ada yang ditembok permanen seutuhnya, ada yang separo tembok separo papan. Di antara rumah-rumah itu, selain mempunyai kebun pisang banyak pula yang mempunyai kolam ikan. Di kolam dipelihara berjenis-jenis ikan, yang hasilnya, meski hanya dipanen sekali setahun, dapat pula di jual ke pasar.

Sebagaimana halnya di setiap nagari di Ranah Minang, masyarakat di kampung-kampung mempunyai sistim kekerabatan melalui jalur garis keturunan ibu. Meskipun sistim kekerabatan seperti ini sudah banyak mengalami pergeseran, terutama untuk mereka yang tidak lagi tinggal di kampung, tapi ada sisa dari sistim kekerabatan itu yang masih bertahan yaitu berkelompoknya kaum wanita sepersukuan di tanah pusaka mereka. Rumah-rumah baru yang dibangun masih menempati tanah pusaka adat di dalam kelompok asal. Mereka tinggal berkelompok di bawah payung persukuan. Seorang suami pulang ke rumah istrinya di persukuan lain. Meskipun tanggung jawab mencari nafkah sekarang dipikul oleh laki-laki sebagai kepala keluarga, hubungan kekerabatan melalui jalur garis ibu masih sangat kental. Ketika seorang suami membuat rumah baru untuk anak-anaknya di kampung, biasanya rumah itu dibangun di tanah pusaka istrinya.

Di suku Sikumbang di kampung itu ada empat buah rumah. Dua buah rumah bergaya lama, sebuah rumah tembok dan sebuah rumah semi permanen. Dua dari keempat buah rumah itu kosong. Rumah tembok dihuni seorang nenek yang sudah berumur enam puluh tahun lebih. Nenek ini mempunyai tiga orang anak laki-laki dan dua orang anak perempuan. Dua orang anak laki-lakinya tinggal di kampung, menikah dengan orang sekampung. Seorang anak laki-laki yang lain bekerja di Caltex di Rumbai. Kedua orang anak perempuannya tinggal di Jakarta. Satu dari rumah tradisional adalah rumah asal keluarga nenek itu, dibiarkan kosong.

Rumah papan tradisional yang satu lagi ditempati seorang wanita janda yang tinggal berdua saja dengan anak laki-laki remajanya. Saudara sepupu wanita itu, yang ikut memiliki rumah gedang itu, ada tiga orang wanita tapi tidak satupun yang tinggal di kampung. Ketiganya merantau ke Medan.

***

Imran seorang remaja yang duduk di kelas tiga SMP. Seorang anak muda yang gagah dan elok laku. Dia anak tunggal. Ibunya seorang janda yang tadinya seorang pedagang pengumpul pisang. Ayahnya meninggal ketika Imran masih duduk di kelas tiga SD.

Di sekolah Imran termasuk anak yang cerdas. Pergaulan dengan teman-temannya sangat baik. Dia disenangi semua orang. Bahkan anak-anak perempuan banyak yang suka melirik-lirik kepadanya. Melihat wajahnya yang gagah dengan rambut ikal bergelombang dan bayangan kumis yang mulai tumbuh. Tapi Imran tidak pernah mau mengacuhkan perhatian anak-anak perempuan yang agak-agak genit itu.

Ibu Imran seorang wanita yang ulet dan tabah. Dia bekerja keras mencari nafkah untuk menopang kehidupan mereka berdua. Ibu itu mendidik Imran dengan kasih sayang yang tulus disertai dengan disiplin yang keras. Imran dilatih mandiri sejak masih kanak-kanak. Kehidupan penuh kasih sayang antara ibu dan anak itu menjadi buah bibir tetangga-tetangga.

Pada suatu hari ibu itu jatuh sakit. Mulanya seperti sakit demam biasa. Badannya panas. Kemudian diikuti oleh rasa lemah dan lemas. Badannya jadi lemah sebelah. Sejak itu, ibu yang malang itu menghabiskan hari-harinya di atas tempat tidur. Imran dengan telaten merawat ibunya, semampu yang dia bisa. Pagi-pagi sekali ditolongnya orang tua itu membersihkan badan, diambilkannya makanan, disediakannya air minum dekat jangkauannya, sebelum dia sendiri bersiap-siap untuk pergi sekolah. Imran jugalah yang memasak nasi membuat lauk untuk mereka makan berdua. Karena keadaan ibunya yang sakit tak berdaya, dan rasa tanggung jawabnya yang tinggi, Imran berkembang menjadi seorang remaja yang cekatan dan serba bisa.

Nama ibu Imran itu Rohana. Orang banyak memanggilnya Ana. Tek Ana. Tek Ana seorang wanita yang sabar. Begitu ketika dulu dia segar bugar, begitu juga sekarang ketika dia dalam keadaan sakit. Tidak pernah terdengar keluh kesah dari mulutnya. Di awal masa sakitnya, dia dibawa ke rumah sakit di Bukit Tinggi. Di sana dia dirawat selama hampir satu bulan. Biaya pengobatan di rumah sakit itu cukup besar, menghabiskan simpanan hasil berdagang pisang selama ini. Namun penyakitnya tidak sedikitpun berkurang. Akhirnya dia minta dibawa pulang dan dirawat di rumah saja.

Selama Imran di sekolah nenek di sebelah rumah, yang oleh ibunya dipanggil mak Piah menolong melihat-lihatkan ibunya.

Nenek Rafiah adalah saudara ibu dari orang tua etek Ana. Artinya ibu nenek Rafiah dan nenek etek Ana beradik kakak kandung. Mereka tidak tinggal serumah. Masih banyak kaum famili mereka yang lain tapi umumnya sudah pergi merantau. Nenek Rafiah tinggal sendirian di rumah tembok baru, disamping rumah gedangnya. Sebenarnya dia mempunyai dua orang anak laki-laki yang tinggal di kampung. Keduanya jadi pegawai negeri di Bukit Tinggi dan mereka tinggal di rumah istri mereka masing-masing. Biasanya, mereka datang melihat orang tua itu hanya di hari Minggu saja.

Ketika etek Ana masih sehat, dia yang lebih banyak merawat dan membantu nenek Rafiah alias mak Piah. Dan sekarang, ketika dirinya terbujur sakit di tempat tidur, mak Piah yang rajin datang menolongnya. Begitulah keakraban orang perempuan di kampung yang masih sangat erat terikat dalam kekerabatan melalui garis ibu.

Tek Ana mengajari Imran untuk meneruskan usaha perdagangan pisang. Imran melakukannya di sela-sela kegiatan sekolah. Hasilnya tentu tidak maksimal, tapi masih lumayan bisa berjalan. Karena keeloklakuan anak bujang itu, banyak juga orang kampung yang bersimpati kepadanya. Ketika pedagang pengumpul berkeliling kampung untuk membeli pisang yang masih tergantung di pohon, pemiliknya tidak mau menjual dan mengatakan bahwa pisangnya sudah dibeli Imran.

Pekerjaan membeli dan mengumpulkan pisang itu tidaklah sulit. Pemiliknya memberi tahu dan Imran datang menebang dan mengambil buah pisangnya untuk dikumpulkan dulu di rumahnya. Pohon pisang yang ditebang itu disingkirkannya dengan baik, sehingga kebun pisang orang terpelihara kerapiannya. Pemilik kebun jadi semakin senang menjual pisang mereka kepada Imran.

Buah pisang itu kemudian dijual kepada pedagang pengumpul yang akan membawanya ke kota. Keuntungan yang diperolah Imran tidak sebesar keuntungan pedagang yang menjualnya di pasar. Pernah Imran dibawa ikut menjual pisang ke Paya Kumbuh di hari Minggu oleh seorang toke. Lebih lumayan keuntungan yang didapatnya. Tapi ada yang mementahkan semangatnya untuk ikut lagi dengan toke pisang pemilik truk itu. Toke itu mengiyakan ketika pedagang lain menanyakan apakah Imran ‘anak jawi’nya. Kata-kata anak jawi itu sangat menjijikkan di telinga Imran.

Kata-kata anak jawi itu sangat akrab, seakrab ungkapan carut, di kalangan preman cengkerik di kampung itu. Si Anu anak jawi si Anu. Si Fulan anak jawi si Falun. Anak jawi, konon artinya ‘gendak’ laki-laki orang laki-laki. Entahlah kebenaran arti kata-kata itu dan entah bagaimana ma’na sebenarnya dari kata-kata itu. Buat Imran kata-kata itu sangat menjijikkan.

Sibuk mengurus orang tuanya yang sakit ditambah dengan kesibukan mengumpul dan menjual pisang tidak berarti Imran tidak bisa ikut bermain dengan teman sama besar. Dia pemain sepak bola yang baik dan sangat menyukai olah raga itu. Sekali seminggu disempatkannya juga ikut berlatih dan bermain sepak bola. Kalau ada pertandingan dengan kesebelasan dari kampung lain, dia sering diikutsertakan meskipun umurnya masih muda. Yang ikut bertanding rata-rata adalah anak muda yang sudah sekolah di STM. Imran adalah perkecualian.

Meskipun masih muda tapi badannya tinggi kukuh dan atletis. Dia pandai dan lincah dalam bermain. Larinya kencang dan tendangan umpannya biasanya cermat. Kalau bola dikuasai lawan dia rajin mengejar dan berusaha keras merampasnya kembali. Tendangannya ke gawang lawan menggentarkan hati penjaga gawang itu.

Pada suatu pertandingan, dia hampir pula naik pitam. Seorang bukan pemain memprotes agar Imran jangan ikut dimainkan dalam pertandingan. Yang ada dalam pikiran si pemerotes itu adalah bahwa Imran akan jadi titik lemah karena dia masih muda. Kalau kesebelasan kampung mereka kalah, si pemerotes akan kalah dalam pertaruhan. Ujung-ujungnya ternyata urusan hampok lagi.

Tapi bukan itu yang menyakitkan hatinya. Yang memerotes itu mengomeli pelatih sepak bola kampung dan mengatakan dia membiarkan Imran ikut bermain karena Imran anak jawinya. Wuih! Sakitnya telinga mendengar kata-kata itu. Imran menatap mata tukang protes itu dengan mata terbelalak. Untunglah si pelatih menjawab dengan mengatakan bahwa dia bukanlah laki-laki penggemar anak jawi seperti si pemerotes. Dan si pemerotes terpaksa diam dan berlalu.

Imran juga seorang anak yang saleh. Dia senantiasa menjaga shalatnya dengan baik. Shalat maghrib kadang-kadang dia ikut berjamaah di mesjid. Tidak banyak orang kampung yang ikut shalat berjamaah di mesjid itu. Apalagi anak-anak muda. Imran adalah sebuah pengecualian.


*****

No comments: