Friday, December 28, 2007

TAKLIM BUYA ABIDIN (3)

TAKLIM BUYA ABIDIN (3)

OBROLAN AGAMA DI LEPAU RENDAH

Pagi ini suasana Lepau Rendah agak berbeda dari biasanya. Baru mulai ramai sesudah selesai shalat subuh di mesjid. Mak Marah, Malin Ameh, Sutan Mantari, Malin Deman dan Mangkuto Labiah datang berbarengan. Di dalam lepau sudah ada Bagindo Baro yang sedang berbincang-bincang dengan Sati Bandaro pemilik lepau. Ketika kelima orang itu masuk, Bagindo Baro menyambut mereka dengan pertanyaan.

‘Darimana ini datang berombongan pagi-pagi begini? Dari melayat ? Ada warga yang meninggal ?’ tanyanya.

‘Bukan. Kami dari shalat. Dari mesjid,’ jawab Malin Ameh.

Ondeh mandeh...... Sudah salah sangka aku kiranya. Rupanya para ustad ini baru kembali dari mesjid. Oi Sati! Bergegaslah. Cepat buatkan kopi untuk ustad-ustad kita ini. Ck..ck..ck... Bukan main. Benar-benar banyak kemajuan orang kampung kita ini sejak diceramahi Buya Abidin rupanya. Wahai ustad, naiklah ke mimbar, dekat podium ini. Berilah kami sedikit ceramah. Kuliah subuhlah untuk kami,’ Bagindo Baro mencerocos dengan cemoohan yang asli.

‘Kok terlihat aneh benar oleh Bagindo kami datang dari shalat ?’ tanya Sutan Mantari tersenyum.

‘Bukannya aku memandang aneh. Kenapa pula mesti aneh. Bukankah itu berarti kemajuan? Sesudah kaji didengar tentu diamalkan. Bukankah begitu Marah?’

‘Betul,’ jawab mak Marah pendek.

‘Jadi main domino tentu tidak boleh lagi kita sekarang? Bukankah itu dosa ?’

‘Masak subuh buta begini mau main domino. Becanda Bagindo,’ jawab Sutan Mantari.

‘Bukan. Maksudku, nanti sorepun. Tentu tidak ada lagi kawan berdomino. Kamu sendiri bagaimana Deman? Kamu juga tidak mau lagi main domino? Huh, betul-betul hebat pengaruh pengajian si Abidin. Jadi orang beriman semua penduduk negeri ini,’ Bagindo Baro terus menyerocos.

‘Harusnya kita bersyukur kalau semua masyarakat kampung ini benar-benar sudah beriman. Hei, Sati. Mana kopi untukku? Kok, lama amat?’ Mak Marah mengalihkan pembicaraan.

‘Benar, Sati. Buruan! Cepatlah buatkan kopi untuk ustad ini! Biar dapat pahala. Sambil menunggu kopi datang Marah, cobalah jelaskan apa saja isi pengajian inyiak Abidin itu. Siapa tahu, nanti aku juga ingin menjadi orang yang beriman. Mau pula aku ikut menghampir ke mesjid seperti para buya ini. Bukankah begitu Sati ? he..he..he..,’ ujar Bagindo Baro masih dalam cemooh yang kental.

‘Kaji inyiak Abidin itu sebenarnya tidak ada yang sulit. Bagiku yang menggetarkan hatiku benar adalah uraian tentang hidup yang hanya sementara, dan nanti akan berhenti ketika datang kematian. Umurku sudah lima puluh tahun, rasanya sudah lebih dari separo jalan yang aku lalui. Entah nanti, entah besok tentulah aku akan mati. Hal ini cukup menjadikan aku takut. Takut dengan perkara yang harus kuhadapi sesudah mati.’

‘Iya...iya....Benar itu. Oleh karenanya jadi rajin kita shalat. Mudah-mudahan sedang shalat itu nanti kita mati. Begitu rupanya, Marah?’

‘Bukan pula aku berkeinginan mati sedang mengerjakan shalat. Aku tidak tahu entah dengan cara apa aku akan mati. Harapanku, mudah-mudahan aku mati dalam keadaan beriman yang sesungguhnya.’

‘Iya..iya... Benar sekali. Hidup berakal, mati beriman. Begitu bukan? Iya..iya...’

‘Bagindo Baro! Hentikanlah mencemooh. Capek pula orang mendengar cemooh berkepanjangan begitu. Cobalah dengar kaji mak Marah ini baik-baik,’ Sati Bandaro pemilik lepau menimpali. Entah bersungguh-sungguh, entah cemooh pula.

‘Cobalah teruskan Marah!’ pinta Bagindo Baro.

‘Bagindo tidak yakin dengan kedatangan kematian itu. Begitu agaknya, bukan?’

‘Yakin. Kenapa tidak? Setiap saat kita melihat orang mati. Satu per satu orang yang kita kenal sudah pada mati. Kenapa aku mesti tidak yakin? Aku pasti yakin.’

‘Lalu, bahwa ketika sesudah mati, mayat kita dimasukkan ke dalam kubur, lalu akan datang malaikat menanyai kita? Adakah Bagindo yakin yang demikian?’

‘Wah! Kalau yang itu entahlah. Belum ada orang kembali dari kematian. Belum ada yang bercerita tentang itu. Tapi taruhlah hal itu benar. Lalu bagaimana ?’

‘Bagaimana ? Kalau malaikat itu bertanya, apa yang akan Bagindo jawab ?’

‘Entahlah. Tapi begini saja. Kalau kita tahu jawabannya, kita jawab. Kalau kita tidak tahu, katakan tidak tahu. Kita katakan baik-baik. ‘Maaf, engku malaikat, tidak jelas bagi hamba yang engku tanyakan.’ Jawab saja serupa itu.’

Orang selepau tertawa mendengar ocehan Bagindo Baro.

‘Baiklah. Sesudah itu nanti di hari kiamat semua kita akan dikeluarkan dari kubur masing-masing. Semua berkumpul di Padang Mahsyar nama tempatnya. Apakah Bagindo percaya tentang hal ini?’ lanjut mak Marah.

‘Itupun entahlah. Namun, katakan pulalah betul. Betapa akan ramainya umat disitu pada masa itu. Sebab semua orang yang sudah mati akan berkumpul di Padang Mahsyar itu. Disana nanti akan aku cari Marah. Kemana Marah pergi aku ikuti. Masuk Marah ke dalam surga aku akan ikut berebut masuk. Tapi kalau ke neraka tentu aku tidak mau ikut,’ jawab Bagindo Baro.

‘Disana itu nanti, menurut cerita inyiak Abidin, kata al Quran, semua kita akan ditanyai di pengadilan Allah. Segala-galanya akan ditanya. Apa saja yang kita kerjakan selama kita hidup akan diminta pertanggungjawabannya. Dihitung pahala dan dosa. Setiap amal baik akan diberikan pahalanya. Setiap amal yang buruk akan diberi hukuman atas dosanya. Lalu, jika timbangan pahala lebih berat, orang itu akan dimasukkan ke dalam surga. Sebaliknya, jika timbangan dosanya yang lebih berat maka dia akan dimasukkan ke dalam neraka. Disana itu tidak ada tolong menolong di antara sesama umat. Jangankan untuk mengikuti aku, mengikuti orang tua Gindopun, Gindo tidak akan bisa. Sebab setiap diri akan sibuk dengan masalah dan urusannya masing-masing. Menjawab tanya kepada diri masing-masing. Obrolan kita di lepau pagi inipun nanti akan ditanya Allah. Apa saja yang kita perbincangkan sekarang sedang dicatat oleh malaikat. Semua perbuatan kita akan dicatatnya, tidak ada satupun yang luput. Lengkap catatan dengan waktunya, kata-kata yang kita keluarkan, pekerjaan yang kita lakukan.’

‘Betapa akan letihnya malaikat itu mencatat semua itu.’

‘Entah dia capek atau tidak, entahlah. Kita tidak tahu. Tapi yang pasti ada dua malaikat di kiri dan di kanan setiap kita yang tugasnya mencatat terus menerus setiap amal perbuatan yang kita lakukan. Yang di sebelah kanan mencatat segala kebaikan, yang di sebelah kiri mencatat segala keburukan.’

‘Sudah pernahkah Marah bertemu dengan malaikat-malaikat itu?’

‘Tidak pernah, sebab keberadaannya tidak dapat kita lihat. Tapi aku yakin tentang keberadaannya. Seperti aku yakin bahwa hidup ini akan mati, lalu kita akan ditanyai malaikat dalam kubur nanti. Seperti aku yakin bahwa aku akan diadili Allah nanti di akhirat.’

‘Meski mereka tidak tampak, Marah tetap yakin ?’

‘Ya. Aku yakin.’

‘Kalau bagiku, kalau tidak kelihatan itu aku agak ragu. Rasa-rasanya mungkin tidak akan demikian adanya.’

‘Oh begitu. Kalau kelihatan baru Gindo percaya. Boleh aku bertanya? Bagindo mempunyai nyawa, bukan?

‘Tentu. Aku orang hidup. Tentu aku bernyawa.’

‘Bisa tolong ditunjukkan yang mana nyawa Gindo? Aku tidak melihatnya.’

‘Ini, yang turun naik di dadaku ini. Inilah nyawaku. Marah tidak melihatnya?’

‘Dada Gindo yang turun naik itu? Itukah nyawa Gindo? Benar juga ya. Bukankah orang mati tidak kelihatan lagi dadanya turun naik. Lalu kalau suara Gindo? Adakah tampak suara itu? Atau beginilah. Apa saja yang ada di dalam perut Gindo? Punyakah Bagindo hati, jantung, usus? Pernahkah Gindo melihatnya?’

‘Bukankah kita ini hampir sama saja dengan binatang ternak, punya kepala, punya perut, punya kaki. Ketika kita memotong hewan kurban, dapat kita lihat hatinya, jantungnya, ususnya. Pada tubuh kita tentu seperti itu pula.’

‘Serupa belum tentu sama. Jantung Gindo sendiri, bukankah belum pernah Gindo lihat? Atau sudah pernah?’

‘Belum. Tapi aku yakin bahwa dia ada. Kalau dia tidak ada bagaimana mungkin aku bisa hidup.’

‘Persis seperti itulah kajinya. Aku yakin dengan keberadaan malaikat yang mencatat segala perbuatanku walaupun aku belum pernah melihat malaikat itu.’

‘Kenapa perlu benar adanya malaikat yang mencatat itu ? Tentulah diupah Tuhan Allah dia agaknya ya ?’

‘Perlu, karena kita hidup di dunia ini disuruh Allah untuk beribadah dan menyembah kepada Nya. Ditunjukinya kita dengan agama, melalui nabi-nabi yang menerima wahyu Allah melalui perantaraan malaikat Allah itu. Setiap wahyu dan ajaran agama yang datang dari Allah itu dituliskan dalam kitab suci. Untuk kita umat nabi Muhammad SAW, kitab suci kita adalah al Quran. Di dalam al Quran itu dijelaskan tentang perintah dan larangan Allah, tentang pahala dan dosa, tentang surga dan neraka, tentang malaikat-malaikat yang ditugaskan Allah untuk bermacam-macam urusan. Berita itu sudah sampai kepada kita. Quran itu masih ada sampai sekarang dan akan selalu ada sampai hari kiamat. Bagaimana kita menerimanya. Mau patuh atau mau menolak, kedua-duanya boleh. Tapi semua itu dicatat. Nanti catatan itu akan diperlihatkan kepada kita sehingga kita tidak bisa memungkirinya. Semuanya tertulis sejelas-jelasnya. Hari itu, jam sekian, detik sekian, di tempat itu Bagindo sedang mengerjakan pekerjaan yang baik, yang ada pahalanya. Pada hari yang lain, jam sekian, detik sekian Bagindo sedang mengerjakan pekerjaan buruk. Tercatat pula. Catatan itu sangat lengkap, tidak ada satu hal jugapun yang dapat dipungkiri. Barulah sesudah itu dihitung timbangan perbuatan baik dan perbuatan buruk, dihitung pahala dan dosa. Kalau yang lebih berat pahala dari perbuatan baik maka surgalah ganjarannya. Kalau dosa yang lebih berat maka nerakalah tempatnya. Jadi, bagaimana kira-kira?’ mak Marah menguraikan panjang lebar.

‘Aku bukan orang jahat. Aku tidak suka berbuat dosa. Aku suka menolong orang. Kira-kira kemana aku akan dimasukkan nanti?’

‘Jahat atau tidak jahat bukan sekedar menurut takaran kita sendiri. Kita ini dapat perintah dari Allah untuk menyembah Nya. Untuk beribadah kepada Nya. Ada agama yang mesti dijalankan. Agama itu berisi perintah dan larangan Allah. Sudahkah perintah dikerjakan? Sudahkah larangan dihentikan? Barulah sesudah itu kita dapat menguji diri, apakah kita ini orang jahat atau bukan di hadapan Allah. Ketika kita menolak perintah Allah untuk menegakkan shalat, berarti kita jahat di mata Allah. Ketika apa yang dilarang Allah kita kerjakan juga, berarti kita jahat di mata Allah. Sekarang cobalah tanyai diri Gindo. Bagaimana kira-kira?’

‘Jadi, pagi ini karena aku belum shalat subuh, aku berdosa?’

‘Itu biarlah salung saja yang menyampaikan. Kira-kira kan cukup jelas urusannya.’

‘Kapan, lagi Buya abidin itu akan datang?’

‘E eh. Kok itu yang ditanya? Apa maksud Gindo?’

‘Ingin pula aku mendengar langsung darinya. Benar atau tidak semua yang Marah uraikan ini.’

‘Hari Sabtu sore besok dia akan datang lagi. Mari kita lihat, apa benar Bagindo Baro akan datang,’ ajuk Mangkuto Labiah.

‘Jadi nanti sore kita nggak main domino lagi Gindo? Tanya Malin Deman memancing

‘Entahlah. Bagaimana itu Marah? Main domino itu berdosakah?’

‘Beginilah. Kalau main tidak bertaruh, tidak ada dosa judi di dalamnya. Kalau main itu berhenti ketika azan dikumandangkan, tidak ada dosa melalaikan shalat. Kalau main itu tidak dikerjakan karena kita pergi mendengarkan pengajian ada pahala karena mendengarkan kaji itu. Jadi terserah kepada kita mana yang akan dipilih.’

‘Bertele-tele betul kaji Marah, pusing kepalaku dibuatnya. Biarlah, kalau inyiak Abidin itu datang akan aku tanyakan hal ini kepadanya. Sementara ini aku akan tetap main domino selama masih ada yang menemani.’

‘Lalu? Nanti shalat zhuhur sudah bisa kita pergi bersama-sama?’

‘Lihat sajalah nanti. Sati! Ini uang. Aku mau pergi dulu.'

Bagindo Baro bergegas keluar dari lepau. Entah kemana dia pergi.


*****

No comments: