Thursday, February 21, 2008

SEMINGGU DI RANAH BAKO (bag.3)

3. Minangkabau Mini Di Padang Panjang

Mereka menuju kendaraan di tempat parkir. Parkir disini bebas, tidak ada petugas pemungut biaya parkir. Parkir berbiaya hanya di pasar di tengah kota, di Bandara, di pelabuhan Teluk Bayur dengan petugas resmi pegawai pemerintah daerah. Rumah makan dilarang memungut biaya parkir, begitu peraturan daerah. Di objek-objek wisata juga dilarang memungut biaya parkir. Pelataran parkir kedai sate mak Syukur luas dan bersih. Banyak kendaraan terparkir di pelataran ini, sebanyak orang yang sedang menikmati makan sate di dalam kedai.

Udara Padang Panjang yang dingin, tidak terasa sejuk di sore hari ini. Mungkin karena Aswin berasal dari negeri yang bermusim lebih dingin atau juga karena perutnya kekenyangan sesudah diisi puluhan tusuk sate.

’Jam berapa acara saluang di Minangkabau Mini?’ tanya Aswin waktu mereka mulai meninggalkan kedai sate mak Syukur.

’Jam delapan. Sesudah waktu shalat isya. Masih cukup lama. Sekarang akan saya tunjukkan langit merah sesudah maghrib di pinggir danau Singkarak yang tidak jauh dari sini. Ini sebenarnya tidak ada dalam program yang saya rencanakan. Tapi sekedar pengisi waktu menunggu jam delapan. Kita akan shalat maghrib nanti sekembali dari sana. Bagaimana, setuju?’ tanya Pohan.

’Tentu. Hari kelihatan masih siang. Berapa jauh danau Singkarak dari sini?’

’Tidak jauh. Ujung utara danau itu tidak jauh dari sini. Tapi jalan di sepanjang pinggir danau cukup jauh sampai mendekati kota Solok, sampai sekitar 40 km jaraknya. Kita cukup ke tempat yang dekat saja. Seringkali terlihat warna awan berubah menjadi merah di atas danau sesudah matahari terbenam.’

Pemandangan sawah di kiri dan kanan jalan di luar kota Padang Panjang sangat menyenangkan Aswin. Sawah yang berjenjang-jenjang bagaikan berlari ke kaki gunung Merapi. Jauh lebih indah dari yang pernah dilihatnya melalui foto-foto. Pada saat azan maghrib mereka sudah sampai di Ombilin, di tepi danau Singkarak. Ada sebuah mesjid besar di sana dan suara azan berasal dari mesjid itu. Pemandangan di sinipun menyenangkan. Kelihatan daratan di seberang danau yang mulai dirayapi temaram, dan danau yang beriak kecil terlihat indah. Benar saja, awan-awan di atas ujung sebelah selatan danau terlihat berwarna merah bergumpal dengan latar belakang langit yang juga kemerah-merahan, menakjubkan.

Mereka ikut shalat maghrib berjamaah di mesjid Ombilin. Ramai yang ikut shalat berjamaah, termasuk jamaah wanita. Sesudah shalat mereka kembali memandang danau yang sudah diselimuti gelap. Bulan yang seharusnya bersinar ditutupi awan. Diseberang terlihat kelip kelip lampu dalam gelap. Mereka menikmati panorama danau Singkarak dalam kegelapan malam itu beberapa saat lagi.

’Apakah danau ini menghasilkan ikan?’ tanya Aswin.

’Ya, ikan bilih. Ikan kecil-kecil yang biasanya diasap atau digoreng. Gurih rasanya.’

’Yang dibuat palai atau apa namanya itu?’

’Bukan. Itu di Maninjau. Rinuak namanya. Ikan sangat kecil. Dibuat palai dan namanya palai rinuak.’

’Kapan kita ke Maninjau?’

’Besok. Besok acara kita ke Puncak Lawang lalu turun ke Maninjau.’

’Meliwati bengkolan empat puluh?’

’Empat puluh empat. Kelok empat puluh empat. Ya kita akan meliwatinya besok.’

’Fantastik. Dan apakah kita juga akan ke Pantai Sikek?’

’Pandai Sikek, bukan pantai. Itu nama sebuah kampung yang penduduknya ahli bertenun kain songket. Ya, kita bisa mampir kesana sekembali dari Maninjau.’

’Masih dengan alat tenun tradisional katanya seperti yang saya baca di website. Pasti sangat menarik. OK. Mungkin sudah waktunya kita pergi menonton saluang. Aku sudah tidak sabar,’ ajak Aswin.

’Baik. Mari kita berangkat.’

Mereka kembali menuju ke arah Padang Panjang. Ke Minangkabau Mini. Melihat rumah-rumah gadang berukir-ukir. Dengan rangkiang berderet di halamannya

Banyak juga pengunjungnya malam hari begini. Pohan memarkir mobil di pelataran parkir yang cukup luas. Ada dua bus parawisata dan beberapa buah mobil kecil terparkir disitu. Keluar dari mobil terasa nuansa Ranah Minang yang lebih kental. Sayup-sayup terdengar bunyi bansi dan talempong, meskipun kelihatannya berasal dari pita kaset yang diputar.

Mereka melangkah ke sebuah lapangan dengan pentas besar. Lapangan itu ditutupi terpal di bagian atas, sekedar menjaga dari kemungkinan hujan yang sering turun di kota ini. Tapi tidak ada dinding sehingga udara dingin langsung terasa. Di bagian belakang pentas ada layar besar. Rupanya disini akan diadakan randai malam hari ini. Di hadapan pentas ada deretan kursi-kursi plastik yang sudah diatur berjejer. Sebahagian besar kursi itu sudah diisi oleh para tamu. Belum terlihat siapapun di atas pentas. Musik bansi dan talempong tadi rupanya berasal dari arena ini.

Jam delapan lebih seperempat acara di pentas itu dimulai. Seorang peniup saluang dan penggesek rebab tampil di atas pentas, memberi hormat kepada penonton dan langsung duduk bersila. Keduanya segera memainkan kedua alat di tangan mereka itu yang mengeluarkan suara yang mendayu-dayu. Rupanya ini adalah lagu pengantar. Tapi tidak ada yang berdendang.

Setelah itu barulah muncul para pemain randai, memainkan randai Nan Tongga Magek Jabang. Aswin mengikuti semua itu dengan mata melotot. Setiap kali pemain-pemain randai itu menepuk celana galembong mereka sesudah aba-aba ’heip tah, heip tah, heip tah..tah..tah..’, Aswin bergidik melihatnya. Dia tidak terlalu memperdulikan rangkaian pantun yang kelihatannya merupakan cerita inti pertunjukan randai tersebut. Tapi gerakan-gerakan pemain randai yang berputar-putar di atas pentas diiringi suara rebab sangat menggelitik hatinya.

Tidak terasa mereka telah menonton randai hampir satu jam. Pohan berbisik bertanya.

’Masih mau menonton orang bersaluang dan berdendang?’

’Ya, tentu. Apa kita pindah sekarang?’ jawab Aswin juga berbisik.

’Kamu kelihatan masih asyik menikmatinya. Apa mau menonton ini sampai selesai?’

’Ini bagus. Tapi baiklah, kita pindah sekarang. Jauh tempatnya?’ tanya Aswin lagi sambil bangkit berdiri.

’Tidak. Masih di arena ini juga. Di sebelah kanan dari tempat kita parkir tadi,’ jawab Pohan yang mengikuti Aswin berdiri.

Kedua anak muda itu berjalan meninggalkan arena pentas randai menuju sebuah bangunan agak jauh ke sebelah kanan dari pelataran parkir. Sebuah aula dengan tempat duduk dari bambu di dalamnya mengelilingi sebuah pentas dari bambu juga yang agak lebih luas di salah satu pojok. Cukup ramai penonton yang duduk disini, bersila, bukan duduk di kursi, sambil menyimak lagu demi lagu saluang yang dibawakan. Sambil terakuk-akuk pula, dalam kelumunan kain sarung, kedinginan. Umumnya para penikmat lagu saluang malam ini adalah para laki-laki meski ada juga satu dua orang wanita. Aswin dan Pohan mengambil tempat mendekati pentas yang kata Pohan palanta namanya. Mereka ikut duduk bersila disana.

Ada lima orang yang duduk sebagai penyaji acara di atas palanta bambu itu. Seorang peniup saluang, seorang penggesek rebab dan tiga orang tukang dendang, dua orang wanita dan satu orang laki-laki. Baik yang laki-laki maupun yang wanita berpakaian adat. Yang laki-laki mengenakan pakaian warna hitam, memakai deta dan kain sarung sementara yang wanita memakai baju kurung Minang, yang satu berwarna hijau yang satunya berwarna merah. Keduanya memakai tengkuluk tanduk.

Bunyi saluang dan rebab mendayu-dayu, mengikuti irama lagu tukang dendang ke setiap cengkok suara sedemikian rupa. Suara dendang, yang sayangnya, semua lirih dan bagaikan meratap sedih. Suara yang menghimbau dengan nada tinggi, dan jauh, merintih panjang lalu dikuti dengan lekukan irama yang berliku. Dan lagu-lagu ataupun suara bunyi alat musik itu tidak disambungkan ke pengeras suara, tetapi dengan suara dan nada aslinya saja.

Aswin mengamati dan menyimak dengan sangat penuh perhatian. Matanya memelototi tukang saluang, yang memang ternyata tidak henti-hentinya meniup. Entah bagaimana caranya dia bernafas. Tidak sekalipun saluang itu lepas dari mulutnya yang senantiasa dalam posisi meniup dan suara saluangpun tidak pernah putus. Setelah sebuah lagu didengarkan agak beberapa saat, salah satu orang turun mendekati palanta tukang nyanyi sambil berteriak;

’Matian Sutan, tukai jo Lintau Basiang. Iko pitih,’ katanya sambil menyerahkan selembar uang kertas lima ribu rupiah.

Aswin tidak mengerti apa maksudnya. Dia lihat penyanyi atau tukang dendang itu menghentikan pantunnya serta merta. Tapi tidak tukang saluang dan tukang rebab. Suara kedua alat itu berganti irama sekarang, seolah-olah otomatis. Tetap tanpa saluang turun dari mulut tukang tiupnya. Dan tukang dendang kembali menarik suara, panjang, lirih, tapi dengan nada yang sudah bertukar.

’Apa maksudnya yang dikerjakan orang tadi?’ tanya Aswin berbisik.

’Dia minta agar lagunya ditukar sebelum lagu tersebut tuntas. Namanya dia ’matikan’ dan dia membayar untuk mematikan lagu tadi,’ Pohan menerangkan.

’Kalau orang lain ingin mematikan pula? Apakah boleh?’

’Boleh. Dan itu seninya disini. Saling mati mematikan. Sambil bergurau. Yang senang tukang dendang dan tukang saluang. Uang itu untuk mereka,’ jawab Pohan.

’Tetapi apakah itu tidak melanggar kesopanan? Tidak menyebabkan orang yang memesan lagu pertama marah dan tersinggung?’

’Tidak. Namanya juga bergurau. Kalau dia tidak terima dia balik mematikan dan minta lagunya mula-mula diteruskan lagi. Dan dia harus bayar pula, sebanyak yang sama.’

’Tidak mesti membayar atau memberikan uang lebih?’

’Dilarang. Atau disepakati untuk tidak boleh agar jangan jadi arena menang-menangan. Menghidupkan dan mematikan lagu dengan bayaran yang sama. Pada waktu masih senja lima ribu rupiah. Kalau sudah agak malam, biasanya disampaikan oleh tukang dendang kapan waktunya, dinaikkan menjadi sepuluh ribu rupiah ,’ Pohan kembali menjelaskan.

’Irama lagunya cenderung membuat perasaan sedih. Tidak adakah irama gembira?’

’Hampir tidak ada. Paling agak lebih cepat sehingga kesannya kurang sedih. Tapi memang umumnya lagu-lagu saluang ini lagu sedih.’

Mereka menonton sampai agak larut. Atas petunjuk Pohan, Aswin ikutan mematikan sebuah lagu, dan meminta diganti dengan ’Marandang Kopi’. Mana pula dia tahu apa artinya. Di telinga Aswin tetap saja nada itu nada sedih. Selama hampir dua jam mereka menonton, benar saja, tidak sekalipun saluang itu lepas dari mulut tukang saluang. Aswin terkagum-kagum. Seandainya saluang itu diletakkan agak sebentar, ingin rasanya dia melihat, alat musik tiup seperti apa sesungguhnya saluang yang mampu mengeluarkan nada sengau mendayu-dayu itu. Sudah hampir setengah dua belas malam waktu Pohan mengingatkan agar sebaiknya menonton saluang jo rabab cukup sampai disitu. Aswin terpaksa setuju.

*****

No comments: