Monday, January 18, 2010

DERAI-DERAI CINTA (47)

47. OBROLAN LANJUTAN

Nenek kembali tidur pulas. Bahkan kali ini sedikit mendengkur. Imran meluruskan posisi ujung slang oksigen di hidung nenek. Lala mengamati botol infus nenek. Obat infus itu sudah hampir habis. Lala keluar memberi tahu suster jaga. Suster jaga segera datang dan mengganti botol infus itu dengan yang baru.

‘Beliau tidak bangun-bangun?’ tanya suster.

‘Barusan bangun dan minta minum. Setelah itu tertidur lagi,’ jawab Lala.

‘Biar beliau beristirahat….,’ kata suster itu pula sebelum keluar dari ruangan itu.

Imran kembali membalik-balik koran. Sementara Lala memijit-mijit tangan nenek.

‘Terputus cerita kita tadi, bang,’ Lala memulai obrolan lagi.

‘Ya…. Apa tadi cerita kita?’ tanya Imran sambil meletakkan koran kembali.

‘Tadi Lala menanyakan apa ya……? Apa bang Syahrul itu cerewet?’

‘Oh ya itu tadi…… Setahu abang sih, tidak. Tapi entah pulalah. Kalau dengan abang apa pula yang akan dicerewetkannya? Kita selalu saling bekerja sama.’

‘Kan bisa saja ketahuan, bang. Apa dia suka mengomel…. Atau ngedumel….. Atau berkeluh kesah…’

‘Semua itu tidak. Kami tidak ada yang suka mengomel. Tidak juga berkeluh kesah.’

‘Kayaknya watak abang agak mirip dengan dia, ya?’

‘Mungkin banyak kesamaan. Tapi jelas ada juga bedanya. Syahrul lebih humoris. Dia lebih sering bergurau.’

‘Apakah dia perhitungan dalam hal uang? Maksudnya apakah dia pelit?’

‘Kalau pelit sih jelas tidak……. Tapi kalau perhitungan barangkali iya. Soalnya kiriman uang dari kampung kan terbatas.’

‘Bagaimana cara pengaturan keuangan abang berdua?’

‘Untuk biaya makan sehari-hari kami sudah tahu perkiraannya dari pengalaman bulan sebelumnya. Uang keperluan itu langsung kami sisihkan. Lalu uang langganan PLN. Tidak besar, karena kami sangat sedikit menggunakan listrik. Kalau kontrak rumah kami bayar pertahun. Semua biaya itu kami pikul berdua sama banyak. Syahrul membuat laporan keuangan ke orang tuanya tiap bulan. Dan dia dapat kiriman sebanyak yang dibutuhkan itu. Orang tuanya melebihkanlah sedikit. Sekali-sekali ada juga kami pergi menonton bioskop. Atau makan di luar. Kalau ada keperluan untuk biaya kuliah dimintanya lagi secara terpisah. Yang abang tahu, setiap pengeluaran apapun Syahrul selalu mencatatnya. Dia sangat teliti tentang itu.’

‘Oo… begitu, ya.’

‘Sekarang giliran abang bertanya. Kenapa Lala menanyakan semua itu?’

‘Kenapa, ya?’

Lala tersenyum. Imran bertanya-tanya dalam hati. Apa Syahrul melamar Lala?

‘Apa karena…..? Sekarang Lala ….. akrab dengan Syahrul?’

‘Begini, bang. Bermula dari urusan papa dengan bang Syahrul. Papa bertemu dengannya di kampus. Papa masih ingat, kalau bang Syahrul itu teman serumah abang dulu. Waktu itu bang Syahrul baru pulang dari Australia. Setelah mengetahui bahwa bang Syahrul itu mendalami bidang apa gitu…. Lala nggak ingat istilahnya, pokoknya urusan mesin-mesin begitu. Papa tertarik karena papa pernah berkeinginan membuat mesin pintal yang spsesifikasinya sesuai dengan keahlian bang Syahrul itu. Papa mengundang bang Syahrul untuk ngobrol-ngobrol di rumah. Ada dua tiga kali dia diundang papa berdiskusi. Begitu awalnya. Di rumah dia dijamu biasa-biasa saja. Diajak makan. Di meja makan obrolan berkembang kemana-mana. Sampai deh ke urusan jodoh. Maksudnya, mama pernah bertanya, tanpa tendensi apa-apa, apakah bang Syahrul sudah berkeluarga. Dia bilang, jawabannya mirip seperti jawaban abang, bahwa jodohnya belum ketemu. Habis itu dia pernah datang lagi ke rumah. Bukan ngobrol dengan papa, tapi malahan ngobrol sama Lala. Papa dan mama, sepertinya membiarkan. Tidak pernah ada komentar. Setelah itu dia datang lagi dan datang lagi. Setiap kali dia datang Lala melayaninya ngobrol baik-baik. Sampai suatu hari, persis seminggu yang lalu dia menanyakan apakah Lala sudah terpikir untuk berumah tangga. Lala kaget. Maksudnya apa? Lalu Lala bertanya polos. Kenapa menanyakan itu? Dia lebih berani. Dia tanya, bagaimana kalau dia melamar Lala. Lala benar-benar kaget. Nggak nyangka. Lala bilang…., Lala berusaha setenang mungkin sebelum menjawab, biar Lala pikir-pikir dulu. Nah, waktu itu Lala ingat abang. Lala ingin minta pendapat abang. Begitu ceritanya…’

Imran terkesima mendengar cerita Lala yang sangat rinci itu.

‘Bagaimana pendapat abang?’ tanya Lala lagi ketika dilihatnya Imran masih terdiam.

‘Mmmmh… Pertama sekali, abang sangat setuju. Syahrul itu sangat cocok dengan Lala.’

‘Benar bang……? Menurut abang begitu?’

‘Benar….. Walaupun ada sebuah tanda tanya…. Tapi ah……, sebenarnya sebuah tanda tanya yang tidak perlu…..’

‘Tanda tanya apa, bang?’

‘Tanda tanya…… Baik….. Baik juga Lala ketahui, dulu abang pernah mendengar dari orang bahwa Syahrul menyukai Ratih… Lala ingat Ratih tetangga kami dulu?’

‘Ya…. Lala mengenal Ratih. Lala nggak tahu jika pernah ada hubungan antara bang Syahrul dengannya. Tapi yang Lala tahu, Ratih akan menikah hari Jumat ini dan pestanya hari Minggu. Abang nggak diundang?’

‘Ooo….. Lala diundang?’

‘Yuni yang diundang. Yuni dapat undangan melalui saudaranya….. Irma.’

‘Ooo begitu…. Nggak, abang nggak diundang. Sudah lama sekali kami tidak bertemu. Tentu Ratih tidak tahu alamat abang. Dimana pestanya?’

‘Di Bandung. Kenapa…..? Abang mau datang?’

‘Lha…... , ya ndaklah…. Abang kan ndak diundang.’

‘Kalau abang datang, Lala rasa dia nggak akan marah. Gimana? Abang mau datang?’

‘Ndak….. Apa Syahrul diundang?’

‘Lala nggak tahu. Nggak pernah nanya.’

‘Iyalah…… Kembali ke cerita tentang Syahrul…. Kalau Lala menanyakan pendapat abang, jawabannya abang sangat setuju. Pilihan Lala itu insya Allah nggak keliru.’

‘Begitu ya, bang?’

‘Ya, begitu…. Ngomong-ngomong kapan mau dijawab? Oh, ya abang lupa. Bagaimana pendapat mak dang dan mak tuo?’

‘Papa dan mama belum Lala kasih tahu tentang pertanyaan dahsyat itu. Tapi dari roman-romannya beliau akan setuju. Lala lihat, mama sangat terpikat dengan bang Syahrul itu.’

‘Kok belum dikasih tahu?’

‘Kan Lala belum selesai mikir mau menjawab apa. Kalau sekarang dikasih tahu, terus beliau-beliau itu nanya bagaimana pendapat Lala, dan jawabannya belum tahu, kan nggak lucu.’

‘Benar…. Terus…..? Sampai kapan mau mikir?’

‘Lala tanya sekali lagi……, abang setuju ya?’

‘He..he..he.. Abang sudah bilang. Abang setuju sekali.’

‘Kalau gitu……. ‘

Imran tersenyum melihat tingkah Lala. Terlihat sebintik kesumringahan di wajah itu. Lala sangat bahagia sepertinya.

‘Kalau begitu…..? Bagaimana?’ desak Imran.

‘He..he..he… Kalau begitu…. Akan Lala jawab…’

‘Abang ucapkan selamat. Tidak…. Abang doakan semoga segala sesuatunya berjalan lancar dan selamat.’

Lala tersipu.

‘Nah, sekarang bagaimana dengan abang sendiri?’ tanya Lala pula.

‘Abang sedang menunggu.’

‘Menunggu siapa?’

‘Menunggu jodoh abang…he..he..he..’

‘Sudah ada?’

‘Belum…. Tapi masih ditunggu.’

‘Ah, abang ini. Masih begitu-begitu terus. Siapa yang ditunggu?’

‘Abang sudah meminta dengan intensif kepada Allah. Sedang dan terus meminta. Ya Allah, datangkanlah jodoh hamba, seorang yang baik menurut Engkau. Yang akan menjadikan hamba dan dia mendapat keridhaan dari Engkau…. Dan seterusnya. Tapi sementara ini belum ditampakkan Allah. Jadi abang tetap menunggu. Menunggu dengan sabar. Dan dengan keyakinan bahwa Allah akan menjawabnya.’

Lala melongo mendengar jawaban Imran. Lama keduanya terdiam.

‘Abang punya bayangan….. siapa kira-kira yang akan jadi jodoh abang?’

‘Tidak…… Belum…’

‘Lalu bagaimana kira-kira dia akan abang dapatkan?’

‘Itu urusan Allah.’

‘Tanpa usaha apa-apa? Tanpa ikhtiar dari abang sendiri? Bagaimana mungkin itu bang?’

‘Kedengarannya mungkin berlebih-lebihan. Tapi benar-benar seperti itu. Abang percaya seperti itu saja. Entah dengan cara apa dia akan datang nanti. ….’

‘Agak susah bagi Lala membayangkannya…’

‘Harusnya tidak susah-susah amat. Abang mengenal juga banyak kawan-kawan wanita. Mungkin suatu saat nanti, dengan izin Allah, tergerak saja hati abang kepada salah seorang dari mereka. Tapi sementara ini hal itu belum datang. Belum ada getaran apa-apa di hati abang.’

‘Bagaimana kalau nanti abang menginginkan seseorang, tapi orang tersebut tidak mau….. Bisa saja kan terjadi yang seperti itu?’

‘Ya ndak jadilah dengan dia…. Kalau terjadi yang seperti itu, kan namanya abang bertepuk sebelah tangan. Kan tidak mungkin…..’

‘Bang….. Pernah nggak bang……., abang menilai seseorang….. yang dalam hati abang merasa cukup ideal untuk jadi jodoh, meskipun abang tidak atau belum mau menyatakan perasaan itu kepadanya?’

‘He…he..he….’

‘Kenapa abang tertawa?’

‘Mmmhh…… Sejujurnya……., pernah..’

‘Pernah?’

‘Ya…pernah.’

‘Kenapa nggak didekati wanita itu sekarang?’

‘Mhhhhhh……’

Lala memperhatikan wajah Imran hati-hati. Tidak sabar dia ingin mendengar siapa wanita yang dimaksud Imran.

‘Kenapa bang…….? Siapa wanita itu? Kenapa nggak abang dekati dia?’

‘Nggak mungkin…..,’ jawab Imran, sedikit mendesah.

‘Siapa?’ tanya Lala semakin tidak sabar.

‘Ratih,’ jawab Imran setengah berbisik.

*****

No comments: