Tuesday, April 29, 2008

BALAHAN (2)

BALAHAN (2, habis)

‘Kenapa kalian yang datang menjemput kami? Maksudku, kenapa tidak diserahkan sama si Akang ini saja?’ tanyaku waktu kami sudah di dalam mobil.

‘Dia belum terlalu faham jalan-jalan di kota ini. Dan Jamal, kakakku lagi sakit kaki, dia menyuruh kami menjemput kalian,’ jawabnya.

‘Hebat sekali bahasa Indonesiamu. Dimana kamu belajar ?’ tanyaku.

‘Aku belajar dengan ibu. Dan aku sudah beberapa kali berkunjung ke Malaysia, jadi aku bisa,’ jawabnya.

‘Dan kau?’ tanyaku kepada saudaranya.

Wanita itu hanya tersipu dan tidak menjawab.

‘Dia tidak bisa,’ kata adiknya menjelaskan.

Kami melalui jalan mulus dan sepi seperti ke arah luar kota di bawah teriknya panas.

‘Kita sengaja memilih jalan ini karena lebih sepi meski jadi tambah jauh,’ kata sepupu wanitaku itu.

Dia langsung akrab dengan istriku. Mereka bercakap-cakap entah apa saja. Tiba-tiba dia mengeluarkan sebuah album foto untuk diperlihatkannya kepada istriku sambil menjelaskan siapa-siapa yang ada di dalam foto itu. Istriku rupanya mengenali beberapa wajah yang sudah pernah bertemu dengan kami dan berusaha menunjukkan kepadaku. Tangan sepupuku itu segera menahan tangan istriku sambil mengatakan.

‘Dia tidak boleh melihatnya,’ menunjuk kepadaku sambil tersenyum.

‘Kenapa?’ tanya istriku agak heran.

‘Dia bukan mahram orang-orang di foto ini,’ jawabnya.

Aku langsung faham maksudnya.

Setelah beberapa menit berkendaraan akhirnya kami sampai di sebuah komplek perumahan. Masih dalam kota. Beriringan kami memasuki rumah dalam bangunan bertingkat itu. Di dalamnya terdapat apartemen-apartemen. Sepupu wanita itu menjelaskan sambil lalu penghuni masing-masing apartemen itu. Kami naik lift untuk ke tingkat tiga, memasuki apartemen besar yang dihuni ibu mereka.

Jamal sudah menanti disana. Dia menggunakan tongkat penyangga karena lututnya baru dioperasi. Kami bersalaman. Aku dikenalkan kepada etek, yang namanya sama dengan nama ibuku. Wajahnya asli Minang, tidak dapat dipungkiri sedikitpun. Tapi dia tidak bisa berbahasa Minang bahkan tidak bisa berbahasa Indonesia kecuali sekadar menanyakan ‘apa kabar’. Aku menanyakan dimana ibu Jamal. Dia mengatakan sebentar lagi ibunya akan keluar. Setelah kami duduk berbincang-bincang beberapa menit, ibu tua itu dibawa masuk di atas kursi roda. Wajahnyapun sangat Minang. Penglihatan dan pendengarannya sudah sangat terbatas, tapi suaranya masih baik. Dia menyapaku dalam bahasa Indonesia.

Aku mengeluarkan lembaran ranji yang besar itu. Aku tunjukkan nama-nama yang tertera di ranji itu. Aku tunjukkan nama inyiak buyut. Nama adik-adik beliau. Aku tunjukkan nama nenek buyutku, nama nenekku, ibuku sampai ke namaku di dalam ranji. Inilah nenek buyut yang dulu kembali ke kampung kataku. Telunjukku bergeser ke kanan. Aku tunjukkan nama nenek buyutnya, neneknya, ibunya bersaudara. Dan nenek ini yang dulu bertahan tinggal disini, kataku.

Dia mengamati ranji itu dengan seksama.

‘Kenapa namaku dan adik-adiku tidak ada disini? Bukankah seharusnya namaku juga dimasukkan karena kelihatannya posisi kita sama?’ tanyanya.

‘Benar,’ jawabku. ‘Namamu akan aku tulis disini. Mari kita lengkapi data ini. Seperti yang aku jelaskan padamu, ‘pohon keluarga’ ini ditulis berdasarkan garis ibu. Nama-nama melalui garis ibu ditulis berkelanjutan sementara nama kita, laki-laki berhenti sampai anak-anak kita saja. Orang Minang menyebut anak-anak kita itu anak pisang dalam persukuan,’ aku mencoba menjelaskan.

‘Jadi, namaku dan nama anak-anakku boleh masuk kedalamnya?’ tanyanya antusias.

‘Ya. Namamu, nama istri dan anak-anakmu kita tuliskan disini, tapi berhenti sampai disitu saja. Kecuali nama-nama adik perempuanmu. Kalau dia punya anak perempuan lagi, nama-nama itu akan berlanjut dalam ranji ini,’ tambahku.

‘Dan nama suami perempuan-perempuan itu?’

‘Ya, dan nama suami setiap perempuan itu, bila ada juga nama daerah asalnya,’ jawabku.

‘Baik. Sekarang kau lengkapi data itu. Tuliskan nama ayahku, nama suami ibuku. Beliau berasal dari Lampung. Dan nama kami bersaudara,’ katanya.

Aku mengikuti yang dikatakannya, menuliskan nama-nama itu. Cukup banyak nama-nama yang belum masuk ke dalam catatan ranji ini. Termasuk nama-nama anak-anak mak eteknya (adik ibunya yang sudah almarhum) yang punya dua orang istri dan enam orang anak.

Etek yang namanya sama dengan nama ibuku tersipu-sipu melihat kami melengkapi data ranji itu.

Jamal menterjemahkan bahwa nama ibuku sama dengan namanya. Bahkan nama nenek kami rupanya juga sama. Etek itu tertawa mendengar keterangan itu. Melalui Jamal dia menanyakan apakah ibuku masih ada, yang aku jawab sudah tidak ada.

Kami makan siang bersama. Cukup mengejutkan bahwa masakan mereka adalah masakan Minang. Ada rendang ayam, goreng ikan balado dan sayur berkuah santan. Walau rasanya sudah tidak asli.

Kami berbincang-bincang sambil makan (praktis hanya aku dan Jamal). Aku baru tahu bahwa etek yang muda tidak tinggal disini tapi di tempat iparnya, istri adiknya almarhum. Karena obrolan yang panjang aku tidak jadi bisa pergi shalat asar ke mesjid. Jamal mengajakku shalat berjamaah dan memintaku jadi imam.

Aku tanyakan pula apakah mereka tidak ada kontak dengan cucu-cucu inyiak buyut, yang ternyata memang hampir tidak ada. Jamal balik bertanya kepadaku apakah aku mengenal mereka. Aku jawab sejujurnya aku belum mengenal mereka satupun tapi nanti malam aku akan menemui salah satu dari mereka.

‘Mereka tinggal di kota ini? tanyanya.

‘Ya, mereka tinggal dikota ini,’ jawabku.

‘Jam berapa kau berjanji ke tempat mereka?’

‘Sesudah shalat isya, insya Allah,’ jawabku.

‘Mereka akan menjemputmu?’

‘Insya Allah,’ jawabku.

Sementara itu etek muda mengatakan sesuatu kepada Jamal. Rupanya dia menyuruh agar kami besok siang makan di rumahnya. Di rumah tempat dia tinggal dengan adik iparnya. Tentu aku tidak mungkin menolaknya.

Pertemuan itu kami akhiri menjelang senja. Aku mohon diri karena akan shalat magrib di mesjid. Pertemuan yang sangat berkesan.


*****

No comments: