Wednesday, October 1, 2008

MUDIK LEBARAN

MUDIK LEBARAN

Aku menerima pesan singkat sms dari kakak ipar di Bukit Tinggi. Isinya, ’apkh add sprti biasa ttp tdk plng berhr ry thn ini?’ Yang aku jawab, ’Insya Allah tdk, mhn maaf lhr btn.’ Setiap tahun dia bertanyakan hal yang sama. Bahkan kalau ada kesempatan bertemu di luar hari raya, dia bertanya lebih tegas. Kenapa aku tidak pernah mau berhari raya di kampung. Dan setiap kali pula aku katakan bahwa aku tidak sempat untuk pulang kampung di penghujung Ramadhan. Baginya, jawabanku itu terdengar musykil. Dimana-mana orang semakin bersemangat pulang kampung alias mudik untuk berhariraya, kok aku tidak tertarik.

’Begini,’ aku mencoba menjelaskan, pada suatu ketika. ’Bulan Ramadhan, bulan yang penuh rahmat, bulan yang di dalamnya terdapat ampunan Allah, bulan yang Allah menjanjikan kepada mereka yang beribadah atas dasar keimanan dan penuh keberhati-hatian, janji pemeliharaan dari api neraka. Sangat sayang waktu khusus itu dikorbankan untuk sebuah acara pulang kampung. Bukankah kalau perlu sekali aku tetap menyempatkan diri untuk hadir di kampung?’

’Ya, tapi bukankah dengan pulang kampung ibadah Ramadhan itu tetap bisa diteruskan. Bahkan dilanjutkan dengan bersilaturrahim dengan sanak keluarga di kampung?’ dia masih belum kehabisan alasan.

’Jujur saja. Acara berkendaraan waktu pulang kampung itu pasti akan merusak kekhusyukan beribadah Ramadhan. Itu sebabnya aku tidak melakukannya,’ jawabku.

Mudik lebaran adalah sebuah kebiasaan baru masyarakat negeri ini. Berhari raya sesudah menjalankan puasa di bulan Ramadhan selama sebulan penuh di kampung. Di tempat bernostalgia ke masa kanak-kanak dulu. Berduyun-duyun mudik. Mudik memang sebuah ritual baru. Sebuah tradisi yang baru diciptakan. Nyaris-nyaris sebuah bid’ah.

Mudik lebaran sudah sedemikian rupa mewabah. Sekitar sepuluh tahun yang lalu, orang Minang belum ikut dalam ritual mudik. Paling tidak belum seriuh seperti sekarang. Tapi coba lihat sekarang. Bukit Tinggi, Batu Sangkar, Paya Kumbuh dibanjiri para pemudik, yang pulang dengan kendaraan pribadi. Mobil-mobil berpelat nomor Jakarta, Medan, Pakan Baru, Palembang dan entah kota mana lagi memenuhi kota-kota Sumatera Barat. Itu artinya mereka datang dari tempat yang ratusan bahkan ribuan kilometer dari kampung. Menempuh jalan berpuluh jam untuk sampai di kampung. Bukit Tinggipun jadi macet di mana-mana.

Padahal mudik itu mengandung banyak sekali resiko. Resiko kecelakaan di jalan raya bagi yang naik kendaraan pribadi atau naik bus umum. Resiko kecopetan di stasiun bagi yang naik kereta api. Resiko kena tipu ketika memaksakan membeli tiket atau karcis kendaraan melalui calo. Resiko tertahan karena antri di penyeberangan.

Yang paling mengerikan tentu saja resiko celaka, apalagi yang berakhir dengan maut. Berita tv atau surat kabar di sekitar hari-hari mudik lebaran tidak pernah sepi dari berita kecelakaan. Keretapi menerjang bus yang sarat penumpang. Kijang diseruduk keretapi dan semua penumpangnya tewas. Bus masuk jurang karena sopir yang mengejar target ternyata ngantuk. Bus sama bus berlaga dan penumpangnya babak belur. Sudah beratus-ratus korban. Banyak diantaranya terkorban secara konyol. Karena kendaraan mereka pecah ban lalu berguling-guling di jalan tol. Karena kendaraan mereka dihantam keretapi ketika pengendaranya nekad menerobos pintu kereta. Karena dua bus berlaga, sebab pengemudinya yang sedang mengejar setoran ternyata ngantuk. Atau kapal kayu yang terbalik karena kelebihan muatan lalu penumpangnya yang tidak pandai berenang mati tenggelam. Sulit membayangkan bahwa resiko yang diambil itu setara dengan kepuasan menikmati aroma kampung halaman di hari-hari mudik.

Kalau sudah celaka, niat pulang kampung kandas di tengah jalan dan berakhir dalam duka nestapa tak terkira. Keluarga korban pasti berurai air mata.

Namun semangat mudik semakin gencar saja. Tidak surut sedikitpun. Sekarang, ketika memiliki sepeda motor cukup mudah, cukup dengan fotokopi KTP dan uang muka 700 ribu rupiah, motor baru sudah boleh dibawa pulang, semangat mudik semakin menggebu. Mudik bersepeda motor sedang ’ngetrend’. Naik motor berdua, bertiga, berempat dengan anak, anak didudukkan di atas tangki bensin dengan alas duduk sekedarnya, menuju kampung yang tiga, empat ratus kilometer jaraknya. Masya Allah. Dan menurut berita, ada anak kecil balita yang didudukkan di atas tangki bensin sepeda motor itu, ketika sudah menempuh separuh jalan lalu berhenti beristirahat, ternyata balita itu sudah almarhum. Sudah kaku dan tidak bernyawa. Tidak tahan badan kecilnya melawan terpaan angin di sepanjang jalan.

Apa yang dilakukan para pemudik di kampung? Aku pernah menanyakan hal ini kepada beberapa orang. Sejak dari pembantu rumah tangga, buruh bangunan, pedagang asongan, karyawan pabrik atau bahkan teman sekantor. Yang terakhir ini boleh dibilang rata-rata dari kalangan mapan dan berpendidikan. Jawabannya hampir seragam. Berkumpul dengan para kerabat, teman waktu kecil, lalu bernostalgia di kampung. Hanya itu? Sepertinya hanya itu. Apakah mereka wajib sungkeman kepada orang tua, atau para sesepuh di kampung? Ternyata tidak. Jadi yang paling utama memang acara reunian itu saja. Dan itu dilakukan secara rutin, dengan biaya besar, dengan resiko besar, menempuh jalan panjang menuju kampung. Mudik. Rugi rasanya kalau tidak mudik.

Andil pemerintah serta media massa sangat besar dalam mendorong acara mudik ini. Mereka menyemangati pemudik untuk semakin bersemangat meniti arus mudik. Berita perbaikan jalan untuk kelancaran para pemudik, berita persiapan angkutan lebaran untuk mudik, berita penjualan tiket kendaraan umum untuk mudik. Semua dihembuskan dengan tiupan sihir. Hasilnya luar biasa. Semua terhipnotis untuk mudik.

Seorang penceramah di penghujung Ramadhan membandingkan kekhusyukan beribadah umat Islam perkotaan Indonesia dengan umat Islam di negeri-negeri Arab. Disini, katanya, jemaah tarawih meluap sampai keluar mesjid di awal Ramadhan. Namun secara berangsur namun pasti berkurang sampai nyaris habis di hari-hari terakhir Ramadhan. Di Masjidil Haram yang terjadi sebaliknya. Manusia semakin ramai mendatangi mesjid. Jamaah mesjid melimpah kemana-mana karena tidak tertampung. Disana umat Islam tergiur dengan keutamaan sepuluh malam terakhir bulan puasa. Tergiur dengan janji Allah untuk terbebaskan dari siksa neraka. Tergiur untuk mendapatkan malam Qadar yang lebih baik dari seribu bulan.

Disini begitu mendekati akhir Ramadhan, orang sibuk menghadang Lebaran. Orang sibuk menyiapkan mudik. Yang berduit sudah memesan tiket pesawat atau karcis keretapi sejak jauh-jauh hari. Yang berpenghasilan pas-pasan sudah menyisihkan uang untuk membeli karcis bis. Pokok-e, yang penting mudik.

’Memang ada yang salah dengan ’mudik’?’ tanya seorang teman yang seperti tersindir.

Tidak seberapa salah dari segi keduniaan. Paling tidak para pemudik toh sudah tahu resiko yang mereka hadang di jalan. Bahkan teman lain, seorang ekonom yang tidak ikut mudik merasa yakin bahwa mudik lebaran sangat baik untuk pemerataan peredaran uang. Dan yang lebih penting, katanya, penduduk kota besar, terutama seperti Jakarta bisa menikmati lancarnya arus lalu lintas di jalan raya untuk beberapa hari di sekitar hari raya.

Dari segi pertimbangan bulan Ramadhan sebagai bulan ibadah total, bulan rahmat Allah, bulan ampunan Allah, bulan pembebasan dari api neraka serta lailatul qadr yang bernilai sangat tinggi, mudik lebaran terasa merugikan. Akhirnya tentu terpulang kepada para pemudik juga. Mau memparipurnakan ibadah Ramadhan atau mau bermudik ria.


*****

No comments: