Wednesday, May 6, 2009

DERAI-DERAI CINTA (23)

23. KADO

Ketika Imran sampai di rumah Syahrul sedang tidak ada. Di meja belajarnya ada sebuah amplop berwarna merah muda. Imran mengambil amplop itu yang bertuliskan ‘Buat kak Imran’. Rupanya sebuah undangan pesta ulang tahun. Dari Ratih. Wah, ulang tahun lagi? Tercium bau wangi dari amplop itu. Imran mendekatkannya ke hidung. Benar, amplop itu berbau semerbak. Wangi. Tapi ada yang agak ganjil. Hari ini baru tanggal 4. Undangan itu untuk tanggal 22. Kok jauh-jauh amat sudah mengirim undangan? Imran mencermatinya lagi. Ternyata lebih aneh lagi, undangan itu untuk sebulan setengah yang lalu. Apa maksudnya ini? Imran berpikir keras.

Dia faham sekarang. Ulang tahun Ratih rupanya tepat sehari sesudah dia berangkat ke Karang Sambung tempohari. Dia diundang ketika itu tapi sudah terlanjur berangkat. Tapi kenapa sekarang undangan ini tiba-tiba ada di atas meja belajarnya? Apa Ratih tetap menginginkan dia tahu hari ulang tahunnya? Lalu mengirim undangan yang sudah kedaluarsa ini sekarang? Kalau benar demikian agak norak juga ya? Semua pertanyaan itu menari di otak Imran.

Imran kembali mengingat-ingat acara makan malam barusan. Makan malam merayakan hari ulang tahun Lala. Imran belum pernah sekali juga merayakan hari ulang tahunnya. Di kampung mana pula ada orang merayakan ulang tahun. Ini sebuah kebudayaan orang-orang kota. Anak-anak sejak dari masih bayi dirayakan ulang tahunnya. Seperti yang dilakukan tetangga-tetangga ketika merayakan ulang tahun anak-anak mereka. Baru pula dia sadar, anak-anak yang datang ke acara ulang tahun, seperti yang biasa dilihatnya, membawa kado. Bungkusan kecil berwarna-warni dan diberi berpita. Anak-anak menyanyikan lagu selamat ulang tahun di acara itu. Seperti tadi mereka bernyanyi untuk Lala di restoran di hotel Homan.

Kado. Ya, kado atau hadiah untuk yang berulang tahun. Dia ingat tentang kado. Tadi Lala menagih kado. Kado ini rupanya menjadi bagian dari sebuah pesta ulang tahun. Ketika kita diundang, kita wajib membawa hadiah ulang tahun. Begitu rupanya. Tapi dia tidak membawa kado untuk Lala. Tentulah orang akan menilainya tidak sopan. Tidak tahu aturan perulang-tahunan. Wah, memang memalukan. Meski tadi Imran menjanjikan akan menyusulkan kado. Artinya dia harus mencari dan membelikan kado untuk Lala. Kado apa yang harus diberikannya? Biarlah dia tunggu Syahrul. Dia akan bertanya kepada Syahrul. Meskipun rasanya belum pernah dia melihat Syahrul membelikan kado untuk ulang tahun siapapun.

Sedang Imran melamun di depan tv hitam putih ukuran 20 inci yang dinyalakan sekali-sekali itu, Syahrul datang. Dia baru pulang dari menonton di bioskop Braka Sky.

‘Sudah lama kau pulang?’ tanya Syahrul.

‘Sudah setengah jam...... Kau dari mana?’

‘Dari nonton.... Bagaimana acara makan malamnya ?’

‘Makan malam mahal. Tapi bagiku tidak seberapa ternikmati,’ jawab Imran.

‘He..he..he.. Dasar selera kampung. Memangnya apa saja makanannya.’

‘Kaupun pasti tidak akan suka. Lalap mentah disiram minyak... entah minyak apa. Daging panggang dimakan dengan kentang ditumbuk. Makan kentang lumat itu meloyo perutku.’

‘Ha..ha..ha... Payah kali kau. Itu steak namanya. Makanan orang Eropah itu. Jadi mau muntah kau memakannya? Ha..ha..ha..’

‘Apapun namanya.’

‘Tapi tak sampai muntah, kan?’

‘Untunglah tidak sampai. Dan kentang lumat itu tidak sanggup aku menghabiskan.’

‘Sementara yang lain menikmatinya?’

‘Sepertinya begitu. Sepertinya semua orang menikmati makanan seperti itu, kecuali aku.’

‘Paling tidak kau sudah bertambah pengalaman. Tidak makanan Minang melulu.’

‘Hebat sekali cara orang menikmati uang. Merayakan hari ulang tahun.’

‘Mungkin perlu kau tiru. He..he..he.’

Imran tersenyum kecut.

‘Tadi ada pula undangan ulang tahun di mejaku. Dari Ratih. Kau yang menaroknya ?’ tanya Imran.

‘Ooo, itu. Itu diantar Ratih tepat hari kau berangkat ke Jawa Tengah dulu. Besoknya dia ulang tahun. Dia kecewa sekali ketika tahu kau tidak ada.’

‘Tapi kenapa baru tadi ada di mejaku?’

‘Aku baru ingat. Ketika kau mengatakan akan pergi makan malam ulang tahun Lala, aku ingat undangan ulang tahun dari Ratih. Undangan yang sangat istimewa, untuk orang istimewa dengan amplop istimewa. Tadi aku tarok di mejamu,’ jawab Syahrul.

‘Undangan untuk orang istimewa? Apa maksudnya?’

‘Kau itu orang istimewa bagi Ratih. Tidak kau cium bau amplopnya? Wangi dan segar. Itu amplop khusus untuk orang istimewa. Begitu biasanya.’

‘Maksudmu aku ini orang istimewa, begitu?’

‘Ya. Bagi Ratih kau diistimewakannya. Aku juga dapat undangan waktu itu. Amplopnya biasa-biasa saja. Tidak seperti amplop untukmu.’

‘Dan kau datang? Ke undangannya Ratih?’

‘Ya. Aku datang. Yang datang teman-teman kuliahnya. Mungkin sekitar sepuluh orang. Ada yang berbisik-bisik bertanya, mana yang namanya Imran.’

‘Ah, kau pasti mengada-ada.’

‘Tidak ada untungnya aku mengada-ada. Aku bercerita sebenarnya.’

‘Lalu.... Kau membawa kado waktu itu ?’

‘Ya... Memang begitu aturannya. Aku membawa kado. Kado main-main... Boneka panda putih yang aku beli di pasar Kota Kembang.’

‘Jadi.... Membawa kado itu wajib hukumnya, ya?’

‘Begitu tata kramanya. Bukan pula wajib. Tandanya kita memberi perhatian kepada orang yang mengundang kita. Masak kau tidak faham?’

‘Jadi, maksudnya kau ada perhatian kepada Ratih?’

‘Oo tidak. Aku tahu diri. Dia naksir kepadamu, aku tidak mau berusaha mendekatinya.’

‘Naksir itu maksudnya dia menginginkan aku mendekatinya, begitu ya ?’

‘Naksir itu, dia menginginkanmu jadi pacarnya... Payah kau ini....’

‘Biar sajalah kalau begitu... Ngomong-ngomong tentang kado. Apakah kado itu bisa berma’na sesuatu pula? Seperti ketika kau memberi kado boneka panda, bisakah diartikan bahwa itu sekedar pemberian tanpa maksud?’

‘Entahlah. Mudah-mudahan saja begitu?’

‘Aku sedang berpikir, kado apa sebaiknya yang aku belikan buat Lala. Mungkin seperti yang kau lakukan. Kubelikan kado boneka berupa beruang besar. Untuk lucu-lucuan.’

‘Jadi tadi kau tidak memberi kado?’

‘Belum. Aku bilang kadonya menyusul.’

‘Payah kau.’

‘Tadinya aku berniat membelikannya buku. Sebuah novel atau sebangsanya. Tapi aku ragu-ragu lagi. Kalau aku belikan buku yang aku sendiri belum membacanya? Jangan-jangan ceritanya nanti tidak karuan. Tentu akan sangat memalukan. Lalu terpikir pula untuk membelikan al Quran dan tafsirnya. Harusnya pemberian seperti itu kan banyak manfaatnya. Tapi setelah mendengar ceritamu, aku bertambah ragu.’

‘Untuk adikmu, pemberian tafsir al Quran itu bagus aku rasa,’ komentar Syahrul.

‘Kau rasa begitu?’

‘Ya, kurasa begitu. Kurang tepat seandainya kado seperti itu kau berikan untuk Ratih. Nanti jangan-jangan dikira mahar... he..he..he..’

‘Iya, ya. Apalagi kalau ku tambah pula dengan seperangkat alat shalat he..he..he..’

Keduanya tertawa terkekeh-kekeh.

‘Sudah ketemu Ratih?’ tanya Syahrul beberapa saat kemudian.

‘Belum. Kenapa?’

‘Dia sangat nyinyir menanyakan kapan kau pulang.’

‘Terus kau bilang apa?’

‘Kubilang awal bulan. Tiga hari yang lalu dia bertanya lagi. Inikan sudah awal bulan, kapan kak Imran pulang ?’

‘Kita lihat saja apa yang akan dikatakannya kalau nanti ketemu,’ kata Imran.

‘Kira-kira bagaimana? Sudah ada perubahan di hatimu? Terhadap Ratih?’

‘Tidak ada yang berubah. Hatiku tetap untukku... he..he..he.’

‘Mungkin kau perlu agak jelas dengan dia. Dari pada dia menggantang-gantang asap. Berharap-harap yang tidak jelas.’

‘Apa yang harus kuperjelas? Aku akan biasa-biasa saja.’

‘Seandainya dia mengingatkan bahwa dia dulu mengundangmu ke acara ulang tahunnya, kau masih akan memberinya kado atau tidak?’

‘Tidak. Tidak pada tempatnya lagi. Kalau aku memberinya kado, bisa-bisa nanti dia akan menafsirkannya macam-macam.’

‘Betul juga. Sebenarnya kasihan juga Ratih.’

‘Kasihan kenapa? Kau bersimpati kepadanya? Tertarik kepadanya?’

‘Kasihan karena sepertinya dia bertepuk sebelah tangan.’

‘Atau, kau saja yang mendekatinya.’

‘Aku tidak berminat.’

‘Kalau begitu ndak usah dipikirkan. Nanti malahan pusing. Ngomong-ngomong nonton dimana kau tadi?’

‘Di Braka Sky.’

‘Sendiri?’

‘Nggak. Ramai-ramai sebioskop. He..he..he.. Pertanyaan kau aneh-aneh saja.’

‘Film apa?’

‘Film lama. Gone with the wind.’

‘Kepengen juga aku sekali-sekali pergi menonton.’

‘Ya udah. Pergi nonton sana... Ajak si Ratih... he..he..he..’

‘Ah.. Si Ratih saja isi kepalamu. Sepertinya kau yang memimpi-mimpikan dia.... ‘


*****

No comments: