Monday, January 21, 2008

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (18)

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (18)

18. GELOMBANG BESAR


‘Dan rupanya Indra ini yang kan jadi bintang berikutnya dalam ceritamu ?’ aku bertanya sebelum Marwan melanjutkan ceritanya.

‘Ya, begitulah,’ jawabnya.

‘Rupanya dia kemenakan Datuk Rajo Bamegomego kalau begitu ?’ tanyaku lagi.

‘Cucu sepersukuannya.’

‘Terus bagaimana kelanjutannya ?’

Marwan meraih cangkir dan meneguk teh. Dia tersenyum memandang ke arahku.

‘Baiklah, aku teruskan. Lama aku tidak berjumpa dengan si Indra sesudah pertemuan sekali itu. Aku kembali bekerja seperti biasa di Jakarta. Kalaupun aku pergi ke lapangan, hanya untuk maksimum seminggu seperti dulu-dulu lagi. Dan di lapangan aku tidak pernah bertemu dengannya karena dia sedang off.

Sampai di Jakarta, aku tanyakan kepada ibuku bagaimana hubungan silaturrahmi dengan keluarga Datuk Rajo Bamegomego di kampung. Karena secara kekerabatan persukuan, suku inyiak Datuk itu masih dekat dengan persukuan ayahku meski ayah bukan satu penghulu dengan beliau. Ibuku agak heran kenapa aku menanyakan hal itu.

Aku ceritakan pertemuanku dengan Indra di lapangan. Ibuku langsung mengerti dan mengatakan bahwa ibu si Indra dan mamak kandungnya adalah yang paling keras rasa permusuhannya dengan keluarga persukuan ayah. Ibuku bercerita ;

‘Sesudah dapur rumah kita terbakar, etek Sa’diyahmu, adik ayahmu bertanya ke engku Datuk Rajo Bamegomego, siapa agaknya yang membakar dapur itu. Engku Datuk balik bertanya, kenapa hal itu ditanyakan kepadanya. Kata etekmu pula, tentu engku Datuk tahu karena yang membakar itu pasti orang PKI. Engku Datuk marah besar kepada etek Sa’diyah, jangan sembarang menuduh, katanya. Etek Sa’diyah menggerutu dan mengatakan, engku Datuk ini, kemenakan dibeda-bedakan. Kemenakan engku disini tidak seorangpun yang dipaksa jadi PKI, aman-aman saja. Giliran tuan ambo, masih kemenakan engku juga, tidak mau lagi jadi PKI engku marahi.

Engku Datuk tambah marah. Etek Sa’diyahmu diam saja lagi. Tapi omongan itu terdengar pula oleh si Kawisah, ibunya si Indra. Didatanginya etek Sa’diyah dan mereka berkelahi. Bukan saja perang kata-kata tapi sampai baruli. Begitu bodoh-bodohnya orang-orang itu.’

Aku bertanya, berkelahi kenapa?

Kata ibuku pula ;

‘Mereka tersinggung, penghulu mereka didakwa seperti itu dengan cara yang tidak pantas sepanjang adat. Sebenarnya si Kawisah mungkin sudah ada permasalahan lain, yang wallahu a’lam, dengan etek Sa’diyah. Jadi kejadian itu hanya dijadikan pencetus perkelahian saja. Karena secara kekerabatan dalam persukuan, dalam ranji, Kawisah bukan kemenakan langsung engku Datuk. Ada kemenakannya langsung tapi tidak seagresif si Kawisah.’

Aku tanyakan pula, apakah perseteruan itu masih berlanjut sesudah itu?

‘Masih berlanjut. Waktu engku Datuk menghilang, etek Sa’diyah kelepasan kata-kata yang terdengar pula oleh si Kawisah. Kata-kata yang sebenarnya tidak perlu dan juga tidak dimaksudkan untuk memojokkan kaum engku Datuk. Dia mengatakan, itulah engku Datuk, kenapa mesti lari ke Medan. Kan jadi sulit saja ujung urusannya. Begitu katanya. Ternyata si Kawisah tersinggung lagi. Datang lagi dia menyerang. Ikut campur pula si Kahar saudara laki-lakinya membela. Waktu itu ayahmu sudah di penjara. Itupun dibahas pula dalam perseteruan yang tidak jelas itu. Pokoknya mereka menyumpahi semoga ayahmu juga mati dalam penjara.’

Aku tanya ibuku, apakah beliau juga terlibat dalam perseteruan itu.

Kata ibuku;

‘Tidak pernah. Ibu tidak pernah terlibat. Dan kalau orang berbicara apapun juga ibu tidak pernah mau menanggapi. Buat apa menambah-nambah dosa. Meskipun ibu juga merasakan bahwa si Kawisah kurang begitu elok perasaannya kepada ibu, tapi ibu diamkan saja.’

Dan aku tanyakan, lalu apa yang terjadi ketika ayah sudah bebas.

‘Waktu ayahmu bebas, keluarga ayahmu melakukan doa tanda bersyukur dengan cara di kampung. Dipotong kambing, dipanggil orang siak ke rumah dan diundang orang kampung. Maksudnya untuk memberi tahu jugalah bahwa ayahmu, yang sebenarnya tidak ikut-ikut lagi dengan partai jahat itu, tapi kena getahnya sampai dipenjara. Sekarang sudah bebas, maka dilakukan doa syukur dengan memotong kambing. Bertambah panas pula pasaran. Si Kawisah bertambah sakit hati. Herannya yang sakit hati hanya dia dan si Kahar saudara laki-lakinya itu saja. Kak Rohana, adik engku Datuk datang ke acara mendoa itu. Tidak ada masalah. Jadi urusan itu masih saja seperti api dalam sekam. Entah apa yang menjadi pokok pangkal masalah yang sebenarnya.’

Apakah permusuhan itu masih berlanjut sampai sekarang, tanyaku pula.

‘Saling diam mungkin masih berlanjut sampai sekarang. Ibu kurang begitu pasti. Tapi perkelahian sudah tidak pernah ada lagi. Waktu ayahmu meninggal, si Kawisah ada menjenguk ke rumah kita tapi kata kak Sa’diyah dia tidak datang menjenguk ke rumahnya. Umumnya orang kampung datang menjenguk ke kedua tempat. Ke rumah kita dan ke rumah bakomu itu. ’

Selama kami berdiskusi itu Ita hanya mendengarkan saja. Banyak hal-hal yang dia tidak pernah tahu karena aku tidak pernah memberi tahu. Di ujung diskusi malam itu dia bertanya, ada apa yang terjadi dengan almarhum ayahku.

Ibuku, yang menyangka Ita sudah tahu, terheran-heran pula bahwa menantunya tidak tahu apa-apa. Ibupun bercerita secara ringkas dan garis besar bahwa ayahku pernah jadi tahanan politik.

Malam itu Ita menanyakan dan menyoalku kenapa hal itu tidak pernah diceritakan kepadanya. Aku jawab sejujurnya bahwa aku malu dengan pengalaman ayahku, yang sebenarnya hanya jadi korban politik. Padahal beliau sebenarnya bukanlah benar-benar orang komunis yang biasanya identik dengan atheis. Ita tidak puas kelihatannya. Malam itu secara berbisik-bisik kami bertengkar, takut ketahuan ibuku. Ita menuduhku telah mengelabuinya. Dia mengatakan bahwa aku mau aktif di HMI rupanya hanya untuk menutup-nutupi aib itu.

Aku sebenarnya tersinggung dengan pernyataannya itu. Tapi aku usahakan sekuatku untuk tidak marah. Aku takut ibuku mendengar pertengkaran kami. Aku katakan sejujurnya pula, bahwa ayahku masuk penjara itu bagiku adalah suatu aib. Dan tidak ada gunanya aib itu dibeber-beberkan apa lagi beliau sudah meninggal. Ita tetap besikukuh bahwa dia itu kan istri. Kenapa tidak pernah cerita aib itu diberitahukan kepadanya. Pokoknya kalau istilah bahasa Jawanya sudah mbulet urusannya waktu itu.

Aku minta maaf. Itu satu-satunya jalan bagiku. Malam itu kami tidak meneruskan lagi bahasan itu. Paginya Ita masih cemberut kepadaku. Untungnya dia tetap biasa-biasa saja dengan ibuku. Di depan ibu kami baik-baik saja, tapi di kamar kami saling diam.

Beberapa hari kemudian ibuku kembali ke kampung. Sesudah ibu berangkat Ita mengungkit lagi masalah itu. Aku tanyakan baik-baik, sekarang apa masalahnya. Kenapa dia begitu tersinggung hanya karena tidak diberitahu perihal ayahku yang sekarang sudah almarhum. Aku ceritakan pelan-pelan perjalanan hidup ayah sejak pak tangah meninggal, sampai beliau ikut-ikutan jadi PKI, kemudian beliau dianiaya orang-orang PKI dalam sebuah rapat, kemudian ayahku menyatakan tidak mau ikut-ikut lagi dengan partai itu. Dan rumah ibuku dibakar. Dan Gestapu PKI meletus. Dan orang-orang PKI ditangkapi. Begitu ceritanya sampai terakhir ayahku dipenjarakan.

Kata Ita, dia sangat bisa mengerti semua itu. Dia percaya bahwa ayahku hanya jadi korban politik. Tapi, katanya, kenapa dia tidak diberitahu dulu-dulu. Aku bilang, sudahlah, aku minta maaf karena merahasiakan itu dengan maksud baik. Sekarang toh dia sudah tahu. Kan tidak perlu lagi dipermasalahkan.

Aku agak heran kenapa hal itu begitu penting bagi Ita. Aku menganggap pengalaman ayahku itu sebagai aib, makanya aku berusaha menutupnya rapat-rapat, kenapa dia tidak bisa memahamiku.

Sesudah hari itu memang hal itu tidak kami bahas lagi. Tapi sikap Ita semakin berubah. Aku masih menganggap bahwa hal itu sebagai akibat kelabilan dirinya karena kekecewaan belum punya anak. Ita jadi sangat sensitif.

Lalu timbul lagi percekcokan baru beberapa waktu sesudah itu.

Dari uang tabungan kami yang sudah terkumpul sedikit, Ita ingin kami membeli mobil. Membeli dengan sistim kredit. Tentu sah-sah saja keinginannya itu, meski aku lebih ingin membeli tanah untuk rumah. Aku tidak suka membeli dengan sistim kredit yang akan menyebabkan kita terikat hutang dalam jangka waktu panjang. Ita bersikeras untuk membeli mobil. Alasannya, papanya sudah menghadiahinya sebidang tanah di daerah Pondok Gede. Tapi aku tentu ingin mempunyai tanah dari hasil kami sendiri. Aku seperti biasa tidak mau ngotot dan kamipun membeli mobil.

Sesudah itu dia menginginkan agar aku yang membawa mobil itu tapi mengantarnya pagi-pagi dan menjemputnya waktu pulang kantor. Cara seperti ini tidak efektif. Perginya masih mungkinlah, dengan berangkat lebih awal. Tapi pulangnya, dengan kondisi jalan macet tentu sangat tidak efisien. Aku suruh dia saja membawa mobil itu ke kantor, aku biar tetap menggunakan bus kota. Aku memang tidak terlalu suka menyetir mobil. Tapi Ita merasa bahwa aku merajuk. Kami bertengkar lagi, aku berusaha meyakinkan dia bahwa aku bukannya merajuk. Dengan terpaksa akhirnya aku ikuti lagi kemauan Ita. Mengantarnya pagi-pagi dan menjemputnya sore-sore.

Ada teman sekantorku, sekretaris di kantor yang tinggal tidak jauh dari rumah kami. Ita kenal dengannya. Suatu pagi kami melihatnya menunggu kendaraan umum di pinggir jalan. Ita ingin mengajaknya ikut. Dia yang menyuruhku berhenti dan menawarkan wanita itu ikut. Aku berhenti dan kami menawarkan kalau dia mau ikut. Dan dia mau. Besoknya dia menunggu lagi dan kami ajak ikut lagi. Setelah itu dia sudah secara teratur ikut terus. Aku merasa tidak nyaman, khawatir suatu saat akan timbul salah pengertian. Masalahnya dari kantor Ita ke kantorku, aku berdua saja dengan wanita sekretaris itu. Pulang dari kantor, dengan alasan aku ada acara dengan Ita, aku tidak mau mengajaknya bersama-sama.

Betul saja, orang-orang di kantor mulai menggosipkan aku ada apa-apa dengan wanita itu karena setiap hari selalu datang berbarengan satu mobil. Dan wanita itu memang rada-rada ganjen pula. Gosip yang tidak jelas itu lama kelamaan sampai pula ke telinga Ita. Heboh lagi. Bahkan merembet kemana-mana. Sejak itu aku terpaksa memberi tahu wanita sekretaris itu untuk tidak ikut lagi dengan kami karena aku tidak mau jadi korban gosip yang sudah mulai melanda rumah tanggaku.

Selesai urusan itu aku mendapat lagi urusan baru. Kali ini di kantor.

Di kantor tiba-tiba aku melihat si Indra. Aku pikir dia datang berkunjung sebentar di kantor Jakarta. Mungkin dia sedang ikut seminar. Aku sapa sekedar berbasa basi. Aku sudah terlanjur tidak suka dengannya. Ternyata dia pindah ke kantor Jakarta. Sepertinya dia juga tidak suka kepadaku. Aku merasakan itu dari cara dia berbicara dengan orang lain kalau aku ada di dekatnya. Rada-rada memandang entenglah sepertinya. Bagiku tidak ada masalah. Aku menghindar saja dari dekatnya.

Beberapa minggu berlalu sejak dia pindah ke Jakarta. Pada suatu hari dia datang kepadaku dan mengajakku ngobrol. Tapi dari pembicaraan pertama aku sudah langsung tahu arahnya ingin mempermalukan aku. Dimulainya lagi dengan cerita malu kaumnya di kampung. Bahwa mereka tidak bisa menerima malu seperti itu. Aku langsung saja menyela. Lalu apa urusannya denganku?

Katanya, urusannya adalah bahwa da Marwan anak mak Syamsuddin yang juga anggota PKI. Aku mulai tidak sabar. Apa maksudmu, tanyaku kepadanya.

Dia bercerita bertele-tele. Tentang PKI, tentang bersih lingkungan, tentang screening. Dan akhirnya tentang aku sebenarnya tidak berhak bekerja di perusahaan ini karena aku tidak bersih lingkungan. Aku berusaha berbicara sesabar mungkin, meski sebenarnya darahku sudah mendidih. Apa urusannya bersih lingkunan itu dengan pekerjaanku. Ancaman apa yang aku berikan kepada perusahaan ini pada hal aku sudah bekerja disini hampir lima tahun.

Ujung-ujungnya, hari itu dia mengatakan bahwa kita harus jujur dan adil. Bahwa kita tidak boleh memanipulasi informasi. Dia mengatakan bahwa aku pasti sudah berbohong, karena pasti aku pernah ditanya tentang ayahku apakah ikut organisasi terlarang. Aku minta maaf kepadanya dan aku katakan aku tidak senang membicarakan hal itu yang adalah urusan pribadiku. Sore itu aku diselamatkan atasanku karena kami ada rapat. Aku tinggalkan dia. Aku punya firasat, urusan ini bakal jadi serius. Aku berpikir keras bagaimana cara mencegah orang ini mendiskreditkan aku.’


*****

No comments: