Saturday, January 19, 2008

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (16)

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (16)

16. PERNIKAHAN

Kami semakin terbuai mendengar cerita Marwan yang runtut dan rinci. Pengalaman hidupnya ternyata penuh dengan bunga-bunga. Termasuk bunga-bunga cinta. Dari ceritanya aku bisa membayangkan betapa bahagianya pasangan anak muda itu waktu itu. Mereka berkenalan secara indah di lingkungan organisasi kemahasiswaan, HMI, saling menjaga kehormatan dalam masa-masa berpacaran tanpa mengumbar hawa nafsu, mendapat restu orang tua, dan segera akan berakhir ke pelaminan. Aku dapat membayangkan betapa besarnya cinta Marwan kepada Rosita. Dan aku tidak sabar menanti bahagian ceritanya ketika dia terpaksa berpisah dengan istri pertamanya itu. Apakah Rosita ternyata berubah sesudah mereka menikah ?

Marwan melanjutkan lagi ceritanya dan kami, aku dan Desi istriku kembali menyimak seperti orang menonton wayang.

‘Semua berjalan sesuai dengan yang kami rencanakan. Pertengahan bulan Januari 79 aku mengambil cuti tahunan. Aku juga mempunyai sekitar seminggu libur ekstra pengganti hari-hari aku bekerja di lapangan. Aku pulang ke kampung untuk menjemput ibu dan adik-adikku. Dan untuk minta izin kepada mamak-mamakku, karena aku akan pergi menikah. Sesuai dengan aturan adat di kampung. Dan sebelumnya, ke kampung kami telah datang pula utusan famili Rosita dari Maninjau menjemputku secara adat. Mengisi adat dengan membawa carano. Begitu kesepakatan yang dibuat di Surabaya dan Malang. Karena orang tua Rosita masih sangat teguh memegang adat. Menantunya harus orang yang dijemput secara adat Minang.

Kami segera berangkat ke Surabaya. Dengan seorang mamakku, ibuku dan kedua adikku. Kedua adikku itu bekerja sebagai perawat bidan di rumah sakit umum Bukit Tinggi dan mereka mengambil cuti pula.

Orang tua Rosita merencanakan pesta pernikahan dengan adat Minangkabau di Malang. Ada acara malam bainai, acara mengantar marapulai sebelum akad nikah, dan diakhiri dengan resepsi pernikahan. Pada acara mengantar marapulai itu harus ada acara pasambahan. Rombongan kami dari Surabaya harus membawa dua tiga orang yang pandai bapasambahan dan di Malang kami akan disambut oleh orang yang punya kemampuan serupa.

Semua permintaan untuk melaksanakan pesta dengan adat Minang itu, yang dibicarakan ketika rapat persiapan pesta, disanggupi oleh pak etek. Beliau juga sangat senang dengan acara pesta seperti itu dan bersedia mencarikan orang-orang yang akan mengantarkan aku pergi nikah, lengkap dengan ahli pasambahan.

Kami dinikahkan pada hari Jum’at tanggal 2 Februari 1979, sesudah shalat isya di rumah orang tua Rosita. Kami rombongan dari Surabaya datang dengan dua buah bus. Aku berpakaian marapulai Minang, berpakaian warna merah dan bersaluk, di temani oleh sepuluh orang yang juga berpakaian Minang warna hitam dan berdestar. Pak etek dan mamakku memakai jas dengan kain sarung bugis. Sesudah akad nikah, sebelum acara makan minum ada pasambahan yang persis seperti di kampung. Yang asli. Yang baunyai-unyai. Sehingga para tamu itu baru makan malam jam sebelas malam dan acaranya sendiri baru selesai lepas tengah malam. Ini atas pesanan dokter Sofyan, mertuaku. Seolah-olah alek itu sedang terjadi di Maninjau. Untungnya yang hadir malam itu hampir semua urang awak, kecuali beberapa temanku anggota HMI dan beberapa orang tetangga mertuaku.

Resepsi pernikahan dilaksanakan pada hari Minggu tanggal 4 Februari. Pesta itu berjalan sangat meriah. Aku sendiri sebenarnya merasa risih. Aku, si Marwan, anak mak Syamsuddin Sutan Marajo, tukang pos, jadi marapulai dalam pesta semegah itu. Tapi itu adalah atas kemauan mertuaku. Maklum, Rosita adalah anak perempuan mereka satu-satunya.

Banyak tamu yang datang. Handai tolan dokter Sofyan maupun ibu mertuaku di kota Malang dan sekitarnya. Karena mereka suami istri, orang yang sangat luas pergaulannya disana. Ada juga tamu dari Surabaya. Teman dan relasi pak etek serta teman-temanku di HMI.

Usai baralek gadang. Seterusnya kami jalani masa-masa indah. Masa-masa bulan madu. Mertuaku sudah memesankan paket liburan di Bali selama 4 malam untuk kami. Untuk menyenangkan hati anak padusinya satu-satunya sehingga aku tidak bisa menolak. Jadi terpaksa aku nikmati saja.

Masa cutikupun habis. Aku harus kembali ke Jakarta untuk bekerja. Rosita langsung aku bawa. Atas permintaan etek Rosita, (adik ibunya), kami tinggal di rumah eteknya itu di Cempaka Putih selama beberapa hari pertama kami sampai di Jakarta. Aku sudah mengontrak sebuah rumah kecil di jalan H. Yahya di Kampung Melayu. Sebuah rumah sederhana dengan dua buah kamar. Sesudah seminggu di rumah eteknya kami mulai menempati rumah di Kampung Melayu itu.

Kami jalani hari-hari yang indah. Aku bekerja seperti biasa. Alhamdulillah sementara tidak dikirim ke Irian. Ita, (aku memanggil namanya seperti itu) sementara itu berusaha memasukkan lamaran mencari kerja. Kecuali mamakku yang segera buru-buru pulang, rombongan ibuku ditahan pak etek di Surabaya sampai hari kami memasuki rumah kontrakan kami. Pada hari beliau sampai di Jakarta, kami mulai menempati rumah kontrakan mungil itu. Kedua adikku tinggal seminggu di Jakarta dan setelah itu kembali ke Bukit Tinggi. Cuti mereka sudah habis. Ibuku aku tahan untuk tinggal sementara dengan kami.

Ibuku sangat menyayangi Ita. Begitu juga sebaliknya. Aku sangat bahagia melihatnya. Ibu mengajar Ita memasak gulai-gulai seperti di kampung. Dari bahan-bahan sederhana tapi dengan rasa prima. Ibuku memang tipe wanita Minang ideal, ahli dalam masak memasak. Ibu betah saja tinggal bersama kami sampai lebih dua bulan. Selama dua bulan itu aku bertugas ke lapangan dua kali, masing-masing seminggu. Tapi adik-adikku di kampung mulai tidak sabar ditinggal ibu. Mereka menulis surat kilat khusus bertubi-tubi, meminta agar ibu segera pulang. Mereka sangat canggung tanpa ibu di rumah. Menurut mereka mamak kami juga sudah tiap hari bertanya, kapan ibu pulang.

Setelah ibu pulang tinggallah kami berdua menghuni rumah mungil itu. Ita masih menunggu kepastian diterima bekerja di Bank Bumi Daya. Dia menata rumah dengan sebaik-baiknya, mengerjakan pekerjaan kecil di rumah, memasak untukku. Tidak canggung sedikitpun dia mengerjakan semua itu. Tidak lama kemudian, sekitar bulan Mai, dia akhirnya diterima di Bank Bumi Daya. Ita sangat gembira dan akupun sangat setuju dia bekerja. Karena kasihan dia tinggal sendirian sehari-hari di rumah.

Kami berangkat ke kantor pada jam yang sama meski dengan kendaraan yang berbeda. Sama-sama naik bus kota. Kantorku di daerah Pancoran Pasar Minggu, kantor Ita di Matraman. Karena istriku sudah tidak punya waktu lagi untuk memasak kecuali di hari libur, kamipun merantang. Atau kadang-kadang kami pergi makan malam ke luar. Atau kadang-kadang kami memasak berdua untuk makan malam.

Beberapa bulan sudah berlalu sejak hari pernikahan kami. Tidak ada tanda-tanda bahwa Ita mulai hamil. Kami bersabar saja menunggu. Mungkin memang belum waktunya.

Pekerjaanku tetap mengharuskan aku secara berkala pergi ke lapangan ke Irian. Kalau aku pergi ke lapangan, Ita mengajak anak pemilik rumah yang juga adalah tetangga kami untuk menemaninya. Seorang anak gadis murid SMP. Anak itu sangat baik dan Ita sangat sayang kepadanya. Daerah tempat tinggal kami aman. Aman dari kejahatan, aman dari kenakalan remaja. Aku tidak perlu khawatir kalau harus meninggalkan Ita untuk beberapa hari.

Setelah enam bulan Ita tidak kunjung hamil kami mulai bertanya-tanya. Akhirnya kami sepakat untuk berkonsultasi ke dokter. Ita yang lebih dahulu mengajak memeriksakan dirinya. Dokter yang memeriksa mengatakan Ita tidak punya masalah. Dokter itu hanya menganjurkan agar kami lebih banyak melakukan hubungan di masa-masa subur. Serta menasihatiku agar menjaga pola makan agar lebih berstamina. Rasanya aku tidak punya masalah tentang itu. Untuk lebih meyakinkan akupun juga memeriksakan diri ke dokter yang lain. Menurut dokter tidak ada masalah. Aku dinyatakan sangat sehat. Jadi mungkin masalah waktu saja. Kami bersabar lagi.

Meskipun belum kunjung dikaruniai momongan, kami menjalani hidup yang damai hari demi hari. Di saat liburan kami pergi melancong. Kalau ada liburan akhir minggu yang panjang kami pergi ke Malang. Ketika cuti pertama Ita, setahun kemudian aku ajak dia ke kampung. Ke kampung ibunya di Maninjau dan mengunjungi tempat-tempat lain di negeri kita. Ita sangat menikmati kunjungan itu. Dia belum pernah menginjak bumi Minangkabau sebelumnya.

Kami tidak henti-hentinya berikhtiar. Secara berkala kami tetap berkonsultasi dengan dokter. Minta saran dan obat yang mungkin bisa membantu memicu kehamilan.

Dua tahun berlalu. Kami semakin tidak sabar. Kenapa kami belum juga punya anak. Kami datangi lagi dokter spesialis yang lain, yang menurut rekomendasi teman-teman lebih ahli dan konon bertangan dingin. Ita menjalani pemeriksaan yang lebih teliti dan bahkan kami lakukan juga pemeriksaan oleh dokter lain. Untuk mendapatkan second opinion. Dari pemeriksaan dokter itu ada anjuran agar Ita menjalani terapi ‘ditiup’ dengan alat untuk melancarkan jalan sperma menuju indung telur. Terapi itu dilakukan dua tiga kali dan menurut Ita sangat sakit. Tapi dia rela menahan rasa sakit itu.

Ibuku menganjurkan agar kami lebih banyak shalat malam. Bertahajud dan memohon pertolongan Allah. Itupun kami lakukan. Kami bangun tengah malam untuk shalat. Untuk memohon kepada Allah. Ita sampai menangis-nangis dalam doa. Akupun ikut terharu dan berdoa bersungguh-sungguh. Kami memohon agar kami dikaruniai Allah dengan keturunan.

Tiba-tiba pada suatu saat Ita terlambat datang bulan. Seminggu dia belum dapat haid dari jadwal rutinnya dia masih diam-diam saja. Tapi di minggu kedua dia memberi tahuku. Meski belum ada kepastian dari dokter karena belum ada pemeriksaan apa-apa aku langsung sujud syukur. Aku begitu yakin doaku sudah dikabulkan Allah. Yakin bahwa istriku mulai hamil. Kami pergi ke dokter untuk melakukan pemeriksaan. Alhamdulillah, benar. Ita hamil. Aku sujud syukur sekali lagi di tempat praktek dokter itu.

Kami gembira sekali. Berita disebar kemana-mana. Ke papa dan mama Ita, ke ibuku, ke keluarga pak etek di Surabaya. Ita hamil. Kami segera akan punya anak. Ita mulai sering merasa tidak enak badan. Mual-mual dan muntah-muntah. Pusing dan sebagainya. Gejala umum orang hamil. Dia masih tetap bekerja meski sudah agak sering minta ijin karena sakit. Kalau agak sehat dia tetap masuk kantor. Aku menyuruhnya untuk menggunakan taksi pergi dan pulang ke kantor. Jangan lagi berdesak-desak di bus kota.

Untungnya gejala morning sicknessnya Ita segera berakhir. Menginjak bulan ketiga kehamilan dia sudah sehat walafiat. Tidak ada lagi mual dan muntah-muntah. Aku sangat gembira melihat dia seperti itu. Pada waktu itu papa dan mamanya datang mengunjungi kami. Mereka juga sangat berbahagia. Beliau tinggal di rumah kami di Jakarta selama dua minggu. Sebelum kembali ke Malang beliau mengajak kami berjalan-jalan ke Puncak. Ita sangat sehat dan tidak ada alasan sedikitpun untuk melarangnya ikut. Papa Ita yang dokter itu yakin bahwa istirahat di alam segar Puncak akan sangat baik bagi pertumbuhan janin.

Kami menyewa sebuah mobil untuk pergi kesana. Di Puncak kami menyewa sebuah bungalow. Kami tidak pergi kemana-mana selain berjalan kaki pagi di udara yang sangat bersih dan nyaman. Dua malam kami menginap disana. Hari Minggu siang kami kembali ke Jakarta dengan selamat.

Hari Seninnya kedua orang tua Ita kembali ke Malang. Ita minta izin tidak masuk kantor hari Senin itu sedangkan aku menggunakan hari libur pengganti masa kerja di lapangan. Kami mengantarkan papa dan mama Ita ke Kemayoran. Pulang dari bandara, sesampai di rumah, Ita merasa perutnya kejang-kejang. Tiba-tiba saja dia merasa sakit luar biasa. Keringatnya bercucuran dan dia merintih kesakitan. Aku segera keluar mencari taksi dan kami langsung pergi ke dokter ahli kandungan.

Ita mengalami pendarahan di tempat praktek dokter itu. Dokter menyuruh agar Ita segera dibawa ke rumah sakit. Dengan taksi kami berangkat menuju RSCM. Dokter itu ikut menyusul. Ternyata Ita keguguran. Dia harus dirawat di rumah sakit selama dua hari. Ita sangat sedih. Akupun sebenarnya sangat sedih. Tapi sudah seperti itu ketentuan Allah. Aku mengajaknya untuk bersabar. Paling tidak kami sudah tahu dan yakin bahwa Ita bisa hamil dan mudah-mudahan setelah kesehatannya pulih dia bisa hamil lagi.

Kami mulai lagi dari nol. Kami penuh harap bahwa Ita akan segera hamil lagi. Dan kami jalani kehidupan sehari-hari seperti biasa. Penuh dengan cinta dan kasih sayang. Kami rajin shalat tahajud, memohon agar kiranya Allah mengganti janin yang sudah terlanjur gugur itu.

Berbulan-bulan berlalu tanpa hasil. Bahkan setahun lagi sesudah itu, Ita tidak pernah hamil lagi. Kami kembali berikhtiar, mendatangi dokter. Ita memeriksakan diri lagi. Untuk kedua kalinya dia menjalani terapi ditiup saluran menuju indung telur. Dokter memperkirakan saluran itu kembali menyempit. Tapi tetap tidak ada kemajuan. Ita tidak juga kunjung hamil.

Setelah itu mertuaku menganjurkan agar Ita mencoba memeriksakan diri ke seorang dokter kenalannya di Malang. Dokter itu sudah membantu banyak orang yang sulit mendapat keturunan dan kemudian berhasil. Kami berangkat ke Malang untuk berobat ke dokter yang direkomendasi papa Ita tersebut. Ita tinggal sebulan disana, mengambil cuti tahunan. Mengikuti pola perawatan dokter itu yang termasuk mengatur diet.

Ternyata tetap tidak ada hasil. Lama-lama Ita mulai pasrah, walau juga agak frustrasi. Dia memikirkan untuk mengadopsi anak saja. Kami berdiskusi berkali-kali tentang ide mengangkat anak. Kami maju mundur untuk merealisasikan ide itu. Banyak pertimbangan yang harus kami pikirkan dan akhirnya kami putuskan belum akan mengangkat anak.’

Marwan menghentikan ceritanya untuk pergi ke kamar kecil sebentar.


*****

No comments: