Sunday, November 16, 2008

SANG AMANAH (62)

(62)


Guru-guru sedang berkumpul di ruang guru pada jam istirahat pertama hari Senin itu. Seperti biasa, suasana kantor guru ini riuh dengan gelak tawa dan canda guru-guru. Ibu Sofni memperlihatkan potongan berita di koran terbitan hari Sabtu tentang terpilihnya SMU 369 yang akan disiapkan untuk menjadi sekolah unggulan. Menurut berita koran itu, hal tersebut merupakan suatu tantangan buat sekolah ini untuk meningkatkan mutu pendidikan dalam menyongsong era globalisasi. Kepala sekolahnya harus menjalani pelatihan khusus untuk merealisasikan rencana itu. Ibu Sofni mungkin terlalu antusias dan bersemangat membahas berita itu.

Kebalikannya, ibu Purwati tidak terlalu suka mendengar cerita seperti itu. Sebenarnya dia justru agak iri melihat keberuntungan pak Umar, kepala sekolah yang baru beberapa minggu menjabat sebagai kepala sekolah, tapi seolah-olah selalu mendapat ‘angin’ untuk memacu prestasi di sekolah ini. Gebrakan-gebrakan pak Umar selama memimpin sekolah ini sebenarnya ada yang kurang berkenan di hati ibu Purwati. Menurut dia, pak Umar itu agak ‘otoriter’, suka memaksakan kehendak. Ibu Purwati orangnya lebih demokratis. Dia tidak suka dengan cara main paksa, main larang. Dia lebih menjunjung tinggi kemerdekaan berpendapat. Tapi ibu Purwati juga menyadari bahwa yang saat ini memegang kendali untuk mengatur sekolah ini adalah pak Umar. Bagaimanapun dia harus bisa menghormati pak Umar sebagai atasan. Dia hanya sangat berharap karirnya bisa berubah. Berharap untuk mendapatkan kesempatan memimpin sebuah SMU, menjadi seorang kepala sekolah. Dan kalau dia jadi kepala sekolah, mungkin dia tidak akan seotoriter pak Umar.

‘Maksudnya apa sih SMU 369 mau disiapkan menjadi sekolah unggulan begitu? Dan kenapa baru sekarang ada gagasan seperti ini muncul dari pihak Dirjen? Apa ini hanya suatu kebetulan saja?’ tanya ibu Lastri.

‘Saya rasa maksudnya adalah bahwa sekolah ini diminta mempersiapkan diri untuk menjadi sekolah yang bermutu. Saya kurang tahu penyebabnya kenapa baru sekarang timbul gagasan itu,’ ibu Sofni coba menjawab.

‘Semua sekolah harusnya punya potensi untuk jadi sekolah yang bermutu. Tapi tanpa digugah, tanpa diprogramkan, kenyataannya banyak sekolah yang hasilnya biasa-biasa saja. Mungkin termasuk SMU 369 selama ini,’ ibu Rita menambahkan.

‘Jangan-jangan ini karena usaha dan ambisi pak kepala sekolah kita yang baru yang ingin membuat prestasi tersendiri,’ komentar ibu Lastri lagi.

‘Saya rasa kalau usaha tidak sportif, atau dengan cara yang tidak baik, tidak mungkin dilaksanakan oleh kepala sekolah yang sekarang ini. Kalau masalah ambisi selama itu dilakukan dengan wajar, saya rasa tidak ada salahnya,’ komentar pak Hardjono.

‘Bagaimana pak Hardjono bisa yakin bahwa pak kepala sekolah yang sekarang tidak menggunakan ‘jalur khusus’ untuk mendapatkan prioritas agar sekolah ini dijadikan contoh? Padahal dia baru beberapa bulan menjabat. Kenapa selama ini tidak ada pemikiran seperti ini dari pihak Dirjen?’ tanya ibu Purwati.

‘Saya tidak tahu kenapa selama ini tidak ada pemikiran ke arah sana dari pihak Dirjen. Saya hanya percaya bahwa pak Umar itu orang yang jujur dan rasanya banyak orang yang mengenalnya seperti itu. Saya yakin dia tidak suka menggunakan cara-cara yang tidak benar untuk melakukan sesuatu bagi dirinya maupun bagi sekolah yang dipimpinnya. Sangat boleh jadi justru kejujuran ini yang dikenal oleh pejabat di Dirjen, yang setiap tahun mendapat laporan tentang prestasi pak Umar. Sehingga mungkin atas dasar itu sekolah yang dipimpinnya dipilih untuk dijadikan contoh,’ jawab pak Hardjono.

‘Bagaimana sih menilai kejujuran seseorang itu?’ tanya ibu Purwati lagi.

‘Yaa, bagaimana ya? Saya kok melihat pak Umar itu jujur dan polos begitu. Sederhana dan tidak neko-neko. Atau mungkin saya terbuai oleh perasaan saya sendiri yang mengaguminya?’ pak Hardjono menjawab ragu-ragu.

‘Apa pak Hardjono punya bukti bahwa dia itu memang orangnya seperti itu?’

‘Ya, nggak juga sih. Saya kan baru mengenalnya sejak dia di sini saja.’

‘Itu artinya simpati berlebihan,’ kata ibu Purwati.

‘Terserah ibu Purwati menilainya. Saya tidak punya maksud apa-apa kok. Dan saya juga tidak punya prasangka aneh-aneh. Itu saja.’

‘Apa pak Hardjono tidak melihat kalau pak Umar itu ambisius? Otoriter? Dan pantang dibantah?’ tanya ibu Purwati lagi.

‘Saya kok nggak melihat sedikitpun hal-hal seperti itu ya? Ambisius bagaimana? Kalau dia berusaha menegakkan peraturan di sekolah ini, saya rasa hal itu justru karena tanggung jawab dia sebagai kepala sekolah yang memang harus dia lakukan. Otoriter? Otoriter bagaimana maksudnya? Apa karena dia melarang guru-guru dan murid-murid merokok? Atau mengingatkan guru-guru agar lebih bertanggung jawab dalam mengajar? Tidak membiarkan murid-murid nyontek? Apa itu yang dianggap otoriter? Lalu tentang pantang dibantah. Saya pernah membantahnya dan dia nggak marah kok. Jadi saya kurang sependapat dengan ibu Purwati dalam hal ini,’ pak Hardjono menjawab panjang lebar.

‘Ya sudahlah! Mungkin pak Hardjono memang pengagum berat pak Umar. Kalau menurut saya sih dia itu orang yang biasa-biasa saja. Cuma lebih beruntung saja sehingga jadi kepala sekolah,’ ibu Purwati masih terlihat kesal.

‘Sebentar dulu bu. Saya kok jadi nggak ngerti kemana arah pembicaraan ini? Sebenarnya ada masalah apa sih?’

‘Nggak ada masalah apa-apa.’

‘Kalau begitu ya sudahlah. Tidak perlu diteruskan.’

Dan kebetulan bel masuk kelas kembali dibunyikan. Dan kebetulan pak Umar muncul di pintu ruangan guru. Sebagian besar guru-guru itu bubar menuju kelas masing-masing. Pak Umar mengingatkan ibu Purwati bahwa dia ingin mendiskusikan sesuatu.

‘Ibu Purwati! Sesudah jam pelajaran nanti ada yang ingin saya diskusikan, sehubungan dengan dipilihnya sekolah kita ini untuk proyek percontohan. Maksud saya sebelum kita mendiskusikannya dengan guru-guru lain dalam rapat, saya ingin melihatnya dulu dengan ibu. Bisakah nanti kita berbincang-bincang sesudah ibu selesai mengajar?’ tanya pak Umar.

‘Baik pak. Saya mengajar sampai jam istirahat kedua nanti. Saya akan menemui bapak sesudah bapak shalat zuhur,’ jawab ibu Purwati.

‘Ya, baiklah kalau begitu.’

Ibu Purwati berdebar-debar. Apakah pak Umar mendengar perdebatannya dengan pak Hardjono sebentar tadi? Apakah pak Umar merasa bahwa dia tidak terlalu menyukai dirinya? Atau memang pak Umar ingin mendiskusikan sesuatu dengannya karena dirinya adalah wakil kepala sekolah? Apakah dia memang iri saja kepada kepala sekolah itu selama ini sehingga selalu berpemikiran negatif tentang pak Umar? Sebenarnya apa yang menyebabkan dia tidak menyukai orang itu? Apa kesalahannya? Apakah benar seperti kata pak Hardjono tadi bahwa sebenarnya bukanlah pak Umar itu ambisius. Bukannya dia otoriter. Bukannya dia tidak mau dibantah. Oh, ya. Baiklah. Nanti, pada waktu berdiskusi dengan pak Umar akan dicobanya membantah kepala sekolah itu. Pingin tahu reaksinya. Tapi tentu tidak bisa asal bantah. Tidak bisa sekedar menunjukkan bahwa dirinya tidak suka dengan pak Umar. Harus elegan. Harus masuk akal. Harus sportif. Ya, betul. Ibu Purwati harus sportif. Tidak terbawa perasaan. Tidak iri dan kekanak-kanakan.

Dan siang itu ibu Purwati bertemu dengan pak Umar. Pak Umar baru saja kembali dari mesjid sekolah. Udara sangat panas siang ini. AC di kantor pak Umar tidak dinyalakan. AC itu memang lebih sering tidak dinyalakan karena pak Umar lebih suka dengan udara tanpa AC. Jendela kaca kantornya dibuka lebar-lebar. Tapi kali ini pak Umar menyalakan AC itu dan menutup jendela kaca. Udara dingin pelan-pelan memasuki ruangan kantor itu.

‘Ibu Purwati sudah mendengar berita tentang terpilihnya sekolah kita untuk percontohan menjadi sekolah unggulan?’ tanya pak Umar mengawali pembicaraan.

‘Saya membacanya di koran pak,’ jawab ibu Purwati pendek.

‘Bagaimana pendapat ibu Purwati?’ tanya pak Umar.

‘Maksud bapak?’ ibu Purwati balik bertanya. Kelihatannya dia tidak tertarik membicarakan hal ini. Pak Umar melihat bahwa bagi ibu Purwati hal ini bukanlah sesuatu yang menggembirakan.

‘Maksud saya tentang persiapan yang harus kita lakukan. Apakah ibu punya usulan atau pendapat untuk persiapan ke arah sana?’ pak Umar melanjutkan pembicaraan dengan hati-hati.

‘Apa ya? Saya kok belum memikirkan apa-apa tentang itu?’

‘Barangkali ada gagasan ibu tentang proyek ini,’ pak Umar jadi agak ragu-ragu.

‘Secara khusus saya tidak punya usul atau pendapat apa-apa pak. Saya rasa dengan apa yang sudah bapak awali, seperti berusaha menertibkan sekolah, mengawasi sistematika belajar/mengajar mungkin bisa dikategorikan sebagai langkah ke arah peningkatan mutu pendidikan di sekolah ini. Dengan peningkatan seperti itu mudah-mudahan sekolah ini tanpa mengikuti program Depdiknas pun bisa meningkat menjadi sekolah unggulan,’ jawab ibu Purwati.

Sepertinya dia juga merasa bahwa pak Umar menangkap rasa tidak tertariknya membicarakan masalah ini.

‘Saya sependapat sekali dengan ibu. Tanpa program Depdiknas itupun saya bercita-cita meningkatkan mutu pendidikan di sekolah ini. Saya yakin, kalau kita bersungguh-sungguh mendidik dan mengajar anak-anak di sini kemampuan murid-murid itu insya Allah masih dapat ditingkatkan, dan mereka akan lebih mudah bersaing untuk memasuki perguruan tinggi. Namun dengan adanya program dari Depdiknas itu saya berharap agar kita, para guru-guru akan lebih bersemangat lagi. Untuk itu saya ingin mendapatkan informasi dari ibu yang sudah lebih dahulu bertugas di sekolah ini, apakah penempatan masing-masing guru seperti sekarang ini sudah tepat. Atau mungkin bisa kita lakukan pergantian tugas. Maksud saya kita lakukan sejenis pertukaran tugas mengajar. Guru-guru yang mengajar di kelas satu mungkin ada yang bisa dipindahkan ke kelas dua dan sebagainya.’

‘Saya tidak tahu persis tentang itu. Tapi pemikiran bapak itu masuk di akal. Barangkali saja setelah bertahun-tahun mengajar matematika untuk kelas satu, seorang guru ingin mengajar di kelas dua atau kelas tiga. Setahu saya di sekolah-sekolah tertentu ada guru yang bertugas seolah-olah menemani murid dari awal sampai akhir. Maksudnya, jika guru A mengajar matematika di kelas satu, dia akan menemani murid tahun itu sampai ke kelas berikutnya, atau artinya sampai murid-murid itu menamatkan pelajaran mereka,’ jawab ibu Purwati.

‘Ya sayapun mengenal sekolah-sekolah yang menerapkan cara seperti itu. Tapi saya tidak tahu sejauh mana keberhasilannya. Tapi ada juga sekolah yang menerapkan kebalikannya. Guru-guru bertanggung jawab untuk pelajaran yang benar-benar dikuasainya untuk seluruh sekolah. Artinya ada guru matematika yang spesialisasinya khusus ‘trigonometri’ ada yang khusus mengajarkan ‘guneometri’ atau analisa aljabar dan sebagainya.’

‘Saya kurang tahu. Mungkin kesulitan yang akan timbul berbeda-beda antara kedua metoda yang kita sebutkan. Seandainya seorang guru harus bertanggung jawab sejak dari kelas satu sampai kelas tiga, kalau kebetulan guru itu guru ‘favorit’ hasilnya mungkin akan optimal. Kebalikannya kalau kebetulan gurunya guru yang kurang disenangi, selalu saja ada guru yang seperti itu, anak-anak akan menderita selama pendidikan SMU mereka. Sedangkan metoda kedua, dengan pembagian tugas secara spesialisasi, kita tidak tahu siapa yang spesialisasinya apa. Artinya harus dibuat angket lagi barangkali.’

‘Kalau memang perlu kita bikin angket, barangkali cara itu harus dicoba.’

‘Tapi maaf pak. Apakah saya boleh bertanya?’ tanya ibu Purwati.

‘Tentu saja. Silahkan!’ jawab pak Umar.

‘Saya agak heran kok tiba-tiba saja sekolah ini dipilih untuk jadi contoh menjadi sekolah unggulan, padahal bapak baru beberapa bulan memimpin sekolah ini. Apakah ini suatu kebetulan saja?’ tanya ibu Purwati.

Pak Umar tidak segera menjawab. Dia memperhatikan ibu Purwati. Mungkin pak Umar tidak mengerti kemana arah pertanyaan ibu Purwati. Apakah ibu guru ini benar-benar tidak suka dengan pilihan Depdiknas itu?

No comments: