Saturday, December 20, 2008

SANG AMANAH (100)

(100)

23. Musibah Lagi

Musim hujan adalah musim latihan kesabaran dan keimanan. Bagaimana tidak. Di Jakarta, musim hujan identik dengan musim banjir, musim macet lalu lintas, musim munculnya penyakit batuk pilek. Bagi warga yang daerahnya kena banjir musim ini juga berarti musimnya harus pergi mengungsi selama rumah mereka terendam banjir. Bisa mengungsi ke mesjid terdekat yang tidak kena banjir, bisa ke sekolahan, bisa ke kelurahan atau bahkan ke rumah famili. Banjir di Jakarta memang sudah menjadi sebuah fenomena. Sudah menjadi rutinitas.

Namun kehidupan tentu harus tetap dijalankan. Tetap harus pergi ke tempat kerja bagi yang punya pekerjaan. Tetap harus pergi berjualan bagi pedagang. Tetap harus pergi ke sekolah bagi guru-guru dan murid. Kecuali bagi yang sakit. Atau yang sedang cuti.

Darmaji dan Rita, pengantin baru itu mengambil libur seminggu sesudah hari pernikahan mereka. Itu sudah cukup. Mereka tidak berminat untuk pergi berbulan madu seperti yang ditawarkan ayah Rita, pak Ir. Widodo. Mungkin nanti kalau sedang libur sekolah mereka akan pergi liburan kemana saja. Biar saja namanya tidak lagi bulan madu. Biar saja waktunya masih tiga bulanan lagi. Karena saat ini mereka tidak suka berlama-lama meninggalkan kewajiban mereka mengajar.

Hari Kamis pagi tanggal 9 Oktober. Hanya mereka berdua saja tinggal di rumah. Bapak dan ibu Widodo pagi-pagi tadi berangkat ke Bandung, mau menjenguk ibunya pak Widodo yang sakit sekembali dari menghadiri pesta beberapa hari yang lalu di Jakarta. Darmaji sedang asyik membaca koran ditemani istrinya tercinta, sesudah mereka sarapan pagi. Betapa terkejutnya Darmaji membaca berita tentang sebuah kecelakaan bus yang menewaskan lebih 50 orang yang terjadi di Situbondo, Jawa Timur. Semua korban itu adalah murid sebuah SMK di Jogyakarta yang baru saja kembali dari kunjungan wisata ke Bali. Berita yang sangat tragis dan menyedihkan. Korban kecelakaan itu hangus terbakar karena terperangkap di dalam bus yang nahas itu. Tidak satu orangpun yang selamat.

Lama mereka terdiam sesudah membaca berita itu. Kecelakaan itu benar-benar sangat mengenaskan.

‘Ngeri sekali, ya mas. Nggak kebayang deh, kalau hal itu menimpa murid-murid sekolah kita,’ ujar Rita.

‘Ya, benar-benar sebuah kecelakaan tragis. Dengan korban sebanyak itu. 52 orang. Dengan kejadian seperti itu. Mati terpanggang karena terperangkap di dalam bus, tidak bisa keluar. Bagaimana perasaan guru pimpinan rombongan itu? Perasaan kepala sekolahnya? Perasaan orang tua yang anak-anaknya jadi korban. Saya juga ngeri sekali membayangkannya,’ jawab Darmaji.

‘Kalau melihat kecelakaan kayak gitu saya jadi nggak berani deh ikut kunjungan wisata keluar kota yang jauh-jauh kayak ke Jogya, ke Bali begitu. Kebayang kalau hal yang sama terjadi pada rombongan kita. Ih, saya bergidik rasanya,’ Rita menambahkan.

‘Ya nggak bisa gitu juga dong, dik. Itu kan namanya musibah. Kalau yang mau dapat musibah biar sedang berada dimana juga bisa kena. Tapi bahwa sesudah mendengar kejadian seperti itu kita jadi takut, hal itu wajar-wajar saja. Biasanya sesudah beberapa hari kita sudah akan kembali merasa seperti biasa lagi.’

‘Iya juga sih. Tapi emangnya mas masih berani ikut kalau besok-besok SMU 369 melakukan jalan-jalan kayak gitu?’ tanya Rita.

‘Rasanya berani saja. Apa lagi kalau didampingi istri tercinta. Kenapa mesti takut?’ jawab Darmaji bercanda.

‘Kalau istri tercinta nggak berani?’

‘Kalau begitu, saya terpaksa……..,’

‘Terpaksa apa hayo!’

‘Terpaksa tinggal dengan istri tercinta. Mana mungkin istri secantik ini mau ditinggal-tinggal.’

‘He…he…he… rayuan gombal.’

‘Bukan rayuan gombal. Buat apa lagi dirayu-rayu. Orang sudah jelas istri sendiri. Dan memang cantik.’

‘He….he….he…. Mau lagi kopinya mas?’

‘Kok yang ditawarin cuma kopi?’

‘Yang lain nggak usah ditawarin. Kalau mau bisa ambil sendiri.’

‘He…he...he…..’

‘Tapi tadi malam saya mimpi aneh lho mas,’ Rita mengalihkan senda gurau mereka.

‘Mimpi ketemu ular?’

‘Ah, mas ini. Kalau mimpi itu sih sudah lewat. Mau saya ceritain nggak?’

‘Mimpi apa?’

‘Saya mimpi melihat pak Umar jatuh dari Vespanya. Rasanya pagi-pagi begitu, saya buru-buru mau mengajar jam pertama. Saya lihat pak Umar sedang naik Vespa di turunan sesudah gerbang sekolah itu. Tiba-tiba saja dia jatuh. Saya buru-buru mendekatinya. Eh, pak Umarnya tahu-tahu menghilang entah kemana. Saya terbangun. Anehkan mimpinya?’ Rita bercerita.

‘Ya, namanya juga mimpi. Mungkin hanya sekedar mimpi begitu saja. Atau mungkin juga ada sesuatu yang akan terjadi dengan pak Umar. Barangkali saja pak Umar bakalan dapat rejeki nomplok. Siapa tahu?’ ujar Darmaji.

‘Bagaimana hubungannya tuh?’

‘Biasanya, atau seringkali, yang kita lihat di mimpi terjadinya kebalikannya. Kalau kamu lihat pak Umar jatuh dari Vespa, mungkin saja dia akan mendapat rejeki.’

‘Iya, ya mas ya. Tapi kalau soal rejeki nomplok, kayaknya pak Umar itu nggak suka deh. Mas pernah dengar nggak, cerita bahwa dia mau dikasih hadiah mobil sama orang tua Adrianto sebagai tanda terima kasih karena sudah mengobati ibunya. Dan hadiah itu ditolak pak Umar?’ tanya Rita.

‘Ya, saya dengar cerita itu dari pak Hardjono. Pak Hardjono, katanya mendengar langsung dari Adrianto.’

‘Pak Umar itu benar-benar tidak ada tandingannya. Jujur, bersungguh-sungguh, tanpa pamrih, sederhana. Benar-benar jarang orang seperti pak Umar itu,’ ujar Rita.

‘Tapi katanya, memuji-muji laki-laki lain di depan suami nggak baik, lho. Sama juga, memuji-muji wanita lain di depan istri juga nggak baik.. he..he..he..,’

‘Iya sih. Tapi yang kita bicarakan kan keteladanan. Masak suami tersayang cemburu gara-gara itu aja sih?’

‘He..he..he.. Ya bisa aja cemburu. Tapi nggak kok. Yang kamu bilang benar, dik. Pak Umar itu benar-benar seorang yang patut diteladani,’ kata Darmaji sambil membalik-balik koran di hadapannya.

Tiba-tiba mata Darmaji menangkap pengumuman hadiah dari undian sebuah produser film foto berwarna. Tulisannya cukup besar-besar. Tertulis nama pemenang pertama dengan hadiah sebuah mobil BMW. Lalu ada enam orang pemenang kedua dengan hadiah masing-masing sebuah Toyota Kijang. Salah satu dari pemenang hadiah kedua itu tertulis nama Drs. Umar Hamzah MPd. Darmaji tertarik sekali melihat pengumuman itu.

‘Rit, lihat! Apa ini bukan pak Umar kepala sekolah kita yang memenangkan hadiah kedua di iklan ini?’ ujar Darmaji sambil menunjukkan koran itu.

Rita membaca pengumuman itu. Dia lalu memandang wajah suaminya.

‘Mungkin juga, ya mas ya? Atau apa ada lagi pak Umar Hamzah yang lain?’ Rita bertanya seperti kepada dirinya sendiri.

‘Ya nggak tahu juga. Tapi masak sih?’

‘Tapi, coba lihat mas. Wow, benar mas. Lihat di bawah nama ini. Ditulis kepala sekolah SMU Jakarta Timur. Tidak disebut nama SMUnya. Pemenang yang lain ditulis nomor tanda pengenalnya. Tapi yang satu ini hanya ditulis kepala sekolah SMU Jakarta Timur. Rasanya, kalau se Jakarta Timur, mungkin hanya ada satu pak Umar Hamzah yang jadi kepala sekolah. Wah, barangkali ini arti mimpi saya tadi malam mas. Pak Umar dapat hadiah mobil. Masak dia mau menolak lagi?’

‘Bagaimana kalau kita ke sekolah? Kita beritahu pak Umar tentang berita ini?’ tanya Darmaji.

‘Bagus juga, mas. Kita pergi sekarang?’

‘Sudah jam setengah sembilan. Ya kita pergi sekarang.’

‘Tapi….benar nih nggak mau nambah kopinya?’ ujar Rita mesem-mesem.

Darmaji mencubit istrinya itu mesra.

‘Nggak. Pagi ini sudah cukup. Nggak baik terlalu banyak minum kopi. Ntar kalau punya anak, anaknya hitam kayak kopi.’

‘Tahayul. Jangan suka percaya tahayul…he..he..he..’

Dan mereka berangkat ke sekolah. Mau memberitahukan sekalian ingin memastikan kalau yang dimaksud pengumuman di koran itu benar-benar pak Umar, kepala sekolah SMU 369 Jakarta Timur.

Tapi ternyata pak Umar tidak ada di sekolah. Beliau sedang ke rumah sakit Keluarga Sejahtera Jatinegara. Mengurus Gito yang kemarin siang ditabrak angkot di jalan Kali Malang, dekat simpangan menuju ke SMU 369.


*****

No comments: