Saturday, January 12, 2008

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (9)

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (9)

9. BISUL YANG SEMAKIN MERADANG

Keesokan harinya ramai orang membicarakan tentang kebakaran tadi malam. Hampir semua yang melihat tempat kejadian sependapat bahwa yang terjadi bukan ‘kebakaran’ tapi justru pembakaran. Semua setuju mengatakan bahwa bagian dapur rumah Siti Zahara terbakar bukannya secara tidak sengaja tapi disengaja. Artinya ada orang yang membakar. Nah, ini dia masalahnya sekarang. Siapa yang membakar?

Di lepau hal itu dibahas orang. Begitu juga di surau. Begitu juga di kantor kepala jorong. Siapa agaknya yang membakar?

Saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk sembarang menuduh. Salah-salah menuduh bisa balik awah penebangan. Bisa yang menuduh jadi tertuduh. Jadi tidak ada yang berani menuduh. Atau menyelidik-nyelidik. Lebih baik dengarkan saja cerita radio lutut. Siapa tahu nanti terbongkar juga sendirinya.

***

Subuh itu sedikit lebih banyak yang ikut sembahyang di mesjid. Mereka yang ikut berjaga-jaga di pos ronda sesudah memadamkan api, hadir ke mesjid pagi itu. Sesudah sembahyang, Kari Sutan, imam mesjid, mengajak jemaah subuh itu untuk berdoa bersama-sama, meminta perlindungan Allah bagi warga anak nagari beserta harta benda dari segala kezaliman. Dari segala sifat aniaya orang-orang zalim. Sesudah berdoa itu, jamaah masih berunding di mesjid, membicarakan apa langkah yang sebaiknya diambil untuk mengatasi situasi yang semakin tidak mengenakkan.

‘Takutnya, kalau-kalau mesjid inipun sekali waktu jadi sasaran pula,’ Ahmad Sinaro berkomentar.

‘Mungkin saja. Tapi itulah sebabnya saya mengajak engku-engku berdoa bersama. Kepada Allah kita memohon perlindungan. Dari perbuatan orang-orang jahil dan zalim yang memang semakin berani kelihatannya berbuat aniaya,’ jawab Kari Sutan.

‘Jadi bagaimana langkah kita di luar itu sebaiknya Kari?’ tanya Katik Sati.

‘Bagi kita-kita yang dapat giliran ronda, lebih sering datang mengawasi mesjid ini. Tuanku mesjid, Pakih Basa, banyak-banyaklah bangun malam hari berjaga-jaga. Seandainya terjadi yang membahayakan, cepat pukul tabuh. Itu jalan tambahan yang tampak oleh saya. Apalagi yang dapat kita upayakan di luar itu? Dan nanti kita bicarakan pula hal ini dengan engku wali jorong. Tentu nanti inyiak wali nagari akan hadir ke sini. Bisa pula kita bicarakan dengan beliau,’ jawab Kari Sutan pula.


***

Pagi harinya wali nagari datang pula meninjau. Beliaupun menyarankan supaya ronda malam lebih ditingkatkan. Hanya itu usaha yang paling baik bisa dilakukan sementara ini kata nyiak wali.

‘Perkara ronda iyalah nyiak wali. Saya sependapat. Ada suatu pertanyaan sambil berandai-andai. Seandainya tertangkap orang yang berbuat aniaya ini, orang yang tukang bakar ini, bagaimana kita bertindak ?’ tanya Mukhtar guru.

‘Diikat tangannya, kita antarkan ke kantor polisi,’ jawab wali nagari.

‘Kalau dipukuli beramai-ramai bagaimana ?’ tanya yang lain.

‘Sebaiknya jangan. Salah-salah tangan kita, nanti lain lagi urusan yang timbul,’ jawab nyiak wali.

‘Sebab tadi malam di pos ronda, ada yang mengusulkan, kalau dapat ditangkap perusuh ini, kita pukuli ramai-ramai. Bila perlu kita gantung hidup-hidup.’

‘Tidak usahlah menggunakan cara-cara seperti itu. Bertambah masai kusutnya nanti. Kita harus lebih banyak menahan diri.’

‘Tapi.... sampai kapan kita akan menahan diri terus? Orang sudah terang-terangan bersilantas angan kepada kita,’ Mukhtar guru masih penasaran.

‘Kalau saran ambo, seperti itu dululah. Kita tingkatkan kewaspadaan. Mudah-mudahan berhitung pula tukang kacau ini berbuat, kalau kita sudah siap siaga. Hikmah itu saja yang kita ambil. Ketika suasana agak panas, kita tingkatkan kewaspadaan,’ kata nyiak wali nagari mengakhiri diskusi di kantor kepala jorong pagi itu.

***

Sore harinya di lepau simpang masih itu juga bahasan orang. Dan yang memulai cerita adalah Datuk Rajo Bamegomego.

‘Habis kabarnya dapur rumah anak Sutan Marajo dilahap api tidak malam ya?’ Datuak Rajo Bamegomego bertanya lepas saja.

‘Betul, engku. Hampir habis. Rumah dapurpun sudah ikut terbakar sebagian,’ jawab Katik Sati.

‘Untung cepat kepintasan. Kalau tidak, tentu habis dengan telur-telur kepinding,’ tambah engku Datuk.

‘Ya. Untunglah. Ditolong Tuhan Allah, ada anak sekolah yang belajar di rumah guru Tahar, pergi ke jamban tengah malam. Dia yang melihat api mula-mula,’ tambah Katik Sati.

‘Mana yang benar ini? Ditolong Tuhan Allah atau karena dilihat anak kecil itu?’

‘Ya sejalan itu engku. Tuhan Allah yang menggerakkan sehingga anak itu turun ke halaman, lalu melihat api.’

‘Jangan-jangan Tuhan Allah justru yang membakar...he...he..he.’

‘Kalau melihat bukti, ada orang yang membakar,’ tambah Mantari Gobah.

‘Apa buktinya?’ tanya engku Datuk.

‘Paran di atas tungku selamat. Tidak ikut terbakar. Berarti api tidak dari tungku datangnya. Kalau tidak dari tungku dari mana lagi? Tentu dari luar. Kalau dari luar tentu ada orang yang membakar,’ Mantari Gobah menjelaskan.

‘Atau jangan-jangan ada lampu togok tersandung. Kan bisa juga,’ engku Datuk menimpali.

‘Api datang dari sebelah dapur. Maksudnya dapur yang mula-mula terbakar. Buat apa pula lampu togok ada di dapur,’ Mantari Gobah membantah.

‘Iya ya. Atau jangan-jangan api sikulambai. Api jadi-jadian he..he..he..’

‘Itu entahlah engku.’

‘Sebenarnya ada lagi tambahan cerita,’ tambah Khaidir Malin Basa.

‘Cerita apa itu? Cerita kau karang atau cerita sebenarnya?’ tanya engku Datuk.

‘Yang mula-mula melihat api, yang pergi ke jamban di rumah guru Tahar tadi malam itu kemenakan saya si Poan. Dia bercerita dia tidak bisa tidur. Heboh betul salak anjing waktu itu, katanya. Lalu kemudian anjing yang menyalak itu terkengkeng dan sesudah itu suaranya makin menjauh. Tentu anjing itu lari ketakutan agaknya. Tidak lama sesudah itu sunyi. Barulah dia turun ke sumur ditemani kawannya. Waktu itulah dia melihat api,’ Khaidir menjelaskan.

‘Apa maksudnya itu?’ tanya engku Datuk.

‘Pendapat saya, ada orang datang ke pekarangan itu. Dia disalak anjing. Anjing yang menyalak itu mungkin saja dilempar sehingga terkengkeng dan lari ketakutan. Sesudah itulah barangkali orang itu beraksi.’

‘Sumir itu. Tuduhan serupa itu lemah itu,’ kata engku Datuk.

‘Saya bukan menuduh. Saya berteori. Lagi pula siapa yang akan dituduh?’

‘Sejujurnya, kalau pendapat engku Datuk bagaimana terjadinya kebakaran itu kira-kira ?’ tanya Mantari Gobah.

‘Bagaimana pula aku bisa tahu? Aku kan bukan tukang tenung,’ jawabnya.

‘Siapa tahu, ada yang bercerita kepada engku,’ Mantari Gobah menambahkan.

‘Walaupun aku tidak tahu, sejujurnya, tapi aku rasa kebakaran itu merupakan suatu tanda,’ ujar engku Datuk.

Orang-orang yang hadir memandangnya penuh tanda tanya.

‘Tanda apa?’ tanya Mantari Gobah.

‘Tanda roda revolusi sudah mulai bergulir,’ jawabnya.

Datuk Rajo Bamegomego sedikit terbatuk-batuk. Dia kesedakan. Diraihnya gelas kopinya dan diseruputnya kopi yang sudah tinggal seperempat gelas itu. Matanya terlihat sedikit mendelik, lalu melihat berputar. Melihat ke sekeliling lepau. Yang lain diam.

‘Jadi maksud engku....... Revolusi yang membakar rumah itu tadi malam?’ tanya Gobah hati-hati.

‘Mungkin saja. Aku mencoba menyimpulkan demikian dari cerita yang engku-engku sampaikan. Bahwa kelihatannya rumah itu dibakar bukan terbakar. Siapa yang memakar di tengah malam buta begitu?’

‘Bagaimana kira-kira cara roda revolusi membakar rumah? Sebenarnya makhluk seperti apa roda revolusi itu?’ Mantari Gobah jadi lebih berani seperti biasa.

‘Kau memang pandir Gobah. Kalau memang ada yang membakar, tentulah manusia yang membakar. Mana pula mungkin anjing yang terkengkeng seperti disebut Malin Basa itu yang akan membakar. Kalau sekiranya itu memang dibakar, tentu manusia biasa yang membakarnya. Siapa manusia itu? Tentu manusia yang sedang menggulirkan roda revolusi. Roda revolusi yang menghukum orang-orang yang menjadi musuh revolusi. Orang-orang yang berkhianat kepada revolusi. Masakan itu saja tidak terjangkau oleh otakmu,’ Datuk Rajo Bamegomego mulai naik pasang.

‘Oh begitu?! Lebih jelasnya tentu orang PKI yang membakar rumah itu, apa betul begitu?’ tanya Mantari Gobah lebih berani.

‘Aku tidak mengatakan begitu. Tapi juga tidak keberatan dengan teori itu. Mungkin saja yang kau sebutkan itu bisa terjadi,’ jawab Datuk Rajo Bamegomego penuh percaya diri.

‘Mengerikan sekali kalau begitu. Kalau sudah mulai main bakar orang PKI. Alamat akan sansai nagari,’ ujar Mantari Gobah.

‘Sekali lagi aku hanya berandai-andai. Andainya memang orang partai kami yang melakukannya, hal itu adalah sesuatu yang sangat pantas. Memang kadang-kadang hukuman untuk yang melanggar disiplin itu sangat keras. Orang komunis di seluruh dunia ini memang sangat keras dalam berdisiplin, itu tidak perlu ditutup-tutupi. Sangat keras dalam menghukum. Tapi itu untuk kesejahteraan rakyat banyak. Rakyat berderai, rakyat kecil. Mereka-mereka penggerak roda revolusi.’

‘Seandainya yang engku Datuk andaikan benar pula, bahwa yang membakar rumah Siti Zahara tadi malam itu orang PKI, kenapa rumah itu yang dibakar? Katakanlah tuan Syamsuddin Sutan Marajo tidak mau lagi ikut partai, dia dianggap bersalah. Dia perlu dihukum. Tapi kenapa rumah istrinya yang dibakar ? Itukan rumah kaum istrinya? Kalau tidak cepat kepintasan tadi malam paling tidak empat buah rumah orang Simabur terpanggang jadi abu. Apa dosa orang Simabur?’

‘Kalau roda sudah menggelinding, kalau api sudah membakar, dimana pula dia akan tahu batas. Dimana pula dia tahu rumah orang Simabur atau bukan. Memang seperti itulah resikonya. Makanya jangan main-main dengan roda revolusi. Berbuat pelihara tangan, berjalan pelihara kaki, berkata pelihara mulut. Roda itu sangat perkasa. Kan sudah aku katakan, terbujur lalu, terbelintang patah. Tidak ada suatu apa yang akan dapat menghalanginya,’ ucapan dan percaya diri engku Datuk makin mantap saja

‘Ini jelas tidak bisa. Ini mengerikan sekali kalau dibiarkan. Nanti malam bisa merah semua rumah di kampung ini oleh api kalau begini caranya. Untunglah engku wali jorong sudah meminta supaya petugas ronda malam ditingkatkan jumlahnya,’ Mantari Gobah sedikit terbawa emosi.

‘Tidak akan terhalang oleh petugas ronda, Gobah. Tidak akan ada yang sanggup menahan. Kalau ini betul-betul sudah bagian dari gerakan roda revolusi. Hanya, sementara ini kan kita belum tahu secara pasti. Dari tadi aku masih berandai-andai. Jangan pula kau cepat memburansang,’ kata engku Datuk.

‘Harus diupayakan menghalanginya. Untuk kampung kita ini paling tidak. Jauhlah hendaknya siar bakar seperti ini.’

‘Betul. Ditingkatkan kesiagaan. Ketika ronda kita harus lebih banyak berjalan mengelilingi kampung di malam hari. Jangan hanya duduk-duduk di pos ronda saja,’ Katik Sati menambahkan.

‘Sama kita lihatlah bagaimana nanti. Kalau aku berharap mudah-mudahan cepat pecah bisul revolusi ini. Biarlah dia menggelinding, digilasnya semua musuh revolusi, semua antek-antek kolonialis, semua antek-antek kapitalis, semua antek-antek penyebar kebodohan, barulah selesai urusan. Barulah kita hidup dalam ketenteraman sesudah itu. Tidak ada lagi ketakutan.’

‘Entahlah engku Datuk. Kelihatannya memang seperti kata engku Datuk juga. Seperti menahan bisul mau pecah kita rasanya. Aku benar-benar takut, kalau bisul ini benar-benar pecah, berpetai-petai kita semua jadinya. Berhamburan nanah busuknya kemana-mana,’ kata Mantari Gobah.

‘Sebenarnya, kalau dijalankan kincir-kincir agak sedikit, tidak sulit benar ilmunya. Kalau sudah tahu kita bahwa roda akan menggilas, janganlah ditahankan tubuh kita, naiklah meloncat ke atas kereta yang punya roda. Tentu aman jadinya. Tapi kalau berani mengalangkan marih, harus berani pula menerima segala akibatnya. Kan seringkas itu saja kaji.’

‘Meminta kita kepada Tuhan Allah mudah-mudahan terhindar negeri ini dari bencana. Itu saja yang dapat kita lakukan lagi,’ ujar Katik Sati pasrah.

‘Kalau itu aku tidak ikut serta. Selama ini kan tidak berhenti-henti Katik meminta kepada Nya. Tidak henti-henti Katik tunggang tunggik. Namun perang terjadi juga.’

‘Memang disanalah perbedan kita engku Datuk. Saya mohon pamitlah dahulu,’ kata Katik Sati.

Orang-orang di lepau itu berangsur keluar satu persatu.


*****

No comments: