Monday, November 10, 2008

SANG AMANAH (54)

(54)


Hampir semua guru-guru terlambat sekitar sepuluh menit karena ikut mendengarkan cerita pengalaman Arif. Semua kelas riuh dengan suara gaduh murid-murid selama guru-guru belum masuk kelas. Mereka tidak terlalu perduli kenapa guru-guru pada terlambat. Paling-paling ada rapat guru-guru mendadak pikir mereka. Tetapi ketika guru-guru serentak masuk ke kelas masing-masing sepuluh menit kemudian murid-murid yang asyik ngerumpi, membuat gaduh itu kecewa dan bersorak huuuuuu…..

Ibu Sarah, seperti juga guru-guru di kelas lain menceritakan secara ringkas tentang pengalaman teman mereka Arif seperti yang baru saja diceritakannya di ruangan guru. Pesan utama dari cerita itu adalah peringatan kepada murid-murid untuk menghindar dari keterlibatan dalam bentuk apapun dengan urusan pemakaian obat-obat terlarang. Banyak di antara murid-murid mendengarkan cerita tentang Arif dengan perasaan kagum, bersyukur bahwa dia terhindar dari penganiayaan atau dari bahaya penculikan. Arif jadi terkenal karenanya. Padahal sebelumnya tidak semua murid SMU 369 mengenal Arif.

Gito sangat kaget mendengar cerita itu. Dari pagi dia memperhatikan Arif memang agak lain dari biasanya meskipun dia tidak tahu kejadian sebenarnya. Gito menanyakan keberadaan Arif saat ini kepada ibu Sarah.

‘Arif sekarang dimana buk?’ tanya Gito.

‘Masih di ruangan guru. Dia masih ditanyai pak kepala sekolah. Kemarin itu dia dari rumah kamu katanya, betul?’ tanya ibu Sarah.

‘Benar buk. Waktu dia mau pulang saya menawarkan untuk mengantarnya ke pangkalan ojek. Tapi dia menolak,’ jawab Gito.

‘Jam berapa dia berangkat dari rumah kamu?’ tanya ibu Sarah pula.

‘Sekitar jam tiga buk. Dari sekolah kami langsung ke rumah saya, berjalan kaki. Arif tidak sampai setengah jam di rumah saya. Dia buru-buru pamit. Katanya mau naik ojek saja dari pangkalan. Saya tidak tahu apa yang terjadi dengannya kalau tidak ibu ceritakan sekarang,’ Gito kelihatan agak terpukul karena kejadian itu terjadi setelah Arif pulang dari rumahnya.

Ibu Sarah meminta murid-murid diam karena dia akan memulai pelajaran. Tapi tiba-tiba Arif muncul. Anak-anak semua bangkit dari bangku masing-masing. Mereka bergantian menyalami Arif. Waktu giliran Gito, dirangkulnya Arif dan air matanya bercucuran. Mata Arifpun berlinang-linang. Baru beberapa menit kemudian pelajaran ibu Sarah bisa dimulai.


*****


Sesuai dengan yang dijanjikan pak Umar, beliau akan mengantarkan Arif pulang hari ini. Pak Umar cukup khawatir kalau-kalau anak buah Udin Pelor berusaha membalas dendamnya lagi kepada Arif. Di samping itu, setelah tadi mendengar cerita Arif, pak Umar ingin bersilaturrahmi dengan ibu dan adik Arif, semua yang pernah hampir jadi korban kejahilan preman pengedar narkoba itu. Arif dan pak Umar tidak langsung meninggalkan sekolah begitu lonceng tanda jam pelajaran berakhir dibunyikan. Pak Umar menyelesaikan dulu beberapa pekerjaannya. Dalam pikiran pak Umar lebih baik menunggu sampai semua murid-murid meninggalkan sekolah, sehingga seandainya anak buah Udin Pelor menunggu Arif tentu mereka akan mengamati sampai semua murid keluar. Baru setelah itu pak Umar dan Arif akan meninggalkan sekolah. Hal itu dilakukan sebagai usaha menghindari anak buah Udin Pelor kalau saja mereka mengincar Arif siang hari ini.

Jam dua lebih seperempat baru mereka keluar. Guru dan murid itu berboncengan naik Vespa. Pak Umar tidak mengambil jalan raya Kali Malang karena jalan itu mulai macet jam-jam segini. Mereka berbelok ke kanan di samping kantor polisi Pondok Kelapa sampai ke jalan Kencana. Berbelok ke kiri di jalan itu lalu terus lurus ke arah pangkalan bemo di Jalan Pahlawan Revolusi. Jalan ini agak sepi, melalui toko bahan bangunan, rumah-rumah berukuran besar, beberapa di antaranya cukup mewah, gerbang kompleks perumahan Pondok Kelapa Indah di sebelah kanan jalan, bangunan sekolah SD di sebelah kiri, yang di hadapannya ada kebon pisang dan tanah lapang kosong. Pak Umar mengendarai Vespa dengan kecepatan tidak lebih dari empat puluh kilometer perjam.

Dari arah belakang ada sebuah sepeda motor Yamaha dikendarai oleh si gondrong yang pakai anting memboncengkan seorang anak muda gondrong lainnya. Entah kenapa, mendengar suara Yamaha itu, Arif yang duduk di boncengan Vespa menoleh dan melihat tepat ke arah si gondrong. Beberapa detik pandangan mereka bertemu. Keduanya tentu saja sama-sama kaget. Sebelum Arif sempat bereaksi apa-apa, si gondrong pakai anting memepetkan motornya dan dengan kaki kirinya berusaha menendang ke arah Vespa. Arif memperingatkan pak Umar dengan kaget.

‘Pak..awas pak….awas pak….awas pak,’ katanya.

Tendangan si Gondrong tak urung menyebabkan Vespa itu oleng. Beruntung pak Umar berhasil menguasai stangnya sehingga tidak sampai jatuh. Pak Umar yang tidak menyangka apa yang terjadi membawa kendaraannya itu ke pinggir dan berhenti. Si gondrong juga menghentikan motornya persis di depan Vespa pak Umar dan meloncat turun. Dia mengeluarkan sebuah pisau lipat dari kantong jaketnya dan langsung menyerang Arif. Arif menggunakan tas sekolahnya untuk menahan sabetan pisau. Teman si gondrong mendekati Arif dari belakang dan menendang. Pak Umar yang sudah meletakkan Vespa melihat si gondrong satunya mau menedang Arif berteriak mengingatkan Arif sambil mendekati si gondrong itu dan berusaha melindungi Arif. Si gondrong kedua ini mundur mencabut balok pagar di pinggir jalan dan berbalik mau menyerang pak Umar dengan balok berukuran sebesar lengan. Pak Umar tidak kalah gesit melepas jaketnya dan secepat kilat melemparkan jaketnya ke muka si gondrong. Si gondrong tidak menyangka datangnya lemparan jaket tersebut, tidak dapat menghindar dan jaket itu menutupi pandangannya. Waktu tangan yang satunya berusaha melepaskan tutupan pandangannya, pak Umar menangkap tangan yang memegang balok dan memelintirnya. Balok kayu itu lepas dari tangannya. Si gondrong yang ternyata bernyali kecil itu berteriak minta ampun. Pak Umar tidak melepaskan cekalannya. Sementara Arif masih bisa menangkis setiap sabetan pisau yang dilakukan si gondrong pakai anting.

Tiba-tiba dari arah jalan Pahlawan Revolusi datang sebuah mobil patroli polisi. Melihat polisi datang si gondrong pakai anting melemparkan pisaunya dan berusaha melarikan diri ke kebon pisang yang terletak di sebelah kanan jalan. Dua orang polisi turun dari mobil itu dan mengejar si gondrong. Polisi itu melepaskan tembakan. Si gondrong pakai anting langsung ciut dan segera berhenti. Dia masih sempat berusaha melemparkan sebuah amplop coklat ke rumpun pisang. Suatu perbuatan konyol karena polisi melihatnya dengan jelas sekali. Si gondrong pakai anting ini langsung di borgol oleh polisi.

Polisi yang lain mendekati pak Umar yang tengah memegangi preman satunya tadi. Polisi ini juga langsung memborgol si gondrong itu. Polisi itu meminta pak Umar ikut ke kantor polsek. Pak Umar tidak keberatan. Pak Umar mengikuti polisi yang mengendarai motor Yamaha preman itu ke kantor polisi Pondok Kelapa.

Di kantor polisi, sersan polisi Sugeng memeriksa mereka berempat, pak Umar, Arif dan kedua preman gondrong itu untuk dibuat berita acaranya. Dia menanyai rangkaian kejadian yang mereka alami. Sebelumnya polisi itu terlebih dahulu meminta kartu identitas mereka. Pak Umar menyerahkan KTP dan Arif menyerahkan kartu pelajar. Kedua preman gondrong itu tidak mempunyai kartu identitas. Sersan Sugeng cukup sopan. Dia kelihatannya pimpinan penyergapan tadi. Pak Umar menceritakan kejadian bagaimana dia bersama Arif yang sedang mengendarai Vespa tiba-tiba diserang kedua preman itu. Semua pertanyaan dan jawaban itu diketik oleh seorang polisi lain, bhayangkara utama Amin.

Sebenarnya dari pak Umar tidak banyak keterangan yang didapatkan oleh polisi itu, tapi kehadiran pak Umar diperlukan di kantor polisi itu sampai interogasi selesai. Ternyata interogasi terhadap kedua preman gondrong itu berlangsung sangat lama karena polisi berusaha mengeruk informasi sebanyak mungkin tentang kegiatan mereka. Pemeriksaan itu baru berakhir jam lima sore. Meskipun interogasi kedua pengedar narkoba itu sudah selesai, Sersan Sugeng minta maaf karena dia belum bisa mengizinkan pak Umar maupun Arif pulang, karena hanya kapolsek yang boleh memberi izin. Itu merupakan instruksi langsung dari kapolsek, komandannya. Hal ini berkaitan juga dengan maraknya kegiatan pengedar obat-obat terlarang akhir-akhir ini serta peristiwa penembakan seorang pengedar narkoba kemarin yang mengharuskan polisi lebih berhati-hati. Sedangkan kapolsek sendiri sedang menjalani pemeriksaan di kantor kapolres sehubungan dengan adanya korban mati tertembak dalam operasi pengejaran kemarin. Pak Umar menjelaskan bahwa dia dan Arif tidak ada sangkut pautnya dengan kedua preman pengedar narkoba itu, bahkan nyaris jadi korban kebrutalan mereka dan oleh karenanya tidak ada alasan polisi untuk menahannya lebih lama. Sersan Sugeng sekali lagi mohon maaf karena menurut dia itu merupakan kebijaksanaan atasannya dan dia tidak berwenang melangkahinya. Repotnya lagi, komandannya itu tidak bisa dihubungi. Telepon di kantor polisi itu tidak ada yang bisa dipakai untuk menelpon keluar. Satu-satunya telepon yang bisa dipakai untuk menelpon terletak di ruangan komandan dan ruangan itu terkunci. Pak Umar dan Arif terpaksa bersabar.

Jam enam terjadi pergantian petugas. Sersan Sugeng sekali lagi minta maaf dan berjanji akan membantu menghubungi komandannya setelah dia selesai bertugas. Pengganti sersan Sugeng adalah sersan Saragih. Bertampang sangar dan kelihatannya juga agak kasar. Sebelum pergantian tugas sersan Sugeng sudah menjelaskan bahwa baik pak Umar maupun Arif bukanlah tahanan melainkan saksi dan menunggu kedatangan komandan mereka untuk diizinkan pulang. Sersan Saragih kelihatannya tidak perduli dengan status pak Umar dan Arif itu. Pada waktu azan magrib sayup-sayup terdengar, pak Umar dan Arif mau pergi mengambil wudhu sebelum mengerjakan shalat maghrib. Sersan Saragih langsung saja membentak dengan nada suaranya yang keras.

‘Hei, mau kemana kalian?’ katanya kasar.

‘Kami mau pergi shalat,’ jawab pak Umar.

‘Shalat saja di sini! Jangan keluar!’ katanya lagi dengan bentakan.

‘Kami mau pergi mengambil air sembahyang,’ kata pak Umar berusaha sabar.

‘Tak ada air. Jangan macam-macam di sini. Ini kantor polisi,’ bentaknya lagi.

Kesabaran pak Umar habis juga akhirnya.

‘Hei, bung. Pertama, kami ini bukan tahanan. Kami diminta menunggu atasan bung, kami patuh. Sekarang kami mau shalat. Kami perlu mengambil wudhu, pergi membersihkan tangan dan muka kami ke kamar mandi. Tadi kami sudah pergi ke sana waktu kami mau shalat asar. Jadi tidak usah membentak-bentak. Kalau bung tidak percaya, kawal kami ke sana!’ kata pak Umar dengan suara berwibawa sambil matanya menatap tajam kepada sersan polisi itu.

Sersan Saragih menghindari tatapan tajam mata pak Umar. Akhirnya dia berkata:

‘Ya sudah. Kalau sudah tahu tempatnya. Silahkan ke sana.’

Pak Umar dan Arif pergi berwudhu lalu shalat maghrib berdua. Mereka shalat dengan khusyuk. Sersan Saragih memperhatikan saja mereka yang sedang shalat dengan bacaan dikeraskan itu. Mungkin baru sekali itu dia melihat orang shalat seperti itu. Sesudah shalat, keduanya melanjutkan dengan zikir yang hening. Dan shalat sunah ba’diyah.

Arif merasa lapar. Perutnya berbunyi keroncongan. Pak Umar sebenarnya juga lapar. Tadi mereka tidak makan siang. Pak Umar sebenarnya ingin minta izin membeli makanan tapi mengurungkan niatnya karena kekasaran sersan Saragih. Jam setengah tujuh telpon berdering. Sersan Saragih menerima telpon itu.

‘Ya hallo, kantor Polsek Pondok Kelapa di sini……..Apa?…….. Oh tidak ada….Hari ini tidak ada…….Ya baik….. terima kasih kembali…… Ya, selamat malam,’ dan dia meletakkan kembali gagang telpon itu.

Pak Umar bertanya-tanya, siapa agaknya yang menelpon barusan? Tapi dia tidak enak mau menanyakan. Jam tujuh kurang lima telepon itu berbunyi kembali. Sersan Saragih kembali mengangkat telpon itu dan terlibat dalam pembicaraan.

‘Ya hallo…siap…selamat malam pak’ ………..’Siap pak, ada dua orang dan sudah dimasukkan di sel pak,’……..’Siap pak, katanya seorang guru dan seorang murid,’…….’Tidak pak, mereka dengan saya di sini,’…….’Baik pak,’….’Baik pak,’…….’atau mungkin dia boleh berbicara dengan bapak?’……’Baik..siap pak,’….. ‘Selamat malam pak,’ dan sersan Saragih menutup telepon.

‘Itu barusan komandan saya yang menelepon. Beliau tidak bisa datang ke sini malam ini. Beliau memerintahkan saya menahan bapak di sini sampai besok pagi,’ sersan Saragih memberi tahu dengan bahasa yang sudah lebih halus.

Tak urung pak Umar tersentak kaget mendengar penjelasan polisi jaga itu.

‘Apa alasannya kami ditahan?’ tanya pak Umar

‘Tanya saja besok sama komandan saya,’ jawab sersan Saragih.

Pak Umar sadar, percuma berdebat dengan sersan penjaga ini. Pak Umar berusaha menghadapi kenyataan ini dengan sabar dan mengingatkan Arif untuk bersabar. Anak itu juga sangat tabah. Sedikitpun tidak ada keluhan keluar dari mulutnya

‘Saya harus memberi tahu keluarga saya di rumah bahwa saya ditahan di sini. Begitu juga murid saya ini harus bisa memberi tahu orang tuanya. Bagaimana caranya?’ tanya pak Umar.

‘Biar nanti saya teleponkan di luar,’ jawab Saragih.

‘Kenapa tidak diijinkan saya pergi menelepon keluar sebentar?’ tanya pak Umar.

‘Saya tidak berwenang untuk itu,’ jawab Saragih lagi.

Pak Umar tidak berminat lagi meneruskan soal jawab itu. Dari jauh terdengar azan isya. Pak Umar dan Arif kembali melaksanakan shalat berjamaah.


*****

No comments: