Saturday, December 6, 2008

KERETAPI, RIWAYATMU DULU (2)

KERETAPI, RIWAYATMU DULU (2)

Lokomotipnya berwarna hitam kelam. Hitam pekat. Kalau sedang berjalan dia mengepulkan asap yang juga berwarna hitam pekat. Masyarakat menyebutnya kepala keretapi. Di bagian bawahnya berjejer 6 pasang roda besi. Ada diantara roda besi itu yang tidak menyentuh rel tapi berputar menarik ulur sebatang tuas. Di bagian belakang kepala keretapi itu terdapat kabin untuk masinis dan stokar. Ada beberapa buah panel (entah berapa jumlahnya) di dalam kabin itu. Ada kemudi dengan bulatan lebih kecil dari bulatan setir mobil. Ada tuas rem. Ada tangkai tuter yang tergantung ke langit-langit yang kalau ditarik akan terdengar bunyi cuitan melengking. Di bagian depan kabin itu ada tungku besar. Secara berkala stokar memasukkan batubara ke dalam tungku berapi itu. Di sebelah depan kabin masinis ada ketel air besar. Ketel itu diisi air dari pancuran yang tersedia di stasiun besar, seperti stasiun Bukit Tinggi. Bagian sebelah depan (rasanya bukan semuanya merupakan ketel) berdimensi bulat memanjang, dengan tiga buah tonjolan ke arah atas. Tonjolan paling depan adalah cerobong asap yang tidak berhenti mengepulkan asap hitam.

Ada tiga generasi kepala keretapi yang terlihat di atas rel antara Padang sampai Paya Kumbuh di tahun-tahun terakhir keberadaan keretapi uap itu di Negeri Awak. Generasi pertama bertahun pembuatan sebelum tahun 1900. Sosoknya lebih kecil dan lebih ramping. Dengan kata lain, kelasnya memang lebih ringan. Ciri lainnya adalah cerobong asapnya yang lebih tinggi. Dan suara lengkingan cuitnya keras dan kecil menyelekit. Di tahun-tahun 60an, jenis ini masih beroperasi tapi hanya di sekitar Padang. Untuk mendaki di Lembah Anai sepertinya sudah tidak dipercaya.

Generasi kedua bertahun pembuatan sesudah tahun 1900an. Ada yang tahun 1902, 1905 dan 1908. Penampilannya lebih gemuk. Mungkin juga cc nya (kalau istilah mobil) lebih besar dari generasi pertama. Cerobong asapnya lebih rendah, sama tinggi dengan dua tonjolan lain (entah apa fungsi kedua tonjolan lain ini). Cuitannya kurang melengking dibandingkan dengan yang pertama tadi. Dengusannya waktu mulai bergerak ‘menakutkan’ disertai dengan hembusan uap putih ke kiri dan ke kanan , terlebih-lebih ketika menarik beban lebih berat. Dengusan berat itu juga dikeluarkannya ketika tertatih-tatih mendaki pendakian Dama (dengan rel bergigi) antara Padang Tarok dan Baso atau di pendakian Koto Baru arah ke Padang Panjang. Melihat keretapi yang mendengus-dengus itu menyesakkan nafas sementara orang. Sehingga orang itu disindir, keretapi yang mendaki, kenapa nafas awak yang sesak.

Yang terakhir adalah generasi yang jauh lebih muda, kelahiran tahun 60 an. Mirip dengan yang kedua. Bedanya, cerobong asapnya tidak berbentuk bulat tapi sedikit menyerupai kotak persegi. Persegi yang dihaluskan tentu saja. Jenis ini tidak ‘mencuit’ tapi ‘menggerang’ karena bunyi tuternya bernada ‘ooongngng’. Generasi terakhir ini datang bersamaan dengan gerbong baru sebagai pampasan perang dari Jepang. Karena kedatangannya berdekatan waktunya dengan penyelenggaraan Ganefo di Jakarta, keretapi berloko baru dan bergerbong baru itu dijuluki keretapi Ganefo. Keretapi ini dijalankan pulang pergi antara Paya Kumbuh dan Padang dalam sehari. Sementara keretapi regular dari Bukit Tinggi ke Padang diperjalankan satu arah dalam sehari.

Gerbong kereta yang oleh masyarakat disebut daresi (agak-agaknya berasal dari bahasa asing, mungkin bahasa Belanda) ada bermacam-macam ukuran. Semua bercat hijau tua di bagian luar. Ada yang agak panjang dan ada yang lebih pendek. Di atas pintu masuk tertempel pelat menunjukkan kapasitas tempat duduk yang tersedia di dalam daresi itu. Dinding dan bagian dalam semua terbuat dari kayu. Begitu juga dengan bangku-bangku tempat duduk. Bagian dalam daresi dibedakan untuk kelas dua dan kelas tiga. Kelas dua dengan bangku berorientasi menghadap ke depan dan ke belakang berhadap-hadapan. Tempat duduknya dari anyaman rotan. Di dalam daresi jenis ini ada peturasan atau kakus. Daresi kelas tiga mempunyai tiga jejer bangku memanjang. Dua bangku dengan sandaran ke dinding di kedua sisi daresi dan satu bangku lagi di tengah tanpa sandaran.

Gerbong keretapi Ganefo adalah seperti gerbong yang kita lihat sekarang. Semua sama panjangnya dan semua tempat duduknya menghadap kedepan atau ke belakang berhadap-hadapan.

Di tahun-tahun terakhir sudah tidak ada perbedaan kelas. Penumpang boleh naik ke daresi mana saja. Di daresi dengan bangku memanjang (bekas kelas tiga), bangku di tengah yang tanpa sandaran seringkali jadi tempat meletakkan barang dagangan para pedagang. Di atas tempat duduk ada pula rak tempat meletakkan barang. Daresi ini mempunyai jendela kayu yang bisa ditutup. Biasanya ditutup dengan menurunkan daun jendelanya kalau hari hujan. Pintu masuk ke ruang penumpang terletak di kedua ujung daresi. Sebelum masuk ke ruang penumpang ada bordes dengan anak tangga di kedua sisinya pula. Di bordes bagian luar yang dibatasi oleh pagar besi ada tuas rem. Ada dua macam tuas rem. Tuas panjang yang ditarik melengkung pada sumbunya dan tuas berupa engkol yang dapat diputar. Di setiap daresi ada seorang petugas tukang rem, yang akan melakukan tugasnya sesuai dengan kode dari masinis melalui cuitan.

Rangkaian keretapi juga membawa gerbong barang. Biasanya disebut gerobak. Gerobak ini terbuat dari besi. Pintunya di tengah-tengah dan ukuran pintunya besar. Tidak ada bangku tempat duduk di dalamnya. Bedanya lagi, setiap gerobak hanya mempunyai satu bordes, yang juga dilengkapi dengan tuas rem. Gerobak khusus untuk membawa batu bara berbeda lagi bentuknya. Jenis ini lebih menyerupai bak atau kotak persegi tanpa atap. Ada lagi pula gerobak tanpa dinding dan tanpa atap. Jadi hanya berupa sebuah dek. Entah untuk apa kegunaannya.

Urut-urutan rangkaian yang umum adalah kepala keretapi di depan, diikuti dengan rangkaian beberapa buah daresi lalu dibagian paling belakang diletakkan beberapa buah gerobak. Di stasiun tujuan, sebelum kembali ke stasiun asal kepala keretapi tentu harus pindah posisi, agar tetap berada di depan. Pada waktu itu lokomotip ini akan memindahkan juga posisi gerobak-gerobak kebagian belakang. Pekerjaan memindahkan ini disebut langsir. Lokomotip sibuk maju mundur mengatur ulang rangkaiannya.

Ada beberapa macam tempat pemberhentian keretapi. Yang paling kecil namanya stoplat. Disini ada loket tempat membeli karcis dan ruangan tunggu kecil. Dan pelataran peron, ditembok, tempat penumpang menaiki kereta. Di Biaro dekat kampungku ada stoplat.

Pemberhentian kedua dinamai stasiun kecil. Disini ada rel ganda. Fungsi utamanya untuk memfasilitasi dua rangkaian keretapi berselisih. Satu rangkaian bisa menunggu di rel kedua ketika rangkaian lain lewat. Karena ada rel ganda maka di stasiun kecil kepala kereta bisa langsir. Ciri lain, stasiun kecil mempunyai tiang bendera sinyal. Kereta baru boleh memasuki stasiun kalau bendera merah sudah naik. Kalau belum maka keretapi itu harus menunggu. Contoh stasiun kecil ini adalah Tanjung Alam

Berikutnya adalah stasiun menengah. Contohnya stasiun Baso. Sama seperti stasiun kecil, disini juga ada rel ganda bahkan ada beberapa buah. Diantaranya tempat meletakkan atau memarkir daresi atau gerobak yang tidak ikut ditarik. Ciri lain, stasiun menengah mempunyai pancuran air tempat menambah persedian air dalam ketel uap. Dan biasanya di komplek stasiun ada restoran kecil.

Lalu ada stasiun besar. Tentu saja yang lebih besar dari stasiun menengah. Banyak daresi dan gerobak disini. Lokomotip mangkal disini di waktu malam. Dan ada lebih dari satu lokomotip. Stasiun Bukit Tinggi adalah stasiun besar. Kami mengenalnya dengan nama stasiun gadang.

Berikutnya stasiun yang lebih besar lagi dan merangkap bengkel. Contohnya yang di Padang Panjang.

Untuk menompang keretapi, penumpang harus membeli karcis. Seharusnya setiap penumpang punya jatah tempat duduk meski tidak ditandai di karcis. Tapi adakalanya penumpang keretapi itu penuh sesak. Terutama pada hari-hari pekan. Boro-boro dapat tempat duduk, banyak penumpang yang terpaksa berdiri bahkan sampai di bagian luar daresi atau di bordes. Bahkan ada yang kebagian sekedar tempat berpijak alakadarnya dan tempat bergantung alakadarnya. Tidak terlalu masalah karena jarak yang akan ditempuh tidak terlalu jauh. Karena sudah berselingkit-pingkit ini mulai ada yang malas membeli karcis. Ketika diperiksa kondektur, dibayar saja langsung ke kondektur. Dengan uang. Kondektur itu ternyata senang-senang saja. Maka di hari-hari pekan, tangan kondektur menggenggam uang kertas setumpuk besar.

Ketika turun dari kereta, karena rangkaian cukup panjang, ada resiko penumpang turun cukup jauh dari stoplat. Cukup jauh dari jalan menuju kerumah masing-masing. Yang tidak sabaran belajar turun ‘talen’. Artinya meloncat turun ketika kereta masih berlari cukup kencang. Anak-anak muda biasanya menyenangi atraksi ini. Beradu berani siapa yang paling jagoan turun talen. Yang paling hebat yang mampu turun persis di depan stoplat. Perlu latihan untuk mampu turun talen. Dan perlu keberanian tentu saja.

Anak muda yang talen-talen itu jarang yang membeli karcis. Mula-mula mereka membeli tiket berlangganan atau abonemen. Ketika kondektur menanyakan karcis, cukup menjawab abonemen sambil menunjukkan tiket abonemen itu. Kondektur tidak menanya lebih jauh. Tapi adakalanya kondektur memeriksa lebih teliti. Ketahuanlah bahwa abonemen itu sudah kadaluarsa berbulan-bulan. Paling-paling kalau ketahuan seperti itu anak muda talen itu membayar dengan uang tunai. Uang yang biasanya dipakai untuk membeli rokok.

Para pelanggan atau penumpang rutin keretapi sering mempunyai ciri agak khas. Bajunya bolong-bolong, bekas terbakar pecahan bara. Resiko yang juga sering dihadapi penumpang kelas bordes (yang jarang membeli karcis) adalah kelilipan pecahan bara. Matapun merah karenanya.


*****

No comments: