Sunday, October 19, 2008

SANG AMANAH (25)

(25)

6. Jajak Pendapat

Sebelum lonceng masuk dibunyikan ketua OSIS dan sekretarisnya sudah berhasil menghubungi semua ketua kelas untuk hadir rapat nanti pada saat istirahat pertama. Desas desus bahwa akan ada jajak pendapat sebenarnya sudah mulai beredar di kalangan sebagian murid-murid.

Pada waktu jam istirahat pertama, seperti yang dijadwalkan semua ketua-ketua kelas hadir di ruang serba guna. Ketua OSIS memberi tahukan tujuan rapat tersebut;

‘Kemarin berlangsung rapat persiapan acara perpisahan bapak kepsek. Bapak Hardjono sebagai perancang acara menyebutkan bahwa salah satu acaranya berupa acara bebas dengan dangdut dan joged. Acara bebas seperti ini mendapat kritikan dan protes dari salah seorang guru yaitu ibu Sarah, yang menilainya kurang pantas. Sebenarnya beberapa orang guru yang ikut memberikan pendapat cenderung setuju dengan acara tersebut. Tinggal ibu Sarah sendiri yang tetap teguh pada pendiriannya. Kemudian ketua rapat menanyakan pendapat bapak pengganti kepala sekolah. Ternyata dia sependapat dengan ibu Sarah. Namun setelah diskusi berlanjut, beliau ini seperti menemukan suatu jalan untuk mengetahui seberapa besar minat murid-murid dengan acara dangdut dan joged itu. Caranya adalah dengan mengadakan jajak pendapat dikalangan semua murid untuk mengetahui apakah murid-murid menginginkannya atau tidak. Jawaban dari jajak pendapat itu akan kita serahkan segera setelah hasilnya didapat. Oleh karena itu kepada setiap kelas diminta untuk melaksanakannya pada waktu istirahat kedua nanti. Adapun caranya adalah dengan menggoreskan tanda di papan tulis. Papan tulis dibagi dua bagian. Mereka yang setuju menggores di sebelah kanan dan yang tidak setuju menggores di sebelah kiri. Ketua kelas dan wakil ketua mengawasi pemberian suara. Agar pemberian suara tidak dipengaruhi oleh teman, maka semua murid berbaris diluar kelas sebelum memberikan suara dan kembali keluar sesudah selesai. Apakah ada pertanyaan?’

’Yak…ada. Apa hubungannya sih acara ‘dangdut and joged’ dengan pendapat kita-kita?’

‘Hubungannya adalah untuk mengetahui yang getol banget sama acara joged ini guru-guru apa murid-murid? Kalau nanti ternyata sebagian besar murid setuju diadakan acara tersebut maka akan diadakan. Begitu pula sebaliknya. Untuk kamu-kamu ketahui, guru-gurupun akan ikut memberikan suara.’

‘Jadi kalau yang setuju lebih banyak maka acara itu dijalanin? Boleh juga nih ide jajak pendapat kayak gini. Abis ini gue mo usul agar acara ‘duel’ dijajakpendapatkan lagi juga.’

‘Itu entar belakangan. Sekarang yang ini dulu. OK!… masih ada yang kurang jelas nggak nih?’

‘Kenapa mesti repot amat sih Mister Chairman? Mesti masuk kelas satu-satu, nyonteng di papan tulis segala? Kenapa nggak disuruh aja ngacung siapa yang suka terus siapa yang nggak suka, gantian. Tinggal dihitung. Beres kan?’

‘Nggak. Kalau caranya gitu entar nggak serius. Pasti becanda.’

‘Ya belum tentu. Gimana bisa mastiin cara kayak gitu nggak serius?’

‘Ah..yakin dah. Lo tanyain siapa yang setuju dia ngacung, lo tanyain siapa yang nggak setuju dia ngacung lagi. Kan pusing?’

‘Ya itu kan belum dibuktiin.’

‘Gini aja deh. Ini kan sesuatu yang baru. Kita coba dulu aja deh. Kalau ternyata entar emang repot…. emang tidak bisa dipertanggung jawabkan…baru kita cari cara lain.’

‘Ya udah. Coba aja lihat.’

‘Untuk pelaksanaannya masih ada pertanyaan nggak nih?’

Ternyata tidak ada lagi pertanyaan.

‘Kalau nggak, ya udah. Jadi kamu-kamu mengadakannya serentak entar pas istirahat kedua ya? Begitu sudah ada hasilnya ditulis di kertas, ditanda tangani ketua kelas. Hasilnya harus dilihat semua anak-anak biar seru. Biar ‘legitimate’ kata orang politik. Terus diserahin ke gue atau ke Aris. Kita akan kumpulin hasil semua kelas untuk dilaporkan ke ibu ketua panitia, ibu Purwati. OK??!!’

‘Hati-hati aja Mister Chairman. Gue baru ingat nih. Istirahat kedua tuh waktu shalat. Nggak tau kemarin ‘new’ kepsek azan dan rakyat berbondong-bondong pergi shalat? Mister Chairman bisa disangka macem-macem ntar. Nggak takut?’

‘Lha…. ini kan waktunya sebentar. Pas masuk lo-lo umumin aja langsung. Entar pas istirahat kedua baru dilaksanain. Kalau emang ada yang shalat lo-lo tungguin aja bentar!’

‘Kenapa mesti buru-buru sih emang? Kan masih banyak waktu.’

‘Ya biar cepat tuntas. Itu aja. OK yak?’

‘Entar dulu, gue mau nanya nih. Boleh kampanye nggak nih? Misalnya gue setuju diadakan terus gue kampanye ke anak-anak boleh nggak?’

‘Nggak ada aturan yang melarangnya kok. Lagian seberapa hebat sih lo kampanye biar anak-anak mau ngikut kemauan lo?’

‘Jadi pada pokoknya boleh, yak?’

‘Gue bilang sih terserah lo.’

‘Jadi OK nih ya?’

Sesuai instruksi ketua OSIS semua ketua-ketua kelas pun sibuk. Memberikan penjelasan singkat tentang rencana jajak pendapat kepada semua murid di kelasnya masing-masing. Reaksi anak-anak ternyata cukup positif. Mereka umumnya menganggap ini sebagai sebuah permainan. Begitu lonceng istirahat kedua dibunyikan murid-murid keluar dan sebagian besar berkumpul. Seterusnya dipanggil satu-satu oleh ketua kelas untuk memberikan pendapat dengan cara yang sudah ditetapkan. Hasilnya sangat mengejutkan bagi pencinta joged. 78% tidak setuju acara itu diadakan. Di empat belas kelas, yang tidak setuju sangat dominan. Ada tiga kelas, semua kelas tiga IPA, yang dimenangkan pro dangdut. Disatu kelas tiga IPS yang setuju dan yang tidak setuju berjumlah sama.

Hasil ini dilaporkan kepada ibu ketua panitia. Seperti yang mungkin sudah bisa diduga, di kalangan guru-guru mayoritas memilih ‘setuju’. Tentu guru-guru itu akan kecewa dengan hasil yang diperoleh dari suara murid-murid.


*****

Begitu masuk waktu shalat, seperti kemarin, berkumandang azan dari mesjid sekolah. Kali ini Arif yang azan. Pak Umar sudah pula berada di mesjid. Pak Umar yang menyuruh Arif azan. Tapi ternyata murid-murid tidak sebanyak kemarin yang datang untuk shalat. Hal ini agak mengherankan pak Umar maka dia bertanya kepada salah satu anak. Anak itu memberi tahukan bahwa teman-temannya sedang mengikuti ‘referendum’, istilah seperti yang dijelaskan oleh ketua kelasnya. Pak Umar tersenyum mendengar penjelasan itu. Semua karyawan Tata Usaha hadir seperti kemarin. Guru-guru lebih banyak. Mereka shalat berjamaah seperti kemarin.

Sementara itu pak Mursyid semakin tidak senang. Yang melarang azan sebelum ini adalah dia sendiri. Sekarang rasanya wibawanya dibuat jatuh. Dia tidak bisa terima hal ini. Sebentar lagi dia harus menghadap pak Umar untuk protes. Dia yakin bahwa dia benar. Bahwa sekolah ini adalah sekolah umum dan karenanya harus memakai peraturan umum. Azan di sekolah umum adalah tidak umum. Harus dihentikan. Dulu waktu pak Suprapto menegornya dia cukup memberikan alasan seperti itu dan pak Suprapto akhirnya setuju azan di mesjid sekolah dihentikan.

Kentara sekali bahwa pak Mursyid sedang jengkel. Mukanya ditekuk dan matanya memerah. Pak Kus yang menyapanya dengan selamat siang, dijawab pendek dan ketus. Tapi kemudian dia kembali sadar.

‘Saya merasa benar-benar dipermalukan oleh azan itu!’ katanya.

‘Lho, kenapa memangnya pak Mursyid.?’ Pak Kus berlagak tidak tahu.

‘Coba pikir! Ini sekolah umum. Kenapa tiba-tiba mau dirubah menjadi pesantren? Dulu saya larang anak-anak azan karena saya pikir di sekolah ini kita harus menegakkan peraturan yang berlaku umum. Oleh kepala sekolah yang lama sudah disetujui. Sekarang? Tiba-tiba sama calon kepala sekolah itu diadakan lagi. Dimana harga diri saya di depan murid-murid?’

‘Yaa…nggak seserius itulah pak Mursyid. Itukan bukan maksudnya kepsek yang baru itu mau menjatuhkan wibawa pak Mursyid.’

‘Bagaimana nggak. Anak-anak kan bisa mencibir kepada saya sekarang.’

‘Ah saya nggak yakin. Nggak mungkin itu.’

‘Kok pak Kus kayaknya membelain benar sih? Kalau pak Kus barangkali memang tidak keberatan dengan azan itu ya?’

‘Kalau saya sih….. ya jelas enggak keberatan. Apa mengganggunya sih? Siapa yang dirugikan?’

‘Tidak ada yang dirugikan sekarang. Tapi suatu saat ini bisa jadi pemicu kerusuhan. Ini masalah sensitif.’

‘Wah! Masak sih? Logikanya pak Mursyid bagaimana sih?’

‘Begini, pak Kus. Sampeyan sadarkan, bahwa tidak semua murid di sini beragama Islam. Tidak semua guru-guru beragama Islam. Apa kata mereka yang non Islam kalau yang Islam selalu semena-mena? Mereka pasti merasa terpinggirkan. Mereka pasti merasa dirugikan. Suatu saat mereka tidak hanya protes tapi dapat saja membalas dengan hal yang buruk. Apa itu nggak berbahaya?’

‘He..he..he.. Pak Mursyid terlalu membesar-besarkan masalah. Jujur saja. Saya orang Islam meski tidak menjalankan perintah agama ini dengan baik. Tapi saya tidak merasa bahwa melakukan azan, terus shalat, terus puasa itu bisa dianggap semena-mena terhadap orang bukan Islam.’

‘Wah, sampeyan jangan memelintir begitu. Saya tidak mengatakan shalat dan puasa termasuk semena-mena. Saya juga Islam. Saya mungkin juga seperti pak Kus. Tapi dengan setiap kali meneriakkan azan melalui pengeras suara itu, jangankan orang non Islam, saya saja merasa terganggu.’

‘Ya… terganggunya kenapa? Karena bising? Masak suara segitu itu bising?’

‘Jelas bising. Jelas mengganggu. Dan ini sekolah. Ini bukan pesantren.’

‘Lha kan itu azannya di mesjid kok. Mesjid sekolah.’

‘Ya itu dia. Mesjid sekolah. Di tengah-tengah kompleks sekolah. Silahkan saja shalat. Kan nggak mesti pakai azan.’

‘Wah begini aja deh pak Mursyid. Daripada kita yang ramai di sini. Mendingan pak Mursyid protes saja langsung ke pak kep sek yang baru itu.’

No comments: