Friday, November 14, 2008

SANG AMANAH (60)

(60)

Sesudah shalat zuhur semua kembali ke rumah. Inilah puncak acara hari itu. Makan siang bersama. Keluarga Umar rupanya sudah menyiapkan segala sesuatunya sejak pagi. Ibu Fatimah hanya perlu memanaskan masakan itu beberapa menit. Rumah mungil itu semerbak dengan bau makanan ketika masakan itu dipanaskan kembali. Untuk ibu Ningsih disediakan masakan vegetarian yang sangat menyelerakan berupa sup sayuran dengan jamur dan jagung muda. Kuah sup itu agak kental karena dibubuhi tepung jagung. Pak Umar memberi tahu bahwa sup itu tidak menggunakan minyak goreng sedikitpun. Ada orak arik tahu dan jagung muda yang juga tanpa menggunakan minyak goreng. Untuk makanan utama ada gulai kepala ikan, dendeng balado, urap sayur-sayuran. Hanya itu sajiannya, tapi sangat menyelerakan. Ibu Fatimah perlu menjelaskan bahwa pak Umar yang memasak hidangan itu semua termasuk sup sayuran.

Semua menikmati masakan yang istimewa itu. Masakan pak Umar memang sangat enak. Papi dan Anto makan dengan lahap tanpa malu-malu. Mereka benar-benar menikmati gulai kepala ikan dan dendeng balado itu. Mamipun berkali-kali memuji bahwa sup sayuran itu enak sekali. Ternyata diet mengkonsumsi sayur-sayuran bisa juga dibuat bervariasi. Mami minta resep dan cara membuat sup sayuran itu. Sesudah makan mereka masih menikmati puding pencuci mulut buatan ibu Fatimah. Puding yang dibuat dari agar-agar dan rumput laut. Mamipun mencobanya. Mami kembali memuji-muji kelezatannya.

Keluarga Suryanto sangat menikmati jamuan istimewa itu. Dan agaknya yang membuatnya begitu nikmat di samping rasa masakan yang prima adalah keikhlasan dan ketulusan tuan rumah menerima tamu. Sesudah selesai makan anak-anak pak Umar bergotong royong membersihkan dan mengangkat piring-piring bekas. Di rumah ini seperti yang mereka saksikan memang tidak ada pembantu rumah tangga.

Tibalah saatnya keluarga Suryanto mau pamit mohon diri. Namun sebelum itu ibu Ningsih mencoba menanyakan kalau-kalau pak Umar sudah mengambil keputusan tentang permohonannya minggu lalu untuk menemani pergi umrah.

‘Apakah saya boleh menanyakan sesuatu? Apakah pak Umar sudah bisa memberi jawaban atas permohonan saya minggu lalu? Tentang rencana kami pergi umrah?’ tanya ibu Ningsih.

Semua diam. Semua ingin mendengar jawaban pak Umar atas pertanyaan itu.

‘Begini, ibu. Saya sudah melakukan shalat istikharah untuk mendapatkan kemantaban dalam memilih jawaban untuk permohonan ibu itu. Shalat istikharah itu artinya saya pulangkan kepada Allah untuk menunjuki saya. Dan saya mintakan pertolongan Allah untuk memberi saya tanda-tanda atas jawaban yang terbaik yang harus saya pilih. Tepatnya doa saya itu berbunyi lebih kurang seperti ini. Wahai Allah Yang Maha Menguasai. Yang Maha Menggerakkan Hati dan Maha Menunjuki. Hamba mendapat tawaran dari seorang hamba Engkau yang lain, yang mengajak hamba melaksanakan ibadah umrah bersama-sama dengan keluarga hamba menemani keluarga hamba Engkau itu. Tawaran ini begitu pelik bagi hamba untuk memutuskannya. Maka hamba memohon kepada Engkau wahai Allah Yang Maha Mengetahui. Seandainya tawaran ini baik bagi hamba dan keluarga hamba disisi Engkau, yang Engkau ridha kepada hamba atasnya, maka mudahkanlah ia bagi hamba, tunjukkanlah kemudahannya itu kepada hamba dengan kekuasaan Engkau, namun seandainya tawaran ini tidak baik bagi hamba dan keluarga hamba disisi Engkau, yang Engkau tidak ridha kepada hamba atasnya, maka berikanlah kepada hamba kebijaksanaan untuk menghindar darinya, dan tunjukkanlah jalan bahwa hamba harus menghindar darinya dengan kekuasaan Engkau. Wahai Allah, apapun keputusan yang Engkau tunjukkan kepada hamba, janganlah Engkau adakan kesulitan didalamnya, janganlah Engkau biarkan terdapat fitnah didalamnya. Ya Allah kepada Engkau hamba kembalikan segala urusan.

Itulah permohonan yang saya ulang-ulangi membacanya sesudah shalat yang khusus saya lakukan untuk meminta bimbingan dan petunjuk Allah. Dan pak Suryanto serta ibu Ningsih boleh percaya boleh tidak. Saya menerima surat dari Dirjen Pendidikan yang melarang saya untuk bepergian keluar kota atau meninggalkan sekolah selama satu tahun pertama saya menjabat kepala sekolah, karena SMU 369 dipilih jadi percontohan untuk ditingkatkan menjadi sekolah unggulan. Pada saat libur sekolah, saya sebagai kepala sekolah diharuskan mengikuti penyuluhan untuk keperluan persiapan itu. Surat yang saya terima ini adalah surat perintah. Saya menterjemahkan seolah-olah ini adalah larangan Allah bagi saya untuk pergi umrah menemani bapak dan ibu Suryanto sekeluarga,’ kata pak Umar mengakhiri penjelasannya.

Ibu Ningsih tidak bisa menyembunyikan rasa kecewa tapi mencoba memahami situasi yang dihadapi pak Umar. Yang disampaikan pak Umar adalah jawaban yang sangat jujur. Dia bukan tidak mempertimbangkan untuk menerima tawaran pergi umrah itu. Dia bahkan telah berdoa dengan doa yang sangat adil seperti yang dibacakannya sebentar ini. Tentulah kekuasaan Allah yang menggerakkan Dirjen Pendidikan itu untuk menetapkan sekolah yang dipimpin pak Umar untuk jadi percontohan, yang berakibat pak Umar dilarang berpergian tahun ini. Mau apa lagi? Kepada siapa mau protes?

Pak Suryantopun kecewa tapi dia juga bisa mengerti. Dengan sangat hati-hati dia katakan.

‘Rupanya memang belum jodoh kami pergi umrah dengan pak Umar. Saya percaya bahwa Tuhan memang belum mengizinkan kita untuk melaksanakan yang kami niatkan itu bersama-sama. Mudah-mudahan ada kesempatan lain suatu saat nanti yang bisa kita jalani bersama. Dan mudah-mudahan Allah akan menunjuki kami pula cara berbuat baik yang diridhai Nya untuk membalas kebaikan dan keikhlasan pak Umar kepada kami.’

‘Amiin,’ kata pak Umar.

‘Kami sungguh sangat menikmati kunjungan hari ini. Terima kasih banyak atas sambutan dan jamuan yang sangat lezat. Mudah-mudahan kedatangan kami ini bisa mendekatkan hubungan silaturahmi antara keluarga kami dengan keluarga pak Umar. Mungkin sudah waktunya kami mohon diri,’ kata pak Suryanto.

‘Saya percaya bahwa keluarga sayapun sangat terkesan dengan kerendahhatian keluarga pak Suryanto yang sudi bertamu ke rumah kami yang sederhana ini. Saya sependapat, mudah-mudahan Allah memberkahi niat baik kita menyambung tali silaturrahmi. Saya juga mengucapkan terima kasih sekali lagi atas kedatangan bapak sekeluarga,’ kata pak Umar.

Akhirnya pak Suryanto sekeluarga mohon diri. Keluarga pak Umar melepas kepergian keluarga yang baru menjadi sahabat itu dengan bahagia karena telah menjamu mereka dengan patut.


*****

14. Iri

Keluarga pak Suryanto sudah pergi dari tadi. Ayah sedang pergi keluar ditemani Amir sementara ibu masih berberes-beres membersihkan dapur dibantu Fauziah. Faisal duduk sendirian di ruang tamu memegang gitar pinjaman dari mas Andri yang tadi dimainkan mas Anto. Faisal tidak dapat menyembunyikan keterkesanannya atas permainan gitar mas Anto yang begitu memukau. Iri rasanya melihat keterampilan anak itu memetik gitar. Faisal juga kepingin belajar main gitar. Tentu akan sangat menyenangkan kalau bisa bermain gitar sehebat mas Anto. Tidak usah menjadi pemain musik profesional. Seperti mas Anto itu kalau dia mau sepertinya dia bisa jadi pemain musik pro. Tapi ternyata seperti yang dikatakannya memainkan gitar baginya hanya sekedar untuk hobi. Cukup untuk diri sendiri. Atau paling tidak untuk menghibur keluarga. Keahlian seperti itu tentu membanggakan sekali. Bisa jadi selingan kalau sekali-sekali merasa jenuh dengan pelajaran. Ingin benar rasanya Faisal menanyakan kepada ayah, apakah dia boleh belajar main gitar. Lebih tepatnya apakah ayah mengizinkannya belajar main gitar dan mau membelikan sebuah gitar. Tapi dia khawatir ayah tidak akan mengizinkan.

Faisal memainkan gitar pinjaman dari mas Andri itu dengan gaya seperti Anto tadi memegang gitar. Kok bisa ya, jari-jari tangan anak itu lincah begitu memetik senar-senar gitar ini? Dan suaranya yang seolah berkejar-kejaran dengan dentingan suara gitar. Ah, dia itu memang hebat sekali.

Fauziah memperhatikan Faisal setengah melamun memeluk gitar. Sambil jari tangannya meniru-niru memetik gitar. Fauziah menggoda Faisal.

‘Ayo, bang! Mana suara gitarnya? Megangnya sih sudah benar. Tapi suaranya nggak keluar. Nggak kayak mas Anto tadi.. he..he..he..’ usik Fauziah.

‘Iya….. Belum bisa……. Tapi abang akan belajar. Abang ingin bisa main gitar kayak dia itu,’ jawab Faisal.

‘Susah bang….. Dia itu latihan berapa lama untuk bisa kayak gitu…’ tambah Fauziah.

‘Kalau abang mulai latihan sekarang….. lama-lama nanti tentu abang bisa,’ Faisal sengaja melayani adiknya.

‘Iya, ya bang. Tapi gitarnya mana? Masak mau pinjam punya mas Andri terus-terusan?’

‘Nanti kita tanya ayah. Siapa tahu ayah setuju dan mau membelikan.’

‘Abang bener nih kepingin pandai main gitar, bang?’

‘Nggak apa-apa kan? Boleh aja kepingin, kan?’

‘Kalau gitu biar Ziah yang nanya ke ayah, bang. Kalau Ziah yang nanya mudah-mudahan ayah mau mengabulkan.’

‘Kalau abang yang nanya apa ayah pasti nggak setuju, begitu?’

‘Ya…terserah abang. Kalau abang mau menanyakan sendiri…ya nggak apa-apa juga.’

‘Ya sudah. Nanti biar Ziah yang nanya. Tapi Ziah mau nanya gimana? Ziah mau minta dibelikan gitar sama ayah? Begitu?’

‘Ya nggaklah bang. Ziah mau bilang….’ayah… abang Ical kepingin pandai main gitar seperti mas Anto itu. Ayah mau tidak membelikan gitar’…begitu, bang.’

‘Ya ya. Abang setuju deh. Abang doakan semoga ayah mau mengabulkan permintaan Ziah.’

‘Tapi nanti ya, bang? Pas kita santai sore-sore? Atau pas pulang shalat ashar?’

‘Pas kita pulang shalat ashar aja.’

‘Ya… Nanti abang berdoa habis shalat ashar, ya? he..he.he..’

‘Kok ketawa?’

‘Nggak apa-apa. Lucu aja. Ziah ngebayangin kalau abang pandai main gitar itu kayak gimana, he..he..he.’

‘Ya kayak gini ini. Tapi suaranya kayak mas Anto tadi itu. Megang gitarnya kan abang sudah bisa, nih?!’

Fauziah tersenyum melihat gaya Faisal.

Ibu mendengar celotehan mereka tadi. Dan ibu diam saja. Paling tidak itu artinya ibu tidak keberatan seandainya ayah mau mengabulkan keinginan mereka. Karena kalau tidak biasanya ibu akan memberikan komentar. Fauziah ingin mendapat sokongan dari ibu.

‘Bu, kalau abang Ical belajar main gitar, boleh tidak?’

Ibu yang sedang sibuk membersihkan meja dapur, memandang Fauziah sambil tersenyum, tidak segera menjawab pertanyaan itu.

‘Boleh tidak, bu?’ tanya Fauziah lagi.

‘Kok yang menanyakan Ziah? Kok nanyanya ke ibu?’

‘Maksud Ziah, bagaimana pendapat ibu? Kalau ibu setuju nanti Ziah tanya lagi sama ayah.’

‘Ya, tapi kok yang menanyakannya Ziah? Yang ingin bang Ical belajar main gitar itu bang Ical sendiri atau Ziah?’ tanya ibu mengajuk.

‘Yang kepingin abang Ical. Tapi Ziah juga senang kalau abang Ical bisa main gitar seperti mas Anto itu. Hebat sekali kalau bisa main gitar seperti itu.’

‘Terus gitarnya gimana? Pinjam terus-terusan punya Andri itu?’

‘Ya nggaklah, bu. Ya minta ke ayah supaya dibelikan.’

‘Kalau ayah bilang ayah nggak punya uang?’

‘Ya, tentu nggak jadi. Tapi kira-kira ayah mau mengizinkan nggak, ya? Ayah punya uang nggak, ya? Ayah punya uang nggak kira-kira, bu?’

‘Ibu nggak tahu. Ziah tanya aja sendiri.’

‘Jadi ibu nggak apa-apa, kan? Jadi ibu setuju kan?’

‘Lho, kok ibu terus? Ibu tidak berpendapat. Kalau ayah setuju, ibu setuju dengan ayah. Kalau ayah tidak setuju, ibu ikut tidak setuju,’ jawab ibu tersenyum. Ibu rupanya sadar bahwa dia terjebak pertanyaan Fauziah.

‘Ya. Nanti Ziah akan menanyakannya pada ayah.’

Tidak lama kemudian ayah bersama Amir kembali. Mereka baru saja ke pasar Sumber Arta membeli bola lampu untuk mengganti bola yang putus di teras depan. Begitu sampai Amir langsung mencari kakaknya Faisal. Rupanya ada yang mau diberitahukannya. Dengan setengah berbisik kedua anak-anak laki-laki itu terlibat diskusi.

‘Bang, kami barusan melihat-lihat gitar di toko.’

Faisal langsung tersentak mendengar yang dikatakan Amir.

‘Melihat-lihat gitar?’

Amir mengangguk.

‘Maksudnya, ayah mau beli?’

‘Ya, belum tahu. Di toko itu ada gitar baru tapi ada juga yang bekas. Padahal hampir nggak kelihatan bedanya, tapi harganya jauh lebih murah yang bekas. Seandainya ayah mau membelikan, yang bekas aja nggak apa-apa. Dan tadi ayah membelikan buku ini,’ kata Amir sambil menyerahkan buku ‘Panduan Memainkan Gitar’.

No comments: