Tuesday, February 26, 2008

SEMINGGU DI RANAH BAKO (bag.13)

13. Panorama Tabek Patah

Langit cerah sore ini. Warna rumah gadang istano Pagar Ruyung yang kaya dengan warna kehitaman terlihat indah dibawah naungan birunya langit. Cahaya matahari sore memandikannya melalui setiap lekuk ukiran yang berwarna warni, sehingga tampak berbinar-binar. Tak puas mata memandang. Dan bangunan ini memang lebih indah dilihat dalam keutuhannya. Aswin masih terpaku memandangnya dari sini, dari pelataran parkir. Ketika mereka siap mau berangkat meninggalkan tempat ini.

Merekapun berangkat. Melalui jalan yang tadi mereka tempuh ketika datang. Menuju mula-mula ke Batu Sangkar. Melalui deretan kampung dan nagari. Yang juga mempunyai rumah gadang yang indah berukir-ukir, terlihat di sisi jalan. Meski tentu saja tidak seindah istano Pagar ruyung.

’Dari Batu Sangkar ke Bukit Tinggi kita bisa juga melalui Padang Panjang. Kalau kita menempuh jalan itu berarti kita mengelilingi gunung Marapi. Tapi kita tidak akan melalui jalan tersebut karena kita akan singgah di Tabek Patah,’ Pohan mengawali pembicaraan.

’Kalau kita melalui Padang Panjang tidak adakah objek wisata lain di jalan?’

’Ada. Batu bertikam di Limo Kaum. Di sekitar lokasi batu itu sekarang ada taman bunga,’ jawab Pohan.

’OK, saya pernah membaca tentang hal itu. Batu yang konon di tikam oleh salah seorang Datuk di antara Datuk Perpatih dan Datuk Ketumanggungan waktu beliau-beliau ini berselisih pendapat. Iya kan?’ Aswin mengomentari.

’Kali ini ternyata kamu lebih tahu. Benar, batu itu sebuah batu berlubang, meski lubangnya terlalu besar sebagai bekas tikaman. Sayang cerita batu bertikam itu hanya diceritakan dari mulut ke mulut dan agak susah membuktikan kebenarannya,’ Pohan mencoba menjelaskan.

’Ya. Dan di prasasti batu bersurat mungkin tidak ada cerita tentang sejarah batu bertikam.’

’Bagaimana pendapatmu tentang ’istano’ Pagar Ruyung?’ tanya Pohan pula.

’Bagus dan indah sekali. Ukiran dan warna cat pada ukirannya sangat khas negeri Minangkabau. Lumayan untuk dikunjungi dan dilihat para pengunjung. Tapi istano itu sepertinya hanya untuk simbol saja. Istano yang asli aku rasa tidak seperti ini,’ jawab Aswin.

’Maksudmu?’

’Aku tidak yakin istano yang asli juga bertingkat seperti yang sekarang ini. Dan menurut literatur yang aku baca, bangunan rumah adat Minangkabau tidak ada yang bertingkat. Satu lagi yang aku perhatikan, bagian yang ketinggian di sebelah kedua ujung istano tidak mempunyai jendela. Entah kenapa demikian,’ kata Aswin.

’Kamu ternyata seorang pemerhati dan kritikus yang baik. Aku tidak pernah terpikir tentang kedua hal itu. Tapi benar, istano ini hanya sebagai lambang atau simbol seperti yang kamu katakan. Pada dasarnya Negeri Minangkabau sudah lama tidak mengenal raja. Istano yang dimiliki raja terakhir Minangkabau kabarnya di hancurkan oleh tentara Paderi di awal abad ke sembilan belas. Istano atau rumah gadang penggantinya dibuat jauh kemudian, dan istano ini yang terbakar di akhir tahun lima puluhan. Istano pengganti sekarang ini baru selesai di penghujung tahun tujuh puluhan,’ ungkap Pohan.

’Aku sedang membaca kisah Cindurmato yang dibeli kemarin. Istano negeri yang dipimpin Bundo Kanduang tentulah di Pagar Ruyung ini. Apakah mungkin di istano yang dihancurkan oleh pasukan Paderi itu?’

’Itulah yang susah dijawab. Tidak ada yang tahu kapan tepatnya Bundo Kanduang memimpin negeri Minangkabau.’

’Tapi cerita tentang Bundo Kanduang sendiri harusnya bukan fiksi?’

’Aku yakin keberadaan Bundo Kanduang bukan khayalan. Meskipun di akhir cerita Cindurmato nanti akan kamu temui bagian yang kurang masuk akal. Pada saat terakhir Bundo Kanduang beserta putera dan menantunya terbang ke langit dengan kendaraan perahu terbang. Bagian ini pasti tidak benar.’

’Aku setuju. Dan tempat-tempat di dalam cerita itu masih jelas. Kalau tidak salah tempat tinggal Datuk Bendahara, salah satu pembantu Bundo Kandung adalah di Sungai Tarab, kampung dekat tempat kita makan siang tadi. Apakah pengganti tempat tinggal Datuk Bendahara masih ada di kampung itu?’

’Entahlah. Aku tidak tahu. Paling tidak aku tidak pernah mendengar.’

Tak terasa mereka sudah hampir sampai di Tabek Patah. Hari sudah menjelang maghrib. Mereka masuk ke area Panorama melalui jalan kecil yang sedikit mendaki. Di lapangan parkir ada beberapa buah kendaraan pribadi. Jadi pelancong kemalaman ini bukanlah mereka saja rupanya. Atau mungkin pemandangan di sini lebih indah saat matahari menjelang terbenam? Aswin bertanya-tanya dalam hatinya.

’Mungkin terlalu sore kita mampir kesini,’ kata Aswin.

’Iya juga sih. Tapi tidak apa-apa. Kita masih bisa melihat pemandangan ke bawah dari panorama ini sekarang. Nanti kita bisa shalat maghrib di mushala di sini. Sesudah shalat kita masih bisa melihat panorama yang sama di bawah sinar bulan,’ jawab Pohan pula.

Dan benar saja. Pemandangan indah di senja hari itu terlihat mempesona. Di bawah terhampar dataran yang luas. Umumnya merupakan sawah yang sambung menyambung. Di beberapa tempat terlihat rimbunan pepohonan dari kampung-kampung seperti onggokan di tengah-tengah hamparan. Ada beberapa teropong pula terdapat di sini. Dengan bantuan teropong Aswin mengintip ke arah hamparan luas itu. Ke arah kampung yang mempunyai rimbunan pohon-pohon. Sungai-sungai kecil di kejauhan sana tercirikan dari pohon-pohon yang berbaris berbelok-belok mengikuti aliran sungai.

’Dimana posisi kita ini sebenarnya? Apakah kita sedang berada di sebuah bukit? Kecuali melalui jalan yang berbelok-belok, rasanya kita tidak pernah mendaki bukit dalam perjalanan tadi. Jalan mendaki hanya dari jalan raya di depan ini saja,’ Aswin bertanya dengan sedikit penasaran.

’Maksudmu di bandingkan dengan tanah datar di bawah itu?

’Ya.’

‘Kita berada di ’matakaki’ gunung Marapi. Dan hamparan di bawah itu persis di telapak kakinya he..he..,’ jawab Pohan asal-asalan.

’Oh ya?’

’Kita berada di bagian bawah gunung Marapi dan lembah itu ibarat ngarai seperti ngarai Sianok. Hanya tidak bertepi,’ Pohan menambahkan. Kali ini lebih serius.

’Ya. Cantik sekali. Lain indah pemandangan dari Puncak Lawang, lain pula indahnya tempat ini,’ komentar Aswin.

Azan maghrib terdengar dikumandangkan. Dari arah lembah suara azan terdengar sayup-sayup bersahut-sahutan. Bulan yang nyaris membundar, terlihat di langit sebelah timur lembah, mulai sedikit berbinar seiring meredupnya cahaya siang. Para pelancong di panorama ini semakin asyik terbuai oleh suasana syahdu pergantian siang dan malam seperti ini. Indah.

Lalu mereka pergi shalat maghrib ke mushala di dekat pelataran parkir. Sebuah mushala mungil asri dan bersih. Beberapa orang petugas dan polisi wisata sudah hadir di mushala itu. Dan di belakang mereka serombongan kecil pelancong tadi juga ikut datang untuk melaksanakan shalat maghrib. Mereka ternyata pelancong dari Malaysia.

Sesudah shalat mereka kembali lagi ke atas sana. Pemandangan di lembah itu sekarang berwarna kuning pucat bermandikan cahaya bulan. Lain pula syahdunya pemandangan seperti ini. Cahaya lampu di kampung-kampung di kejauhan sana terlihat seperti manik-manik. Dan di tempat mereka berada terdengar suara jengkerik sedikit mengusik kesyahduan.

’Enche dari mana? Kelihatannya bukan orang asli kat sini?’ tanya seorang pelancong Malaysia tadi yang juga ikut kembali ke sini seusai shalat maghrib.

’Saya asli dari sini. Dia ini saudara sepupu saya dari Amerika. Bapak sendiri dari mana?’ tanya Pohan.

’Saya dari Negeri Sembilan, Malaysia. Datang menziarahi kampung nenek datuk saya ke negeri yang sangat elok ni. Dari tadi saya tengok yang awak berdua bercakap Indonesia, tapi saya dengar saudara awak banyak mengeluarkan kata-kata bahasa Inggeris. Saya tertanya-tanya tampaknya saudara yang satu ni bukan datang dari kat sini. Apa mungkin dari Malaysia juga. Tapi saya tengokpun, bahasanya tak pula bahasa Melayu. Rupanya dari Emerika,’ kata enche Malaysia itu panjang lebar.

’Saya juga datang ke kampung ayah saya. Ayah saya mamak dari saudara saya ini. Kampung beliau di Koto Gadang,’ Aswin ikut berbicara, setelah mereka bersalam-salaman.

’Oooh. Jadi awak dan ayah awak sekarang tinggal di Emerika Syarikat?’

‘Benar. Dan bapak? Sudah bertemu kampung nenek datuknya?’ tanya Aswin pula.

‘Saya dah lihat ada kampung Batu Hampar manakala kami melalui lebuh nak ke Pagar Ruyung siang tadi. Tapi entahlah kampung itu yang merupakan kampung asal nenek buyut saya. Saya generasi keempat yang tinggal di Negeri Sembilan. Manalah boleh nak tanya tanya lagi, kalaupun itu betul kampung datuk saya. Suku saya Batu Hampar,’ jawab orang itu.

‘Baru sekali ini datang ke sini?’ tanya Pohan.

‘Dah berulang kali. Tak ada bosan-bosan menengok negeri indah permai cam ni. Dan lagipun dekat saja. Sekarang 45 minit dah sampai. Kalau enche muda ni? Siapa nama? Baru sekali ini ke?’

‘Ya. Nama saya Aswin. Baru sekali ini. Saya umur lima tahun di bawah ayah ke Amerika dan sejak itu belum pernah pulang ke Indonesia. Waktu kecil saya juga belum pernah dibawa ke kampung ayah,’ jawab Aswin.

‘Bertuah kita jadi anak cucu orang Minangkabau yang negerinya sangat elok ni.’

Mereka masih bercakap-cakap dengan orang-orang Malaysia itu beberapa saat lagi, di panorama Tabek Patah. Sebelum mereka menuju Bukit Tinggi. Di bawah cahaya bulan.

*****

No comments: