Tuesday, November 18, 2008

SANG AMANAH (65)

(65)

15. Korban Narkoba (1)


Kota Jakarta tampak cerah pagi ini. Kecerahan yang sudah beberapa hari tidak terlihat. Tumbuh-tumbuhan yang menghiasi sekeliling pekarangan SMU 369 terlihat hijau segar berseri-seri ditimpa sinar matahari pagi. Udara terasa segar sekali. Cuaca hari ini berbeda dengan hari-hari kemarin karena matahari bersinar cemerlang. Beberapa hari belakangan ini kota Jakarta memang lebih sering ditutupi mendung dan hujan.

Hari baru jam delapan pagi tapi ibu Purwati sudah hadir di sekolah. Lebih awal dari semestinya, karena dia baru akan bertugas mengajar sesudah jam istirahat pertama nanti. Ibu Purwati sendirian di ruang guru sambil membaca koran. Dia menunggu sepupunya, kolonel Sudibyo yang menelponnya sore kemarin dan berjanji akan hadir sekitar jam setengah sembilan pagi ini. Pak kolonel Sudibyo ingin memindahkan anaknya ke sekolah ini dari SMU 235 di Jakarta Timur. Menurut kolonel Sudibyo, anaknya dikeluarkan dari sekolah itu karena terlibat kasus kenakalan remaja, tapi dia tidak menjelaskan jenis kenakalan anaknya tersebut. Kolonel Sudibyo bercerita sambil menyerocos ditelpon bahwa dia hampir saja memukul kepala SMU 235 yang dinilainya tidak becus. Tapi tindakan itu tidak jadi dilakukannya karena anak buahnya letnan Parlin Sitorus memberitahukan bahwa pak Simamora kepala sekolah SMU 235 itu adalah kakak kandung Mayor Jenderal Saut Simamora. ‘Untung saja saya tidak jadi terlepas tangan kepadanya, jeng Purwati. Kalau tidak tentu saya akan mendapat masalah dengan senior saya,’ cerita kolonel Sudibyo bersemangat sekali ditelpon.

Jam delapan lebih dua puluh lima menit kolonel Sudibyo sampai di SMU 369. Petugas Satpam memberi hormat dengan sikap sempurna waktu melihat mobil dinas Angkatan Darat merek Timor itu menghampiri gerbang sekolah. Sopir mobil Timor itu memberi tahu bahwa komandannya kolonel Sudibyo akan bertemu dengan kepala sekolah. Petugas Satpam itu memberi isyarat ke arah kantor kepala sekolah dan mempersilahkan mobil itu masuk. Kolonel Sudibyo yang berbadan kekar itu turun diikuti anaknya, Priyo, seorang anak muda bertubuh kurus dengan raut wajah layu. Potongan tubuh ayah dan anak itu sangat bertolak belakang. Anak muda kurus itu berjalan terseok-seok di samping ayahnya. Dari penampilannya yang seperti itu tidak sulit untuk ditebak bahwa anak ini kelihatannya pernah terlibat masalah penggunaan obat psikotropika. Bahkan melihat keadaan tubuh dan pandangan sayunya, sangat mungkin bahwa saat ini dia adalah pengguna aktif obat terlarang itu.

Ayah dan anak itu berjalan menuju ke kantor Tata Usaha. Pak Kosasih yang mereka temui di sana kemudian mengantarkan mereka ke kantor guru. Kolonel Sudibyo yang mendapatkan ibu Purwati sedang sendirian di ruangan itu, menyapanya akrab, sambil memperkenalkan anaknya Priyo.

‘Wah sorry, saya terlambat, jeng Pur. Iki lho jeng Pur, Priyo anakku,’ kolonel Sudibyo menyapa ibu Purwati, akrab.

‘Ya, nggak terlambat tho, mas Dibyo. Kan janjinya sekitar jam setengah sembilan. Lha ini, baru juga lewat dua menit….. Bagaimana kabar mas Priyo? Apa betul kamu mau sekolah di sini?’ tanya ibu Purwati ke anak muda itu.

‘Mau juga sih, tante. Tante ini, kepala sekolah di sini ya?’ tanya Priyo dengan pandangan lesu. Jawaban ini jelas tidak mencerminkan sopan santun seorang murid SMU.

‘Bukan. Tante bukan kepala sekolah tapi wakil kepala sekolah. Kepala sekolahnya terlambat hari ini karena dia pergi melayat. Kok kamu kelihatan seperti kurang sehat begini? Hayo, yang semangat dong. Gimana sih anak muda kok lemes begini?’ tanya ibu Purwati berpura-pura tidak tahu latar belakang Priyo.

‘Ya nggak apa-apa tho. Yo ora opo-opo. Dia ini memang habis sakit dan agak kurang sehat, jeng Pur…….. Ngene lho ‘Yo. Biar tante ini wakil kepala sekolah juga, nggak apa-apa. Pokoknya kamu sekolah di sini. Tentu ada syaratnya. Kamu jangan bikin gara-gara lagi. Itu syaratnya, kamu denger tidak? Jangan bikin pusing papi. Kamu ngerti, ora?’ kolonel Sudibyo menasihati anaknya, seolah-olah sudah memastikan bahwa Priyo pasti diterima. Atau mungkin bagi dia anaknya harus diterima di sekolah itu. Priyo memandang ayahnya dengan pandangan sayu tanpa mengucapkan sepatah katapun. Anak itu sedikitpun tidak kelihatan bergairah.

‘Jadi piye jeng Pur? Apa dia bisa langsung ikut belajar hari ini? Aku titip jeng Pur aja, yo? Anak ini memang perlu agak diawasi. Tapi tolong jeng Pur jaga ya? Biar nggak bikin onar sama anak-anak lain,’ kata kolonel Sudibyo memaksa.

‘Harusnya saya bicara dulu dengan kepala sekolah, lho mas. Tapi kalau mas Dibyo mau buru-buru, biar ditinggal saja,’ jawab ibu Purwati.

‘Lha, jeng Pur iki piye tho? Kan katanya jeng Pur wakil kepala sekolah, iya toh? Ya, mesti bisa mewakili tho. Kan kepala sekolahnya sedang tidak di tempat. Ya, jeng Pur yang mewakili. Iya toh? Pokok-e kalau perlu biaya-biaya administrasinya nanti tak beres-no, lho. Nanti aku dikasih info, nggih?’ kolonel Sudibyo memaksakan kata-katanya lagi.

‘Gini aja. Saya akan laporkan kepala sekolah. Mestinya tidak ada masalah. Namun keputusannya nanti tak telepon mas Dibyo. Sekarang biar mas Priyo tak antar melihat kelasnya dulu. Tapi kamu harus ngerti lho mas Priyo, nek sekolah iki peraturanne keras, lho. Kamu harus bisa patuh kalau sekolah di sini. Kira-kira bisa ndak?’ ibu Purwati menanyai Priyo.

‘Ya sudah. Kamu ikut saja. Kamu harus patuh. Pokoknya jangan bikin gara-gara lagi. Jangan bikin malu papi lagi. Kowe iki piye toh? Kok cengangas-cengenges rak karuan ngono? Kamu ini mau sekolah apa ndak?’ ujar kolonel Sudibyo menasihati anaknya.

Priyo celingak-celinguk dengan pandangan setengah kosong. Dia tidak menjawab kata-kata ayahnya itu.

‘Dijawab tho, mas Priyo. Mau sekolah di sini ndak?’ tanya ibu Purwati.

‘Mau… aku mau sih… Tapi kalau aku sekolah di sini nggak boleh dimarah-marahin ya….!?!’ jawab Priyo asal mangap.

‘Kalau kamu mau jadi murid yang baik kenapa mesti dimarahin. He..he..he.. Ya nggaklah,’ ujar ibu Purwati pula.

‘Tapi di sini….. aku boleh nyuntik nggak?’ tanya anak ajaib itu lagi.

Ibu Purwati melongo mendengar pertanyaan yang tidak terduga seperti itu. Sebaliknya, muka kolonel Sudibyo berubah merah madam mendengar ocehan anaknya itu.

‘Yooo..Priyo..! Kowe iki nanti tak kemplangno lagi lho. Kan papi sudah bilang. Kalau mau jadi orang yang bener ndak ada lagi yang namanya suntik-suntikan itu. Piye toh kamu iki? Katanya sudah insap. Katanya sudah nggak mau nyoba-nyoba lagi. Lha piye toh? Pokok-e papi ndak mau kamu itu bikin malu papi lagi lho. Wis, ngene bae. Jeng Pur! Tak titip no bocah iki dengan masa percobaan deh. Kalau kumat lagi apa boleh buat. Di keluarno ae, wis. Tapi tolong bener ya, jeng Pur?’ kolonel Sudibyo jadi salah tingkah gara-gara anaknya.

‘Gini mas Priyo. Di sekolah ini tidak ada ceritanya main-main dengan obat terlarang. Kamu tidak boleh main-main suntikan begitu di sini. Kalau mas Priyo benar-benar mau sekolah di sini harus dilupakan yang namanya obat-obat terlarang. Suntik-suntikan dan sebagainya itu. Bagaimana kira-kira? Sanggup tidak?’ tanya ibu Purwati.

Priyo memandang ibu Purwati dengan pandangan setengah kosong. Mungkin dia tidak sepenuhnya mendengar apa yang baru diucapkan ibu Purwati.

‘Gimana kalau aku sekolahnya nanti kapan-kapan aja, pi? Kayaknya di sini aku nggak suka deh. Kayaknya tante ini nggak suka sama aku,’ Priyo berceloteh seperti mengigau.

Kolonel Sudibyo jadi kehilangan akal. Kenapa anak ini berubah lagi? Bukankah kemarin malam dia bilang dia mau bersekolah? Kemarin dia kelihatan sehat sekali. Ngomong dengan sangat sopan. Ngomong dengan sangat meyakinkan. Dia bilang bahwa dia mau berusaha berubah menjadi anak yang baik. Kok sekarang jadi begini lagi?

‘Tidak. Tidak bisa begitu. Kamu harus sekolah. Kamu harus mau patuh menjadi murid di sini. Kamu sudah berjanji tadi malam bahwa kamu mau berubah menjadi anak baik. Sudah papi bilang. Kamu harus mencoba bersekolah di sini dan kamu tidak boleh macem-macem. Kalau kamu masih macem-macem papi suruh masukin di penjara kamu. Kamu dengar tidak?’ kolonel Sudibyo menyerocos tidak kalah ngawur.

Ibu Purwati jadi bingung mendengar celotehan ayah dan anak itu. Dia jadi serba sulit. Kelihatannya, Priyo ini tidak siap untuk bersekolah. Kelihatan sekali dia tidak dalam keadaan normal. Mungkin dia sedang ketagihan atau masih di bawah pengaruh obat yang entah kapan terakhir kali digunakannya. Ibu Purwati yakin sekali bahwa anak ini akan menimbulkan masalah nantinya. Mungkin dengan guru-guru, mungkin dengan murid-murid lain. Dan dengan pak kepala sekolah. Tapi bagaimana menjelaskan hal ini kepada sepupunya kolonel Sudibyo yang kelihatannya memaksa sekali agar anaknya bisa bersekolah di sini?

‘Kelihatannya mas Priyo ini kurang sehat, lho mas. Sebaiknya dia berobat dulu. Saya khawatir dia tidak siap untuk ikut belajar saat ini,’ ujar ibu Purwati.

‘Apa bener kamu sakit? Wah ngawur tenan iki bocah. Kamu ini bagaimana sih?’

‘Aku capek dan ngantuk, pi. Biar aku sekolahnya besok-besok aja deh,’ Priyo kelihatan semakin lemas.

‘Lha, tadi malam kok kamu ngomong baik bener? Semangat bener? Katanya sudah insap beneran. Mau sekolah beneran. Piye toh? Kamu…. kamu…. tadi main obat suntik lagi tho?’ kolonel Sudibyo ikut kebingungan.

‘Maaf, mas…... Apa mas Priyo ini tidak sebaiknya dirawat di panti rehabilitasi? Biar bener-bener sembuh dari kebiasaan nyuntik-nyuntik itu?’ tanya ibu Purwanti.

‘Saya maunya begitu, jeng. Tapi maminya yang bikin repot. Maminya yang ndak mau. Anak ini terlalu dimanja sama maminya. Bocah iki dhadi rusak koyo ngene gara-gara maminya yang terlalu memanjakannya sangat berlebihan,’ kolonel Sudibyo menyalahkan istrinya.

‘Ya… tapi kalau melihat keadaannya seperti ini sekarang saya rasa akan lebih baik dirawat dulu gitu lho, mas. Kasihan mas Priyo ini. Kalau nggak dirawat baik-baik… kan sayang nantinya. Kok kelihatannya mas Priyo ini tambah lemes begitu ya??’ ibu Purwati memperhatikan Priyo yang semakin lemah saja.

Sementara itu tubuh Priyo tiba-tiba menggigil. Badannya sempoyongan. Untung sempat ditahan kolonel Sudibyo sehingga tidak jadi jatuh. Anak itu merintih-rintih seperti sedang sakit parah. Agaknya dia sedang ‘ketagihan’. Kolonel Sudibyo memeluk Priyo sambil mengguncang-guncangkan tubuh anak muda yang malang itu.

‘Kamu kenapa, ‘Yo? Kamu kenapa sih? Wadduh, kok malah begini ini, piye toh? Kenopo sih iki, kok bocah iki dhadi semaput ngene,’ kolonel Sudibyo makin kebingungan.

‘Aku harus nyuntik…aku harus nyuntik… aku harus nyuntik.. Kalau nggak aku bisa matii….,’ Priyo merintih-rintih dengan suara setengah berbisik.

‘Lha, piye toh? Bocah iki kumat maning? Piye toh iki. Aku yo orak ngerti iki. Kudhune piye sih iki?’

‘Mas Dibyo kuat menggotong dia? Sebaiknya dia segera kita bawa ke rumah sakit,’ saran ibu Purwati.

‘Ya iyo. Tak gotongno. Wadduh, kok malah bikin perkara bae bocah iki,’ kata kolonel Sudibyo, menggotong tubuh anaknya yang kurus itu keluar, sambil berjalan tergesa-gesa ke tempat parkir.

Ibu Purwati mengiringi kolonel Sudibyo dari belakang. Pak Kosasih yang sedang berada di kantor Tata Usaha terheran-heran melihat pemandangan itu. Begitu juga dengan pak Mursyid yang melihat dari lapangan basket, melongo sambil berdiri terpaku. Slamet, sang supir cepat-cepat menyongsong kedatangan mereka, tapi malahan dibentak oleh kolonel Sudibyo.

‘Buka pintu mobil, sono! Cepat!’ hardiknya.

Slamet bergegas kembali ke arah mobil, membukakan pintu mobil itu lebar-lebar.

Pak Umar baru datang dengan mengendarai Vespa. Dia terheran-heran melihat seseorang berpakaian murid SMU dibopong seorang tentara ke arah mobil di tempat parkir mobil, diiringi ibu Purwati. Pak Umar mengarahkan Vespanya ke arah mobil itu ingin menanyakan apa yang terjadi. Begitu mendekat, belum sempat berkata apa-apa, dia langsung dibentak kolonel Sudibyo.

‘Mau lihat apa kamu? Ini bukan tontonan! Jangan dekat-dekat! Pergi sana!’ bentak kolonel itu kepada pak Umar. Pak Umar diam saja.

‘Mas Dibyo, maaf…….. Ini pak Umar, bapak kepala sekolah ini….,’ ibu Purwati menjelaskan.

Kolonel Sudibyo memperhatikan penampilan pak Umar yang memang biasa-biasa saja itu. Dia agak salah tingkah begitu mendengar bahwa yang datang itu adalah kepala sekolah. Meskipun sudah terlanjur berkata kasar namun dia tidak berniat memperbaiki ucapannya itu dengan meminta maaf. Mungkin pikirannya masih kalut.

‘Yo wis. Jeng Pur. Tak tinggalno ndisek, yo. Monggo. Matur nuwun,’ katanya sambil masuk kedalam mobil sedan Timor yang segera berlalu.

No comments: