Tuesday, December 2, 2008

SANG AMANAH (80)

(80)


Masih ingat kan, ibu Ningsih? Beliau ini sudah 95% sembuh. Atau bahkan mungkin lebih dari 95%. Sekarang dia sudah bisa hidup normal Dia kembali mengisi kesibukan dengan membantu mengurus karyawan di perusahaan suaminya. Meskipun biasanya dia cukup bekerja di depan PC di rumah, tapi kalau diperlukan kadang-kadang dia bisa juga pergi keluar. Kadang-kadang dia diajak ikut oleh suaminya untuk memberikan penjelasan tentang produk-produk meubelair baru yang akan diekspor keluar negeri, jika calon pembeli dari luar negeri datang dan menanyakan spesifikasi secara detail.

Hari ini suaminya mengajak pergi ke Plaza Nusantara, menemui calon pembeli dari Hong Kong. Mereka berjanji bertemu di gedung itu jam sepuluh pagi ini. Ningsih akan berangkat langsung dari rumah, sementara suaminya akan ke sana setelah mengecek barang-barang setengah jadi yang baru datang dari Jepara, di gudang Pulo Gadung.

Jam sepuluh kurang lima Ningsih sudah sampai di Plaza Nusantara dengan diantar sopirnya. Sebelum turun dari mobil dihubunginya mas Yanto melalui HP. Ternyata mas Yanto sudah lebih dulu datang dan sedang berbincang-bincang dengan Mr. Yew Ching Quo, tamu dari Hong Kong itu, di kantor perantaranya, PT Indocorp di lantai sepuluh Plaza Nusantara itu. Ningsih bergegas menuju lift. Ada enam buah lift di sana, berjejer tiga-tiga di sebelah kiri dan kanan. Lift tengah di sebelah kanan yang duluan terbuka. Ningsih melangkah masuk ke dalam lift itu, memencet nomor 10. Di dalam lift ada seorang wanita kira-kira seumur Ningsih, berpakaian seragam petugas kebersihan. Wanita itu asyik bekerja mengelap kaca cermin dalam lift itu tanpa memperdulikan Ningsih. Pintu lift tertutup dan lift itu bergerak naik. Angka penunjuk lantai yang terdapat di atas pintu lift berkedip bergantian menandakan lantai mana yang sedang dilalui. Lantai 5 baru saja dilalui. Tiba-tiba lampu mati dan lift itu berhenti. Wanita tukang bersih-bersih itu mengomel.

‘Ah, sialan. Ada apa lagi sih ni?’ dia seperti bertanya kepada dirinya sendiri.

Beberapa detik kemudian lampu kembali menyala. Mungkin baru saja listrik PLN mati dan generator pengganti segera dihidupkan. Tapi lift ini tetap tidak bergerak.

Wanita itu mencoba memencet angka-angka penunjuk lantai. Semua angka itu bisa menyala. Tapi lift ini diam saja. Dipencetnya tombol pembuka pintu. Pintu itu tidak bergerak.

‘Wah, macet ni bu,’ ujar wanita itu kepada Ningsih.

‘Kalau begini, apa yang harus dilakukan?’ tanya Ningsih.

‘Kita panggil petugas melalui panggilan darurat ini,’ katanya sambil memencet tombol ‘emergency call’.

Berkali-kali tombol itu dia pencet, tidak ada reaksi apa-apa. Wanita itu kelihatan mulai agak panik. Ningsih sebenarnya juga ikut cemas. Tapi dia lebih bisa mengendalikan dirinya. Dalam hatinya, Ningsih sibuk membaca ayat Kursiy. Dan berdoa. Dia coba menelpon mas Yanto. Tapi tidak ada signal dalam lift ini. Percuma saja dia mencoba memencet-mencet HPnya.

Wanita itu masih terus memencet tombol ‘emergency call’. Belum juga ada reaksi dari mana-manapun. Sepertinya wanita itu mulai kehilangan kesabarannya. Dia mulai menggedor-gedor pintu lift. Ningsih berusaha tetap tenang dan mencoba menenangkan wanita itu juga.

‘Tidak usah panik. Tekan saja tombol ‘emergency’ itu lagi. Mudah-mudahan sebentar lagi petugasnya mengetahui bahwa kita sedang di sini,’ katanya setenang mungkin.

‘Lift yang ini memang sering rusak bu. Entah kenapa nggak dibetulin sampai tuntas. Ini kan berbahaya,’ katanya sambil telunjuknya tidak henti-hentinya memencet tombol itu. Tiba-tiba terdengar suara.

‘Ada berapa orang di dalam lift ini dan dimana posisinya kira-kira?’ bunyi suara yang terdengar melalui ‘speaker’ dalam lift itu.

‘Ada dua orang. Dua orang wanita. Posisi kami di atas lantai lima,’ jawab wanita petugas pembersih itu.

‘Ini suaranya seperti saya kenal. Ini mbak Nani, ya?’ tanya suara itu.

‘Iya , benar. Ini dengan siapa?’ tanya wanita itu lagi.

‘Saya Muji mbak. Petugas Satpam. Mbak tenang-tenang aja di sana, ya! Ini mekaniknya sudah dipanggil. Yang satunya tamu ya mbak?’

‘Oh kamu Muji. Iya, tenang sih tenang. Tapi saya deg-degan ini. Kami nggak bisa kemana-mana. Satunya lagi ada ibu-ibu, mau ke lantai 10,’ jawab wanita yang namanya mbak Nani ini.

‘Ya tenang aja mbak. Pokoknya kita sedang berusaha nih. Nih mekaniknya sudah datang,’ suara Muji dari sana.

Dan Ningsih berdua dengan wanita itu menunggu dengan sabar. Apa lagi yang bisa diperbuat selain menunggu? Dari tadi Ningsih mengamat-amati wanita yang namanya ‘mbak Nani’ ini. Rasa-rasanya dia kok seperti kenal. Tapi dimana ya? Ningsih memutar otak mengingat-ingat siapa kira-kira orang ini. Tidak ingat sedikitpun. Tiba-tiba wanita itu bertanya kepada Ningsih. Pertanyaan basa basi.

‘Mau ke kantor mana di lantai 10, bu?’ tanyanya.

‘Oh. Saya mau bertamu ke kantor Indocorp. Kebetulan ada suami saya sedang menunggu di sana,’ jawab Ningsih.

‘Oh Indokop. Itu kantornya di sebelah kanan kalau kita keluar dari lift ini,’ kata wanita itu.

Ningsih masih memperhatikan wajah orang itu melalui bayangannya di cermin. Dia semakin yakin mengenal orang ini tapi dimana? Kapan kira-kira dia pernah bertemu dengannya? Makin diusahakannya mengingat, makin yakin dia, tapi makin tidak tahu dia dimana. Dicobanya mengingat teman-temannya yang bernama ‘Nani’. Tetap tidak ada yang muncul.

Waktu terus merambat pelan-pelan. Sudah hampir sepuluh menit mereka berdua terkurung. Belum ada tanda-tanda akan berakhir ‘penyanderaan’ ini. Tiba-tiba terdengar suara melalui speaker itu lagi.

‘Mbak Nani. Tamunya tadi mau ke lantai 10 ya?’ terdengar suara Muji.

‘Iya benar. Kenapa memang?’

‘Apa namanya ibu Ningsih, mbak Nani?’

‘Iya. Saya Ningsih. Apa di sana ada suami saya?’ Ningsih langsung menjawab.

‘Ning. Ini mas. Kamu nggak apa-apa?’ terdengar suara mas Yanto.

‘Nggak apa-apa sih, mas. Tapi ya deg-degan juga. Nggak tahu mau sampai berapa lama nih, kami nyangsang di sini.’

‘Ning, mereka sedang berusaha membetulin lift ini. Kamu tenang-tenang saja. Ini kerusakan mekanis. Lift itu insya Allah aman. Cuma mereka perlu waktu untuk memperbaiki. Kita tunggu saja. Mas tunggu kamu di sini, OK?’

‘OK mas. Saya akan tenang-tenang saja di sini,’ jawab Ningsih.

Mereka kembali melanjutkan penantian itu. Ningsih akhirnya tidak sabar. Dia beranikan untuk bertanya.

‘Maaf, mbak. Saya merasa kenal dengan mbak deh. Tapi sungguh mati dari tadi saya coba mengingat-ingat, tetap nggak ketemu. Kira-kira kita pernah kenal nggak mbak? Atau kebetulan mbak mirip teman saya?’ Ningsih bertanya.

‘Saya kenal. Ingat SMP 371 di Bandung tahun 73 sampai 75?’ ujar wanita itu.

‘Oh, iya. SMP 371 Bandung. Iya tahun 73. Benar…benar…benar… Tapi saya nggak ingat punya teman namanya Nani…,’ ujar Ningsih.

‘Kalau Win ingat? Winarni, ingat?’

‘Astaga…… Win…. Win…. Ini teh kamu? Astaghfirullah….. Winarni,’ Ningsih memeluk wanita itu. Winarni, temannya sekolah dulu di SMP.

Kedua wanita itu berpelukan. Lama sekali. Air mata Ningsih meleleh.

‘Dari tadi saya perhatikan, kamu. Kok seperti saya kenal. Tapi siapa? Terus waktu tadi kamu menyebut namamu mbak Nani. Saya coba terus mengingat-ingat. Nggak ada teman saya yang namanya Nani. Kamu sudah mengenali saya dari tadi?’ tanya Ningsih.

‘Saya juga dari tadi, asa wawuh, kitu. Tapi juga nggak ingat-ingat. Tapi saya pikir lagi, mana mungkin ada teman saya wanita bergengsi kayak gini. Begitu kamu…. nggak apa-apakan…saya berkamu…..’

‘Ya nggak apa-apalah. Kamu ini gimana sih? Terus, gimana kamu bilang?’

‘Begitu barusan kamu ngomong dengan siapa itu… dengan suamimu ya..? Kamu bilang namamu Ningsih, saya sudah yakin seyakin-yakinnya, ini teh pasti kamu, Ningsih teman di SMP Bandung. Tapi saya teu wani mau nanya. Saya pikir kalau kamu nggak ngenalin saya ya sudah sajalah, kitu.’

‘Bener-bener deh. Kekuasaan Tuhan. Kita kok bertemu di sini, kayak gini. Ya sudah, Win. Kita anggap aja kita sedang pikinik kayak dulu waktu di SMP. Biarin aja mereka mau membetulin lift ini berapa lama kek. Saya capek berdiri. Udah, kita duduk aja di lantai ini. Mari kita cerita aja,’ ajak Ningsih bersemangat.

Winarni mengikuti Ningsih duduk di lantai lift. Diperhatikannya Ningsih dengan pandangan hati-hati. Wanita ini jelas orang kaya, orang berpunya, orang bergengsi sekarang. Sesudah barusan mereka hanyut dengan kenangan masa remaja di SMP, segera Winarni menyadari kembali bahwa teman SMPnya ini bukanlah orang yang selevel dengan dirinya. Dia hanyalah seorang ‘cleaning service’. Makanya Winarni terdiam. Ningsih membaca sekilas apa yang ada di balik pikiran temannya itu. Diajaknya Winarni untuk berbincang-bincang.

‘Berapa lama kita berpisah, Win?’ tanya Ningsih.

‘Berapa lama, ya? Sejak kita tamat SMP tahun 1975. Berarti dua puluh tujuh tahun lebih,’ jawab Winarni.

‘Iya, ya. Dua puluh tujuh tahun lebih. Rasanya baru kemarin kita antri beli bakso di warungnya mang Alma.’

‘Kamu masih ingat saja mang Alma?’

‘Iya. Baksonya enak dan porsi mienya besar, ingat nggak?’

‘Iya. Saya ingat, kamu sering meneraktir saya.’

‘Win, coba ceritakan. Kamu kemana saja setamat dari SMP 371 dulu itu?’ tanya Ningsih.

‘Saya masuk SMEA. Orang tua saya pindah ke Ciamis dan saya masuk SMEA di Ciamis. Cuman sampai tamat SMEA itu. Dulu saya coba-coba mencari kerja. Pernah saya bekerja sebagai tenaga pembukuan di sebuah PT di Bandung. Ada kira-kira empat tahun. Terus saya menikah dan berhenti bekerja. Suami saya dulu mula-mula bekerja sebagai pemborong kecil-kecilan di Jakarta ini. Sampai suatu saat dia ditipu orang. Kami habis-habisan waktu itu. Suami saya menganggur beberapa lama. Saya coba melamar kerja kembali, tapi tidak pernah dapat. Akhirnya saya diterima di sini, jadi seperti saya sekarang. Sejak enam tahun yang lalu,’ cerita Winarni.

‘Suamimu sekarang dimana?’ tanya Ningsih pula.

‘Sudah meninggal,’ jawab Winarni.

‘Ya Allah. Inna lillahi wainna ilaihi raaji’uun. Kapan Win?’

‘Baru enam bulan yang lalu. Suami saya, mas Edi, sempat menganggur agak lama. Setelah saya bekerja di sini, dia melamar juga menjadi apa saja di kantor ini. Keterima jadi Satpam. Enam bulan yang lalu dia mengalami kecelakaan lalu lintas. Pulang dari mengawal pengambilan uang di bank, mobil Kijang yang ditompanginya mengalami kecelakaan karena mau dirampok. Ban mobil itu ditembak bandit perampok itu. Mobilnya menabrak pembatas jalan dan berguling-guling. Mas Edi terlempar keluar dan meninggal di sana saat itu juga,’ cerita Winarni.

Kedua wanita itu terisak-isak. Ningsih memeluk Winarni dan membelai-belai rambut wanita malang itu. Mereka terdiam.

No comments: