Thursday, February 21, 2008

SEMINGGU DI RANAH BAKO (bag.6)

6. Maninjau

Hari panas ketika mereka berangkat meninggalkan Puncak Lawang. Mobil mereka berjalan menurun menuju Matur, kembali di antara kebun-kebun tebu.

’Aku sudah mendapatkan jawaban tentang pantun gula Lawang tadi dari etek. Barusan aku menelpon etek di rumah,’ Pohan mengawali pembicaraan mereka.

’Oh ya? Apa kata etek?’

’Bukan lumpang sagu, tapi lompong sagu. Lompong sejenis makanan yang dibuat dari tepung sagu dengan sedikit santan dan diberi gula Lawang lalu dikukus. Bentuk lompong yang sudah dikukus itu seperti agar tapi lebih keras dibandingkan agar. Dimakan dengan parutan kelapa muda. Jadi lagumu tadi adalah, lompong sagu bagulo Lawang, di tangah-tangah karambia mudo, sadang katuju diambiak urang, awak juo malapeh hao. Begitu ceritanya,’ Pohan menjelaskan.

’Sadang katuju apa maksudnya?’ tanya Aswin.

’Sedang disukai. Lebih kurang maksudnya, seseorang pemuda yang sedang naksir kepada seorang wanita atau anak gadis. Dia sedang sangat menyukai gadis itu, tapi tiba-tiba datang orang lain yang mendapatkan gadis tersebut jadi jodohnya. Si pemuda yang tadi jadi gagal dan kecewa. Disebut malapeh hao. Artinya tidak mendapat apa-apa.’

’Wah, apa ayah dulu pernah ’malapeh hao’ ya?’ tanya Aswin tertawa.

’Kenapa kamu bertanya begitu?’

’Ayah senang benar menyanyikan lagu itu,’ jawab Aswin.

’Ah, itukan hanya nyanyian. Tapi ya, nggak tahu juga. Apa Mak Dang dulu pernah dikecewakan...he..he...’

Tidak terasa mereka sudah sampai kembali di Matur. Di simpang Matur berbelok ke kanan menuju Embun Pagi. Mobil berjalan dengan mantap di jalan yang mulus. Dalam beberapa menit saja mereka sudah sampai di Embun Pagi.

’Dari sini kita juga bisa melihat pemandangan ke arah Danau Maninjau. Tapi sebenarnya yang paling indah memang di Puncak Lawang tadi. Mari kita berhenti sebentar biar kamu bisa membandingkan,’ ajak Pohan.

Mobil Kijang itu dibelokkan Pohan ke pelataran parkir yang luas. Mereka turun dari mobil, berjalan ke arah sebuah bangunan panjang beratap tanpa dinding tempat banyak orang sedang mengamati panorama ke bawah. Di sini juga tersedia teropong untuk melihat ke arah kampung-kampung di pinggir danau di bawah sana. Di pelataran ini juga ada beberapa buah kedai penjual sovenir dan kedai-kedai kopi. Semua kedai-kedai itu terlihat rapi dan bersih. Para pedagang sovenir merayu setiap orang yang lalu lalang di depan kedai mereka untuk berbelanja.

Aswin menggunakan sebuah teropong itu untuk melihat ke arah danau.

’Rupanya ada banyak jet coaster dibawah sana. Tadi aku tidak melihatnya dari puncak,’ ujar Aswin.

’Ya, memang ada. Ada juga speed boat untuk keliling danau. Mau mencobanya nanti?’

’Tentu,’ jawab Aswin, sambil meneropong ke sekeliling danau.

’Mari kita mampir ke kedai kopi itu. Aku haus,’ usul Pohan

’Ya, aku juga,’ jawab Aswin, segera melepas teropong yang sedang dipakainya.

Banyak orang duduk di kedai kopi itu. Di dinding ada sebuah papan bertuliskan jenis makanan dan minuman yang tersedia di kedai itu. Umumnya makanan-makanan ringan yang khas dari Minang. Ada lemang tapai, ampiang badadiah, ketan dan goreng pisang. Dan ternyata juga ada tertulis lompong sagu.

’Wah, kita berjodoh dengan lompong sagu. Lihat, disini tersedia. Aku mau mencobanya. Kamu tertarik?’ tanya Pohan.

’Boleh juga, untuk sekedar ingin tahu. Sebenarnya aku ingin juga mencoba amping dadih. Dan aku mau pesan secangkir kopi,’ kata Aswin.

’Atau pesan kedua-duanya,’ usul Pohan.

‘Tidak ternikmati nanti. Biar amping dadih di tempat lain saja.’

Keduanya menikmati lompong sagu bagulo Lawang, di tangah-tangah karambia mudo.

‘Not bad,’ ucap Aswin tersenyum.

Jam dua belas lebih mereka melanjutkan perjalanan ke Maninjau. Mulailah sekarang melalui kelok empat puluh empat yang ditandai dengan nomor mundur sejak dari atas.

‘Waaaw, ini benar-benar hebat. Kelok empat puluh empat, kita mulai dengan nomor empat puluh empat. Menakjubkan,’ Aswin berceloteh.

Kelok demi kelok itu mereka lalui dengan santai. Di bahagian tengah kelok demi kelok itu, Pohan menunjuk ke arah monyet-monyet yang banyak sekali di pinggir jalan. Monyet-monyet itu berkeliaran tanpa rasa takut. Mereka bahkan melihat ke arah mobil. Mungkin berharap ada sesuatu yang akan dilemparkan orang dari mobil.

’Kita tidak usah berhenti disini. Disamping jalan agak sempit, bisa menghalangi jalan orang, monyet-monyet itu juga agresif dan nakal-nakal,’ kata Pohan.

’OK,’ jawab Aswin singkat. Kali ini sambil dia memotret kawanan monyet itu.

Akhirnya mereka menyelesaikan semua kelokan dan sampai di Maninjau. Langsung menuju dermaga tempat terdapat banyak perahu cepat (speed boat) dan sepeda motor air (jet coaster) sewaan.

Ada bangunan dengan loket tempat menyewa speed boat ataupun jet coaster di dermaga itu. Ada juga peralatan untuk ski air. Masing-masing bisa disewa minimum satu jam. Ditempat ini pengunjung juga bisa menyewa pakaian berenang baik untuk laki-laki maupun perempuan. Mata Aswin menangkap sebuah papan pengumuman yang menyebutkan bahwa laki-laki maupun perempuan yang akan beraktifitas di danau harus menggunakan pakaian renang yang sopan. Bikini tidak diperbolehkan.

Mereka menyewa dua buah jet coaster. Dan juga celana berenang (celana pendek berwarna-warni sebatas lutut). Kepada mereka juga diberikan baju pelampung serta masing-masing sebuah locker berikut kuncinya, tempat menyimpan pakaian mereka. Locker itu terletak di dalam sebuah ruangan terpisah yang dijaga keamanannya dengan dua kunci pengaman. Satu kunci dipegang petugas. Kunci locker dapat dikalungkan dileher.

Sebelum mengendarai jet coaster terlebih dahulu diberitahu bagaimana cara menyelamatkan diri dalam keadaan darurat. Seandainya mesinnya mati, mereka diminta agar tetap berada di tempat dan mengibarkan bendera merah yang disediakan sebagai tanda memohon bantuan.

Kedua anak muda tadi mulai mengharungi danau. Mereka memacu coaster itu ke arah utara. Di danau cukup ramai dengan orang yang sedang menggunakan alat yang sama. Di depan terlihat dua buah speed boat masing-masing menarik seorang wanita yang sedang bermain ski air. Mereka mengendarai coaster sejajar dengan kecepatan yang sama pada jarak sekitar sepuluh meter, mengiringkan pemain ski itu dari jarak kira-kira seratus meter. Suara riuh mesin coaster tidak memungkinkan mereka berbicara satu sama lain dalam jarak sejauh itu. Akhirnya mereka bosan juga menguntit pemain ski yang entah siapa itu. Pohan memacu coaster sedikit cepat lalu memberi isyarat untuk berputar balik. Aswin faham yang dia maksud dan mengikuti gerakan Pohan. Sekarang mereka menuju ke arah selatan danau. Ada dua orang lain lebih ke tengah memacu coaster mereka lebih cepat. Gelombang air yang mereka tinggalkan menyebabkan coaster Pohan dan Aswin terangguk-angguk. Tapi mereka dapat menguasai alat itu dengan baik. Mengendarai jet coaster ternyata mengasyikkan. Tapi setelah lebih kurang satu setengah jam berputar-putar di danau mereka jadi kecapekan. Aswin memberi isyarat agar segera menepi. Keduanya lalu kembali ke dermaga, mengakhiri permainan itu.

Sudah hampir jam setengah tiga siang ketika mereka meninggalkan dermaga. Perut mereka terasa lapar. Sekarang mereka mengendarai mobil ke arah Lubuk Basung, menuju ke sebuah restoran di tepi danau.

’Kita kan belum shalat. Apa kita tidak shalat dulu?’ tanya Aswin.

’Kamu belum lapar?’ Pohan balik bertanya.

’Tentu saja lapar. Tapi kalau ditunda sepuluh menit tidak apa-apa,’ jawab Aswin.

’Baik. Kalau begitu kita shalat dulu di mesjid di depan itu,’ ujar Pohan pula.

Mesjid itu terletak sedikit lebih jauh dari restoran. Ada kira-kira dua ratus meter jaraknya. Mesjid yang megah dan bersih. Sejuk suasana di dalamnya. Waktu mereka masuk mereka dapati ada beberapa orang yang sedang shalat berjamah. Mungkin juga para wisatawan seperti mereka. Mereka ikut berjamaah.

Sesudah shalat baru kembali ke restoran. Restoran yang terletak persis di pinggir danau. Juga sangat bersih dengan pelayan-pelayan berpakaian rapi dan banyak senyum. Mereka makan dengan palai rinuak dan ikan bakar. Nikmat sekali dan mereka makan bertambuh-tambuh. Disamping mereka memang sudah kelaparan. Sesudah kedinginan bermain di danau.

’Enak sekali. Palai rinuak dan ikan bakar ini enak sekali,’ komentar Aswin spontan.

’Ya. Ini produk danau ini,’ Pohan menjelaskan.

’Banyak ikan rupanya di danau ini,’ kata Aswin.

’Kelihatannya begitu. Disamping ada pula ikan yang memang dipelihara penduduk dalam keramba,’ jawab Pohan.

’Apa itu keramba?’

’Jaring besar yang diletakkan dalam danau, seperti yang diluar itu. Di dalamnya di pelihara ikan,’ kata Pohan sambil menunjuk ke arah keramba yang terlihat di luar jendela.

’Tapi tentu bukan ikan rinuak,’ ungkap Aswin.

’Bukan. Ikan yang bisa dibesarkan. Kalau rinuak berkembang biak sendiri dalam danau. Tidak dibudidayakan,’ jawab Pohan pula.

’Oh ya.... Jangan lupa membawa oleh-oleh palai rinuak untuk nenek. Tadi kita sudah berjanji,’ kata Aswin.

’Tentu saja,’ jawab pohan.

Mereka bersantai-santai sebentar lagi sesudah makan, sebelum berangkat dari tepi danau Maninjau. Sekarang mereka akan ke Bukit Tinggi.


*****

No comments: