Friday, February 29, 2008

SEMINGGU DI RANAH BAKO (bag.30)

30. Selamat Tinggal Ranah Bako (tamat)

’Sudah siap kopermu? Sudah siap untuk berangkat?’ tanya Pohan waktu mereka sudah selesai sarapan.

’Siap saja. Tinggal berangkat,’ jawab Aswin.

’Nggak mau kemana-mana lagi pagi ini?’ tanya Pohan lagi.

’Bagaimana kalau kita mancing?’ Aswin balik bertanya.

’Tidak ada masalah. Ayo! Mari kita ke ’tabek’,’ ajak Pohan.

’Aa iyo, pailah mamapeh, kan panjang ari lai,’ kata nenek yang mendengar diskusi mereka.

’Enek kapai mancaliak kami mamapeh?’ tanya Pohan.

’Dululah, biko enek caliak kian,’ kata nenek.

Mereka lalu pergi ke ’tabek’ di belakang rumah di sebelah. Masing-masing dengan satu tangkai pancing. Membawa umpan yang selalu tersedia di kulkas. Pagi sedang cerah benar. Biasanya kalau cuaca pagi cerah begini ikan mudah dipancing. Aswin pergi ke bangku-bangku yang agak kepanasan. Nyaman rasanya ketika punggungnya ditimpa matahari pagi di udara yang sejuk ini.

Benar saja. Baru saja pancing dilemparkan sudah langsung disambar ikan. Aswin mendapatkan ikan lele besar. Menggelepar-gelepar dengan sangat kencangnya waktu diangkat. Dan Pohanpun segera menyusul. Mendapatkan ikan mas berwarna merah. Aswin sampai berteriak senang melihat pancingnya mengena lagi. Juga seekor ikan mas.

Acara memancing jadi sangat seru. Ikan-ikan bagai berkejar-kejaran melahap umpan setiap kali pancing dilemparkan. Ikan mas, mujair besar-besar, tawes, lele berebutan memakan umpan. Sebentar saja mereka sudah dapat banyak ikan. Dan setiap kali seekor ikan dapat disambut dengan teriakan dan gurauan.

Sedang mereka asyik begitu etek datang berdua dengan etek Sarah. Etek minta tolong tek Sarah membersihkan beberapa ekor ikan yang sudah didapat. Akan digoreng untuk makan siang.

’Kamu sudah pernah makan ikan lele digoreng, Aswin?’ tanya etek kepada Aswin.

’Belum, tek,’ jawab Aswin.

’Biar lele ini juga digoreng nanti. Sarah, tolong ini juga dibersihkan,’ kata etek kepada etek Sarah.

Rasanya tidak ingin mereka berhenti memancing. Ikan-ikan terus saja memakan umpan yang dilemparkan. Tapi hari sudah beranjak siang dan udara mulai terasa panas. Akhirnya mereka berhenti juga.


*****

Etek sangat cekatan menggoreng ikan-ikan tadi. Digoreng kering. Wangi dan segar baunya, menitikkan selera. Dan dibuat etek pula samba lado tomat. Dengan ketimun mentah serta kol mentah diiris-iris. Seperti lalapnya orang Sunda. Nasi panas masih mengepul-ngepul.

Jam setengah dua belas mereka makan siang. Lebih awal dari biasanya, karena sebentar lagi Aswin akan berangkat. Makan terakhir di rumah bako ceritanya. Aswin sangat menikmati goreng ikan mas kering. Bahkan sirip dan ekornya juga dimakan. Katanya, itu cadangan kalsium yang baik. Memang enak bagai kerupuk. Sesudah makan mereka masih sempat berbincang-bincang.

’Pabilolah si Aswin ka baliak sudah iko lai?’ tanya nenek.

’Apa tuh maksud nenek?’ tanya Aswin kepada Pohan.

’Kapanlah kamu mau kembali lagi kesini,’ jawab Pohan menjelaskan.

’Nanti, nek. Nanti saya akan kembali lagi. I promise, I’ll return,’ jawab Aswin.

‘Pertanyaan agak pribadi. Kapan kamu mau menikah?’ tanya etek.

’Nanti, tek. Paling lama setahun lagi.’

’Orang mana calon menantu etek?’ tanya etek lebih lanjut.

’Orang Indonesia. Ayahnya Jawa dan ibunya Palembang. Mereka menetap di San Francisco. Dia masih bersekolah. Saya menunggu dia selesai kuliahnya,’ jawab Aswin.

‘Kalau kalian menikah bawalah dia pulang kampung,’ kata etek.

’Ya. Mudah-mudahan akan saya bawa nanti. Kamu Pohan? Kapan kamu menikah?’ tanya Aswin pula.

’Mungkin tahun ini juga,’ jawab Pohan.

’Dengan orang Minang?’ tanya Aswin.

’Ya, orang Koto Gadang. Tapi sekarang dia di Jakarta,’ etek yang menjawabkan.

’Waaw. Masih famili?’

’Tidak juga. Hanya sama-sama satu kampung asal saja,’ jawab Pohan.

’Jadi benar ya? Orang Koto Gadang, seboleh-bolehnya menikah dengan orang Koto Gadang juga?’ tanya Aswin.

’Ah, enggak juga. Buktinya ayahmu. Menikah dengan orang Sunda,’ jawab etek.

’Ya, ayah memang perkecualian sepertinya,’ kata Aswin.

’Masih ada lagi. Etek sendiri. Suami etek almarhum orang Batu Sangkar,’ kata etek.

’OK. Kalau begitu ibu mungkin salah dengar. Ibu yang mengatakan bahwa orang Koto Gadang seboleh-bolehnya menikah hanya dengan orang Koto Gadang.’

’Baik. Sudah waktunya kamu berangkat, sudah jam dua belas. Pergilah bersiap-siap,’ kata etek mengingatkan.

Aswin sudah siap. Kopernya sudah dipak dengan rapi.

Merekapun berpamitan. Aswin menyalami dan mencium nenek. Bersalaman dengan sangat takzim dengan etek. Dia ulang kembali janjinya. Insya Allah dia akan datang lagi. Dia benar-benar sangat tersanjung dengan penerimaan etek dan nenek yang begitu hangat. Nenek dan etek terharu melihat Aswin mau berangkat. Anak muda itu sangat menyenangkan dan sopan.

*****

Merekapun berangkat. Selamat tinggal nenek. Selamat tinggal etek. Selamat tinggal Koto Gadang. Mobil mereka bergerak melalui lebuh kampung. Menuju Koto Tuo. Menuju Padang Luar dan berbelok ke kanan. Menuju ke Bandara Internasional Minangkabau.

Panjang cerita mereka berdua sepanjang jalan. Mengevaluasi kunjungan sangat padat selama seminggu tepat. Aswin sangat berterima kasih atas kebaikan Pohan menemaninya selama seminggu itu. Menjelajah Negeri Minangkabau. Belum semua bagian negeri ini terkunjungi. Tapi yang sudah dikunjungi sangat memukau dan menakjubkan.

Jam dua kurang sedikit mereka sampai di bandara. Aswin berpamitan dengan Pohan. Mereka berpelukan. Persaudaraan mereka terasa begitu dekat. Pohan telah memperlakukannya benar-benar seperti saudara kandung. Meski mereka belum pernah bertemu sebelumnya kecuali hanya chatting di internet. Aswin masuk ke ruang dalam bandara untuk check in. Di pintu masuk itu mereka berpisah. Aswin terus ke dalam. Check in dan menyerahkan bagasinya. Lalu masuk ke ruang tunggu setelah selesai dengan urusan imigrasi. Setelah menunggu hampir satu jam dia menaiki pesawat Cathay Pacific. Yang akan membawanya ke Hongkong lalu terus ke LA. Selamat tinggal Bumi Minangkabau. Selamat tinggal ranah bako.


Tamat

Jatibening, Februari 2007

No comments: