Monday, January 21, 2008

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (24)

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (24)

24. PENUTUP

‘Sekitar jam delapan aku terbangun. Ita masih tertidur di dadaku. Aku bangkit pelan-pelan sambil mengangkat kepalanya dan meletakkannya di atas bantal. Ita masih lelap dalam tidurnya. Aku kecup keningnya.

Aku duduk ke luar kamar. Bermenung. Merenung. Berliku-likunya jalan hidupku. Lama aku duduk diam disana. Aku bangkit dan pergi mandi. Sehabis mandi, aku perhatikan Ita masih tidur nyenyak. Aku tidak mau membangunkannya.

Aku berpikir sebaiknya aku pergi ke toko pagi hari Minggu ini. Karena kalau duduk di rumah aku khawatir pikiranku makin suntuk. Sebelum berangkat aku tulis pesan singkat di kertas dengan tulisan, ‘Ita, Ita masih tidur nyenyak, uda tinggal. Uda pergi ke toko. Nanti kita berdiskusi lagi. Uda. Jam 9.00.’

Tidak semudah yang kubayangkan untuk tidak suntuk berada di toko. Aku terpuruk di dalam kesunyianku sendiri di tengah pasar besar itu. Sesudah shalat zuhur aku sudah tidak betah. Segera kututup lagi toko dan aku langsung menuju pulang.

Sampai di rumah aku lihat tidak ada mobil. Rumah terkunci. Aku coba mengetuk-ngetuk dan memanggil-manggil, Ita tidak menyahut. Anak gadis orang punya rumah datang membawakan kunci.

‘Uni Ita tadi menitipkan kunci ini. Dia pergi,’ kata anak gadis itu.

Aku terima kunci itu dan segera masuk rumah. Aku masuk ke kamar. Ada sebuah amplop putih di atas meja. Amplop yang pasti ditinggalkan Ita. Dadaku bergemuruh lagi dan tanganku bergetar. Aku buka amplop itu dan kubaca isinya;

Uda Marwan yang sangat Ita sayangi,

Untuk kesekian ribu kalinya Ita meminta maaf kepada uda. Ita telah banyak sekali berbuat dosa kepada uda. Menyakitkan hati uda, menyusahkan uda. Ita memang tidak pantas menjadi istri uda. Uda seorang yang sabar, seorang yang saleh, seorang yang teguh imannya. Sementara Ita adalah wanita yang suka berkeluh kesah, yang tidak tahan menderita dan tidak sabar. Ita terlalu lemah, uda. Terlalu rapuh untuk melawan goncangan-goncangan dan cobaan-cobaan yang kita lalui selama ini. Sekali lagi maafkanlah Ita, uda.

Ita tahu, perpisahan ini pasti merobek-robek hati uda. Ita tahu betapa besarnya cinta uda kepada Ita. Itapun sangat mencintai uda. Ita sangat bangga jadi istri uda. Tapi kelemahan jiwa dan kerapuhan batin Ita telah merusak diri Ita dari dalam. Ita sangat menderita karenanya, uda.

Uda Marwan,

Ijinkanlah Ita mengulangi sekali lagi menyampaikannya, bahwa Ita tidak pernah mengkhianati pernikahan kita. Ita tidak pernah mengkhianati uda. Ita tetap mempertahankan kesucian pernikahan kita. Namun Ita sangat lemah uda. Setan selalu berbisik di telinga dan dada Ita. Dan Ita khawatir suatu saat nanti Ita tidak mampu lagi bertahan dari godaannya. Iman Ita tidak seteguh iman uda.

Uda yang Ita sayangi,

Sementara ini ijinkanlah Ita pergi dulu dari rumah. Ita pergi kerumah etek di Cempaka Putih. Perbuatan Ita ini pasti akan sangat menyusahkan uda. Sekali lagi, untuk kesekian kalinya, maafkan Ita.

Wassalam dan maaf dari istri uda

Rosita

Ya Allah........ keluhku. Beri hamba kekuatan.....

Aku pergi berwudhu ke kamar mandi. Aku ambil al Quran. Aku mengaji dan aku baca surat Yasin. Aku ulang menamatkan bacaan surat itu sampai tiga kali. Sesudah itu aku tertidur terkapar di atas sajadah.

***

Aku terbangun ketika mendengar pintu diketok dari luar. Aku lihat jam, sudah jam setengah lima. Aku segera keluar membukakan pintu. Di luar berdiri etek dan pak etek Cempaka Putih. Aku persilahkan beliau masuk.

Etek langsung berbicara kepadaku.

‘Marwan. Sepertinya ada masalah dalam rumah tangga kalian. Etek dan pak etek tentu tidak boleh ikut campur dalam masalah ini. Ita sekarang ada di rumah. Menurut etek, biarkanlah dia disana dulu menenangkan hatinya semalam dua malam ini. Etek dan pak etek akan membantu menenangkan pikiran Ita. Kami bantu dengan doa, mudah-mudahan masalah kalian bisa cepat selesai dengan baik,’ kata beliau.

‘Baiklah tek,’ jawabku pendek.

‘Sabar, Marwan. Biasa. Rumah tangga tanpa riak dan gelombang hambar rasanya seperti sayur tanpa garam. Sabar. Banyak-banyak sabar,’ ujar pak etek menambahi.

‘Insya Allah pak etek,’ jawabku pendek.

‘Baiklah Marwan, etek tidak lama-lama. Kami hanya ingin menyampaikan itu saja. Marwan sabar, ya. Dan hati-hati. Nanti kalau Ita sudah tenang, insya Allah kami antarkan kembali kesini. Oh, ya. Ini etek bawakan nasi bungkus. Sudah ya Marwan, kami pamit dulu,’ kata etek.

‘Baik, tek. Terima kasih pak etek, terima kasih tek,’ jawabku.

Aku antarkan kedua orang tua yang baik itu ke mobil mereka. Dan aku tunggu sampai mobil itu menghilang dari pandangan. Aku ingat, aku belum shalat asar dan bergegas shalat. Sesudah shalat aku mengaji lagi. Dan terasa perutku lapar. Ya aku belum makan apa-apapun sejak pagi. Belum minum setegukpun.


***

Tiga hari berlalu. Air mataku sudah kering untuk menangis. Aku kusut masai selama tiga hari ini. Tidak pergi ke toko. Hatiku maju mundur antara keinginan pergi melihat Ita ke Cempaka Putih dengan membiarkannya saja.

Entah bisikan apa ini yang berdengung di otakku. ‘Sudahlah Marwan. Hidup ini memang kalah dan menang. Ketika kalah, sabar. Ketika menang, berlakulah wajar. Sekarang kau kalah, hendaklah kau sabar. Apa yang disampaikan Ita ada benarnya. Dia tidak tahan hidup menderita seperti yang kamu tanggungkan. Dia wanita dengan segala kelemahannya. Biarkanlah dia, demi cinta dan kasihmu kepadanya. Maafkanlah dia. Bersabarlah sekali lagi. Dibalik kesabaran itu ada keindahan.’

***

Jam setengah empat sore, ketika aku sedang shalat asar, aku dengar pintu diketok. Aku selesaikan shalatku. Diluar terdengar suara orang bercakap-cakap. Sesudah shalat aku segera bangkit dan membukakan pintu.

Di luar ada papa dan mama Ita, pak etek dan etek dan Ita. Berlima. Aku salami semua satu persatu. Ketika menyalami Ita aku peluk dia. Dan aku menangis lagi. Itapun menangis.

Kami segera terlibat dalam perbincangan. Papa Ita yang memulai pembicaraan.

‘Marwan. Pertama sekali, papa dan mama sangat prihatin dengan masalah rumah tangga kalian saat ini. Papa dan mama sangat tidak setuju dengan perlakuan Ita, meninggalkan rumah, meninggalkan kamu. Kami sudah menasihatinya sangat panjang. Papa dan mama sudah berbicara panjang di telepon dengannya. Pak etek dan etek sudah menasihatinya sangat panjang sampai kewalahan dan meminta papa dan mama datang.

Sekarang, papa memaksa Ita datang kesini. Usul papa, biarlah Ita menenangkan pikiran dulu agak beberapa waktu ini. Bagaimana pendapat Marwan?’

Aku terdiam mendengar uraian singkat itu. Ita rupanya benar-benar sudah berada di titik yang tidak mungkin kembali lagi.

‘Ita, katakanlah apa yang ingin Ita katakan. Sampaikanlah apa yang ingin Ita sampaikan, uda akan menjawabnya. Uda akan mengabulkan apapun permintaan Ita selama uda sanggup melakukannya,’ kataku.

Ita menangis. Menangis tersedu-sedu. Tidak satu patah katapun keluar dari mulutnya.

‘Katakanlah Ita ! Apa keinginan Ita ? Sampaikanlah !’ aku ulangi lagi.

Mama dan etek ikut menangis melihat pemandangan itu.

‘Ita berbicaralah ! Katakanlah apa saja !’ pintaku lagi.

Ita mendekat kepadaku dan memeluk tubuhku. Dia menangis tersedu-sedu di bahuku. Apakah dia mau kembali, tanyaku dalam hati.

‘Uda.........., Demi Allah uda........... Ceraikanlah Ita........’ katanya tambah tersedu-sedu.

Mama dan etek Ita menjerit histeris mendengar kata-kata itu. Papa dan pak etek memandang Ita dengan pandangan tidak percaya.

‘Baik........ Uda ceraikan Ita....... Saat ini jatuh talak uda satu kali kepada Ita....’ jawabku setenang mungkin.

Mama Ita menjerit mengatakan tidak dan memelukku.

‘Marwan.... Jangan........’ katanya terbata-bata.

Kami semua yang laki-laki diam. Ketiga wanita itu bertangis-tangisan sambil berpelukan.


***

Drama itupun selesailah. Lama kami duduk saling membisu sementara ketiga wanita itu larut dalam tangis. Tapi drama itu benar-benar sudah selesai. Talakku sudah jatuh. Itu memang lebih baik. Mereka baru pergi dari rumah itu sesudah maghrib. Masih kami coba berbincang-bincang sesudah itu, tapi tidak ada satu katapun yang lengket di telingaku.
Begitulah akhir cerita panjangku,’ kata Marwan.

Mata Desi merah karena tangis. Akupun menangis. Tragis sekali.

‘Dan kau tidak pernah lagi berjumpa dengan Ita sejak itu ?’ tanyaku.

‘Sering,’ jawab Marwan tersenyum.

‘Maksudmu?’

‘Ita menikah dengan teman simpatiknya itu. Rupanya ada benarnya ramalan mereka. Ita melahirkan dua orang anak dengannya. Suaminya itu meninggal karena kecelakaan lalu lintas sepuluh tahun yang lalu.’

‘Inna lillaahi wa inna ilaihi raaji’uun. Terus?’

‘Ya, Ita menjanda sampai sekarang,’ jawab Marwan.

‘Dan kau sering berkunjung lagi ke tempatnya?’

‘Ya,’ jawab Marwan tersenyum.

‘Maksudmu?’

‘Ya, menyantuni anak yatim. Menjenguk dan melihatnya saja.’

‘Terus. Kau sendiri apa yang terjadi sesudah perceraian itu?’

‘Mula-mula sakit. Sakit lahir dan batin. Terkapar sendiri di rumah kontrakanku selama berhari-hari. Ditolong oleh pemilik rumah yang tetanggaku.’

‘Lama menduda?’

‘Lima tahun. Lebih sedikit lima tahun.’

‘Dimana bertemu dengan Kokom?’

‘Di rumah kontrakanku itu.’

‘Bagaimana caranya?’

‘Kokom adalah anak gadis kecil yang dulu suka menemani Ita kalau aku pergi ke Irian. Kokom yang sering disuruh ibunya mengantarkan makanan ketika aku sakit sesudah perceraian. Ketika itu dia baru saja mulai kuliah.’

‘Terus?’

‘Aku dilamar lagi oleh orang tua Kokom. Orang Minang kan laki-lakinya yang dilamar. Aku orang Minang dan aku dilamar untuk Kokom,’ Marwan tersenyum.

‘Hey. Bisa panjang lagi dong ceritanya,’ kataku.

‘Ah, nggak juga. Ayah Kokom menanyaiku apakah aku mau menikahi Kokom. Aku bilang, apa nggak salah. Aku duda berumur hampir 40 tahun. Kokom masih gadis 24 tahun. Apa Kokom mau, tanyaku kepadanya.’

‘Dan ternyata mau?’ tanya Desi.

‘Itu, buktinya sekarang,’ jawab Marwan.

‘Lalu bagaimana hubungan dengan Ita? Maksudku bagaimana tanggapan Ita dan bagaimana tanggapan Kokom terhadap Ita?’

‘Baik-baik saja. Orang mereka saling kenal sejak lama. Bahkan ada usulan Kokom yang sangat dahsyat,’ kata Marwan tersenyum lebar.

‘Apa itu?’ tanyaku.

‘Supaya aku menikahi Ita kembali...he...he...he...’ Marwan tertawa terkekeh.

‘Gila. Dan terus? Kau mau?’ tanyaku.

‘Nggak. Belum..he.he.he.. ‘

‘Kapan dia menyuruhmu menikahi Ita kembali?’

‘Wouf.... Pertanyaanmu kayak wartawan. Sejak 7 tahun yang lalu. Sesudah Ita 3 tahun jadi janda,’ jawab Marwan.

‘Kenapa tidak mau ?’ tanya Desi.

‘Saya bilang kan belum mau. Siapa tahu nanti kapan-kapan mau...he..he..he,’ Marwan kembali terkekeh-kekeh.


***

Kami makan malam dengan sate kambing yang dibelikan Faisal anakku. Sudah jam sembilan malam waktu Marwan meninggalkan rumah kami


Tamat

Jatibening, 22 Januari 2008

Cerita fiktif ini ditulis selama 22 hari.

No comments: