Tuesday, January 27, 2009

ROKOK

ROKOK

Empat puluh tahun lebih yang lalu, ketika menginjak remaja, masa pancaroba itu menggiringku kepada sebuah kebiasaan tidak elok. Kebiasaan merokok. Dimulai dengan satu dua sedotan (sairuik duo iruik) sebagai jawaban untuk rasa ingin tahu dan ingin coba-coba. Dilakukan bersama kawan-kawan seumur, yang sama-sama mantiko langek. Diawali dengan terbatuk-batuk sampai hampir muntah. Tapi hebatnya, entah karena pengaruh teman, entah memang sudah berjodoh akhirnya sampai kecanduan. Aku mulai kecanduan rokok ketika masih sangat belia, berumur 14 – 15 tahun di tahun 1965. Ternyata merokok itu nikmat. Merokok yang paling nikmat adalah sesudah makan dan... di kakus, ketika buang hajat. Nikmat nian.

Tentu saja aku tidak dibiarkan bebas begitu saja untuk merokok kalau di rumah. Ibu pasti akan sangat marah ketika beliau tahu aku mencoba-coba merokok. Jadi semua urusan merokok itu harus dilakukan di luar rumah. Tidak dilakukan dekat orang tua yang pasti akan melarang atau yang pasti akan melaporkan kepada ibuku. Itu pada awal-awalnya.

Merokok di hadapan orang dewasa kami lakukan di arena mengirik padi di sawah. Di lingkungan seperti itu kami seolah-olah mendapat izin, alias tidak ada yang melarang. Bahkan ada di antara mak etek – mak etek itu yang sengaja menawari kami rokok, sementara mak dang dan mak tangah mendiamkan saja. Kamipun berkepas-kepus menikmati asap nikotin itu. Aku berani menyedot asap itu dalam-dalam, sebelum menyemburkannya melalui hidung. Wuih, hebatnya.

Tapi, disanalah candu itu mulai mencengkeram.

Ketika sudah kecanduan, tentu harus membeli rokok. Tidak mungkin mengharapkan pemberian orang terus menerus. Dari mana aku dapat uang? Ada tiga macam sumber uang untuk pembeli rokok. Pertama dari menjual telor ayam. Aku mempunyai beberapa ekor ayam, yang memang dilabel sebagai ayam milikku sendiri, di antaranya keturunan ayam hadiah ketika berkhatam Quran beberapa tahun sebelumnya. Ibuku memang membiarkan saja ketika aku menjual telor-telor itu untuk uang jajan. Sayangnya, ayam kampung bukanlah petelur yang produktif.

Sumber uang kedua adalah dari hasil menganak ikan. Menahankan puluhan pancing di batang air di sore hari lalu diambil di pagi hari. Hal ini hanya mungkin dilakukan di akhir pekan. Hasilnya kadang-kadang lumayan. Sejerat ikan limbek dan belut yang dihasilkan bisa bernilai beberapa bungkus rokok. Yang ketiga sedikit nyerempet berbohong. Yaitu memancing ikan di tebat di belakang rumah. Ada mak tuoku di sebelah rumah yang sering menyuruh kami, aku dan adik-adikku, memancing ikan. Hasil pancingan selalu beliau bagi dua. Separo untuk yang memancing dan separo untuk beliau. Memancing ini boleh dilakukan kapan saja. Bahagian beliau biasanya dikeringkan dengan dijemur. Ikan kering itu bisa beliau hadiahkan kepada anak-anak beliau ketika mereka pulang kampung. Ikan bahagianku, aku bagi dua. Separonya pula aku serahkan ke ibu dan separo yang lain aku jual diam-diam. Selalu saja ada etek-etek yang tidak punya tebat bersedia membelinya.

Jadi aku cukup aman untuk bisa membeli rokok sendiri. Dimulai dengan membeli sebatang-sebatang. Meningkat menjadi lima batang-lima batang dan seterusnya. Kehebatanku merokok semakin tidak terbendung. Meskipun berkali-kali aku dimarahi ibuku, yang sering menemukan remah-remah tembakau di kantong bajuku. Sampai akhirnya, sepertinya beliau capek sendiri memarahiku. Apalagi ada seorang inyiak yang menawariku rokok di hadapan beliau, seolah-olah memberikan pembelaan kepadaku untuk terus merokok. Jadilah aku secara resmi diakui saja sebagai perokok dan aku mulai berani merokok di rumah.

Waktu ujian akhir SMP, aku berbekal sebungkus rokok yang disembunyikan hati-hati sekali. Di sekolahpun banyak teman-teman yang sudah kecanduan rokok. Di saat istirahat di antara dua ujian, kami menyepi ke parak betung di belakang sekolah untuk menghisap.

Setelah tamat SMP aku dibawa kakak sepupuku merantau ke Rumbai untuk melanjutkan sekolah disana. Kakakku ini bukan perokok dan sangat benci dengan asap rokok. Aku terpaksa berhenti merokok untuk beberapa hari. Tapi di sekolah, ternyata ada pula kawan-kawan yang pecandu rokok. Mereka merokok di pemberhentian bus di luar pekarangan sekolah. Aku bisa merokok lagi. Seringkali kakak sepupuku itu menanyai apakah aku tadi merokok karena katanya badanku bau rokok. Aku berbohong dengan mengatakan bahwa aku duduk dekat orang merokok di bus panjang yang aku tompangi dari Rumbai ke Pakan Baru. Biarpun tidak seleluasa di kampung, aku tetap bisa merokok secara sembunyi-sembunyi.

Lama kelamaan kakakku itu tahu juga bahwa aku tetap merokok. Dia selalu menasihatiku untuk berhenti. Tapi berhenti merokok itu sudah semakin sulit.

Begitulah seterusnya sampai aku kuliah di Bandung. Di ruang kuliah kami biasa merokok dan hal itu sah secara resmi. Seingatku tidak ada satupun dosen yang melarang kami merokok. Begitulah sampai aku bekerja. Aku tetap seorang perokok kelas menengah. Aku menghabiskan satu slof rokok putih dalam seminggu.

Pencandu rokok sangat bebas dan merdeka ketika itu. Kita bisa merokok dimana saja dan kapan saja. Di pesawat, di kendaraan umum seperti bus atau kereta api, di kantor-kantor, di hotel-hotel. Ada temanku yang mengoleksi asbak dari berbagai hotel berbintang. Di dalam bus Jakarta – Bandung, di bulan puasa, ketika masih belum masuk waktu maghrib tidak ada orang yang merokok. Tapi begitu datang waktu berbuka banyak penumpang yang berbuka dengan menyalakan sebatang rokok. Termasuk aku.

Di kantorku di Balikpapan, seorang teman menghadiahiku sebuah asbak besar. Bukan karena sinis, tapi karena solidaritas sesama pecandu rokok. Sekarang orang mengatakan dilarang merokok di ruangan ber AC. Dulu kami mengomentari larangan seperti itu sebagai takhyul. Tidak ada bukti apa-apa bahwa merokok di ruangan ber AC merusak AC.

Rokok merek apa yang aku hisap? Mula-mula berkenalan dengan rokok di kampung, aku menghisap rokok Kansas. Ketika kuliah di Bandung aku beralih ke Commodore berfilter. Kemudian beralih ke Mascot. Terakhir beralih ke Dunhill.

Kenapa beralih atau berganti rokok? Di Bandung rokok Kansas tidak populer. Seringkali aku mendapatkan bahwa rokok itu sudah usang. Asapnya terasa tengik dan menyakitkan hidung. Commodore lebih populer dan kebanyakan teman-teman mahasiswa pecandu rokok menghisapnya. Aku mulai familiar dan akhirnya menyukai merek itu.

Selama pengalamanku merokok, ada masa-masanya, rokok itu usang semuanya. Dimanapun aku membelinya rokok itu tidak enak rasanya. Hal ini sangat menjengkelkan. Dan mubazir. Karena rokok yang tidak enak itu, baru dihisap satu dua kali tarikan langsung menimbulkan rasa tidak enak sehingga langsung dibuang. Kalau sudah begitu, aku beralih ke rokok keretek untuk sementara. Meskipun aku sebenarnya tidak terlalu menyukai rokok keretek. Setelah berlalu beberapa hari atau kadang-kadang beberapa minggu aku coba kembali merek sebelumnya. Ternyata sudah kembali yang baik, yang tidak apak, yang tidak usang.

Suatu ketika rokok Commodore usang itu hadir berulang-ulang. Hal ini jelas sangat menjengkelkan. Itulah sebabnya aku beralih ke Mascot. Ketika aku ditugaskan ke Perancis pertama kali untuk beberapa bulan aku membawa bekal beberapa slof rokok Mascot. Tentu tidak mencukupi untuk waktu lama. Lalu aku pindah ke merek Dunhill. Hal itu terjadi di tahun 1983.

Aku jadi penghisap Dunhill sampai tahun 1988 ketika aku untuk kedua kalinya berada di Perancis selama dua tahun. Lalu terjadi pula fenomena rokok usang. Dimanapun aku beli, semua rokok Dunhill itu usang dan apak. Setiap kotak yang dibuka, baru satu batang dicoba sudah ketahuan bahwa rokok itu tidak enak. Bungkus itu langsung dibuang. Beli lagi yang baru. Begitu lagi. Di buang lagi.

Di Perancis tidak ada rokok keretek untuk transisi (setiap kali mengalami beredar rokok usang, aku pindah sementara ke keretek Dji Sam Sue). Aku uring-uringan. Tiba-tiba tercetus keinginan untuk berhenti merokok.

Istriku mentertawakan karena dia tidak percaya aku akan sanggup berhenti merokok. Banyak sekali orang yang sudah menasihatiku untuk berhenti merokok, tidak seorangpun yang berhasil. Lalu sekarang aku akan berhenti? Dia tidak sedikitpun percaya.

Sepertinya aku tidak punya pilihan. Berhari-hari aku mencoba membeli rokok dan ternyata tetap busuk. Tetap rokok usang yang menyengit menyakitkan hidung. Sampai akhirnya aku berhenti mencobanya.

Berhenti sehari. Dua hari. Sampai seminggu. Bukan sesuatu yang mudah dan enteng. Aku sangat uring-uringan. Tapi mau mencoba lagi, khawatir karena sepertinya akan mendapatkan rokok tengik lagi. Jadinya tidak jadi membeli. Akhirnya sampai sebulan, tanpa rokok. Wah, kok terasa enak juga? Paling tidak bau rumah tidak lagi bau rokok. Bau baju tidak lagi bau rokok. Bau mulut tidak lagi pahit bau rokok. Berhenti itupun berketerusan. Sampai dua bulan. Sampai tiga bulan. Aku hanya ingat Agustus 1988 adalah saat terakhir aku menghisap rokok.

Dan aku mewanti-wanti diriku. Sekali saja aku mencoba lagi sebatang rokok, candu itu pasti kembali. Jadi aku benar-benar tidak mau lagi menyentuh rokok. Sampai sekarang. Meskipun sampai sekarang, ketika mencium asap rokok Dunhill yang enak aku masih bisa mengenalinya. Itu dulu rokokku. Tapi tetap tidak mau mencobanya lagi. Ingat! Kataku kepada diriku. Sebatang saja kau coba kau akan ketagihan lagi.

Ternyata indah sekali terbebas dari kecanduan rokok. Ternyata sungguh zalim ketika dulu aku seorang perokok. Di dalam mobil berlima dengan anak-anakku yang masih kanak-kanak, aku tetap merokok dan merasa sudah cukup memberi perhatian untuk istri dan anak-anakku dengan sedikit membuka jendela mobil. Di kamar hotel ketika kami berlibur bersama-sama, ruangan kamar itu berawan oleh asap rokokku. Mereka jadi korban sebagai perokok pasif.

Dan aku menzalimi diriku sendiri di bulan puasa. Berhenti merokok di siang hari lalu membalas dendam dengan merokok sebanyak-banyaknya di malam hari. Berbuka puasa dengan sebatang rokok. Memulai puasa di akhir sebatang rokok. Terkantuk-kantuk berlebihan di siang hari karena tidak merokok. Berkepul-kepul ketika mendengar ceramah Ramadhan. Rokok, rokok, rokok. Tiada masa tanpa rokok.

Aku benar-benar bersyukur karena terlepas dari belenggu rokok.


*****

Thursday, January 22, 2009

TUO SURAU TUA

TUO SURAU TUA

Sejak beberapa bulan yang lalu orang tua itu tinggal menempati surau tua. Orang tua yang tiba-tiba saja muncul di kampung itu sejak beberapa bulan yang lalu. Hampir tidak ada orang kampung yang mengenalinya. Dia tinggal sendirian di surau tua itu, meski makan minumnya di sediakan oleh penghuni rumah gadang di depan surau.

Tadi malam orang tua itu meninggal. Kini tubuhnya terbaring kaku. Matanya yang tadi mendelik sudah dipejamkan dan kepalanya diikat saputangan melingkari mukanya untuk membantu mengatupkan mulutnya yang tadi sedikit terbuka. Tubuh mayat itu baru saja dipindahkan dari surau tua ke rumah gadang. Orang kampung berdatangan melayat.

‘Jam berapa beliau pergi?’ tanya om Munir kepada Rasdiman.

‘Tidak ada yang tahu, om. Sore kemarin menurut Deswita, beliau mengeluh sakit dada. Dan tidak mau makan. Beliau minta obat gosok. Setelah dapat obat gosok dan membalur perut dan dadanya dengan obat itu beliau mengatakan akan tidur. Deswita masih mengingatkan agar makan dulu sebelum tidur. Beliau menyuruh Deswita pergi karena beliau merasa tidak apa-apa. Tadi sehabis subuh, waktu Deswita mengantarkan minuman ternyata beliau sudah tidak ada,’ Rasdiman menjelaskan.

‘Kasihan orang tua ini. Mudah-mudahan kepergian beliau dalam husnul khatimah,’ kata om Munir.

‘Apa mungkin beliau pergi tengah malam tadi?’ tanya Mikado.

‘Entahlah. Tapi melihat tubuhnya masih belum terlalu dingin, mungkin belum terlalu lama beliau menghembuskan nafas terakhir,’ jawab Rasdiman.

‘Dan beliau tinggal sendiri saja di surau di belakang itu kan? Sebenarnya siapa tuo ini, bang?’ tanya Mikado kepada Rasdiman.

‘Kata Deswita inyiaknya. Mamak dari ibunya,’ jawab Rasdiman pula.

‘Sebelum di kampung ini dimana saja beliau?’

‘Di Jakarta,’ jawab om Munir.

‘Tentu sudah lama sekali beliau pergi merantau,’ Mikado berkata seperti untuk dirinya sendiri.

‘Ya. Sudah lama sekali. Om pun tidak kenal dengan beliau sebelum dia pulang ke kampung kita beberapa bulan yang lalu. Kabarnya beliau meninggalkan kampung di akhir tahun empat puluhan.’

‘Siapa nama beliau, om? Om tahu?’ tanya Mikado lagi.

‘Kata Deswita nama beliau Danan. Mungkin maksudnya Adnan. Entah siapa gelar beliau,’ Rasdiman yang menjawab.

‘Mungkin tidak ada gelar beliau. Atau mungkin tidak beliau pakai,’ jawab om Munir.

‘Kenapa begitu?’ tanya Mikado.

‘Karena beliau tidak menikah di kampung. Beliau tidak menikah dengan orang awak. Om rasa karena itu,’ jawab om Munir.

‘Orang mana istri beliau? Apakah istri beliau sudah tidak ada?’ Mikado semakin ingin tahu.

‘Kabarnya istri beliau orang Jawa dan sudah meninggal,’ jawab om Munir lagi.

‘Ya, nasib beliau kurang begitu baik di hari tuanya. Kata Deswita, istri beliau sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Beliau tinggal di daerah Cipinang di Jakarta. Rumah itu kena gusur karena pemerintah sedang membuat saluran untuk menahan banjir. Anak beliau hanya satu orang. Tadinya anak beliau itulah yang merawat beliau sejak kematian istri beliau. Waktu rumah mereka digusur anak beliau itu menompang tinggal dengan anaknya pula. Meskipun diajak ikut pindah ke tempat cucunya, beliau tidak bersedia. Itulah sebabnya beliau memutuskan untuk pulang ke kampung beberapa bulan yang lalu,’ Rasdiman menjelaskan

‘Aneh juga. Bukankah kalau rumah kena gusur biasanya pemiliknya mendapat ganti rugi dari pemerintah?’ giliran om Munir bertanya.

‘Karena beliau tidak mempunyai surat-surat. Tanah itu dulu beliau beli dari orang Betawi tapi tidak pernah diurus surat-suratnya. Waktu terjadi penggusuran, beliau hanya diberi uang kerahiman. Uang itulah yang beliau pakai untuk ongkos pulang.’

‘Luaskah tanahnya?’ tanya om Munir pula.

‘Menurut cerita beliau, hanya sekitar 120m persegi. Dengan rumah semi permanen di atasnya. Pemerintah hanya memberikan uang kerahiman untuk pengganti bangunan rumah saja.’

‘Kasihan juga.’

‘Pernahkah beliau pulang kampung sebelum ini?’ tanya Mikado.

‘Tidak pernah. Kata Deswita tidak pernah.’

‘Tapi Deswita mengenal beliau?’ tanya om Munir.

‘Deswita pernah mendengar cerita ibunya tentang tuo Danan yang tinggal di Jakarta tapi tidak pernah pulang-pulang.’

‘Bagaimana Deswita mengenali beliau ketika beliau baru pulang?’ tanya om Munir pula.

‘Waktu pertama kali sampai di kampung, beliau memperkenalkan diri sebagai tuo Danan. Deswita menerima dan melayani beliau dengan penuh hormat, karena dia tahu itu adalah inyiak kandungnya. Hanya dua malam beliau mau tidur di rumah gadang ini, sesudah itu beliau minta ijin untuk tinggal di surau di belakang. Pada dua malam pertama itu beliau bercerita tentang perjalanan hidup beliau sejak pergi merantau meninggalkan kampung. Kepada Deswita dikatakannya bahwa dia ingin menompang meninggal di kampung. Kami terharu mendengarnya,’ Rasdiman menjelaskan.

‘Tuo ini beberapa kali datang ke rumah dan bercerita-cerita dengan nenekku,’ kata Erwin.

‘Ya, nenekmu, tek Kawisah adalah diantara beberapa orang yang masih beliau kenal di kampung kita ini,’ om Munir menambahkan.

‘Pastilah orang-orang tua itu bernostalgia,’ kata Mikado.

‘Sepertinya demikian. Kadang-kadang dalam obrolan itu beliau berdua terkekeh-kekeh tertawa,’ kata Erwin pula.

‘Kau ikut mendengar obrolan mereka?’ tanya Mikado.

‘Pernah. Pernah aku kebetulan mendengar perbincangan mereka.’

‘Benarkan mereka bernostalgia?’

‘Sepertinya, seperti yang aku dengar dari obrolan itu, beliau tidak pulang-pulang karena patah hati,’ tambah Erwin.

‘Sudahlah! Tidak baik kita memperkatakan beliau lagi. Beliau sudah tidak ada,’ om Munir menengahi perbincangan itu.

‘Tapi benar, Nando. Benar yang dikatakan si Erwin,’ Muncak Amat yang dari tadi mendengar obrolan mereka ikut menyela.

‘Maksud Muncak ?’ tanya om Munir pendek. (Gelar om Munir Sutan Rajo Nando).

‘Hal itu jadi penyesalan besar bagi inyiak saya. Inyiak Bagindo Samad. Inyiak Bagindo Samad adalah mamak dari tuo Danan ini. Tuo Danan ingin menikahi padi abuannya, anak dari inyiak Bagindo Samad tapi beliau tidak mengijinkannya. Entah karena alasan apa. Sejak itulah beliau pergi meninggalkan kampung dan tidak pernah pulang lagi. Inyiak saya sering mengulang-ulang penyesalan beliau. Aku ingin memintakan maaf beliau di hadapan jenazah almarhum ini,’ Muncak Amat menjelaskan.

‘Padi abuan beliau yang mana?’ tanya om Munir terpancing.

‘Etekku. Tek Dahana,’ jawab Muncak.

‘Oo? Jadi begitu?’ tanya om Munir pula.

‘Itukah sebabnya nek Dahana itu tidak menikah sampai akhir hayat beliau mak Dang?’ tanya Mikado.

‘Entah pulalah,’ jawab Muncak Amat.

Mereka menghentikan obrolan itu ketika Deswita datang menghampir.

‘Bagaimana? Bisakah bibi Ningsih itu dihubungi?’ tanya Rasdiman kepada istrerinya, Deswita.

‘Sudah uda. Beliau akan berusaha pulang hari ini juga. Tapi katanya tidak usah ditunggu.’

‘Jadi kita selenggarakan saja jenazah ini?’ tanya Rasdiman pula.

‘Bagaimana baiknya om?’ tanya Deswita kepada om Munir.

‘Kalau memang sudah ada keikhlasan puteri beliau demikian, sebaiknya kita selenggarakan saja segera. Bagaimana pendapat Muncak?’ om Munir minta pendapat Muncak Amat.

‘Suai itu. Segera sajalah kita mandikan,’ jawab Muncak Amat.

Lalu mereka yang hadir menyiapkan segala sesuatu untuk penyelenggaraan fardhu kifayah untuk orang tua itu.


*****