Sunday, November 9, 2008

SANG AMANAH (53)

(53)


Sementara itu si mata merah masih kalap memaki-maki Arif sambil tangannya menarik-narik rambut anak yang malang itu. Arif tidak bersuara. Dia hanya berzikir mengingat Allah di dalam hatinya. Si gondrong memberikan saran kepada si mata merah.

‘Mending dicekokin aja bang. Biar kecanduan. Jangan dimatiin,’ usul si gondrong.

‘Sini, kasih gue barangnya. Biar gue sumpalin ke mulutnya,’ perintah si mata merah.

Si gondrong buru-buru mengeluarkan ‘barang’ dari kantong jaketnya. Ada lima amplop putih. Si gondrong menggabungkan isi kelima amplop itu di satu amplop sebelum menyerahkannya ke si mata merah. Tapi sebelum si mata merah menerima ‘barang’ itu, dari arah persimpangan menderu banyak sekali ojek ke arah mereka. Si mata merah cukup ngeri melihat rombongan pengendara ojek yang datang itu. Dia tidak jadi sempat menyumpal mulut Arif dengan isi amplop yang sudah siap di tangannya. Arif dilepaskannya sambil kembali diancamnya.

‘Hari ini lu selamat. Besok gue culik lu pulang dari sekolah. Biar gue mampusin lu sekalian,’ ancamnya sambil tangannya sekali lagi menampar muka Arif dengan sekuat tenaganya.

‘Ayo kita terjang ke sana, ke arah bajingan-bajingan yang datang itu,’ teriak si mata merah.

Ketiga bajingan itu memacu motor mereka. Si mata merah menggenjot motornya hampir menabrak salah satu dari ojek-ojek yang datang itu. Beruntung tukang ojek itu sigap menghindar. Tiba-tiba dari arah depan datang pula mobil patroli polisi tadi. Motor si mata merah hampir saja menabrak mobi patroli itu. Polisi rupanya segera mengenali si mata merah yang memang sudah jadi incaran polisi. Tapi mobilnya menghadap ke arah yang berlawanan. Polisi yang menyetir mobil itu cepat-cepat memundurkan mobilnya dan memutar mobil untuk berusaha mengejar si mata merah. Terjadi kejar-kejaran antara mobil polisi dengan kedua motor yang dikendarai tiga orang preman itu.


*****


Si tukang ojek yang tadi dibentak oleh si mata merah menghampiri Arif dan menanyakan apa yang terjadi. Arif menceritakan secara singkat. Pipinya merah bekas dua kali tamparan bandit bermata merah tadi. Tukang ojek itu kasihan melihat tampang Arif yang merah lebam. Dia menawarkan mengantarkan Arif ke rumahnya. Arif menerima tawaran itu. Sampai di rumahnya, tukang ojek yang baik hati itu ternyata tidak mau dibayar. Arif mengucapkan terima kasih banyak kepadanya. Tukang ojek itu menasihatinya agar berhati-hati terhadap kawanan preman tadi yang memang sudah terkenal sangat sadis dan tukang bikin onar.

Mak kaget melihat muka Arif merah lebam begitu. Mak menanyakan apa yang terjadi. Arif menceritakan pengalamannya bertemu dengan pengedar narkoba tempo hari yang tiba-tiba saja menjambak rambutnya dan memukulinya. Arif menceritakan semua yang baru saja dialaminya.

‘Karena pertolongan Allah saya selamat, mak. Hampir saja saya disumpal orang jahat itu dengan bubuk narkoba. Entah apa yang akan terjadi kalau sampai mereka berhasil melaksanakan niatnya. Untung saya ditolong oleh tukang ojek tadi yang datang beramai-ramai. Benar-benar pertolongan Allah. Allahu Akbar,’ kata Arif lirih.

Mak menyuruh olesi pipi Arif yang merah lebam itu dengan minyak tawon. Arif terlebih dahulu mengerjakan shalat asar. Sesudah shalat baru dia melakukan yang disuruh mak, mengolesi pipinya dengan minyak tawon. Pipinya masih terasa tebal akibat tamparan orang jahat tadi itu.


*****

Pagi ini Arif pergi sekolah seperti biasa. Pipinya yang bekas kena tamparan kemarin sudah lebih baik. Bekas tamparan itu masih terlihat samar-samar. Mak berulang-ulang menasihatinya agar berhati-hati dan segera pulang setelah bubaran sekolah. Arif berjanji akan memperhatikan nasihat mak. Dia berdoa dengan khusyuk sebelum melangkah meninggalkan rumah.

Arif berjalan ke mulut gang seperti biasa. Gang itu ramai pagi-pagi begini. Banyak penghuni di sekitar sana yang akan pergi ke tempat kerja dan anak-anak yang akan ke sekolah. Arif berjalan ke arah jalan raya Kali Malang. Dari sana dia naik angkot ke sekolahnya. Angkot yang arah ke Bekasi yang ditumpangi Arif biasanya sepi penumpangnya. Penumpang biasanya lebih banyak dari arah berlawanan. Arif tetap waspada. Diperhatikannya orang yang berada di pinggir jalan. Dia tidak akan pernah lupa dengan tampang si mata merah maupun si gondrong yang pakai anting itu. Sampai ke ujung jalan menuju SMU 369 tidak terjadi apa-apa. Tidak ada orang yang perlu dicurigai. Arif sampai di sekolah dengan selamat.

Dia berusaha untuk tenang. Tapi tidak mudah. Arif masih dihantui ancaman si mata merah kemarin. Bagaimana kalau dia benar-benar menunggunya siang nanti saat pulang sekolah? Dalam keadaan kalut begini dia berusaha untuk zikir. Dia berusaha tidak berhenti-henti membaca tasbih, tahmid dan takbir. Akibatnya dia kurang konsentrasi mengikuti pelajaran. Beberapa kali dari tadi dia kena tegor oleh guru. Waktu pelajaran ibu Sofni dia kena tegor karena tidak menyimak pelajaran ‘Bahasa dan Kesusasteraan Indonesia’ itu dengan baik. Ibu Sofni memarahinya sampai dua kali. Sampai ibu Sofni menyuruhnya datang ke ruangan guru waktu istirahat nanti. Ibu Sofni akan memberikan hukuman. Biasanya berupa hukuman membuat karangan mengenai ‘kenapa aku melamun’ di ruangan guru selama jam istirahat. Arif tentu saja tidak bisa menolak dikenai ‘tilang’ begitu.

Jam istirahat Arif datang ke ruangan guru. Guru-guru sedang ngerumpi segala macam. Kalau sudah berkumpul begini suara riuhnya ketawa guru-guru itu hampir tidak ada bedanya dengan murid-murid saat ditinggal guru. Pak Hardjono membawa koran ‘Pos Kota’ dan berkomentar tentang berita di koran itu.

‘Wah, ini kejadiannya dekat daerah kita nih,’ kata pak Hardjono sambil membaca judul berita keras-keras, ‘Seorang Gembong Pengedar Narkoba Tewas Di Dor Aparat Di Daerah Pondok Kelapa’.

‘Isi ‘Pos Kota’ umumnya gitu melulu,’ komentar pak Muslih.

‘Coba tolong dibaca beritanya yang jelas pak Djon,’ pinta pak Darmawan.

Pak Hardjono membacanya.

‘Udin Pelor, penjahat kambuhan dan pengedar narkoba yang sudah lama jadi incaran polisi kemarin sore…………(bersambung ke halaman 7). Nih dia nih…berita dihalaman satu secuil sisanya cari dihalaman dalam. Ntar dulu…… Nah! Nih dia, sambungannya…… tewas didor polisi di Jalan Raden Inten, sesudah terjadi kejar-kejaran yang cukup seru. Udin Pelor dengan mengendarai sepeda motor Honda RX lari dari kejaran polisi yang memburu dengan mobil patroli. Pelariannya hampir berhasil kalau tidak keburu datang bantuan petugas polisi berkendaraan sepeda motor dari Unit Sabhara. Menurut saksi mata kejar-kejaran mulai dari Jalan Ketapang saat Udin Pelor hampir menabrakkan motornya kepada seorang pengendara ojek motor. Polisi yang sudah lama mengincarnya memergoki kejadian itu dan berusaha mengejarnya. Kejar-kejaran itu berakhir di Jalan Raden Inten saat polisi terpaksa menembaknya setelah memberi peringatan dengan tembakan ke atas dua kali. Polisi akhirnya mengarahkan tembakan ke badan Udin Pelor dan mengenai dadanya. Pengedar Narkoba yang juga adalah residivis itu mati di tempat. Di dalam kantong jaketnya ditemukan amplop putih berisi serbuk narkoba. Mayatnya dibawa ke RSCM untuk di autopsi,’ pak Hardjono selesai membaca berita itu.

Arif mendengarkannya dengan mulut melongo. Tubuhnya bergetar. Ibu Sofni yang memperhatikannya dari tadi menegor.

‘Arif kamu jangan bingung saja. Sudah kamu tulis ‘kenapa aku melamun’? Apa yang kamu perhatikan?’ tanya ibu Sofni.

“I..i…i… itu…t..ta…tadi…buk,’ Arif tergagap-gagap dan tidak bisa meneruskan kata-katanya.

Ibu Sofni menghampirinya dengan perasaan sangat heran. Ada apa dengan anak ini? Kenapa dia sangat gugup dan tergagap-gagap begini? Guru-guru lainpun ikut terheran-heran. Ibu Sofni memperhatikan bekas tamparan di pipi Arif yang masih terlihat samar-samar. Dia menggoyang-goyangkan bahu Arif.

‘Ada apa dengan kamu? Arif kenapa kamu?’ tanya ibu Sofni sambil menggoyang-goyangkan bahu Arif lebih keras.

Arif masih tidak bisa berbicara. Badannya semakin bergetar keras. Guru-guru lain datang merubung kedekat dia terduduk dengan mata terbelalak. Lonceng masuk berbunyi. Pak Umar kembali dari melakukan pengawasan keliling. Pak Umar ikut kaget melihat keadaan Arif. Reaksi pak Umar lebih cepat dari guru-guru lain. Diambilnya segelas air dan diserahkannya kepada Arif. Dia menerima gelas air itu dan meminumnya. Baru agak tenang nafasnya.

‘Arif, bicaralah! Ada apa dengan kamu?’ ibu Sofni mengulangi permintaannya.

‘Maaf…maaf..buk… Orang…. yang terbunuh itu. Yang …..dibaca…pak Hardjono…itu…. kemarin…. menampar saya….hampir…hampir….memaksa saya…hik..hik…hik…’ Arif tersedu-sedu dan tidak sanggup meneruskan kata-katanya.

Guru-guru semakin kebingungan dan tidak sabaran. Mereka menantikan kata-kata Arif berikutnya penuh harap.

‘Arif! berceritalah pelan-pelan. Baca bismillah!’ perintah pak Umar berwibawa.

Arif menarik nafas dalam-dalam. Mulutnya komat-kamit membaca bismillah. Lalu dua tarikan nafas lagi. Dia berusaha berbicara.

‘Orang….. orang yang….yang terbunuh itu pak…. Kemarin dia memukuli saya. Saya baru kembali dari rumah Gito menjenguk ayahnya yang sedang sakit. Rumah Gito di jalan Ketapang itu. Saya harus berjalan kira-kira dua ratus meter dari rumah Gito menuju ke pangkalan ojek. Kira-kira lima puluh meter dari pangkalan ojek itu, saya dengar suara motor. Saya pikir yang datang itu ojek. Rupanya orang itu…pak…. Rupanya penjahat itu…. dengan temannya dengan dua motor. Orang itu langsung berhenti menghalangi jalan saya…menjambak rambut saya…. dan memukul muka saya… Seorang tukang ojek beneran datang …. dan bertanya… lalu dibentak orang itu….Tukang ojek itu buru-buru pergi… Saya…. saya…..hampir…saya hampir di cekokin dengan narkoba…sudah siap ditangannya…tapi keburu tukang-tukang ojek datang ramai sekali… Lalu menyusul mobil polisi… Orang itu melarikan sepeda motornya…hampir menabrak sebuah ojek… Dia masih…sempat…mengancam mau menculik …saya hari ini… sebelum kabur….. Polisi yang datang dari arah sana…memutar mobil dan mengejar orang itu…. Saya diantarkan tukang ojek itu pulang sesudah itu pak,’ cerita Arif sambil sesenggukan.

‘Kamu kenal dengan orang itu?’ tanya pak Umar.

Arif menceritakan semua kejadian yang terjadi sebelumnya dengan dirinya, dengan Budi dan dengan warga di sekitar tempat tinggalnya beberapa minggu yang lalu. Sekarang giliran guru-guru itu yang pada melongo mendengarkan cerita Arif. Rupanya sudah sedemikian nekadnya para pengedar narkoba itu dalam mencari mangsa. Mereka benar-benar merupakan wabah dalam masyarakat yang perlu di berantas secara tuntas.

Tidak terasa sudah hampir sepuluh menit sejak bel masuk dibunyikan. Sebahagian besar guru-guru itu masih belum beranjak untuk pergi mengajar saking terpukaunya mendengar penuturan Arif. Pak Darmawan masih belum mengerti apa hubungannya cerita Arif tentang kejadian di warungnya beberapa minggu yang lalu dengan yang dialaminya kemarin. Pak Umar yang memahami cerita itu menjelaskan bahwa hubungannya adalah pembalasan si Udin Pelor yang dilampiaskannya kepada Arif yang dianggapnya penyebab tertangkapnya anak buahnya karena warga dekat tempat tinggal Arif mengadu ke polisi. Udin Pelor ini rupanya memang seorang preman penjahat yang berhati bengis dan pendendam.

Guru-guru yang bertugas mengajar akhirnya beranjak ke kelas masing-masing. Beberapa orang guru karena tidak bertugas pada jam itu masih tinggal di ruangan guru. Pak Umar memintakan izin kepada ibu Sarah agar Arif tinggal dulu di ruangan guru karena beliau masih ingin membicarakan hal-hal lain yang berkaitan dengan kejadian kemarin itu. Pak Umar mengkhawatirkan anak buah Udin Pelor akan berusaha membalas dendam kepada Arif atas kematian pemimpin mereka.

Pak Umar akhirnya menawarkan untuk mengantarkan Arif pulang ke rumahnya nanti pulang dari sekolah.

*****

No comments: