Thursday, February 28, 2008

SEMINGGU DI RANAH BAKO (bag.27)

27. Ngalau Kamang

Mereka pulang hanya untuk mandi dan berganti pakaian. Dan segera bersiap-siap lagi mau pergi. Pagi ini cuaca agak gelap lagi. Mendung, meski belum hujan. Sejak tadi waktu mereka pulang dari Bukit Tinggi, cuaca sudah seperti ini, seperti mau hujan.

’Apakah nanti malam kalian mau makan di rumah?’ tanya etek sebelum mereka berangkat.

’Kenapa tek? Etek mau memasak apa?’ Aswin balik bertanya.

’Kalau kalian nanti makan di rumah, etek akan buatkan gulai itik Koto Gadang. Biarpun kamu sudah mencoba yang di kedai di ngarai, sekarang kamu bisa mencicipi yang masakan etek. Bagaimana?’

’Pasti menarik, tek. Ya, kita makan di rumah sajalah. Bagaimana Pohan?’

’Ya terserah kamu,’ jawab Pohan.

’Kalau begitu, confirmed. Kita akan makan di rumah nanti malam. Terima kasih, tek,’ kata Aswin pula.

Setelah berpamitan, merekapun berangkat. Ke Bukit Tinggi melalui ngarai. Terus ke Simpang Tembok. Berbelok ke Jirek dan terus ke Bukit Ambacang. Berbelok ke kanan sampai bertemu dengan jalan ke Kamang melalui Simpang Limau. Terus saja, melalui Pekan Kamis. Masih terus lagi sampai bertemu simpang tiga di Koto Panjang Kamang Hilir lalu berbelok ke kiri menuju Pekan Sinayan. Terakhir berbelok ke kanan melaui jalan yang agak lebih kecil. Sampai ke Ngalau Kamang.

Pohan memarkir mobil di tempat parkir. Banyak kendaraan terparkir di situ. Ada satu rombongan pelancong baru saja turun dari bus. Mereka berasal dari Negeri Belanda. Rombongan itu berjalan menuju ke pintu gua. Aswin dan Pohan bergabung dengan mereka. Pohan membeli karcis untuk masuk gua, sementara rombongan pelancong Belanda itu rupanya sudah punya karcis, dibelikan oleh petugas penyelenggara wisata. Mereka sekarang menuju ke pintu gua. Pintu masuk di mulut gua yang sudah dirapikan. Ditembok seperti pintu gerbang besar dengan ornamen gonjong rumah adat Minang di atasnya. Dengan plang bertuliskan ’Ngalau Kamang’ cukup besar. Disertai dengan informasi tentang ngalau. Tentu saja ada plang peringatan seperti di tempat-tempat lain.

Rombongan pengunjung itu antri untuk masuk. Setelah masuk mereka ikuti jalan kecil di dalam gua. Jalan sempit yang mula-mula mendatar tapi kemudian turun melalui tangga batu kapur yang dipahat. Untung ada tempat berpegangan, karena tangga itu cukup terjal. Penerangan listrik di dalam gua ini hanya sekedarnya saja, sekedar untuk dapat melihat stalagmit dan stalagtit yang memenuhi rongga-rongga goa. Macam-macam bentuk yang dibuat oleh alam, oleh larutan batu kapur dengan stalagmit dan stalagtit itu. Ada yang berbentuk makhluk besar dengan kepalanya seolah menyundul langit-langit gua. Ada yang seperti orang tidur. Ada yang seperti belalai gajah. Ada juga yang sekedar berbentuk pilar yang ramping, ketika bagian atas bertemu dengan bagian bawah. Terdengar bunyi tetes air yang sangat nyaring. Karena bunyi tetes-tetes itu memantul dan bersipongang di dinding gua. Kalau ada yang bersuara agak keraspun kedengaran sipongangnya.

Pemandu wisata menerangkan tentang data-data gua. Panjang gua ini, katanya yang bisa di jelajahi sekitar 1500m. Mungkin masih ada lanjutannya tapi tidak menerus dengan yang 1500 meter itu. Dengan bentuk gua yang tidak beraturan itu, ada bagaian yang cukup dalam seperti sumur. Tapi si pemandu wisata tidak tahu berapa dalam sumur tersebut. Dulu, katanya, tempat ini adalah tempat pasukan Paderi bersembunyi untuk mengatur siasat ketika berperang dengan Belanda.

Pengunjung harus hati-hati berjalan di jalan setapak yang sempit. Setelah berjalan di bagian yang datar di bawah, mereka bertemu dengan jalan setapak bercabang. Aswin dan Pohan mengikuti jalan ke kanan. Jalan ini berputar untuk pergi lebih ke bawah lagi. Melalui tangga batu yang lain lagi. Sampai ke dataran yang agak sempit. Terdengar desir air mengalir agak jauh di bawah sana. Rupanya ada sungai di situ. Sayang lampu penerangan tidak ada untuk pergi lebih jauh ke bawah. Tempat mereka berdiri sangat remang-remang. Akhirnya mereka putuskan untuk kembali ke atas. Sekarang mereka tempuh jalan ke kiri. Ternyata jalan ini menerus lebih panjang dan cukup rata. Penerangannyapun lebih memadai. Dinding gua terlihat berkerut-kerut akibat pelarutan batu kapur. Di depan ada lagi cabang. Pelancong berpisah di sini. Sebagian ke kanan dan sebagian ke kiri. Kata pemandu wisata, jalan itu bertemu di dalam.

Di tempat jalan melingkar itu bertemu terdapat sebuah lapangan yang lebih terang lampunya. Ada sebuah pesawat televisi terdapat di situ, menayangkan pemandangan keadaan gua sampai ke bagian-bagian yang paling dalam. Dan tersedia pula kursi-kursi tempat duduk. Para pelancong mengambil tempat duduk dan menyimak cerita tentang gua sambil menonton tayangan itu yang disampaikan dalam dua bahasa, Inggeris dan bahasa Indonesia. Setelah melihat tayangan video itu, umumnya pelancong sudah tidak ingin meneruskan penjelajahan lebih jauh ke dalam gua. Begitu pula dengan Aswin dan Pohan. Mereka kembali menuju ke pintu keluar.

Mereka keluar dari gua ngalau yang gelap itu. Sekarang mereka ikuti penunjuk menuju ke arah ngalau lain yang terbuka, terletak sekitar lima ratus meter dari tempat yang pertama ini. Melaui jalan di pinggir sawah. Lobang batu kapur yang terbuka disini bertingkat-tingkat dan bersekat-sekat seperti kamar-kamar. Meskipun kebersihan lingkungan ini dipelihara tapi ngalau ini berbau pesing. Bau yang berasal dari kotoran kelelawar yang ribuan jumlahnya, bersarang di langit-langit gua.

Aswin dan Pohan sebentar saja di ngalau terbuka ini. Mereka tidak ikut naik ke bagian yang bertingkat-tingkat itu. Aswin tidak tahan dengan bau kotoran kelelawar.

Mereka tinggalkan Ngalau Kamang, yang bagi Aswin tidaklah terlalu mengagumkan karena dia sudah pernah melihat gua batu kapur yang lebih bagus dari gua ini. Sekarang mereka kembali ke Bukit Tinggi. Hari baru jam sepuluh lebih sedikit. Mereka bisa mampir untuk berbelanja sebelum shalat Jum’at.

Sampai di Bukit Tinggi mereka langsung menuju mesjid raya dan memarkir kendaraan di lapangan parkir mesjid itu. Lalu pergi melihat-lihat ke pasar bertingkat. Mereka mampir ke toko yang menjual DVD. Aswin membeli DVD tentang objek-objek pariwisata Negeri Minangkabau. Dan DVD lagu-lagu Minangkabau termasuk saluang jo rabab sebagai oleh-oleh untuk ayah. Lama juga mereka memilih-milih lagu-lagu saluang. Aswin menginginkan lagu yang tidak terlalu sedih nadanya. Tapi hampir tidak ada seperti yang diinginkannya itu.Tak lupa pula dia membelikan baju gunting cina berterawang buatan Ampek Angkek yang juga dipesan ayah. Dan mukenah untuk ibu. Cukuplah itu saja sebagai oleh-oleh. Sebenarnya oleh-oleh yang paling bermakna adalah DVD-DVD itu. Yang akan dipertontonkannya nanti kepada kawan-kawannya sesampainya kembali di LA.

Berbelanja sebegitu saja sudah membawa mereka ke jam sebelas. Masih terlalu lama sebelum shalat Jum’at. Pohan mengingatkan, inilah waktu untuk mencoba bubur kampiun. Dan Aswin memang tidak lupa.

Mereka mampir ke sebuah kedai kopi. Yang di Ranah Bako ini lebih populer disebut orang boffet. Mereka mampir ke boffet ACC di dekat jam gadang. Untuk mencicipi bubur kampiun.

’Rupanya ngalau tidaklah terlalu berkesan bagimu,’ komentar Pohan waktu mereka menunggu pesanan bubur kampiun.

’Ngalau tadi itu tidak jelek. Tidak terlalu berkesan bagiku karena aku sudah pernah melihat yang lebih baik dari yang ini,’ jawab Aswin jujur.

’Lebih baik bagaimana yang sudah pernah kamu lihat itu?’

’Lebih besar dan luas. Dan diberi penerangan yang sangat terang benderang sehingga kita bisa melihat bentuk larutan batu kapur itu sampai detil sekali. Kalau menurut pendapatku, ngalau tadi mungkin akan lebih semarak kalau penerangannya juga ditingkatkan,’ jawab Aswin.

’Ya, barangkali pendapatmu ada benarnya. Dengan dibuat remang-remang seperti tadi kesannya justru jadi agak angker. Menyebabkan orang cepat bosan berada di dalam. Para pelancong yang masuk berbarengan dengan kita keluar hampir berbarengan lagi dengan kita,’ kata Pohan.

Bubur kampiun mereka sudah terhidang. Mereka langsung menikmatinya. Ternyata inipun cocok di lidah Aswin.

’Beruntung benar aku, sempat mencicipi makanan-makanan khas seperti ini. Sejak dari lompong sagu, amping dadih, lemang tapai, bubur kampiun, ketupat sayur, bubur samba. Ini semua akan mendorongku agar sering-sering datang kesini.’

’Belum kamu sebut sate mak Syukur, gulai itik..he..he..’ Pohan menambahkan.

’Ya, benar. Dan nanti siang? Kita akan makan apa lagi kamu bilang?’

‘Nasi Kapau. Sebenarnya masakan Minang biasa tapi yang ini, khusus dimasak oleh orang Kapau. Rasa dan penyajiannya sangat khas. Kamu akan melihatnya nanti,’ kata Pohan.

‘Aku tidak akan pernah melupakannya sesampai di LA nanti. Di sana aku tidak akan pernah bisa makan makanan seperti ini.’

Mereka berbincang-bincang santai. Sambil menunggu waktu untuk shalat Jumat. Sambil mengamati jam gadang yang terletak persis di hadapan mereka.


*****

No comments: