Saturday, November 1, 2008

SANG AMANAH (42)

(42)

Rita memberi tahu Darmaji usulan pak Umar untuk berdiskusi bertiga sesudah jam pelajaran terakhir nanti. Darmaji, meski merasa agak sedikit heran menyatakan bersedia. Karena keduanya tidak mengajar pada jam pelajaran terakhir mereka pergi keluar dulu untuk makan siang dan kembali ke sekolah jam dua siang. Guru-guru lain menyangka mungkin ibu Rita akan memberikan pelajaran tambahan siang ini sehingga tidak ada yang perduli. Jam dua lebih saat tidak ada lagi guru-guru di ruang guru, mereka berdua masuk ke ruangan pak Umar. Pak Umar sudah menunggu keduanya. Pak Umar memberi isyarat agar pintu kantornya ditutup saja.

‘Silahkan duduk pak Darmaji, ibu Rita,’ pak Umar mempersilahkan mereka duduk.

Mereka berdua duduk di hadapan pak Umar. Masih ragu-ragu akan memulai pembicaraan, sampai akhirnya Rita mengawalinya.

‘Pertama, saya minta maaf lagi ni, pak, karena menyita waktu bapak,’ kata Rita.

‘Ya… tidak apa-apa. Apa yang kira-kira bisa saya bantu?’ tanya pak Umar.

‘Apakah bapak kira-kira…… bisa memberi kami nasihat?’ tanya Rita agak gugup.

‘Kalau saya mampu, insya Allah. Meskipun pak Darmaji sudah bercerita juga sebagian masalah yang anda hadapi berdua, tapi mungkin masih ada yang tidak saya ketahui. Silahkan ibu Rita menyampaikan, nasihat apa yang diharapkan dari saya,’ jawab pak Umar.

‘Jadi begini maksudnya, pak…... Mungkin mas Darmaji sudah bercerita kepada bapak tentang hubungan kami. Kami berdua merasa saling tertarik dan ingin hubungan kami ini meningkat menjadi hubungan suami istri. Tapi kami mempunyai kendala, yaitu perbedaan agama. Kami sama-sama menghormati keyakinan masing-masing. Meskipun sebenarnya orang tua kami masing-masing tidak setuju dengan rencana kami itu, namun sampai sejauh ini rasanya kami sulit untuk melupakan keinginan kami tadi. Dan saya terutama, masih tetap berusaha secara baik-baik meyakinkan orang tua saya bahwa saya benar-benar ingin menikah dengan mas Darmaji. Sementara itu kami juga mempelajari dan bertanya-tanya kepada orang-orang yang kami kira tahu tentang persaratan pernikahan, khususnya yang seperti kasus kami ini. Saya pernah berdiskusi dengan bapak Darmawan, bapak guru agama Islam. Beliau mengatakan bahwa untuk kasus seperti kami ini diperbolehkan dalam agama Islam. Pak Darmawan bahkan menunjukkan kepada saya ayat Al Quran tentang bolehnya laki-laki Islam menikahi wanita yang beragama Yahudi atau Kristen. Hal ini agak membesarkan hati saya. Saya sedang berusaha terus menjelaskan kepada orang tua saya masalah ini. Menurut pengamatan saya ada sedikit harapan bagi kami, karena paling tidak ayah saya terutama, tidak lagi secara tegas menolaknya, meskipun beliau juga belum mengizinkannya. Tadi, menurut mas Darmaji bapak mempunyai pandangan lain dalam hal ini. Saya ingin juga mendengarkannya untuk meyakinkan diri saya. Itu yang ingin saya sampaikan, pak,’ Rita bercerita panjang lebar.

‘Baiklah. Perlu saya jelaskan sebelumnya bahwa dalam memberikan pendapat ini kacamata yang akan saya pakai adalah kacamata Islam. Saya barangkali harus memulai dari arti perkawinan sesuai dengan ajaran agama Islam. Di dalam agama Islam pernikahan itu artinya adalah sebuah kesepakatan antara suami dan istri untuk hidup bersama dengan cara yang diizinkan dan diperintahkan Allah. Tata cara perkawinan itu diatur oleh agama. Harus ada calon pengantinnya sepasang manusia, laki-laki dan perempuan. Harus ada wali nikah, yakni ayah dari pengantin wanita atau saudara laki-lakinya. Harus ada saksi-saksi. Harus ada mahar atau pemberian dari calon suami kepada calon istri. Mari kita rinci persyaratan-persyaratan ini secara lebih mendalam.

Persyaratan pertama adalah harus ada sepasang manusia yang kedua-duanya ikhlas satu sama lain untuk hidup sebagai suami istri. Masing-masing bersedia melaksanakan pernikahan itu tanpa terpaksa. Dalam hal ini saudara berdua kelihatannya sudah memenuhi syarat.

Persyaratan kedua adalah wali nikah. Kalau orangnya masih hidup, yang harus menjadi wali nikah ini adalah ayah pengantin wanita. Karena dia yang sudah bertanggung jawab selama ini memelihara dan membesarkan anak wanitanya dan sekarang dia akan menyerahkan tanggung jawab bagi pengawasan anak perempuannya tersebut kepada mempelai pria. Suatu tanggung jawab yang menyangkut urusan dunia sampai akhirat atau kehidupan sesudah hari kiamat. Di sini sudah mulai timbul masalah. Sejauh yang saya dengar, ayah ibu Rita kelihatannya tidak setuju dengan rencana anda berdua. Lalu siapa yang akan menyerah terimakan tanggung jawab tadi itu? Seandainya dia setuju harus dijelaskan betul bahwa dia mewakilkan perwaliannya kepada seorang yang akan bertindak sebagai wali hakim untuk menikahkan anda berdua secara Islam.

Persyaratan berikutnya harus ada saksi-sakai. Para saksi ini adalah yang menyaksikan serah terima tadi itu, dari ayah pengantin wanita kepada pengantin pria. Meminta kesediaan orang untuk jadi saksi ini mudah-mudahan tidak ada masalah.

Lalu ada masalah yang lebih perlu mendapat perhatian khusus calon suami. Di dalam agama Islam, kepada setiap laki-laki yang beriman diperintahkan untuk memelihara anggota keluarganya agar jangan sampai berada di luar iman kepada Allah. Memelihara agar keluarganya terhindar dari murka dan siksa Allah nanti di akhirat. Artinya dia harus membimbing keluarganya itu, termasuk anak dan istrinya untuk beriman dengan iman Islam.

Baiklah, saya sampaikan hal yang tadi dikatakan oleh ibu Rita, bahwa memang betul seorang laki-laki Islam diizinkan menikahi wanita Yahudi atau Nasrani terdapat di dalam Al Quran. Tapi dengan pengertian seperti itu tadi, bahwa suaminya harus mampu menunjukkan kebenaran agama Islam kepada istrinya sehingga, menurut kacamata Islam, mudah-mudahan istrinya bisa tertarik dengan Islam. Dia harus mampu memberi contoh dengan budi pekerti yang islami, yang santun, penyayang, sabar, taat dalam beribadah, tawakal kepada Allah. Dan dia harus mampu mendidik anak-anaknya agar juga mentaati perintah Allah, menjauhi larangan Allah. Dan semua itu dia lakukan dengan sabar, dengan cara berkesinambungan atau terus menerus.

Namun dia tidak boleh memaksakan kehendaknya untuk menjadikan istrinya ikut agamanya secara terpaksa, tapi dia wajib memberi contoh tadi dan senantiasa berusaha menunjukkan kemuliaan agama Islam di tengah-tengah keluarganya.

Jadi banyak persyaratan yang harus dipenuhi dan dimengerti sebelum pernikahan campuran itu dilaksanakan. Nah sekarang, kepada pak Darmaji, apakah saudara sanggup berusaha membawa keluarga saudara agar beriman kepada Allah dengan memberikan contoh tauladan islami? Apakah saudara mampu menjadi seorang Islam yang baik yang akan menjadikan pasangan anda dapat menilai bahwa Islam mempunyai nilai-nilai yang mestinya patut dipertimbangkan? Ini berarti, seandainya selama dalam pernikahan itu pasangan anda mendapat kesan bahwa agama Islam yang anda anut itu ternyata buruk, misalnya karena perlakuan anda kasar, karena anda tidak bertanggung jawab, karena anda suka memaksa-maksa, karena anda suka mengumpat dan memaki dengan kata-kata kotor dengan mengatas namakan agama pula untuk perlakuan itu, atau secara keseluruhan selalu membuat kesan seolah-olah agama Islam yang anda anut tidak lain hanya akumulasi dari nilai-nilai buruk dimata pasangan anda, maka anda akan memikul dosanya.

Lalu apakah ibu Rita tidak melihat pula kesulitan yang akan mungkin timbul sesudah pernikahan itu dijalani beberapa tahun? Sekarang mungkin bisa diabaikan. Ketika cinta sedang bergelora. Ketika darah muda masih bergejolak. Tapi kehidupan berkeluarga itu akan dijalani selama mungkin, mungkin sampai akhir kehidupan. Yakinkah anda berdua akan mampu mempertahankan keharmonisan itu selama-lamanya padahal dalam kehidupan sehari-hari ada kendala yang sangat mendasar. Nanti sesudah setahun dua, insya Allah anda akan punya anak. Bagaimana dengan pendidikan agama anak? Apakah akan ikut ayahnya atau akan ikut ibunya? Kedua-duanya pasti akan menimbulkan masalah. Itulah bahan pertimbangan yang harus dipikirkan masak-masak,’ pak Umar menjelaskan..

Darmaji dan Rita lama tercenung mendengarkan penjelasan pak Umar yang rinci itu. Untuk beberapa saat mereka tidak bisa mengeluarkan kata-kata. Mereka hanya mengangguk-angguk kecil, mungkin sambil mencoba menelaahnya dalam fikiran masing-masing.

‘Tapi, bukankah yang pak Umar katakan tadi itu untuk kondisi paling ideal bagi setiap pasangan yang menikah secara Islam? Persyaratan yang terakhir tadi, yang menyangkut tanggung jawab suami terhadap keluarganya belum tentu terpenuhi oleh pasangan yang sama-sama beragama Islam sekalipun,’ tanya pak Darmaji.

‘Betul sekali. Banyak juga pasangan yang sama-sama terdaftar beragama Islam tapi tidak perduli dengan persyaratan manapun. Saya katakan terdaftar, karena mereka tidak pernah merasa terikat oleh aturan Islam. Mereka mungkin tidak shalat, tidak puasa, tidak menjalankan yang diperintahkan agama Islam. Hal ini bukan yang pantas dijadikan contoh. Yang saya sampaikan ini adalah yang berkaitan dengan ketentuan yang berlaku dalam agama Islam yang ‘utuh’, yang tidak direkayasa. Jadi maksudnya, kalau anda berdua mendengar bahwa di dalam Al Quran ada ayat yang menyebutkan boleh seorang laki-laki Islam menikah dengan wanita Yahudi atau Nasrani, saya mencoba menjelaskan ‘boleh’nya itu dalam kondisi apa dan dengan persyaratan bagaimana. Tapi kalau anda-anda hanya sekadar mengambil ‘boleh’nya saja tanpa memperdulikan persyaratannya, menurut saya anda mempermain-mainkan agama untuk kepentingan anda berdua. Dan ini menurut saya sangat tidak pantas dilakukan,’ jawab pak Umar pula.

‘Saya tertarik dengan yang bapak sampaikan tadi tentang perwalian. Jadi, seandainya ayah saya setuju saya menikah dengan tata cara Islam, beliau harus menyerahkan perwaliannya kepada orang lain untuk menikahkan saya apa betul begitu pak?’ tanya Rita pula.

‘Ya, betul. Karena saya rasa ayah dari ibu Rita tidak akan mau melakukan upacara nikah secara Islam,’ jawab pak Umar pula.

‘Apa yang dilakukan oleh orang tua atau ayah pengantin wanita di dalam upacara nikah itu, pak?’ tanya Rita lagi.

‘Begini. Pada saat pernikahan itu, ayah pengantin wanita mengucapkan ‘ijab’. Artinya pernyataan secara lisan bahwa dia menikahkan calon pengantin pria kepada anak kandungnya, dia sebutkan nama anaknya secara jelas, dengan jumlah mahar yang sudah disepakati. Ijab ini dijawab oleh calon pengantin pria dengan ‘kabul’, namanya. Yakni mengulangi kata-kata ayah pengantin wanita tadi dan diawalinya dengan kesediaanya untuk menerima ijab tersebut. Lebih tepatnya, misalnya saya adalah seorang ayah yang akan menikahkan anak perempuan saya denga seorang laki-laki, maka ijab yang saya baca itu berbunyi, ‘Wahai Fulan, saya nikahkan kamu, saya kawinkan kamu kepada anak kandung saya, Fulanah binti Umar dengan mas kawinnya sejuta rupiah, tunai.’ Maka si Fulan, pengantin pria itu segera menjawabnya dengan kata-kata, ‘ Saya terima nikahnya, kawinnya Fulanah binti Umar dengan mas kawinnya sejuta rupiah tunai.’ Itulah puncak upacara nikah. Semua itu disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi. Nah, mungkinkah ayah Ibu Rita mau melakukan upacara serupa itu kira-kira?’

‘Jadi tidak ada keharusan orang tua wanita untuk terlebih dahulu mengaku bahwa dia beragama Islam? Katakan misalnya, dia tidak harus mengucapkan sahadat Islam sebelum menikahkan anaknya?’

‘Tidak ada syarat itu, karena biasanya yang melakukannya sudah dikenal sebagai orang Islam. Tapi sekali lagi, pengakuan ayah pengantin wanita bahwa dia seorang Islam, memang bukan persyaratan,’ jawab pak Umar.

‘Saya berandai-andai nih, pak. Seandainya ayah saya mau, megucapkan apa tadi namanya…ijab..tadi itu, apakah pernikahan itu sah secara Islam? Apakah berarti sesudah itu saya dianggap masuk Islam?’ tanya Rita lagi.

‘Pernikahan itu sah secara Islam. Dan ibu Rita tidak dianggap masuk Islam karena pernikahan itu,’ jawab pak Umar.

‘Dan saya tetap berhak menjalankan agama saya, seandainya saya mau?’

‘Ya, tentu saja. ‘

‘Jadi kalau boleh saya simpulkan, seandainya ayah saya bersedia menikahkan saya secara Islam, maka pernikahan itu pada dasarnya sah. Mengenai tanggung jawab mas Darmaji dan sebagainya tentu agak relatif sifatnya. Mudah-mudahan saja dia sanggup menjadi suami sebagai seorang Islam yang baik. Apakah kesimpulan saya ini benar, pak?’ tanya Rita lagi.

‘Ya benar. Sampai selesainya upacara itu, apa yang ibu Rita katakan benar. Untuk seterusnya terpulang kepada saudara Darmaji. Dan untuk pendidikan anak-anak, seandainya nanti anda berdua sudah punya anak, terpulang kepada saudara Darmaji. Semua itu betul. Bagaimana pandangan Islam? Yang akan dinilai secara Islam tentu hanya saudara Darmaji karena dia yang beragama Islam. Tadi pagi waktu saudara Darmaji berdiskusi dengan saya, memang saya katakan bahwa dengan segala pertimbangannya, sebaiknya pernikahan beda agama ini tidak usah dilakukan. Karena akan banyak kendala yang mungkin terjadi di kemudian hari.’

‘Pertanyaan berikutnya, pak. Seandainya ayah saya mengizinkan saya menikah atau dinikahkan secara Islam tapi dia tidak mau ikut melaksanakannya, apakah itu yang tadi bapak maksud harus diwakilkan kepada orang lain? Bagaimana caranya?’ tanya Rita lagi.

‘Caranya, ayah saudara Rita memberikan izinnya secara lisan atau lebih baik lagi secara tulisan dan seterusnya mewakilkan untuk menikahkan itu kepada orang lain yang beragama Islam. Artinya dia, memberikan hak perwaliannya kepada orang lain untuk menikahkan saudara Rita,’ jawab pak Umar.

‘Bagaimana pula maksudnya, seorang suami Islam harus memberi contoh tentang Islam, dengan harapan agar pasangannya yang bukan Islam tertarik kepada Islam, namun tidak boleh memaksakan kehendaknya, tidak boleh memaksa pasangannya masuk Islam. Apa ini bukan bertolak belakang namanya?’

‘Islam itu tidak boleh dipaksakan kepada siapapun juga yang berada di luar agama Islam. Dia itu wajib didakwahkan. Mendakwahkan itu bisa secara lisan, dengan disampaikan, diterangkan. Bisa juga secara perbuatan. Tunjukkan bahwa kita berbudi pekerti yang baik secara Islam, berakhlak yang baik secara Islam. Saya boleh menceritakan tentang Islam kepada ibu Rita, tentang apa itu Islam, tentang kewajiban dalam Islam, tentang perintah-perintah dalam agama Islam, tentang larangan-larangan dalam Islam. Tapi saya tidak boleh memaksa, tidak boleh mengintimidasi, tidak boleh memperdaya, katakan misalnya membuat ibu Rita berhutang budi kepada saya, lalu saya minta agar budi baik saya itu dibayar dengan masuk Islamnya ibu Rita. Aturan itu berlaku umum, untuk siapa saja. Saya boleh ‘mengiklankan’, tapi sesudah itu terserah kepada ‘calon pembeli’. Kalau bapak Darmaji mau menikah dengan ibu Rita, dia berkewajiban mendakwahkan Islam kepada ibu Rita. Dia berkewajiban menunjukkan ‘kebenaran’ yang ada dalam agama Islam itu kepada ibu Rita baik secara lisan maupun secara perbuatan. Namun terpulang kepada ibu Rita untuk menerima atau menolaknya. Seandainya ibu Rita menolak, mengatakan bahwa ibu Rita tidak tertarik, dia harus bisa bersabar menerimanya. Dengan demikian dia sudah mengerjakan yang diwajibkan agama Islam atas dirinya, berusaha menghindarkan keluarganya dari murka Allah menurut ajaran Islam. Tapi dia tidak boleh memaksa. Tidak boleh mengancam. Tidak boleh mengintimidasi. Dia tidak boleh misalnya setelah pernikahan ini berjalan sekian tahun lalu mengatakan, ‘seandainya kamu tetap tidak mau masuk Islam, maka sekarang, karena kamu tidak mau itu, kamu saya ceraikan’. Itu tidak boleh. Itu memaksa namanya. Dia sudah tahu sejak awal bahwa ibu Rita seorang Kristen, dia mau menikahi, berarti harus konsekwen dengan apa adanya. Dia tidak boleh mengancam karena perbedaan itu memang sudah ada sejak sebelum mulai berumah tangga. Seandainya pada waktu itu dia benar-benar menceraikan istrinya dengan alasan perbedaan agama itu, berarti dia berlaku tidak adil. Dia berlaku zalim namanya.’

‘Baiklah pak. Saya sangat berterima kasih atas semua keterangan bapak ini. Saya mendapat banyak sekali informasi tentang pernikahan dalam agama Islam. Mudah-mudahan hal ini akan dapat membantu saya mewujudkan keinginan kami dengan pemahaman yang sejelas-jelasnya tentang kehidupan berumah tangga. Satu pertanyaan terakhir dari saya, pak. Apakah bapak bersedia juga berdiskusi tentang agama dengan saya sekali waktu?’ tanya Rita pula.

‘Insya Allah, saya bersedia. Hanya perlu ibu Rita ketahui, saya tidak boleh berdiskusi berdua-dua saja dengan ibu Rita, karena itu tidak baik dipandang orang, dilarang oleh agama. Itu sebabnya tadi pagi saya menganjurkan agar pak Darmaji hadir juga dalam diskusi siang ini,’ jawab pak Umar.

Rita sangat puas dengan hasil diskusi itu. Dia semakin mantap untuk meminta izin kepada papanya. Jadi tidak benar pendapat pak Umar menyalahi apa yang sudah mereka dapatkan dari pak Darmawan. Hanya saja pak Umar lebih berhati-hati dalam memberikan penjelasannya. Dan semua itu dapat diterima Rita.


*****

No comments: