Saturday, March 22, 2008

Oleh-oleh Dari Perjalanan Haji 1424H (18)

18. Melontar Jumrah (2)


Hari Senin tanggal 2 Februari, atau tanggal 11 Zulhijjah. Bagian terbesar dari anggota rombongan akan pergi melaksanakan thawaf ifadha dan sa’i hari ini. Mereka berangkat sekitar jam delapan pagi dari Mina. Kami yang sepuluh orang, rombongan saya dan rombongan pak J akan tinggal di Mina. Masih ada lagi pak dan ibu I yang juga tinggal karena ibu I sedang berhalangan bulanan pula. Pak W, petugas penyelenggara, ikut menemani rombongan itu ke Makkah. Sebelum berangkat dia berpesan, seandainya nanti mereka terlambat pulang, agar kami ikut bergabung saja dengan rombongan besar untuk pergi melontar. Pak W sudah pula memberi tahu ustad pembimbing di rombongan besar itu untuk mengajak kami bersama nanti sore.

Setelah rombongan itu berangkat saya meneruskan membaca al Quran. Sudah juz delapan belas. Insya Allah sebelum pulang ke tanah air bisa tamat. Masih ada waktu seminggu lebih lagi untuk menyelesaikannya. Tapi setelah membaca beberapa lembar, dari pengeras suara terdengar takbir. Saya memperhatikan suara takbir itu dengan penuh perhatian. Ya, hari ini adalah hari-hari tasyrik, hari raya yang disunahkan untuk bertakbir. Kalau di negeri kita, seingat saya orang bertakbir sesudah shalat-shalat fardhu pada tanggal 10, 11, 12 Zulhijjah ini. Tapi disini jam sembilan pagi. Tidak berapa lama sesudah takbir itu dikumandangkan terdengar pengumuman dalam berbagai-bagai bahasa. Bahasa Inggeris, Perancis, Turki, Pakistan, India, Indonesia dibacakan bergantian. Isinya mengingatkan pada jamaah yang sudah melontar agar berpindah ke pinggir dan segera meninggalkan area melontar untuk memberi tempat kepada jemaah yang baru datang. Saya yang dari subuh belum melihat keluar ke arah tempat melontar (tenda kami terletak dibagian dalam), bertanya-tanya apakah orang sudah mulai melontar jam segini. Karena ingin tahu saya berhenti membaca al Quran lalu pergi ke dekat pintu gerbang. Pemandangan yang saya lihat sungguh sangat mencengangkan. Jamaah yang bepuluh atau mungkin bahkan sudah beratus ribu banyaknya sudah hadir disini. Jalan raya penuh ditutupi jamaah yang umumnya berpakaian putih-putih. Mereka berjalan berombongan-rombongan. Ada yang membawa bendera kafilah, serta ada yang membawa bendera negara mereka masing-masing. Semua bergerak tak berhenti-henti, baik menuju tempat melontar atau yang sudah keluar dari sana. Terlihat bendera Canada, bendera RRC, bendera Turki, Pakistan, Bangladesh, India, Indonesia. Ada yang membawa plat bertuliskan nama negara saja. Terbaca Hongaria, terbaca Kazakhstan. Dan lain-lain. Subhanallah.

Sudah berdiri dekat gerbang saya jadi ingin keluar. Saya ingin pergi mencukur habis rambut yang kemarin belum sempat saya lakukan. Tempat tukang cukur persis di seberang jalan, dekat jumratul Wustha. Saya menyeberang, memotong arus jamaah yang banyak itu dengan hati-hati. Sekelompok jamaah Turki yang baru selesai melontar melintas di depan saya sambil bertakbir dipimpin oleh satu orang. Allahu Acbar, Allahu Acbar, Allahu Acbar. Orang Turki rupanya sulit memprononsiasikan ‘Akbar’ dan tererosi menjadi ‘Acbar’.

Setelah selesai bercukur gundul, saya kembali ke tenda. Melihat rombongan manusia yang makin bertambah banyak. Untuk menyeberang saya perlu lebih hati-hati. Takbir melalui pengeras suara dari tempat petugas tadi berkumandang berulang-ulang diselingi dengan pengumuman peringatan yang sama dibaca berulang-ulang pula. ‘Para-para haji yang dihormati sekelian.......... dan seterusnya.’ Logatnya malahan lebih mirip bahasa Malaysia.

Saya suka memperhatikan lautan manusia yang bergelombang-gelombang itu. Memperhatikan wajah-wajah yang tidak gentar karena memang tidak ada yang perlu ditakuti selain Allah. Mereka bahkan tidak surut meski korban sudah berjatuhan. Wajah-wajah patuh, mematuhi keyakinan bahwa ini adalah ibadah kepada Allah. Dan semua berlalu, baik yang baru datang maupun yang berangkat pulang dengan langkah-langkah yang wajar. Dengan ekspresi yang wajar. Tidak dengan kuyu dan loyo dan tidak pula dengan ceria dan sombong. Berkali-kali saya datang ke dekat gerbang untuk memandangnya. Semakin siang semakin ramai. Dan ambulans-ambulans datang dengan sirine dibunyikan dari arah jumrah Aqabah. Beriring-iring. Apakah ada korban musibah lagi? Namun sekali lagi keberadaan ambulas dengan sirinenya itu tidak berpengaruh apa-apa kepada rombongan manusia yang beribu-ribu ini.

Sesudah makan siang, saya diberitahu ustad dari rombongan besar bahwa mereka akan segera pergi melontar dan menanyakan apakah kami akan ikut. Saya jawab bahwa kami ingin menunggu rombongan yang sedang thawaf dulu. Mereka pergi tanpa kami ikuti. Berseragam, kaus biru dan jilbab biru. Hampir dua ratus orang jumlahnya. Saya terheran-heran, apakah mereka akan bisa melontar dengan aman jika pergi dalam rombongan sebesar itu? Mereka berangkat dengan strategi jamaah laki-laki saling berpegangan tangan, memagari jamaah wanita. Saya tetap belum terlalu yakin bahwa mereka akan dapat menyelesaikan melontar itu dengan mudah.

Kira-kira empat puluh lima menit, rombongan itu sudah kembali. Tentu mereka sudah selesai melontar. Ustad pembimbing itu mengatakan bahwa di tempat melontar di atas jumlah jamaah tidak terlalu banyak. Mereka baru saja bisa melontar dari bibir pembatas tempat melontar. Dia menawarkan untuk menemani kami kalau mau pergi melontar sesudah ashar.

Sementara itu kami terima berita buruk. Seorang jamaah wanita, sudah tua, yang tadi thawaf bersama-sama terlepas dari rombongan dan hilang. Para petugas sudah berusaha mencarinya tapi belum berhasil. Akibatnya anggota rombongan lain yang meski sudah selesai thawaf dan sa’i belum mau pulang karena masih berusaha mencari nenek-nenek itu. Jadi sudah tidak perlu kami tunggu rombongan itu dan saya usulkan untuk melontar sesudah ashar seperti yang ditawarkan ustad tadi. Pas sesudah shalat ashar, kami berdua belas ditemani ustad pembimbing itu yang mengajak dua orang petugas lain, melangkah menuju ke tempat melontar. Dia meminta agar kami yang laki-laki memagari yang wanita, persis seperti yang dilakukan rombongan besar tadi. Mendekati jumrah Ulaa ustad itu memimpin untuk masuk kedalam kerumunan orang secara perlahan-lahan. Setiap satu orang yang keluar dari tempatnya melontar kami gantikan sampai akhirnya kami sampai ke bibir pelontaran itu. Wanita-wanita disuruh melontar lebih dulu baru dikuti oleh bapak-bapak (saya, pak J dan pak I). Ternyata cara memasuki area melontar seperti ini sangat efektif dan aman. Menurut istilah ustad itu, bergerak dengan lentur, tidak agresif dan mendekat sampai ke tepi tempat melontar.

Kami segera kembali ke tenda. Saya menanyakan apa yang harus dilakukan sendainya nenek yang hilang tadi itu tetap tidak diketemukan. Kata ustad, kita akan sweeping ke maktab-maktab jamaah Indonesia. Saya tanya lagi pernah tidak, hal yang sama selama ini terjadi. Dia bilang pernah, bahkan sampai dua hari. Saya menawarkan diri untuk ikut membantu jika nanti memang harus melakukan sweeping.

Tapi syukur alhamdulillah, nenek itu ternyata pulang dengan diantar jamaah haji dari Pacitan yang menolongnya persis menjelang maghrib. Dia sampai lebih dulu dari anggota rombongan yang lain.




*****

1 comment:

Unknown said...

SALAM.
By writer of Hajji Book:
40 Hari Di Tanah SuciThank you