Wednesday, October 15, 2008

SANG AMANAH (20)

(20)

Bel istirahat pertama berbunyi. Anak-anak keluar bergerombol-gerombol dari kelas mereka. Anto, Iwan dan Herman keluar kelas bersamaan, tapi Anto bilang kalau dia ada perlu lagi dengan pak Umar.

‘Sok sibuk gitu gaya lo. Kok bisa jadi lengket gitu sih lo sama ‘new’ kepsek itu?’

‘Emangnya perangko, lengket. Gue lagi wajib lapor nih. Udah lo-lo tungguin aja di kantin. Entar gue nyusul.’

‘Kayak tahanan politik aja lo. Kira-kira urusan apa lagi sih?’

‘Ya, mana gue tau. Apa lo mau nemenin ke sana?’

‘Kurang kerjaan amat. Pergi aja sendiri!’

Dan Anto berjalan cepat-cepat ke ruangan guru. Menghadap pak Umar yang sudah menunggunya. Pak Umar yang sedang berbicara dengan ibu Sofni, mamanggilnya.

‘Sini Adrianto. Sebenarnya bapak sudah dapat berita dari pak Suprapto. Tadinya memang ada yang ingin bapak tanyakan. Sekarang pertanyaan singkat saja. Apakah kamu bercerita kepada ayahmu tentang kejadian yang kamu alami di sekolah kemarin?’

‘Iya pak, ‘ jawabnya pendek.

‘Dan kamu mengatakan bahwa kemarin pak Suprapto ingin memanggil orang tuamu ke sekolah tapi kamu larang?’

‘Iya pak,’ jawabnya lagi.

‘Dan ayah kamu tidak marah kepadamu?’

‘Tidak pak.’

‘Ibu kamu juga tidak marah? Tidak cemas?’

‘Tidak, pak.’

‘Ya. Tadi ayah kamu bercerita ke pak Suprapto dan beliau bercerita kepada saya. Termasuk tentang masalah di rumah yang kamu katakan kemarin. Suasana di rumah kamu sudah membaik sekarang?’

‘Benar pak, sudah.’

‘Syukurlah kalau begitu. Baiklah, hanya itu saja kok yang ingin bapak ketahui. Kamu boleh pergi beristirahat kembali.’

‘Baik pak… terima kasih, pak.’

Anto kembali keluar, ke kantin menemui ‘his’ gang.


*****


Hari sudah jam dua belas tepat. Pak Umar keluar menuju mesjid sekolah. Arif sudah lebih dahulu sampai di sana. Hanya dia sendiri saja. Apakah dia memang keluar lebih awal dari kawan-kawannya sementara guru masih di kelas? Pak Umar bergumam dalam hati. Sesudah mengambil wudhu pak Umar masuk ke mesjid dan menghidupkan pengeras suara yang terdapat di dalam mesjid itu melalui miknya. Rupanya alat itu tidak disambungkan ke aliran listrik. Arif menyolokkannya kemudian menghidupkannya pada panel pengontrol dan pengeras suara itu berdengung. Pak Umar mengetuk-ngetuk memeriksa apakah alat itu berfungsi dengan baik. Ternyata berfungsi. Dan pak Umar azan. Ya, dia sendiri azan dengan bacaan pendek-pendek saja. Suara itu bergema ke seantero sekolah. Pak Mursyid orang yang paling kaget mendengar suara azan itu, karena dia pernah melarang azan dikumandangkan di mesjid sekolah dengan alasan sekolah ini bukan pesantren. Pak Mursyid datang tergopoh-gopoh melihat dari pintu mesjid sekedar ingin membuktikan bahwa yang azan itu adalah pak Umar. Sudah barang tentu memang dia. Pak Mursyid berbalik, tidak berani menghentikan seperti yang pernah dilakukannya kepada seorang murid dulu sekali. Tapi dia menggerutu.

Bahana azan itu mencengangkan. Sebentar saja berdatangan murid-murid, pak Dadang serta pegawai Tata Usaha lainnya, pak Simin, pak Tugiman. Bahkan pak Darmawan, pak Sofyan dan beberapa guru lain. Semua terpaksa antri mengambil air wudhu. Dan Anto, meski diplototi oleh Herman dan Iwan yang saking herannya, datang ke mesjid.

Pak Umar melakukan shalat sunat terlebih dahulu. Begitu juga Arif. Mengikut pula beberapa murid lain di belakang. Lalu sesudah itu Arif iqamat. Dan mereka shalat berjamaah diimami pak Umar. Tiga shaf laki-laki dan satu shaf perempuan.

Sesudah salam, disambung zikir dengan khusyuk dan hening. Dan shalat sunat lagi. Sementara murid-murid lain yang baru masuk, yang tadi tidak sempat ikut berjamaah membuat pula jamaah kecil. Satu orang jadi imam dan yang lain mengikuti jadi makmum. Ternyata mereka bisa menegakkan jamaah pula. Ternyata shalat berjamaah bisa dilakukan di mesjid ini. Hanya saja selama ini seperti dimatikan. Seolah-olah ada yang menghalangi. Padahal mesjid itu ada di sana. Padahal mesjid sekolah itu dulu dibangun dengan biaya mahal. Biaya yang dimintakan sebagai sumbangan dari para wali murid. Sebagai waqaf, sebagai infaq, sebagai sadaqah. Dan setelah jadi mesjid itu diresmikan dengan mengundang wakil wali murid. Dengan upacara yang cukup seronok. Dengan ‘slamatan’. Dengan pembacaan qalam Ilahi berikut sari tilawahnya. Lalu ada pula ceramah agama oleh seorang ustad kondang. Tapi kemudian sia-sia. Jarang dimanfaatkan dan hanya sekedar jadi hiasan pemantas saja.

Dan ini harus dirubah. Tidak sulit merubahnya asal ada kemauan. Hari ini pak Umar sudah membuktikan. Hari ini pak Umar membuktikan bahwa baik guru-guru maupun murid-murid bersedia diajak shalat berjamaah. Dan dia akan menegakkan shalat berjamaah dengan teratur di mesjid sekolah ini, mulai hari ini. Pak Umar mengetahui bahwa pasti ada yang tidak berkenan dengan apa yang dilakukannya. Seperti halnya yang diceritakan oleh murid yang kemarin jadi imam shalat . Tapi itu bukan hal yang perlu dikhawatirkan. Pak Umar akan menjelaskan kepada siapa saja yang berkeberatan, bagaimana pentingnya arti shalat. Bagaimana pentingnya menjalankan perintah agama.


*****

Pak Mursyid masih memperlihatkan bahwa dia tidak senang dengan ‘aksi’ azan pak Umar barusan. Dia masih menggerutu. Dan ada cukup banyak pula di antara guru-guru yang menyokong ketidak senangan pak Mursyid.

‘Emangnya ini pesantren? Kalau mau shalat ya shalat aja. Kenapa mesti ada azan segala sih. Ini kan sekolah umum, bukan pesantren. Wah kacau deh kalau begini.’

‘Kalau azan memangnya kenapa sih pak Mursyid?’ tanya ibu Sarah.

‘Ya nggak umum aja. Ini kan sekolah umum. Ini kan bukan madrasah Aliyah? Di madrasah aja belum tentu pakai azan segala.’

‘Dan yang lebih nggak enaknya, bapak calon kepala sekolah kita ini, masih belum serah terima jabatan sudah merubah-rubah kebijaksanaan,’ kata ibu Purwati.

‘Maaf, kalau saya kok tidak melihat itu sebagai unjuk kekuasaan. Mungkin pak Umar itu tidak tahu kalau di sini ‘tidak boleh azan’ lalu dia, yang kabarnya seorang pengurus mesjid mengambil inisiatif untuk azan. Kalau pak Mursyid tidak suka mungkin bisa dijelaskan saja dan minta supaya besok dia tidak azan atau menyuruh azan lagi,’ kata ibu Sarah lagi.

‘Saya pasti akan menyampaikannya nanti pada waktunya. Saya rasa ini berlebih-lebihan. Kalau diteruskan lama-lama kita harus ganti nama sekolah ini dari SMU menjadi MAU, madrasah aliyah umum,’ kata pak Mursyid.

‘Yang kurang berkenan itu yang mana pak Mursyid? Azannya, orangnya, perubahannya? Atau apa?’ ibu Sofni ikutan.

‘Begini bu ya. Seandainya ini pesantren kita berlakukan cara-cara pesantren. Tapi mengingat ini sekolah umum ya kita berlakukan cara-cara sekolah umum. Tidak semua murid di sini Islam. Tidak semua guru di sini Islam. Ini, pak Situmorang dia orang Kristen. Kan nggak enak sama dia. Jangan tanya apakah dia keberatan atau tidak karena nanti malah jadi nggak lucu. Di sini ada pak Wayan dia orang Hindu, sama lagi juga,’ pak Mursyid tambah bersemangat.

Pak Sofyan yang baru kembali dari shalat berjamaah, yang mendengar ujung pembicaran tapi dapat menduga apa yang sedang jadi bahan diskusi, bertanya setengah memancing;

‘Ada apa pak Mursyid?’

‘Ya itu tadi. Urusan azan di sekolah. Saya bilang ini kan sekolah umum. Ya mbok kita berlakukan peraturan yang sifatnya umum, begitu lho. Saya tahu, kalau pak Sofyan tentu tidak keberatan dengan suara azan. Tapi saya bilang kan tidak semua yang ada di sini orang Islam,’ lanjut pak Mursyid.

‘Saya pikir kalau azan saja kan tidak berlebih-lebihan. Orang namanya panggilan untuk melakukan shalat. Saya tadi begitu mendengar suara azan merasa terpanggil dan saya langsung datang untuk shalat. Saya tidak menilainya lebih dari itu. Saya rasa juga pak Umar itu bukan bermaksud yang aneh-aneh. Itu kalau pendapat saya. Karena saya memang berkepentingan, saya Islam.’

‘Tadi nama saya juga disebut-sebut. Saya kebetulan tinggal dekat mesjid. Bagi saya kalau soal azan itu tidak terasa mengganggu nya itu. Itu kalau pendapat saya pribadi,’ kata pak Situmorang.

‘Wah, jangan-jangan dalam rangka mengambil hati calon boss nih,’ celetuk ibu Purwati.

‘Tak usah pulak berprasangka. Kan sudah lamanya ibuk Purwati mengenal saya. Apa selama ini ada kebiasaan saya mengambil-ambil hati orang? Bagi saya, apa yang terasa saya keluarkan. Sebenarnya tidak enak juga saya ikut-ikut. Tapi berhubung karena tadi pak Mursyid menyebut-nyebut nama saya, menyangkut-nyangkutkan dengan keyakinan saya, saya merasa perlu membuat penjelasan. Dari segi agama saya tidak adanya larangan bagi orang lain menjalankan agamanya pula. Jadi saya tidak merasa keberatan apa-apa.’

‘Sudahlah, tidak perlu kita panjangi lagi. Pada suatu kesempatan resmi saya akan menyatakan keberatan saya secara resmi pula.’

‘Kalau pak Mursyid mau, mungkin nanti waktu rapat bisa disinggung sedikit. Kan nanti pak Umar ikut juga rapat bersama-sama kita,’ kata ibu Purwati.

‘Ya, kita lihat saja. Tapi mungkin pada kesempatan nanti itu tidak tepat karena yang kita bahas masalah lain.’

‘Tapi ngomong-ngomong barusan banyak yang ikut shalat nggak, pak Sofyan?’ tanya ibu Sofni mengalihkan pembicaraan.

‘Banyak, ada empat shaf saya lihat. Tiga shaf laki-laki satu shaf perempuan.’

‘Jadi kayaknya memang ada sambutan dari banyak orang dong. Murid-murid sampai guru-guru,’ kata ibu Sofni lagi.

‘Saya rasa begitu. Bagi saya seperti yang saya katakan, karena saya dengar azan lalu saya datang. Saya rasa murid-murid maupun yang lain datang secara spontan saja. Termasuk pegawai Tata Usaha.’

‘Guru-guru lain selain pak Sofyan, siapa yang ikut shalat?’

‘Ada siapa tadi tu? Ada pak Darmawan, ada pak Hardjono. Ibu-ibu juga ada saya lihat. Kalau tidak salah ibu Lastri,’ jawab pak Sofyan.

‘Kenapa? Ibu Sofni mau ikutan besok?’ tanya pak Mursyid.

‘Saya rasa iya. Saya rasa besok saya akan ikut shalat berjamaah di mesjid itu,’ jawab ibu Sofni.
*****

No comments: