Saturday, March 22, 2008

Oleh-oleh Dari Perjalanan Haji 1424H (17)

17. Melontar Jumrah (1)


Menjelang jam empat kami sampai di Mina. Mina masih ramai sekali dengan jamaah yang datang dan pergi untuk melontar. Sejauh mata memandang dari depan kompleks tenda-tenda kami, yang terlihat adalah ribuan manusia. Baik yang di jalan maupun yang berada di jalur jamarat, di bagian bawah. Semua bergerak. Ada yang baru datang ada yang mau berangkat pergi. Yang juga menarik perhatian saya adalah suara sirine ambulans yang tetap ramai. Apakah sampai sore hari ini masih ada lagi korban?

Kami langsung menuju ke tenda. Rencananya kami akan melontar sesudah shalat ashar nanti. Begitu sampai, salah satu jamaah bercerita bahwa dia baru saja menerima sms dari Jakarta yang mengatakan peristiwa musibah Mina sudah ditayangkan tv Indosiar. Katanya lebih dua ratus empat puluh orang korban meninggal dan sebagian besar orang Indonesia. Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Cerita tentang bagaimana musibah itu terjadi agak simpang siur.

Ingatan saya kembali melayang ke tahun sembilan puluh. Waktu itu terjadi musibah yang paling besar di terowongan Mina, juga tanggal 10 Zulhijjah. Ketika itu jamaah yang datang dari melontar dan yang akan pergi melontar sama-sama berada dalam terowongan yang panjang itu. Tiba-tiba entah karena apa, konon lampu penerangan dalam terowongan itu mati. Terjadi kepanikan di kalangan para jamaah. Itulah yang jadi pangkal terjadinya musibah yang menyedihkan itu. Ribuan jumlahnya korban yang jatuh ketika itu dan dari jamaah Indonesia juga yang terbanyak. Saya sendiri pada waktu terjadinya musibah itu masih berada di dalam bus yang tidak kunjung menemukan lokasi tenda kami. Bus itu berputar-putar di sekitar Mina sejak jam enam pagi sampai jam sebelas siang ketika akhirnya kami diturunkan kira-kira tiga ratus meter dari tenda jamaah Indonesia yang ditandai dengan bendera merah putih. Selama tertahan dibawa hilir mudik oleh bus itu terdengar suara sirine ambulans tidak pernah berhenti-henti. Kami baru tahu bahwa terjadi musibah dahsyat keesokan harinya dari jamaah yang membaca koran terbitan Saudi.

Melontar jumrah, khususnya pada hari pertama (tanggal 10 Zulhijjah) dan hari ketiga (12 Zulhijjah) memang perlu keberhati-hatian ekstra karena jumlah jamaah yang ingin mengerjakannya pada waktu afdal (waktu dhuha untuk yang pertama dan segera setelah masuk waktu zuhur untuk yang kedua). Tanggal 10, jamaah ingin cepat-cepat pergi melontar kemudian sesegera mungkin pula turun ke Makkah untuk thawaf ifadha. Tanggal 12, mereka yang akan segera meninggalkan Mina (nafar awal) berebutan untuk secepatnya pergi melontar. Yang pertama lebih sulit lagi karena jumrah yang dilontar hanya satu (jumrah Aqabah) dan dari setengah sisi pula. Disinilah tingkat ‘kesulitan’nya bertambah. Namun satu hal yang perlu disadari, ada, bahkan lebih banyak musim haji dimana korban yang jatuh pada saat melontar itu bisa diabaikan. Artinya, dengan keberhati-hatian khusus, insya Allah bisa selamat.

Bagaimana dong terjadinya kecelakaan itu? Seberapa jauh tanggung jawab aparat keamanan Saudi untuk mengamankan pelaksanaan ibadah tadi? Bagi yang belum melaksanakan haji, mungkin tidak bisa membayangkan bagaimana keadaannya ketika ratusan ribu umat manusia berkumpul kesatu titik yang relatif sempit pada saat yang hampir bersamaan dengan tujuan yang sama pula. Jumlah itu benar-benar ratusan ribu, dua ratus ribu, tiga ratus ribu dari dua setengah juta jumlah jamaah haji, berdesak-desak. Bagaimana petugas keamanan akan mengamankan manusia sebanyak itu dan berapa banyak petugas yang harus diadakan? Hampir tidak mungkin mereka dikerahkan untuk mengawalnya dan lalu dengan pengawalan diharapkan keadaan akan menjadi aman. Petugas keamanan ada disekitar sana (asykar, polisi) tapi tidak banyak yang bisa mereka perbuat. Lalu bagaimana dong? Lingkungan melontar itu bisa dianggap aman sampai ke jarak dua puluh sampai tiga puluh meter ke dekat jumrah yang akan dilempar karena sampai titik itu arus gelombang manusia masih searah. Di dalam radius dua puluhan meter barulah suasananya rawan karena sebagian dari jamaah itu berbalik setelah selesai melontar. Selama masing-masing individu menguasai suasana, berusaha untuk lentur dengan dorongan-dorongan orang banyak untuk mencari celah, seperti yang umumnya dilakukan oleh sebagian besar jamaah, insya Allah akan selamat. Tapi jangan cepat panik, jangan melawan arus, jangan membuat gerakan-gerakan yang membahayakan seperti mengambil barang jatuh, karena hal-hal inilah yang sering menimbulkan bencana. Suasana panik sangat buruk akibatnya. Itulah yang terjadi di terowongan Mina tahun sembilan puluh. Orang-orang panik yang menerjang kemana saja, menimbulkan kepanikan baru dikalangan yang di terjang, akhirnya berubah menjadi malapetaka, ketika orang-orang yang terjatuh tidak dapat bangkit menyelamatkan diri, akhirnya menjadi korban terinjak-injak.

Melontar jumrah tidak mungkin di drop dari wajib haji. Orang akan tetap datang untuk melakukannya kesana biar sudah banyak jatuh korban sekalipun. Pemerintah Saudi, yang menurut pandangan netral saya, sudah berbuat sangat banyak untuk kemashlahatan jamaah haji dari seluruh pelosok bumi Allah ini, tengah merencanakan membuat tempat melontar itu menjadi tujuh tingkat untuk mengantisipasi musim-musim haji masa mendatang.

*****

Sesudah mandi dan shalat ashar kami yang sepuluh orang ditambah pak W, pergi melontar. Orang tetap masih ramai. Saya mengajak semua anggota berdoa khusyuk-khusyuk untuk keselamatan bersama. Sebagai manusia biasa ada juga rasa ketar-ketir di hati saya. Tapi sudahlah, kepada Allah saya bertawakkal.

Kami mendekati jumrah itu sampai jarak sepuluh meter. Jarak yang relatif aman pada saat itu. Setelah itu saya kawal istri dan anak-anak saya satu persatu untuk melontar dari jarak yang lebih dekat, kira-kira lima meter dari jumrah. Kami terdorong-dorong waktu mendekat itu, tapi alhamdulillah selamat. Saya berusaha untuk berdiri kokoh dengan membuka kaki waktu melindungi mereka. Akhirnya kami berhasil menyelesaikan lontaran itu dan kembali ke tenda.



*****

1 comment:

Unknown said...

SALAM
By writer of Hajji Book:
40 Hari Di Tanah SuciThank you