Tuesday, December 15, 2009

DERAI-DERAI CINTA (38)

38. DI RUMAH SAKIT

Imran terbangun sekitar jam setengah lima subuh. Perutnya sakit. Dibangunkannya Syahrul yang tertidur di kursi dengan kepala terletak di dekat kepalanya. Tidurnya sangat lelap. Bisa-bisanya dia tertidur dalam posisi duduk seperti itu.

‘Rul…….. Rul..,’ katanya pelan-pelan membangunkan Syahrul.

‘Yaah… Kenapa?’ tanya Syahrul sambil menggeliat mengangkat kepalanya.

‘Ada urusan yang paling sulit ini……… Perutku sakit….’

‘Ooo….. Tunggu sebentar…. Aku panggilkan perawat…..’

Syahrul segera bangkit dan pergi keluar memanggil perawat. Dan perawat itu segera datang.

‘Kenapa mas?’ tanya perawat itu ramah.

‘Saya…… Saya malu ini….. Saya mau …..’ kata Imran ragu-ragu.

‘Mau apa? Mau b.a.b.?’ tanya perawat itu tersenyum.

‘Iya suster…. Tapi bagaimana caranya….?’

‘Tunggulah sebentar… Caranya biasa saja….. Jangan malu… Ini kan di rumah sakit.’

Perawat itu membantu Imran dengan telaten sekali, tanpa sedikitpun ada rasa jijik dan sungkan. Dia sudah biasa menghadapi bermacan-macan keadaan orang sakit. Imran terpaksa menyerah saja pasrah.

‘Apa mau sekalian dimandiin? Biar segar dan biar nggak bolak balik….,’ kata perawat itu.

‘Mandi? Bagaimana caranya saya dimandiin, suster?’ Imran terheran-heran.

‘Maksudnya, badannya dilap pakai lap basah…he..he.. Bukan mandi diguyur air… Mau sekarang?’

‘Oo begitu… Ya, maulah suster… terima kasih.’

Suster pergi menyiapkan air dan peralatan lainnya. Sementara itu Syahrul kembali dari luar.

‘Sudah beres?’ tanya Syahrul.

‘Sudah….. Dari mana kau?’

‘Dari mushala. Kau sudah shalat?’

‘Belum. Kata suster tadi aku sekalian mau dilap-lap. Habis itu nanti aku shalat.’

‘Oh ya? Biar aku belikan sabun dan sikat gigi. Tunggulah sebentar.’

Syahrul langsung pergi dan beberapa menit kemudian dia sudah kembali. Suster tadi segera membersihkan tubuh Imran. Dia memang cekatan sekali.

‘Aku harus segera pulang. Nanti aku ujian jam tujuh. Kau mau aku belikan roti bakar dan teh susu untuk sarapan?’

‘Rotinya aku mau. Tapi teh manis biasa saja, tidak usah pakai susu,’ jawab Imran.

‘Abangnya sangat perhatian benar. Jarang orang bersaudara seakrab ini,’ suster itu berkomentar.

Syahrul tersenyum. Dia kembali pergi membelikan sarapan untuk Imran. Setelah itu baru dia buru-buru pulang.

***
Imran merasa segar. Sudah bersih dan sudah sarapan pula. Dan sudah shalat subuh. Tidak ada rasa sakit. Hanya kaki kirinya yang dipasangi gips terasa berat dan tidak leluasa. Kaki kanannya biru lebam di dekat lutut, mungkin karena benturan waktu kecelakaan kemarin. Tapi yang lebam itu tidak terasa apa-apa.

Sedang Imran berbaring sambil menerawang, mengingat peristiwa yang menimpanya kemarin, Yuni masuk dan menyapa.

‘Assalaamu’alaikum…. Bagaimana keadaannya bang?’

Imran tersentak. Dan keheranan.

‘Wa’alaikum salaam… Ya…. Beginilah….. Lagi kena musibah…’ jawab Imran agak terbata-bata..

‘Apa yang terasa sakit?’

‘Sekarang sudah tidak ada….. Sudah tidak terasa sakit.’

‘Katanya kakinya dioperasi?’

‘Ndak. Tapi…… Yuni tahu dari mana kalau saya ada di rumah sakit?’

‘Dari saudara. Yang kemarin menolong bang Imran.’

‘Pak Fauzi?’

‘Bukan… Dari Irma…..’

‘Oo ya… Irma yang dulu datang ke rumah Ratih…. Tapi…….. Lala ndak ikut kesini?’

‘Tidak. Mungkin belum, bang. Saya dari rumah Irma. Tadi malam nginap disana.’

‘Ooo begitu…. Iya, ya…. Irma itu temannya Yuni sama-sama dari Pakan Baru juga?’

‘Sepupu. Anak oom saya. Anak adiknya mama…’

‘Oo ya… Irma dan pak Fauzi kemarin mengantarkan saya kesini.’

‘Irma bercerita, kemarin dokter yang merawat bang Imran di UGD bilang kemungkinan akan dipasang pen di kakinya.’

‘Ndak jadi. Ada dokter lain yang memeriksa saya tadi malam dan dia menyimpulkan tidak perlu dipasang pen. Jadi ndak dioperasi.’

‘Mudah-mudahan abang cepat baik. Sementara ini belum boleh bangun ya, bang?’

‘Tadi sudah saya coba duduk. Bangkit pelan-pelan. Capek juga berbaring terus.’

‘Harus sabar, bang.’

‘Ya… ‘

‘Perawat disini baik-baik?’

‘Alhamdulillah baik-baik.’

Sedang mereka berbincang-bincang itu, Ratih muncul memberi salam.

‘Tahu dari siapa saya ada disini?’ tanya Imran setelah menjawab salam Ratih.

‘Dari kak Syahrul,’ jawab Ratih. ‘Tadi kak Syahrul ketemu Sukma dan dia bilang kak Imran dirawat disini. Bagaimana, kak? Apa yang sakit?’

‘Kaki dan kepala saya. Kaki patah dan dipasangi gips. Kepala luka kena kaca dan dijahit.’

‘Kemarin itu kak Imran dari mana?’

‘Dari Asia Afrika dekat Alun-Alun. Habis itu naik angkutan Suzuki kecil itu mau pulang. Di ujung jalan Dago kecelakaan….,’ jawab Imran.

‘Ya Allah….. Kalau mau kena musibah, ya….. Terus langsung diantar kesini?’

‘Ya… Saya diantar Irma. Irma yang teman Ratih itu. Ternyata dia saudaranya Yuni ini. Dia kebetulan lewat dan melihat saya sedang berdarah-darah. Saya diantar Irma dengan saudaranya kesini.’

‘Tadi malam bang Imran ditemani bang Syahrul?’ giliran Yuni bertanya.

‘Ya... Dia tidur sambil duduk di kursi ini. Tadi dia buru-buru pergi karena pagi ini dia ujian.’

‘Pantasan tadi dia terburu-buru dari rumah…. Ngomong-ngomong, kak Imran sarapan, ya. Saya bawain nasi goreng,’ Ratih menawarkan.

‘Saya sudah sarapan roti. Tadi dibeliin Syahrul.’

‘Saya bawain nasi goreng bikinan uci. Uci menitip salam dan mendoakan kak Imran cepat sembuh.’

‘Terima kasih…. Biarlah nanti saya makan.’

Tiba-tiba muncul pula Lala sama uni Lani.

‘Wah, lagi rame, nih. Bagaimana Ran? Terlihatnya seger-seger aja. Sudah nggak sakit?’ uni Lani mencecar.

‘Sudah lumayan uni. Sudah tidak terasa sakit. Uni dan Lala berdua saja?’

‘Ada abang sama teteh juga, sebentar menyusul,’ Lala yang menjawab.

‘Yuni pagi-pagi sudah disini. Tahu dari siapa?’ tanya uni Lani ke Yuni.

‘Dari Irma un. Kemarin yang mengantar bang Imran ke sini Irma. Tadi malam dia cerita.’

‘Irma ada di angkot itu juga, bang?’ giliran Lala bertanya.

‘Ndak. Dia kebetulan lewat.’

‘Semalam bisa tidur? Kakinya nggak senut-senut?’ tanya Lala lagi.

‘Alhamdulillah bisa.…. Kemarin dikasih dokter obat. Mungkin ada obat tidurnya.’

Ruangan itu bertambah ramai ketika abang Lutfi dan teteh Yani juga datang. Abang Lutfi membawakan sepasang kruk, tongkat penyangga untuk membantu berjalan.

‘Dokter Aditya sudah datang pagi ini?’ tanya abang Lutfi.

‘Belum ada , bang.’

‘Semalam nggak susah tidur?’ abang Lutfi meraba kening Imran.

‘Aman aja, bang.’

‘Tidur nyenyak sampai pagi?’

‘Tadi pagi pas azan subuh sakit perut. Pengen ke belakang. Terus dibantu sama zuster perawat.’

‘Dibantu suster untuk ke kamar kecil? Bisa?’ Lala yang bertanya.

‘Dibantu suster disinilah. Mana mungkin ke kamar kecil,’ abang Lutfi yang menjawab.

‘He..he..he.. Nggak malu bang?’ Lala menggoda Imran.

‘Kata susternya nggak usah malu…. Ini di rumah sakit…. Ya, begitulah…’

Semua tertawa mendengar.

‘Bakalan betah dong kamu disini, he..he..he,’ abang Lutfi bercanda.

‘Ndaklah bang. Awak ingin cepat pulang. Kapan awak boleh pulang bang?’

‘Nanti kita tanya dokter Aditya. Tapi abang bilang sih kamu boleh segera pulang. Kan nggak ada demam, atau apa-apanya lagi. Cuma kakimu itu perlu waktu lama penyembuhannya.’

‘Maksudnya bagaimana, bang?’

‘Untuk bisa berjalan normal perlu waktu dua tiga bulan. Harus ditunggu sampai tulang yang patah itu bersatu kembali. Itu yang memakan waktu. Dan harus benar-benar sudah kuat baru boleh digunakan karena dia akan menopang berat badan.’

‘Sebelum dia kuat betul harus pakai tongkat, begitu ya bang,’ Lala yang bertanya.

‘Ya.. Harus begitu.’

‘Sabar aja, kak Imran,’ Ratih yang berkomentar.

Imran tersenyum.

‘Oh, ya. Kalau nanti boleh pulang, abang sarankan kamu di Sekeloa saja dulu.’

‘Kenapa, bang?’ tanya Imran.

‘Kamu akan kesulitan menggunakan kloset jongkok…..’

‘Benar… ‘ teteh Yani menambahkan.

‘Masak, sih bang?’

‘Ya, iyalah. Dan dirumahmu kan tidak ada lagi suster yang akan menolong.’

‘Waduh…. Iya juga ya….. Nantilah bang, dipikirkan…’

‘Nggak usah dipikirkan. Nggak ada jalan keluarnya sementara ini. Paling tidak sampai kakimu tidak berasa nyeri lagi kalau dibawa bergerak.’

‘Wah…. Saya bakal merepotkan, dong….’

‘Nanti di Sekeloa sering-sering saja kita buat gulai tunjang. Untuk memasak, kakimu kan tidak ada masalah.’

Semua tertawa mendengar omongan bang Lutfi.

‘Abang ini menggunakan kesempatan dalam kesempitan…’ kata Lala cemberut.

‘Lha, iya kan….? Kalau Imran di Sekeloa, tanpa dimintapun pasti dia akan berkreasi di dapur. Abang akan minta tolong agar stok tunjang selalu ada di kulkas… he..he..he..’

‘Si abang meuni serius pisan….’

Ngalor ngidul itu berlangsung sampai dokter Aditya datang jam setengah delapan. Dokter Aditya menganjurkan agar Imran diobservasi satu malam lagi di rumah sakit.


*****

No comments: