Friday, January 4, 2008

MELAWAT KE DUBAI DAN ISTAMBUL (bag.4)

MELAWAT KE DUBAI DAN ISTAMBUL (bag.4)

7. ISTANA TOPKAPI

Hari Kamis tanggal 16 Agustus kami meninggalkan hotel jam sembilan pagi. Tujuan kami adalah ke Istana Topkapi. Lale sudah datang seperempat jam sebelum kami berangkat. Jam setengah sepuluh kami sudah sampai di gerbang istana itu. Istana Topkapi terletak di sebuah bukit di ujung tanjung yang dikenal sebagai ‘the golden horn’ atau ‘tanduk emas’.

Istana Topkapi mulai dibangun sekitar tahun 1465. Nama Topkapi baru populer di awal abad ke sembilan belas. Topkapi artinya adalah gerbang meriam (cannon gate). Istana ini adalah tempat tinggal para Sultan kekaisaran Ottoman sampai pertengahan abad ke sembilan belas. Pada awalnya istana ini hanyalah bangunan yang tidak terlalu besar yang dibangun oleh Sultan Muhammad II. Bangunan itu bertambah besar setiap kali Sultan baru dinobatkan, karena masing-masing Sultan menambahkan bagian-bagian tertentu di dalam kompleks istana. Sayangnya, penambahan-penambahan bangunan itu tidak simetris sehingga yang ada sekarang terkesan agak tumpang tindih.

Cukup banyak pengunjung ketika kami berada disini pada pagi hari itu. Umumnya wisatawan dari Eropah dan negeri-negeri Arab. Seorang wisatawan menyapa dan menanyakan apakah kami rombongan dari Malaysia. Dia sendiri adalah wisatawan dari Saudi Arabia.

Kami segera melalui gerbang utama untuk masuk ke dalam kompleks istana yang luas ini. Di belakang gerbang terletak sebuah taman yang luas memanjang ke arah dalam. Di sebelah kanan terdapat bangunan seperti barak tua. Bangunan ini jauh dari kesan megah dan mewah. Rupanya barak di sebelah kanan itu adalah tempat menyimpan barang pecah belah dan porselen yang dulu digunakan oleh keluarga istana. Koleksi porselen yang terdiri dari piring mangkuk, cangkir, teko dengan berbagai warna dan ukuran. Banyak yang sudah berumur ratusan tahun. Sebahagian besar barang pecah belah itu berasal dari Cina dan Jepang. Hampir semua benda-benda antik itu masih terlihat utuh tanpa cacat. Ada piring dari batu giok berwarna hijau yang kononnya akan berubah warna seandainya di atasnya ditaruh makanan beracun.

Kami masuk lebih ke arah dalam di jejeran barak di sisi kanan kompleks ini, melalui bagian dapur istana. Lale bercerita bahwa di dapur ini dulu disiapkan makanan untuk 3000 orang penghuni istana besar itu. Setiap hari diperlukan 200 ekor domba, 100 ekor kambing, 40 ekor bebek untuk dimasak oleh 400 orang petugas dapur yang dibagi menjadi tujuh kelompok (entah kenapa jumlah bebek lebih sedikit). Dalam setahun diperlukan 20,000 ekor ayam dan kalkun. Jumlah yang sangat luar biasa. Aku terheran-heran mendengar jumlah penghuni yang mencapai 3000 orang. Rupanya yang tinggal di istana kala itu tidak hanya keluarga besar Sultan tapi termasuk juga tentara dan para pengawal.

Berhadapan dengan bagian dapur di sisi sebelah kiri dari taman, terletak bangunan istana tempat tinggal Sultan. Termasuk kedalam bagian ini adalah harem tempat tinggal wanita-wanita pelayan Sultan. Dinding bangunan ini terbuat dari batu pualam berwarna-warni bagai diukir. Umumnya berwarna biru muda dan lembut. Disana-sini dihiasi oleh tulisan kaligrafi ayat-ayat al Quran yang warnanya juga serasi. Sebagian tulisan kaligrafi juga terdapat di langit-langit.

Lale menjelaskan pengertian dari harem sebagai tempat dikumpulkannya wanita-wanita muda (dan cantik) yang di datangkan dari berbagai pelosok negeri kekuasaan kesultanan. Mereka bertugas sebagai dayang untuk menghibur Sultan, sebagai penyanyi, penari, pemain alat musik dan sebagainya. Lale mengatakan bahwa dunia barat sering mencemooh pengertian harem sebagai tempat memelihara gundik-gundik para Sultan yang menurut dia tidaklah benar. Memang betul bahwa Sultan mengambil empat orang istri dari kumpulan wanita penghuni harem itu untuk dinikahinya (sesuai dengan yang diizinkan dalam agama Islam). Wanita yang tidak terpilih menjadi istri Sultan, setelah mereka lebih berumur, ada yang dinikahi oleh petinggi negara atau komandan tentara atau keluar dari lingkungan istana untuk hidup sebagai manusia biasa. Wallahu a’lam.

Ibu kandung Sultan sangat berpengaruh dalam pemilihan istri untuk Sultan. Menurut Lale hidup para wanita di lingkungan harem adalah sangat keras dan penuh intrik. Para wanita pingitan itu berusaha keras untuk mengambil hati ibu kandung Sultan sekaligus hati Sultan sendiri. Setelah mereka terpilih, karena Sultan tidak mengangkat permaisuri, persaingan dan intrik di antara para istri yang empat orang itu terus berlanjut. Bahkan pernah terjadi, ada putera Sultan yang hilang tanpa bekas, kemungkinan diculik oleh istri saingannya yang juga mempunyai anak laki-laki. Tentu saja dengan harapan anaknya yang akan menjadi Sultan berikutnya.

Aku menanyakan kebenaran cerita yang pernah kudengar bahwa ada di antara putera Sultan yang membunuh adik-adiknya untuk mengamankan tempat agar dia bisa menjadi Sultan berikutnya. Lale membenarkan hal itu. Sangat mengherankan bahwa dinasti seperti itu mampu bertahan berabad-abad lamanya.

Di sebelah depan dari harem terdapat ruang sidang perdana menteri (wazir) dengan menteri-menterinya. Sultan tidak pernah hadir di ruangan itu tapi berada di dalam harem. Dia dapat mendengarkan setiap percakapan para menteri sementara para menteri tidak dapat melihat keberadaan Sultan. Dengan cara seperti ini para menteri itu tidak mungkin berbicara sembarangan kalau tidak ingin mendapatkan hukuman dari Sultan. Hanya Perdana Menteri yang boleh datang menghadap dan melapor kepada Sultan sedangkan para menteri tidak diizinkan.

Kami tidak masuk ke dalam harem, karena menurut Lale saat ini tidak ada lagi para wanita muda dan cantik di dalamnya untuk dilihat. Kami masuk lebih jauh ke bagian dalam melalui gerbang lain. Pintu gerbang itu dihiasi dengan kaligrafi ayat-ayat al Quran disamping tulisan huruf Arab Turki (mirip dengan huruf Arab yang digunakan Pakistan). Di sebelah kanan terdapat lanjutan dari barak yang memanjang tadi. Salah satu bagian dari bangunan memanjang itu adalah tempat koleksi perhiasan dan batu permata milik Sultan. Di etalase yang ditutup dan dijaga ketat dipajang bermacam-macam batu permata. Di antaranya terdapat intan besar yang dulu adalah penghias mahkota Sultan. Terdapat pula pedang dengan gagang yang juga dihiasi oleh untaian permata.

Dari ruangan perbendaharaan kesultanan ini kami menuju ke sebuah teras yang cukup luas tempat mengamati pemandangan ke arah laut. Pemandangan yang sangat elok di kedua sisi tanjung Tanduk Emas.

Tidak mungkin memasuki semua ruangan yang ada di dalam kompleks istana ini dalam waktu yang hanya sekitar dua setengah jam. Kami mengamati saja beberapa bangunan yang merupakan ruang sidang, mesjid istana, taman dan air mancur. Ruangan sidang dan mesjid itu dihiasi dengan kaligrafi yang memuat ayat-ayat al Quran. Ruangan tempat menyimpan pedang peninggalan Rasulullah, (konon juga rambut beliau) sedang di renovasi dan ditutup untuk umum. Lale menceritakan pula tentang sebuah bangunan tempat mencetak uang logam emas. Sebanyak 20.000 koin emas dikeluarkan setiap tanggal satu dari istana ini. Kurang jelas apakah produksi 20.000 koin emas setiap bulan itu berlangsung terus menerus selama keberadaan kekaisaran Ottoman.

Sebelum meninggalkan kompleks istana itu aku sempat masuk ke ruangan yang memajang lukisan para Sultan yang pernah tinggal diistana ini. 24 orang Sultan, sejak dari Sultan Muhammad II.

Jam satu siang kami akhiri kunjungan ke istana Topkapi dan bersiap-siap untuk mengunjungi Mesjid Sultan Ahmad.


*****

8. MESJID SULTAN AHMAD


Dari kunjungan ke Istana Topkapi kami pergi dulu makan siang ke sebuah restoran Cina, tidak jauh dari gerbang istana. Kami berjalan kaki kesana. Anggota rombongan menyenangi restoran Cina karena disini pasti bertemu nasi. Ada dari anggota rombongan ini yang berbekal sambel sejak dari rumah untuk dinikmati dengan nasi. Dasar rombongan orang Indonesia asli. Masakan di restoran Cina terhitung biasa-biasa saja. Tapi karena sudah lapar dan makan nasi dengan sambel, kami makan enak juga akhirnya.

Sesudah makan barulah kami menuju mesjid Sultan Ahmad. Mesjid ini dijuluki juga Mesjid Biru karena warna dinding di bagian dalam didominasi warna biru. Waktu itu persis menjelang waktu shalat zuhur. Lale menunjukkan kepada kami tempat berwudhu. Baru saja aku selesai wudhu terdengar suara azan dari pengeras suara di menara mesjid ini. Aku mendongak dan memperhatikan menara-menara yang kokoh dan menjulang tinggi.

Mesjid ini dibangun pada tahun 1609, dimasa pemerintahan Sultan Ahmad (1603 -1617) di sebuah dataran bekas hipodrom peninggalan kerajaan Bizantium lama. Komplek mesjid ini mencakupi madrasah di bagian belakang. Menurut cerita, tadinya di dalam komplek mesjid terdapat pula pasar amal, tempat meletakkan kereta dan rumah sakit. Dua yang terakhir ini sudah rusak dan sekarang tidak ada lagi bekasnya.

Kami masuki mesjid besar ini melalui pintu yang ada penjaganya. Rupanya mesjid ini juga dibuka untuk dilihat-lihat saja, karena ketika kami mau masuk petugas penjaga memberi tahu, kali ini yang boleh masuk hanya mereka yang akan mengerjakan shalat saja. Aku berdecak kagum melihat bagian dalam mesjid yang sungguh luar biasa. Dengan tiang-tiang dan pilar-pilar sangat besar menjulang tinggi ke langit-langit. Dan langit-langit yang melengkung (terdiri dari banyak lengkungan bagai sambung menyambung) terbuat dari batu masif sehingga memantulkan suara dan sekaligus merupakan sistim pengatur suara. Pernah aku membaca tulisan di majalah Intisari bahwa lengkungan langit-langit dan sistim ventilasi udara dibuat sedemikian rupa agar jelaga atau asap hitam yang berasal dari lilin untuk penerangan di waktu malam tidak mengotori langit-langit itu. Betul-betul sebuah hasil karya tangan manusia yang bernilai tinggi. Sekali lagi, warna biru mendominasi dinding bagian dalam mesjid ini. Dengan motif berbunga-bunga yang bagaikan diukir disertai kaligrafi yang tertata indah. Lale menyebutkan jumlah lebih dari dua puluhan ribu keping keramik berwarna-warni (umumnya biru kehijauan) yang diperlukan untuk menghiasi dinding mesjid ini. Dan semua, puluhan ribu keping itu (aku lupa berapa tepatnya) dibuat sedemikian rupa sehingga tidak meninggalkan sedikitpun cacat untuk dilihat. Serba tertata dengan indah dan teratur.

Ukuran mesjid ini barangkali tidak jauh berbeda dengan mesjid Beyazid tempat aku shalat subuh tapi yang ini memang kelihatan jauh lebih indah. Keindahan yang menimbulkan kesejukan.

Kami shalat zuhur berjamaah. Cukup banyak yang ikut shalat. Jamaah laki-laki lebih dari dua saf dengan saf yang panjang. Sebahagian besar dari jamaah siang itu kelihatannya adalah pengunjung. Seperti di mesjid Beyazid di depan saf pertama ada tempat gantungan tasbih dengan puluhan tasbih terletak disana. Jamaah yang memerlukannya mengambil dan menggunakan tasbih tersebut lalu sesudah selesai meletakkannya kembali ke tempatnya.

Sesudah shalat aku masih mematut-matut berkeliling bagian dalam mesjid besar ini. Cukup membahagiakan mengetahui bahwa mesjid ini tidak dijadikan musium seperti yang aku dengar tapi masih tetap berfungsi sebagai mesjid jami’. Ingin aku kembali ke mesjid ini besok untuk melihat bagaimana pelaksanaan shalat Jumat di mesjid ini.

Sebelum meninggalkan Mesjid Biru, Lale menceritakan sebuah lagi kisah tentang mesjid ini. Sultan Ahmad memerintahkan kepada arsiteknya untuk membangun mesjid tersebut dengan menara yang terbuat dari emas. Sang arsitek sangat terkejut menerima perintah itu karena dia memahami bahwa biaya pembangunannya tentu akan sangat tinggi. ‘Emas’ dalam bahasa Turki mempunyai kemiripan prononsiasi dengan ‘enam’. Arsitek yang rupanya cukup nekad itu, bukannya membuat menara dari emas tapi membuat enam buah menara untuk mesjid. Jadilah mesjid Sultan Ahmad satu-satunya yang mempunyai enam menara sementara mesjid-mesjid lain mempunyai empat menara. Tidak disebutkan apakah sang arsitek mendapat hukuman karena kenekadannya. Tapi, kata Lale pula, boleh jadi sang arsitek itu dimaafkan. Karena sang Sultan, memerintahkan agar menara Masjidil Haram di Makkah (yang tadinya juga empat) ditambah sehingga menjadi sembilan. Karena Masjidil Haram tetap harus lebih mulia dari mesjid beliau. Wallahu a’lam.

Dari Mesjid Biru Sultan Ahmad kami pergi mengunjungi toko permadani buatan tangan. Lale tidak lupa bercerita tentang keistimewaan karpet buatan Turki yang katanya lebih berkualitas dari karpet buatan negeri lain. Toko yang kami kunjungi itu menempati beberapa ruangan di sebuah bangunan bertingkat. Kami dijamu dan diterima oleh manajer toko dengan sambutan selamat datang seorang pedagang tulen. Diawali dengan suguhan teh apel, dilanjutkan dengan penjelasan tentang karpet buatan Turki, macam-macam bahannya, cara membuat sehingga karpet Turki umumnya lebih tebal dan lebih kuat. Penjelasan itu disampaikannya dalam bentuk presentasi yang cukup apik dalam bahasa Inggeris yang baik. Tidak lupa dia (dan anak buahnya) menunjukkan setiap jenis karpet dari bahan yang berbeda. Benang sebagai bahan pembuat karpet ada tiga macam yaitu benang kapas, benang wool dan benang sutera. Karpetnya sendiri dibuat dari ketiga jenis bahan atau kombinasinya. Misalnya ada yang dasarnya benang kapas sedangkan rajutan karpetnya dari benang wool.

Pada saat dia mengakhiri presentasinya, puluhan lembar permadani dari berbagai ukuran digelar memenuhi ruang pameran yang luas. Di sebuah sudut setiap permadani disematkan secarik kertas yang menjelaskan ukuran, bahan dari permadani tersebut. Ada angka (2000, 3000, 5000 dan sebagainya) yang tadinya aku sangka merupakan kode setiap lembaran itu karena angka-angka tersebut tidak disertai huruf apapun. Aku agak terbelalak setelah mengetahui bahwa angka-angka tersebut adalah harga permadani dalam US $. Meskipun harga tersebut kemudian didiskon bahkan sampai 20-30% tetap saja harganya masih ‘wah’ kalau dirupiahkan.

Beberapa orang dari kami rupanya terpancing untuk membelanjakan US $ mereka. Transaksipun terjadi. Aku cukup terkagum-kagum saja dengan sebuah sajadah yang dibeli seorang peserta seharga US $ 500. Sajadah berbenang sutera.

Selesai pula kunjungan kami ke toko karpet. Berikutnya kami dibawa ke Grand Bazaar (Pasar Besar). Kali ini untuk mengenali tempatnya saja. Karena besok pagi anggota rombongan akan bebas dan dapat kembali kesana untuk berbelanja.


*****

No comments: