Thursday, February 21, 2008

SEMINGGU DI RANAH BAKO (bag.7)

7. Pandai Sikek

Mobil Toyota Kijang itu kembali menuju ke arah simpang Maninjau, menuju kelok ampek puluah ampek yang sekarang akan diawali dengan kelok 1 sampai kelok 44 di atas sana. Cuaca cerah dan hari menunjukkan pukul tiga lebih lima menit. Di jalan mereka berpapasan dengan turis-turis kulit putih sedang berjalan kaki yang kelihatannya baru keluar dari danau. Turis kulit putih memang banyak terlihat di Maninjau dan mereka menginap di sini. Ada yang senang menghabiskan hari-hari mereka bermain ski air di danau ini. Di sisi kanan dan kiri jalan ada beberapa restoran dengan menu untuk orang asing, yang ditulis dangan bahasa Inggeris. Rupanya tempat ini cukup menyenangkan bagi turis-turis asing tersebut. Sejauh ini tidak ada masalah dengan mereka karena mereka mematuhi apa-apa yang boleh dan menjauhi apa-apa yang tidak boleh dilakukan turis di negeri Minangkabau.

Beberapa menit saja mobil mereka telah sampai di simpang Maninjau. Mobil itu segera berbelok ke kiri, mengawali tanjakan dan belokan. Berliku melalui setiap kelok. Meliwati kelok yang banyak monyetnya tadi. Pemandangan sambil mendaki ini lain pula indahnya, sambil sekali-sekali terserobok kembali dengan pemandangan ke arah danau Maninjau di sisi bawah.

’Kamu tahu, ayah bermimpi suatu hari nanti akan ada kereta kabel sejak dari Bukit Tinggi, melintasi ngarai Sianok, melalui kampung Sianok, terus ditarik menuju puncak Lawang lalu turun ke Maninjau. Aku jadi mengerti sekarang tentang khayalan atau mimpi ayah tersebut, tentang kenapa ayah berkhayal seperti itu. Seandainya suatu hari nanti kereta kabel itu jadi kenyataan, aku yakin tempat ini akan semakin ramai dengan pengunjung karena pemandangan disini benar-benar mengagumkan untuk dinikmati dari atas kereta kabel,’ Aswin mengawali cerita.

’Ya, itu memang jadi impian mereka-mereka orang rantau. Yang sudah melihat hal yang sama di tempat lain dan ingin membawa pulang untuk dipasang di Maninjau ini. Tapi kayaknya itu memerlukan investasi cukup besar dan belum ada orang yang berani turun tangan,’ Pohan menambahkan.

’Mungkin suatu saat nanti. Suatu saat yang tidak lama lagi. Mungkin saja di antara turis yang datang sudah melihat kesempatan itu dan sedang menghitung-hitung berapa banyak modal yang diperlukan untuk membangunnya,’ Aswin ikut berkhayal.

’Menurutmu mungkin nggak kereta kabel itu dibuat melintasi danau sampai ke seberang?’ Pohan bertanya.

’Mungkin saja. Berapa lebar danau ini?’ Aswin balik bertanya.

’Aku tidak tahu, tapi kuperkirakan mungkin sekitar delapan kilometer,’ jawab Pohan.

’Aku rasa mungkin saja. Dan seandainya itu bisa pula dijadikan kenyataan tentu lebih mengagumkan lagi.’

Mobil mereka terus mendaki dan berbelok dengan tenang. Beberapa kali berpapasan dengan bus pariwisata penuh penumpang. Akhirnya merekapun sampai di puncak setelah menyelesaikan kelok yang ke empat puluh empat. Seterusnya melaju melalui Embun Pagi, terus ke Matur dan melalui ’country road’ tadi untuk berliku-liku pula di sana. Sampai di Koto Tuo mereka terus menuju Padang Luar dan berbelok ke kiri menuju Bukit Tinggi.

Sepanjang jalan mereka berdiskusi tentang keindahan danau Maninjau, keindahan pemandangan dari Puncak Lawang. Tidak luput pula dari bahasan mereka tentang prilaku turis yang datang, tentang prilaku masyarakat anak kemenakan orang Minang yang tinggal di kampung, dan pergaulan mereka dengan turis yang datang.

Sebelum menjelang Bukit Tinggi mobil itu berbelok ke kiri melalui jalan mendaki dan menurun agak sempit, menuju kampung Pandai Sikek yang terkenal dengan kerajinan menenun kain songket. Kampung ini terletak tidak jauh dari jalan raya Padang – Bukit Tinggi, di kaki gunung Singgalang. Pohan memarkir mobilnya di sebuah tanah lapang. Di sini terparkir pula dua buah bus pariwisata. Dihadapan mereka ada sebuah bangunan rumah adat yang terlihat seperti rumah adat bergonjong lainnya. Di halamannya ada dua buah rangkiang juga beratap gonjong. Di bawah rangkiang terpajang beberapa potong kayu berukir hasil kerajinan ukiran Pandai Sikek.

Rumah gadang ini merupakan bengkel tenun di kampung itu. Tempat anak-anak gadis bekerja menenun kain songket. ’Rumah tampek mananun’ ini milik koperasi anak nagari, tempat dipusatkannya pekerjaan menenun dan sekaligus tempat mempertunjukkannya cara menenun kepada para turis. Bagian dalam rumah ini berbeda dengan rumah adat lain karena tidak ada kamar sama sekali, melainkan hanya ruangan lepas luas. Hanya saja kedua sisinya tetap ditinggikan sedikit sebagai anjung. Di kedua anjung ini terletak masing-masing sebuah etalase tempat kain tenun yang sudah jadi dipajang.

Pekerjaan menenun adalah seutuhnya pekerjaan wanita dan umumnya dilakoni oleh anak-anak gadis. Alat yang digunakan masih merupakan alat tenun tradisional. Justru disitulah muncul daya tariknya. Wanita-wanita muda itu bekerja dengan cekatan mengurai dan menjalin benang helai demi helai untuk kemudian menjadikannya sehelai kain songket yang indah.

Waktu Aswin dan Pohan sampai disana, kegiatan menenun itu baru saja dimulai kembali. Banyak pula pengunjung lain, turis dari luar maupun dalam negeri sudah hadir disini, sehingga di rumah itu agak berdesak-desak. Memang biasanya atraksi menenun untuk dipertunjukkan dilakukan di pagi hari menjelang siang sebelum waktu shalat zuhur setelah itu para penenun itu beristirahat sampai sesudah waktu shalat asar. Bunyi dekak-dekak alat kayu perkakas tenun memenuhi ruangan besar rumah gadang itu. Setiap penenun bekerja dengan sangat serius dalam konsentrasi penuh.

Aswin berkeliling melihat-lihat para penenun yang sedang bekerja itu, dan tidak lupa memotretkannya. Memperhatikan kain tenun yang sudah jadi di etalase. Ada juga barang-barang suvenir kecil terbuat dari bahan kain songket dipajang disitu. Para turis banyak yang berbelanja membeli barang-barang suvenir sampai kain songket utuh. Aswin membeli tiga pasang sendal Minang untuk oleh-oleh.

Dari ’rumah tampek mananun’ mereka mampir ke ’bengkel ukia’ agak ke samping dari rumah tanun. Bangunan ini merupakan bangunan bengkel lepas berlantai semen yang bukan dengan atap bergonjong. Disini mereka jumpai beberapa tukang ukir Pandai Sikek sedang bekerja memahat dan mengukir kayu. Ukiran ini umumnya adalah ukiran untuk rumah adat. Motif ukirannya berulir berbunga-bunga. Orang Pandai Sikek terkenal pula untuk kerja mengukir ini. Para pelancong juga menonton pekerjaan mengukir ini. Aswin ikut mendengar seorang pemandu wisata sedang bercerita menerangkan tentang ukir-ukiran itu.

Setelah puas melihat-lihat di Pandai Sikek, mereka sekarang menuju Bukit Tinggi. Hari sudah jam lima seperempat. Matahari masih agak tinggi sebelum terbenam. Waktu maghrib adalah jam enam tiga puluh di sini. Sebentar saja mereka sudah sampai di Bukit Tinggi, melalui Jambu Ayia dan Birugo. Pohan menunjuk ke arah Jam Gadang yang terlihat dari kejauhan.

’Itu lambang kota Bukit Tinggi,’ ujarnya.

’Jam Gadang?’ tanya Aswin melihat ke arah yang ditunjukkan Pohan.

’Betul, Jam Gadang. Tapi sebenarnya tak seberapa gadang,’ tambah Pohan.

’Gadang artinya besar, kan? Apakah kita langsung kesana?’

’Lebih baik kita ke Atas Ngarai dulu. Akan aku tunjukkan ngarai Sianok yang sudah kamu kenal namanya itu. Setelah itu baru kita ke Jam Gadang,’ jawab Pohan.

Mereka sekarang menuju ke Panorama Atas Ngarai. Tempat ini juga dipenuhi turis, di sore hari begini. Para pelancong itu menikmati panorama, memandang ke bawah ke dalam ngarai yang elok itu. Pemandangan yang sungguh sangat menyejukkan. Banyak kera yang kelihatannya lebih jinak atau lebih berani disini. Mereka datang menghampir mendekati orang. Kalau diberi makanan mereka berebut-rebutan.

Aswin dan Pohan berjalan-jalan di taman dengan bunga-bunga beraneka warna yang terpelihara indah di tempat ini. Disini, seperti di tempat lain ada plang-plang pengumuman dan peringatan. Ada tong sampah tersedia di banyak tempat dan kebersihan memang sangat terpelihara. Aswin juga mengamati lebih banyak polisi wisata yang mengawasi para pelancong disini tapi dia tidak tahu kenapa demikian.

’Kemana kita dari sini?’ tanya Aswin sesudah mereka cukup lama berada di Atas Ngarai, dan bersiap untuk pergi.

’Ke atas. Ke dekat Jam Gadang. Kita shalat maghrib di Mesjid Raya dan sesudah itu kita bisa melihat-lihat di bawah Jam Gadang. Biasanya banyak orang duduk-duduk disana bersantai-santai, melihat ke arah Gunung Merapi di waktu malam. Apalagi hari ini terang bulan.’

‘Setelah itu apa acara kita?’

‘Nanti sesudah shalat isya ada acara main kim di gedung Eri. Gedung itu bekas bioskop. Main kim ini diiringi oleh alat musik bansi dan telempong. Tapi kalau kamu tidak suka kita juga bisa pergi menonton pertunjukan tari-tarian Minangkabau di gedung kesenian. Inipun dimulai sesudah shalat isya. Nah sekarang kamu mau memilih yang mana?’ Pohan menjelaskan.

‘Sebentar, bukankah main kim itu sejenis perjudian? Bagaimana ceritanya?’ tanya Aswin.

‘Ya, pada awalnya permainan itu bisa dikategorikan seperti judi. Orang yang datang membeli kartu berisi angka-angka untuk setiap ’game’ dan kemudian seseorang yang paling dahulu mengisi kartu dengan angka-angka yang keluar dinyatakan sebagai pemenang dan mendapat hadiah berupa uang. Cara seperti itu jelas judi. Tapi sekarang acaranya bukan demikian. Orang datang biasanya untuk mendengarkan kepiawaian tukang nyanyi membacakan pantun-pantun yang berkaitan dengan angka yang keluar. Nyanyian itu diiringi dengan alat musik bansi dan telempong. Setiap pengunjung dipungut bayaran satu kali saja sebagai biaya tanda masuk. Kemudian dia ikut bermain dan kalau menang diberi hadiah sekedar cendera mata. Barang yang tidak besar sangat nilai uangnya. Dan pemenangnya bukan hanya satu orang. Artinya sesudah satu orang berhasil memenangkan game, permainan dilanjutkan sampai ada orang kedua dan ketiga ikut menang pula, dan mendapatkan hadiah juga. Permainan itu bisa diulangi berkali-kali sampai jam sebelas malam dan hadirin boleh mengikuti setiap kali tanpa harus membayar apa-apa. Jadi sifatnya lebih ke arah hiburan, sehingga boleh dilaksanakan dan tidak melanggar ketetapan pemerintah daerah tentang judi.’

’Waaw. Panjang sekali keterangannya. Aku ingin menyaksikannya,’ kata Aswin.

Mereka sudah sampai di pelataran parkir Mesjid Raya ketika azan maghrib berkumandang.

’Padahal seharusnya kamu boleh meringkas dan menggabungkan shalat karena kamu seorang yang sedang berpergian,’ ucap Pohan ketika mereka sedang melangkah ke tempat wudhu’.

’Aku tahu, dan aku di pesawat melakukan seperti itu. Tapi ketika aku lihat kamu shalat tidak digabung akupun ikut. Bukankah hari ini kamu juga musafir? Tapi kita tadi shalat zuhur di mesjid Maninjau dan shalat asar di mesjid Pandai Sikek. Kamu melakukannya seperti itu, aku ikuti saja ,’ jawab Aswin.

’Ya, betul. Hari ini akupun musafir sebenarnya. Kalau begitu nanti sesudah maghrib langsung kita lakukan shalat isya,’ ajak Pohan.

*****

No comments: