Tuesday, December 18, 2007

MINANGKABAU INTERNATIONAL AIRPORT


MINANGKABAU INTERNATIONAL AIRPORT

Jam tiga kurang sepuluh. Pesawat yang akan saya tumpangi ke Jakarta masih sekitar empat puluh menit lagi menurut jadwal. Koran Singgalang yang saya beli sebelum berangkat di Bukit Tinggi tadi sudah semua terbaca. Saya mematut-matut ruang tunggu Bandara ini yang memang bolehlah. Masih baru dan rancak. Seorang laki-laki parlente separuh baya seusia saya mengangguk berbasa lalu duduk di samping saya. Wajahnya curiah. Saya balas mengangguk dan tersenyum. Baunya wangi. Laki-laki sekarang memang banyak yang wangi. Di tangannya ada boarding pass pesawat yang sama dengan yang akan saya tumpangi.

‘Mau pergi atau mau pulang engku?’ tanyanya tersenyum.

‘Mau balik,’ jawab saya juga sambil tersenyum.

‘Acap engku pulang kampung?’ tanyanya lagi.

‘Bila-bila perlu,’ jawab saya. ‘Kalau engku dimana menetap?’ giliran saya pula bertanya.

‘Saya juga mau balik. Saya tinggal di Bandung. Kemenakan saya menikah kemarin di kampung. Pekan dimuka baru berhelat di Padang. Tentu saya harus pulang pula kembali minggu depan,’ jawabnya menjelaskan.

‘Tentulah iya. Kan anak dipangku kemenakan dibimbing. Urusan anak perlu, urusan kemenakan juga perlu diurus,’ ungkap saya agak sok tahu.

‘Memang betul begitu. Pulang kampung ini menagir sebenarnya. Tapi banyak yang malas kita melihat di negari awak ini. Seperti berurusan dengan pareman di luar itu contohnya,’ katanya pula.

Saya mengernyitkan kening.

‘Pareman di luar yang mana maksud engku?’ tanya saya.

‘Tentu engku sama maklum. Kalau berurusan dengan ‘urang oto’ di luar sana. Sakit hati kita. Banyak tukang pangur. Dan orang awak di kampung ini tidak berubah-ubah dari seisuk. Acapkali, sangat singkat cara mereka berpikir. Tidak sadar mereka bahwa dengan berlaku tidak amanah, yang rugi adalah mereka juga. Berapa benarlah yang mereka dapat dengan memangur penumpang seperti itu. Tidak tahu mereka bahwa untuk jangka panjang, perangai mereka itu sangat merugikan. Oto mereka ada ber AC tapi mereka matikan. Kalau disuruh hidupkan berbagai macam alasan supirnya. Ujung-ujungnya minta pitis tambah,’ ceritanya bersemangat.

‘Tapi kan tidak semuanya. Ada juga orang-orang itu yang santun,’ kata saya.

‘Betul tidak semuanya. Tapi karena nila setitik rusak susu sebelanga. Yang pareman itu memang hanya segelintir. Tapi ilmu pareman itu cepat menularnya. Ketika pareman dibiarkan saja berlantas angan, orang yang tadinya tidak pareman akhirnya mulai pula berubah jadi pareman. Begitu biasanya,’ tambahnya.

‘Iya betul. Malas kita melihatnya. Kelihatannya memang perlu ditatar sebagian orang awak yang bekerja di pelayanan umum seperti calo maupun sopir taksi itu,’ saya tambahkan.

‘Kalau dipikir-pikir dek engku. Negari kita ini benar-benar besar potensinya untuk dikembangkan menjadi negari parawisata. Jarang tempat yang seindah negari awak ini di muka bumi ini. Bukan kita mengapit daun kunyit. Memang begitu kenyataannya. Apalagi sekarang sudah ada Bandara serancak ini. Banyak tempat yang akan dijual sebagai objek wisata. Tapi di pintu keporonya benar sudah mengecewakan seperti itu. Ini sebenarnya tidak boleh dipediarkan. Orang-orang yang berada di garis depan seperti di Bandara ini harus ditatar. Diajar kembali menjadi orang-orang yang elok basa. Begitu juga orang-orang di garis belakang. Entah yang berjualan di pasar bertingkat di Bukit Tinggi, entah yang menerima tamu di hotel-hotel, entah yang menerima pelancong di Maninjau, di Halaban, di Pagar Ruyung. Bahkan yang menjadi petugas parkir di Pasa Banto sekalipun. Hendaknya orang-orang yang sopan dan santun serta elok basa belaka. Jangan orang yang penyandek. Jangan orang yang pengicuh. Jangan orang yang suka memangur. Elok sambutan kita, senang hati orang berkunjung, bertambah banyak orang tiba, bertambah lancar jual beli, kan bertambah baik ekonomi jadinya. Entah kok tidak begitu dek engku?’ tanyanya.

‘Sesuai benar saya dengan yang engku katakan. Sayapun melihatnya begitu. Disamping tempat-tempat yang akan dikunjungi turis itu perlu dibedak-bedaki sedikit lagi. Disiangi rumput sarut di sekitarnya. Diperancak gerbang dan pintu keporonya. Diberi berenda-renda, berjumbai-jumbai. Dibuatkan atraksi disana-sini. Entah pertunjukan silek-silek tuo. Entah tari-tari rantak kudo. Banyak yang boleh dilakukan. Seperti berpacu sampan di Maninjau misalnya. Atau berpacu bendi bugis tiap minggu misalnya di Bukit Embacang di Bukit Tinggi. Tempat dan sarananya sudah ada belaka. Tapi bak kata engku, yang tiangnya betul memang basa dan perisa. Banyak orang awak ini yang perlu diajar kembali untuk mau tersenyum. Tersenyum yang tulus,’ sayapun jadi ikut bersemangat.

‘Padahal sebenarnya tidak sulit kerja itu. Asalnya kita ini kan orang-orang beradat. Orang-orang yang tinggi budi pekertinya. Orang-orang yang budi baik basa ketuju. Orang-orang yang elok basa basinya. Yang tidak elok itukan hanya sebagian kecil. Tapi kalau dipediarkan terus hilang basa dek biasa tidak lagi mengutamakan berbasa-basi. Hilang budi dek terbiasa tidak berbudi pekerti. Pengalaman orang rumah saya berbelanja di pasar atas Bukit Tinggi. Ketika tawar menawar, dikembangkan orang kedai barangnya yang prima. Ketuju oleh istri saya, dibelinya dua tiga untuk oleh-oleh. Karena contoh yang dilihat bagus disangka semua barang sama bagusnya. Betapa kecewa istri saya sesampai di Bandung ternyata barang-barang yang tidak diperiksa itu cacat. Yang serupa ini kan kecoh buruk namanya. Walaupun istri saya belum tentu setahun sekali datang berbelanja di toko itu tapi cerita seperti ini pasti akan tersebar. Tidak tahu orang kedai itu bahwa kecohnya yang sedikit ini buruk akibatnya untuk jangka panjang.’

‘Betul yang engku katakan. Mumpung belum jauh benar hanyutnya seyogianya cepat dipintas. Mudah-mudahan kalau cepat dipintas cepat pula sembuh penyakit yang tidak elok itu. Seandainya orang-orang di negari kita ini baik-baik dan sopan-sopan semua, seperti yang berlaku di negari orang semisal di Jepang atau di Swiss sana betapa akan terkenal dan menariknya negari kita ini. Alamnya indah, penduduknya ramah, jual belinya amanah tentulah akan berduyun-duyun orang datang bertamu. Namun ada yang perlu juga dipikirkan jauh-jauh sebelumnya yakni moralitas anak kemenakan kita. Takut pula kita membayangkan kalau moral anak kemenakan kita tidak baik, lalu dieksploitir oleh orang lain. Tentu kita tidak ingin para wisatawan mancanegara datang kemari untuk berwisata kelamin. Perlu kita berbalik kepada idiom ranah Minang yang perlu dijaga dan dipelihara. Nagari yang adatnya bersandi syarak, syarak bersandi kitabullah yang sebenar-benarnya,’ kata saya.

‘Benar engku. Benar yang engku katakan. Inipun perlu perhatian khusus. Orang awak kan sudah menjadi pak tiru. Semuanya ditiru. Contoh-contoh yang tidak baikpun ditiru. Meriangit kita melihat kemenakan-kemenakan kita berbaju tidak sendereh di mall-mall di kota Padang. Dek meniru tadi itu juga. Mall di orang, sudah ber mall pula awak. Berjojo pusar anak gadis orang, sudah berjojo pusar pula kemenakan awak. Entah bagaimanalah mengatasi yang seperti ini,’ ucapnya mendesah.

‘Kalau bak rasa hati saya perlu adanya peraturan yang dibuat oleh orang yang ditinggikan seranting, yang didahulukan selangkah di Ranah Minang ini. Oleh orang yang di Rumah Bergonjong di Padang itu. Buat peraturan daerah tentang tata tertib. Tentang taratik dan sopan santun. Musyawarahkan dengan ninik mamak di Kerapatan Adat Alam Minangkabau. Musyawarahkan dengan alim ulama. Tentukan mana yang boleh mana yang tidak boleh. Sesudah itu bersama-sama kita mengawalnya.’

‘Setuju saya dengan engku. Memang harus ada peraturan yang jelas. Tidak ada salahnya masyarakat agak dikerasi sedikit. Kalau cara berpakaian saja anak kemenakan kita belum bertaratik apa boleh buat, harus kita didik mereka agar bertaratik. Mana-mana yang melanggar diberi sangsi. Tentu sangsi yang mendidik.’

‘Benar engku,’ jawab saya.

Pembicaraan kami terputus karena kami sudah dipersilahkan untuk menaiki pesawat.


*****

No comments: