Tuesday, December 29, 2009

DERAI-DERAI CINTA (40)

40. MINGGU CERIA

Minggu. Hari istirahat. Hari bebas dari rutinitas perkuliahan. Dari rutinitas pekerjaan. Hari untuk sedikit bersantai. Begitu biasanya. Di samping hari untuk bereksperimen memasak bagi uni Lani dan teteh Yani. Kadang-kadang teteh Yani membuat pepes ikan mas. Kadang-kadang uni Lani membuat nasi goreng istimewa. Dan kadang-kadang Lala dan Yuni juga ikut-ikutan. Memasak yang ringan-ringan, entah kue-kue kecil. Atau panekuk alias pan cake untuk sarapan. Atau misalnya membuat es buah dengan mencampurkan bermacam-macam buah dimasukkan ke dalam parutan es batu lalu dibubuhi susu kental manis. Dan anehnya, pada hari bereksperimen itu bibik justru tambah sibuk. Melayani permintaan untuk mencari atau bahkan membelikan bahan-bahannya ke pasar.

Hari Minggu ini uni Lani mau membuat gado-gado Padang. Kenapa sih, namanya gado-gado Padang, tanya teteh Yani. Kata uni, karena pakai lontong dan kerupuk merah. Tapi bukankah gado-gado memang pakai lontong? Gado-gado Tengku Angkasa juga pakai lontong. Kalau begitu bedanya hanya pada pemakaian kerupuk merah. Tidak juga, kata uni tidak mau kalah. Gado-gado Tengku Angkasa kuah kacangnya kental dan terasa manisnya. Gado-gado Padang kuahnya tidak terlalu kental dan pedas. Nah, begitu.

Uni lalu bereksperimen dengan membuat kuah atau bumbu kacang sesuai dengan yang dia maksud. Si bibik disuruh menggiling kacang tanah yang sudah digonseng, ditambahi dengan cabe dan sedikit sekali gula jawa.

Sementara itu Lala dan Yuni sedang membersihkan pot bunga di teras depan. Mereka ditemani Imran dan Rizal. Kaki Imran sudah semakin ringan rasanya. Sudah bisa dibawa sedikit lasak walaupun kaki kiri itu masih tetap harus diistirahatkan. Rizal mengangkat dan merapihkan susunan pot-pot itu, lalu Lala dan Yuni merapihkan kembang di dalamnya. Memotong daun-daun yang layu dan mencabuti rumput di sekitarnya. Mereka bekerja sambil bersenda gurau.

‘Kembang-kembang ini keterlaluan kalau tidak mau berbunga,’ kata Rizal.

‘Memangnya kenapa?’ tanya Lala.

‘Kan keterlaluan namanya kalau kembang tidak mau berbunga,’ jawab Rizal asal-asalan.

‘Maksud Rizal, sudah dirawat baik-baik, masak tidak mau berbunga,’ Imran mencoba menjawab.

‘Apa lagi dirawat oleh……’

‘Kok nggak diterusin? Dirawat siapa?’ tanya Yuni penasaran.

‘Dirawat saya yang sengaja datang jauh-jauh dari Jakarta,’ jawab Rizal tersenyum.

‘Yeeeeei… Kok GR amat sih, bang,’ kata Lala.

‘Kan benar……’

‘Maksud Rizal sebenarnya sudah dirawat dua pasang tangan anak gadis…. Iya kan Zal?’ kata Imran pula.

‘Iya sih…. Tapi kan dibantu sepasang tangan anak bujang. Anak bujang yang gagah lagi… he..he..he..’

‘Ih…. Abang Rizal ini ke GR an amat….’

‘Nggak GR-GR amat sih. Pas-pasan aja. Memang orangnya gagah sih…..’

‘Udahlah, Yun! Nggak usah didengerin.’

Sedang mereka bergurau, bertele-tele itu dua buah becak berhenti di depan rumah. Syahrul di satu becak dan Ratih ditemani adiknya Sukma di becak yang satunya lagi.

‘Lagi gotong royong rupanya…….,’ Syahrul menyapa.

‘Kalau aku sedang berjemur… Sambil memandori orang bekerja….,’ jawab Imran.

‘Bagaimana kaki kau, Ran?’ tanya Syahrul pula.

‘Alhamdulillah sudah tidak berdenyut-denyut lagi…… Berombongan benar kalian datang,’ kata Imran.

‘Ya…. Kami ingin tahu kondisi kesehatan kak Imran. Syukurlah, sudah berangsur baik kelihatannya, ya kak,’ kata Ratih.

‘Alhamdulillah….. Sudah berangsur-angsur baik…. Sudah pada kenal, kan ini…… Ratih, ini Lala…. Kalau Yuni sudah kenal kan? Dan itu Rizal saudara saya dari Jakarta…... Itu Sukma adiknya Ratih….’

‘Waktu itu kita ketemu di rumah sakit, kan,’ kata Ratih sambil menyalami Lala.

Lala tersenyum. Mereka semua bersalam-salaman.

Lala mempersilahkan tamu-tamu itu masuk. Sementara pekerjaan mengurus kembang mereka hentikan dulu. Imran bangkit dari tempat duduknya dan ikut masuk dibantu dengan tongkat penyangga.

Suasana dalam rumah itu menjadi ramai. Oleh tawa canda anak-anak muda. Apalagi setelah abang Lutfi ikut pula bergabung. Abang Lutfi dan Rizal sangat pandai melawak.


***

Mereka bersama-sama menikmati gado-gado lontong buatan uni. Yang lontongnya dipesan di tukang lotek di jalan Dipati Ukur dari kemarin. Yang enak dan agak pedas. Dan menyantap pudding yang dibawakan Ratih. Dan es buah campur kreasi Lala dan Yuni. Semua serba mantap.

‘Hebat-hebat makanan dan minuman ini,’ celetuk abang Lutfi.

‘Siapa dulu dong yang bikin…..,’ teteh Yani mengomentari.

‘Siapa memangnya?’ tanya abang pula berpura-pura.

‘He…he..he… Siapa ya?’ Lala ikut meramaikan sambil tertawa kecil.

Yang lain tersenyum.

‘Eih….. Abang baru sadar nih…..’ abang Lutfi mengalihkan pembicaraan.

‘Lho…. Dari tadi abang tidur? Jadi tadi itu ngelindur?’ tanya Rizal.

‘Bukan….. Ini serius nih……’

‘Serius apaan?’

‘Kalian ada tiga pasang…… Mungkin nggak ya? Suatu saat kalian menjadi tiga pasangan sungguhan?’

‘Ya Allaaah….. si abang ngomong apaan sih?’ kata uni Lani.

‘Bener lho….. Tiba-tiba abang kepikiran kayak gitu…. Emangnya salah?’

‘Ya…. nggak salah sih….. Tapi kok ya ada-ada saja begitu lho….’

Lala, Yuni dan Ratih hanya melongo mendengar. Begitu juga teteh Yani dan Sukma.

‘Gimana Zal?’ abang menyambung lagi.

‘Yaaah…. Kok abang ada-ada saja begitu lho…… Ya, nggak ni? Begitu kan, kata uni barusan….he..he..he.. Tapi kok abang nanya ke aku?’

‘Ya iyalah...., nanyanya ke kamu…. Kamu setuju nggak?’

‘Wah…. Aku harus menjawab apa nih? Kalau aku bilang setuju, alasannya apa? Kalau aku bilang nggak setuju, alasannya apa?’

‘Berarti kamu cenderung setuju dong?’

‘Wuih…. Hebat betul kesimpulan abang. Kok bisa begitu?’

‘Habis…., jawabanmu nggak jelas…Udahlah… Tapi kalau pendapatmu bagaimana Ran?’

‘Kalau kata abang mungkin…. Ya mungkin saja, kalau Allah berkehendak kenapa tidak, bisa saja ada di antara kita ini nanti ditetapkan Allah menjadi pasangan. Siapa? Itu rahasia Allah,’ jawab Imran polos.

‘Tapi belum bisa diketahui dari sekarang? Belum bisa diramal?’ tanya abang lebih serius.

‘Untuk apa diramal, bang…?’

‘Dan menurutmu juga tidak perlu direncanakan? Kehidupan berumahtangga nanti itu tidak perlu dipersiapkan sejak jauh hari? Begitu?’

‘Boleh-boleh saja direncanakan.’

‘Lalu?’

‘Merencanakannya itu kan ndak perlu buru-buru. Dan ndak perlu gembar-gembor.’

‘Abang nggak terlalu faham, nih. Maksudmu…..?’

‘Maksudnya Imran nggak perlu melalui proses berpacaran, begitu kan Ran?’ uni mencoba ikut menengahi.

‘Ya… Begitulah lebih kurang, uni.’

‘Jadi begitu ya, Ran?’ abang masih penasaran.

Hening beberapa saat.

‘Kalau pendapatmu bagaimana Rul?’

‘Saya nggak ikut berpendapat, bang he..he..he,’ jawab Syahrul.

‘Kamu punya pacar?’

‘Tidak….. Belum… eh… tidak punya.’

Yang lain tertawa melihat Syahrul gugup.

‘Abang yang ditanyain dari tadi kok yang cowok melulu… Tanya yang cewek-cewek juga dong,’ teteh Yani ikut menambahi.

‘Iya..ya. Bagaimana Yun?’

Yuni hanya mesem-mesem. Tidak ada jawaban.

‘Mungkin Yuni sudah punya pacar kali bang,’ Rizal berkomentar.

‘Kayaknya belum deh….. Atau, jangan-jangan kamu….he..he..he..”

‘Lho…Kok aku?’ jawab Rizal dengan muka sedikit memerah.

‘He..he..he… Kayaknya pas juga tuh… Seandainya iya.’

‘Udahlah bang…. Nggak usahlah jadi mak comblang…. Eh, ngomong-ngomong…. bagaimana? Jadi kita pergi nonton siang ini?’ uni Lani mengalihkan perhatian.

‘Jadi dong…. Syahrul, Ratih ikut yuk. Sukma juga boleh ikut kok. Kita nonton rame-rame.’

‘Film apa, teh?’ tanya Rizal.

‘Sound of Music. Film semua umur….. Ikutan ya….!?’ Jawab teteh Yani.


*****

No comments: