Tuesday, October 14, 2008

SANG AMANAH (17)

(17)

Panas matahari Jakarta masih terasa menyengat pada jam empat sore itu. Pak Umar menyusuri Jalan Kali Malang dengan Vespa yang melaju di sela-sela kendaraan roda empat yang sudah mulai macet. Seperti pagi hari di waktu semua orang berangkat ke tempat bertugas masing-masing maka pada sore hari ketika semua orang kembali ke rumah, jalan sepanjang Kali Malang yang dijejali banyak sekali kendaraan ini berubah macet. Yang membuat macet umumnya adalah angkot penuh penumpang, beriring-iring menuju Bekasi, membawa karyawan-karyawan, pegawai-pegawai negeri, mahasiswa-mahasiswa, murid-murid sekolah menuju pulang ke rumah masing-masing. Angkot-angkot itu biasa berhenti seenaknya, mengambil jalan sampai ke bahu jalan seenaknya, kadang-kadang berjajar sampai dua buah di jalan seenaknya. Lampu pengatur lalu lintas tidak ada artinya bagi sopir-sopir angkot. Meskipun lampu hijau, kalau mau berhenti mereka berhenti sesukanya, begitu pula meski lampu merah mereka liwati saja. Kalau sudah begitu seringkali terjadi macet total terutama di persimpangan-persimpangan jalan, hal yang ditunggu-tunggu oleh ‘petugas pengatur jalan’ partikulir yang biasa dipanggil polisi cepek. Mereka dapat mengumpulkan kepingan-kepingan uang seratus rupiah atau cepek dari pengendara-pengendara malang yang sudah dikepung macet. Kalau sudah macet total sepeda motorpun sulit untuk maju, terjebak dalam kesemrawutan luar biasa.

Pak Umar sudah sangat terbiasa dengan suasana di jalan seperti ini. Dia sudah terpaksa, sudah terlatih sabar. Dalam pakaian resmi memakai jaket penahan angin, bertopeng sapu tangan untuk menyaring udara kotor penuh polusi, dan kepala ditutupi dengan helm pak Umar menyesuaikan gerak Vespanya dengan suasana jalan. Bagaimanapun berkendaraan roda dua masih lebih lincah untuk keluar dari kebuntuan macet itu dibandingkan dengan kendaraan roda empat. Setelah meliwati puncak kemacetan di pertigaan dekat Pasar Sumber Arta, pak Umar terbebas dari macet dan melaju pulang ke rumahnya. Beberapa menit kemudian dia sudah sampai di rumah. Rumah yang oleh pak Umar dianggap sebagai ‘surga’nya, mengikuti sabda nabi Muhammad SAW. Rumah dimana kedatangannya ditunggu oleh segenap anggota keluarganya, karena di rumah itu dia adalah pemimpin yang sangat disayangi. Karena dia adalah ‘kawan’ untuk berbagi rasa, bertukar cerita oleh istri dan anak-anaknya. Di sana dia adalah imam sekaligus panutan bagi semua.

Pak Umar mendorong Vespanya ke samping rumah, ketempat Vespa itu biasanya diparkir. Dia ucapkan salam dengan utuh, ‘assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh’ yang dijawab oleh semua secara utuh pula mirip paduan suara. Ibu Fatimah segera datang menyongsong kedatangannya, menyambut tas kerjanya dan mengiringi pak Umar masuk rumah.

*****


Rumah keluarga Umar Bakri dulu dibeli melalui kredit BTN. Cicilan kredit selama enam belas tahun baru saja lunas. Rumah itu sederhana tapi sangat terpelihara dengan baik. Seluruh anggota keluarga bertanggung jawab dan bekerja sama dalam menjadikan rumah itu tempat tinggal yang asri menyejukkan. Tidak ada pembantu rumah tangga disitu tapi semua anggota keluarga saling membantu mengurus rumah. Pak Umar ada kalanya mengepel lantai, atau mencuci, atau menyeterika atau bahkan memasak. Yang terakhir ini diawali dari ‘kesukaan’ dan beralih menjadi ‘keahlian’. Pak Umar ahli memasak dan itu diakui istri dan anak-anaknya. Melakukan semua pekerjaan remeh temeh itu dilakukan pak Umar bersungguh-sungguh, dengan maksud untuk memberi contoh dalam arti sangat luas terutama kepada anak-anaknya. Tidak ada diskriminasi dalam pembagian tugas. Tidak ada hak istimewa pada siapapun. Dan semua itu dia awali dari dirinya sendiri.

Pak Umar adalah seorang pendidik sejati. Dia sangat menghargai kedisiplinan. Begitu pula istrinya ibu Fatimah yang dulu juga pernah jadi guru. Pasangan ini selalu saling isi dalam mengurus pendidikan anak-anak di rumah. Keduanya sama-sama taat dalam agama, sama-sama suka mempelajari agama dan saling mengingatkan dalam beramal. Anak-anak mereka diajar dan dididik untuk berdisiplin. Hidup ini adalah sebuah keteraturan, kata pak Umar. Oleh karena itu kita wajib menjaga keteraturan itu. Ada peraturan yang dibuat manusia dan ada peraturan yang ditentukan oleh Yang Maha Pencipta. Peraturan itu dibuat untuk kemashlahatan bersama dan oleh karenanya harus dijaga bersama pula. Tidak ada peraturan di rumah itu yang ditegakkan dengan paksaan tapi dengan terlebih dahulu memberi pengertian dan contoh nyata. Waktu pak Umar dan istrinya menyuruh anak-anak mereka membersihkan kamar masing-masing kedua orang tua itu sudah terlebih dahulu memberi contoh. Waktu orang tuanya menyuruh anak-anak shalat ke mesjid, mereka telah terlebih dahulu melakukan. Mereka mempunyai sebuah televisi berukuran 20 inci untuk ditonton keluarga. Pesawat televisi itu dihidupkan menurut jadwal, antara jam setengah lima sampai setengah enam sore dan antara jam delapan malam sampai jam sembilan malam, itupun kalau ada yang menarik untuk ditonton. Tidak semua tayangan boleh ditonton. Dan anak-anak menerima peraturan itu bahkan semenjak mereka masih kecil. Tayangan yang tidak boleh ditonton berarti tidak boleh dilihat oleh semua. Anak-anak mereka diberitahu sampai mengerti kenapa film-film tertentu tidak boleh atau tidak pantas ditonton.

Pak Umar sangat disegani di lingkungan tempat dia tinggal karena selalu menjadi contoh kepada para tetangga. Dia senang menolong siapa saja tapi tidak suka banyak omong yang tidak perlu. Dia ikut bergotong royong pada saat masyarakat kompleks itu bergotong royong. Dia imam shalat di mesjid kompleks dan aktif sebagai pengurus mesjid. Kalau sedang tidak mengajar dan sedang berada di rumah maka shalatnya selalu di mesjid itu.

*****

Keluarga itu berkumpul di meja makan, minum teh dan makan pisang goreng panas yang baru saja diangkat ibu dari penggorengan. Inilah waktu kebersamaan yang sangat disukai semua anggota keluarga untuk saling bercerita atau bertanya tentang yang dialami hari itu. Amir, alhamdulillah sudah baik. Pulang dari rumah sakit tadi pagi dia disuruh ibu tidur. Sebelumnya ibu membuatkannya segelas susu. Sekarang dia sudah tidak merasa pusing lagi meskipun masih agak pucat.

Ayah bercerita panjang tentang pengalamannya hari itu. Semua mendengarkan dengan penuh perhatian. Kadang-kadang Amir dan Fauziah bertanya hal-hal yang sulit mereka mengerti. Seperti tentang anak-anak yang tega berbuat jahil terhadap orang yang tidak bersalah dan tidak mereka kenal.


*****

4. Hari-hari perubahan

Anto bangun tepat pada waktu azan subuh pagi ini. Seperti mimpi rasanya. Seperti baru sekali ini dia mendengar azan di waktu subuh dari mesjid yang hanya beberapa langkah dari rumahnya. Mesjid tempat dia dan papi menemani pak Umar dan pak Suprapto salat asar kemarin. Anto bangkit dari tempat tidur langsung ke kamar mandi, mengambil air sembahyang. Lalu shalat subuh sendirian. Dan berdoa. Doanya panjang sekali. Semua untuk mami, agar mami sembuh dari penyakitnya. Setelah itu Anto masih duduk merenung di sajadah. Di tikar sembahyang. Semua kejadian hari kemarin seperti di ’rewind’ kembali. Kemarin itu betul-betul hari yang sangat istimewa. Hari yang dimulai dengan kebandelan dan berakhir dengan keindahan. Yang paling indah adalah kembalinya papi ke rumah. Dan papi berbaikan dengan mami. Dan mami yang sangat bahagia, terlihat dari muka mami memerah kembali. Dan harapan mami untuk sembuh. Dan pak Umar yang menceritakan cara pengobatan terapi jus. Dan daun serta umbi…oh ya… daun apa namanya dia sebut kemarin? Yang tumbuh di kebun mini sekolah? Anto akan mengambil tumbuhan itu pagi ini. Karena tadi malam mami beberapa kali mengingatkan. Mami yakin betul, percaya betul dengan apa yang diceritakan pak Umar kemarin.

Dan tadi malam. Waktu dia bercerita tentang apa yang terjadi sesungguhnya kepada papi dan mami. Peristiwa yang akhirnya membawa pak Umar datang berkunjung ke rumah untuk menengok mami sore kemarin. Papi tidak marah. Mami juga tidak. Kenapa mesti marah? Malahan dengan kebandelannya kemarin seolah-olah ada hikmahnya. Kebandelan itu telah jadi penyebab perkenalan papi dan mami dengan pak calon pengganti kepala sekolah. Dan semua terkesan kepada penampilan bersahaja pak calon pengganti kepala sekolah itu. Orang yang baru saja mereka kenal tapi sangat baik. Baru sekali ini ada guru datang menengok mami sakit.

Anto tidak lama-lama merenung. Dia lalu bersiap-siap untuk pergi sekolah. Mandi dan berganti pakaian dan turun ke bawah. Dia ingin melihat mami. Pintu kamar mami masih tertutup. Anto mengetuknya pelan-pelan dan memanggil mami. Terdengar suara mami menyuruh masuk. Anto membuka pintu dan masuk. Dilihatnya papi sedang duduk di tikar sembahyang. Ternyata papi juga shalat. Papi sedang berdoa, mengangkat tangannya. Anto menghampiri mami yang tersenyum kepada Anto dan bertanya;

‘Anto sudah sembahyang?’

Anto mengangguk. Belum pernah ada pertanyaan seperti ini sebelumnya.

‘Anto berdoa untuk mami?’

Anto mengangguk lagi.

‘Jangan lupa meminta daun dan umbi itu nanti di sekolah!’ kata mami.

Anto mengangguk lagi.

‘Kenapa sih kamu ini? Cuman mengangguk-angguk melulu, kok nggak ngomong?’

Anto menunjuk ke arah papi. Maksudnya papi sedang berdoa dan dia tidak ingin mengganggu konsentrasi papi berdoa itu. Anto mencium mami dan mami tersenyum. Muka mami memang lebih merah sedikit dari kemarin-kemarin. Ah, mungkin perasaannya saja.

Akhirnya papi selesai berdoa. Panjang sekali doa papi. Mungkin sama panjang dengan doa Anto tadi. Atau mungkin lebih panjang lagi.

‘Sudah rapi kamu pagi-pagi sekali. Jam berapa berangkat ke sekolah, To?’ tanya papi.

‘Ya entar-entar pi.. Anto belum sarapan. Dan lagian juga masih gelap di luar.’

‘Tumben kamu bangunnya cepat… Tadi Anto shalat?’

‘Iya..pi. Anto terbangun pas lagi azan. Anto sudah shalat dan berdoa untuk mami. Papi juga berdoa untuk mami?’

‘Iya To. Papi minta ampun sama Tuhan. Papi banyak berdosa selama ini. Papi tidak shalat selama ini. Tentu saja papi berdoa untuk mami. Untuk kita semua.’

Mami terisak. Anto kaget melihat mami menangis.

‘Mami kenapa mi?’

‘Nggak. Mami nggak kenapa-kenapa kok?’

‘Kenapa mami nangis?’

‘Mami senang sekali. Mami ingin juga shalat. Mami ingin juga berdoa sesudah shalat. Memohon kepada Tuhan. Tapi mami tidak bisa.’

‘Biar mami sehat dulu, mi. Biar mami sembuh dulu.’

‘Ya.. kita doakan semoga mami berangsur sembuh. Biar bisa bangun dan ke kamar mandi mengambil air wudhu. Biar mami bisa shalat,’ papi menambahkan.

‘Iya.. mi. Mami sabar aja ya.. mi?!’

1 comment:

agoest said...

artikel yang amat cantik..smoga amanahnya selalu bermanfaat,salam