Friday, December 26, 2008

SANG AMANAH (108)

(108) (Tamat)

Keempat orang guru itu masih tinggal di ruangan itu melanjutkan diskusi ngalor ngidul mereka. Mereka baru akan mengajar pada jam pelajaran berikutnya. Sementara itu pak Umar pergi berwudhuk ke kamar kecil di samping kantor guru-guru dan kembali ke kantornya untuk shalat.

Kira-kira sepuluh menit kemudian, dari kantor pak Umar terdengar suara pak Umar mengucapkan Allahu Akbar agak keras diiringi suara benda jatuh. Keempat orang guru itu kaget mendengar suara itu. Pak Mursyid langsung berdiri dan melangkah ke arah ruangan pak Umar. Baru saja sampai di pintu ruangan itu, dia menjerit kaget.

‘Ya Allaah. Pak Umar kenapa…………?’ katanya sambil berlari menghampiri pak Umar.

Ketiga guru yang lain berhamburan menyusul pak Mursyid. Pak Umar terbaring miring di sajadahnya. Pak Mursyid meluruskan tubuh pak Umar. Nafas pak Umar tersengal-sengal. Pak Hardjono mengajak guru-guru itu mengangkat pak Umar ke mobil untuk segera dibawa ke rumah sakit. Mereka berempat berusaha mengangkat pak Umar. Pak Mursyid tidak lepas-lepasnya memperhatikan wajah pak Umar. Mata pak Umar terbuka tapi pandangannya menerawang. Nafasnya mulai pelan. Mulut pak Umar bergumam.

‘Laa ilaha illallaah………,’ pak Umar tersenyum dan semuanya berhenti.

Saat itu jam menunjukkan pukul sepuluh lebih tiga puluh tujuh menit. Guru-guru itu panik. Pemandangan apa ini? Mereka berempat sedang berusaha mau menggotong pak Umar. Tapi tiba-tiba wajah itu……… sudah tidak bereaksi apa-apa lagi. Pak Mursyid mengisyaratkan agar tubuh pak Umar diturunkan kembali. Tubuh itu mereka turunkan ke lantai, dengan bagian kepalanya masih di pangkuan pak Mursyid. Pak Mursyid meraba nadi di tangan pak Umar. Sudah tidak ada.

‘Innaa lillahi wainna ilaihi raaji’uun…….., pak Umar sudah tidak ada,’ ujar pak Mursyid sendu.

Pak Hardjono kelihatan panik sekali. Dia mundar mandir dalam ruangan kantor pak Umar sambil tangan kanannya meninju-ninju telapak tangan kirinya. Pas Kus terduduk bingung, tidak tahu apa yang harus diperbuat. Pak Wayan gemetaran sambil memijit-mijit kaki pak Umar. Kejadian yang berlangsung dalam beberapa puluh detik itu sungguh sangat sulit untuk dimengerti. Beberapa menit yang lalu mereka masih berdiskusi dengan pak Umar. Tidak terlihat tanda-tanda apapun. Bahkan waktu pak Umar menyalami mereka satu persatu barusan. Tidak ada prasangka. Tidak ada sedikitpun hal yang mencurigakan. Pak Umar tampak sangat biasa-biasa saja. Tidak terlihat seperti orang sakit. Dan memang dia tidak sakit.

Pak Mursyid yang masih sibuk memegang pergelangan pak Umar, mencari-cari denyut nadinya, akhirnya berkata lirih:

‘Maaf bapak-bapak. Pak Umar benar-benar sudah pergi. Maaf kalau saya terkesan mengatur. Pak Kus, tolong pak Kus ambil beberapa lembar sajadah di mesjid. Biar kita baringkan pak Umar di ruangan ini. Kalau pak Kus melihat guru-guru lain langsung diajak ke sini saja. Pak Hardjono, tolong pak Hardjono panggilkan Faisal anak pak Umar di kelas satu A. Pak Wayan, tolong pak Wayan ke rumah sakit Harmoni, bawa seorang dokter untuk memastikan keadaan pak Umar ini. Saya akan memeluk pak Umar sampai beliau kita baringkan di tikar,’ ujar pak Mursyid.

Ketiga orang guru itu langsung keluar untuk menjalankan yang dimintakan pak Mursyid. Pak Kus berlari-lari kecil mengambil sajadah ke mesjid sekolah. Pak Hardjono masuk ke kelas satu A. Dia tidak bisa menahan air matanya yang jatuh bercucuran. Pak Muslih yang sedang mengajar di kelas itu terheran-heran. Pak Hardjono membisikkan sesuatu di telinga pak Muslih. Pak Muslih seperti mendengar petir, dia menutup mukanya dengan kedua tangannya. Pak Hardjono menghampiri Faisal.

‘Faisal, kamu ikut bapak. Tapi kamu harus sabar. Kamu harus sabar….. Kamu dengar…..? Mari ikut bapak,’ujar pak Hardjono setengah berbisik.

Faisal langsung berdiri mengikuti pak Hardjono. Anak itu terlihat bingung. Pak Muslih ikut mengiring di belakang. Kelas itu tiba-tiba gaduh. Murid-murid kelas satu A ikut ramai-ramai keluar. Mereka semua ingin tahu apa yang terjadi. Sampai di kantor guru, murid-murid yang banyak itu ragu-ragu mau ikut masuk karena di kantor itu tidak ada siapa-siapa.

Tiba-tiba dari ruangan pak Umar terdengar jeritan tertahan Faisal.

‘Ayaaaaaah……….. Ya Allaaaaah……….. Ayaaah…… ayaaah…kenapa ayaaaah???’

Faisal memeluk dan menciumi ayahnya yang sudah terbaring tak berdaya di lantai beralaskan sajadah. Diguncang-guncangnya tubuh ayahnya itu dengan perasaan yang tidak menentu sambil menangis terisak-isak. Pak Hardjono dan pak Mursyid memegangi dan mengurut-urut punggung Faisal. Pak Hardjono tidak dapat menahan tangisnya. Mendengar suara itu murid-murid kelas satu A berebut masuk ke ruangan pak Umar sehingga berdesak-desak. Anak-anak perempuan mulai menangis menjerit-jerit begitu melihat pak Umar tergeletak di lantai.

Pak Wayan datang dengan seorang dokter dari rumah sakit Harmoni. Beberapa orang guru yang lain ikut berdatangan ke kantor pak Umar. Ibu Sofni, ibu Lastri, ibu Purwati, ibu Sarah, ibu Rita, semua menangis terisak-isak. Ruangan kantor guru dan kantor pak Umar penuh sesak. Dokter itu mencoba mendengarkan detak jantung pak Umar dengan menggunakan stetoskopnya. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya. Masih dicobanya menekan perut dan dada pak Umar. Tidak ada reaksi apa-apa. Pak Umar tetap diam, kaku.

‘Bapak ini kena serangan jantung. Dia sudah tidak ada,’ ujar dokter itu.

‘Apa yang seharusnya kita lakukan?’ tanya pak Mursyid.

‘Tidak ada lagi tindakan yang bisa dilakukan. Bapak ini sudah tidak ada. Tidak ada lagi yang mungkin diupayakan. Kecuali kalau beliau mau di visum,’ dokter itu menambahkan.

Pak Mursyid menoleh kepada Faisal. Anak itu masih menangis terisak-isak sambil memandang wajah ayahnya. Diciuminya wajah itu berulang-ulang. Pak Mursyid membujuknya agar bersabar.

‘Kamu harus tabah, Faisal. Ayahmu orang yang sangat baik. Kamu harus tabah dan sabar,’ ujar pak Mursyid.

Pak Hardjono mengingatkan Faisal.

‘Saya akan pergi menjemput ibumu. Biar kita bawa dulu ibumu ke sini sebelum kita bawa ayahmu pulang. Apakah kamu mau ikut menjemput ibumu?’ tanya pak Hardjono.

Faisal hanya sanggup mengangguk.

‘Kalau begitu pak Hardjono jemput juga adik-adik Faisal di sekolah mereka. Kamu jemput adik-adikmu dan kamu harus berusaha menenangkan mereka, kamu sanggup Faisal?’ pak Mursyid mengingatkan Faisal.

Faisal kembali mengangguk lemah, masih terisak-isak. Sebelum berangkat diciuminya wajah ayahnya kembali.

Pak Hardjono dan Faisalpun berangkat. Pak Mursyid minta bantuan untuk meminjam mobil ambulan kepada dokter yang sudah mau kembali ke rumah sakit. Dokter itu menyanggupi untuk mengurusnya dan mengajak pak Wayan ikut bersama-sama kembali ke rumah sakit. Atas saran pak Darmawan, tubuh pak Umar dipindahkan ke ruangan guru-guru yang lebih lega. Beberapa buah meja di ruangan itu dikeluarkan. Ruangan itu memang lebih luas. Tapi ruangan itu tetap penuh sesak. Di luar ruangan murid-murid yang lain berdesakan ingin masuk melihat keadaan pak Umar. Akhirnya pak Mursyid meminta murid-murid itu bergantian masuk secara tertib dan tidak berlama-lama di dalam ruangan guru. Beberapa orang murid-murid, di antaranya Arif, membaca al Quran dengan suara lirih di samping jasad pak Umar. Arif bahkan mengaji sambil menangis terisak-isak.

Jam dua belas kurang seperempat ibu Fatimah dan anak-anaknya datang. Ibu Fatimah sangat tegar. Matanya merah akibat menangis tapi tidak sedikitpun keluar keluh kesah dari mulutnya. Fauziah menangis terisak-isak begitu pula dengan Amir. Tubuh pak Umar sudah ditutupi dengan kain. Ibu Fat membuka tutup itu dan memandangi wajah suaminya. Air matanya semakin deras mengalir. Fauziah menjerit menyebut ‘Ya Allah….. ya Allah….ayah……. ayah……,’ sambil menciumi pak Umar. Amir dan Faisal juga menangis terisak-isak. Amir menciumi kaki ayahnya. Guru-guru, terutama guru wanita tidak kuasa menahan tangis mereka melihat pemandangan yang mengharukan itu.

Beberapa menit kemudian, pak Mursyid mengingatkan semua yang hadir di ruangan itu untuk membawa dan memindahkan jenazah pak Umar ke rumah. Sebelumnya pak Mursyid menanyakan kepada ibu Fatimah, apakah jenazah itu akan dimakamkan hari itu juga. Ibu Fatimah menjawab iya, bahkan segera akan dimakamkan. Pak Mursyid mengumumkan melalui pengeras suara, bahwa jenazah pak Umar akan segera dibawa pulang ke rumahnya untuk di selenggarakan dan akan dimakamkan segera sesudah itu.

Dengan ambulan jenazah pak Umar dibawa ke rumah kediamannya di kompleks perumnas Jatiwangi Pondok Gede. Semua guru-guru, pegawai Tata Usaha dan hampir semua murid-murid ikut mengantarkannya. Di rumah duka sudah banyak warga yang berkumpul menunggu kedatangan jenazah. Termasuk paman Haris dan paman Usman dua orang adik pak Umar yang tinggal tidak jauh dari sana. Hampir semua warga yang mendengar berita mengagetkan itu pulang dari tempat mereka bekerja. Semua kaget. Hampir semua jamaah shalat subuh tadi pagi tersentak sadar, bahwa shalat subuh tadi pagi ternyata shalat perpisahannya pak Umar. Pantasan tadi subuh pak Umar meminta maaf kepada jamaah. Rupanya alam bawah sadar pak Umar sudah mengetahui bahwa mereka akan berpisah.

Pengunjung yang terdiri dari murid-murid pak Umar yang sebanyak itu jelas tidak mungkin tertampung di rumah duka. Petugas mesjid mengumumkan melalui pengeras suara, bahwa jenazah pak Umar akan segera dimandikan dan dikafani dan segera dibawa ke mesjid untuk dishalatkan. Para pelayat boleh menunggu di mesjid Al Muhajirin. Para pelayat yang lain masih berdatangan. Berita meninggalnya pak Umar menyebar dengan cepatnya.

Penyelenggaraan jenazah itu dilaksanakan dengan sangat cepat. Tidak sampai sepuluh menit sesudah berada di rumah, jenazah pak Umar sudah siap untuk dimandikan. Ibu Fatimah dan anak-anaknya yang memandikan, dibantu dua orang adik kandung pak Umar serta beberapa orang jamaah mesjid. Ibu dan anak-anak itu sudah berhasil menguasai rasa sedih di hati mereka. Mereka segera sadar bahwa yang sudah berlaku ini adalah takdir Allah dan tidak ada suatu apapun yang akan dapat merubahnya kembali. Mereka semua sudah terlatih untuk beriman dengan takdir yang berlaku. Tidak ada yang cengeng. Tidak ada yang perlu diratapi. Mereka kembalikan semua rasa duka yang dalam ini ke bawah naungan ridha Allah.

Dengan penuh kasih sayang mereka mandikan jasad yang sudah tidak berdaya itu. Jasad orang yang sangat mereka cintai sepenuh hati. Dan yang sangat mencintai mereka sepenuh hati. Tubuh pak Umar masih lembut. Wajahnya masih tetap membawa seuntai senyumnya yang terakhir. Beliau terlihat seperti orang sedang bermimpi indah dalam tidurnya.

Jam dua kurang sepuluh menit jenazah pak Umar sudah selesai dikafani dan segera diusung ke mesjid Al Muhajirin. Warga berebutan ingin ikut serta mengusung jenazah itu. Para pelayat masih banyak yang belum melakukan shalat zuhur. Pak Abdus Salam mengumumkan agar para pelayat yang belum shalat zuhur melaksanakan shalat zuhur terlebih dahulu dan sesudah itu mereka akan menyalatkan jenazah pak Umar.

Mesjid itu tidak muat menampung semua pelayat yang ingin ikut menyalatkan jenazah pak Umar. Mereka bukan saja warga kompleks perumahan dan murid-murid SMU 369 tapi juga dari sekolah Amir, guru-guru Fauziah serta guru-guru dan murid SMU 267 tempat pak Umar dulu mengajar. Banyak juga orang tua murid yang hadir. Pak Suryanto dan ibu Ningsih yang bukan main kaget mendengar berita kematian pak Umar. Ibu Ningsih sampai sembab matanya karena menangis. Dia sangat berhutang budi kepada pak Umar.

Oleh pak Abdus Salam akhirnya diumumkan bahwa shalat jenazah akan dilaksanakan dua kali. Shalat yang pertama dipimpin oleh Faisal putera tertua pak Umar. Shalat yang kedua kalinya dipimpin oleh pak Abdus Salam. Ternyata masih banyak jamaah yang tidak mendapat tempat pada shalat yang kedua kali itu. Satu rombongan lagi melakukan shalat jenazah sesudah itu dipimpin oleh pak Sofyan yang datang agak terlambat.

Sebelum berangkat ke pemakaman ada acara pelepasan jenazah. Pak Ketua RW Kompleks Jatiwangi, pak Abdus Salam mewakili pengurus mesjid, pak Sofyan mewakili guru-guru SMU 369, bapak Ir. Danutirta Ketua POMG SMU 369, ketua OSIS, bergantian memberikan sambutan dan ucapan selamat jalan kepada pak Umar. Pak Sofyan dan ketua OSIS meyampaikan sambutan mereka sambil terisak-isak. Suasana haru tidak dapat dibendung setiap kali sambutan demi sambutan itu disampaikan. Semua menyatakan keterkejutan mereka dengan kepergian pak Umar yang begitu mendadak. Semua memuji pak Umar atas pergaulannya yang sangat baik dengan siapa saja selama hidupnya. Pak Umar adalah seorang sosok yang sangat istimewa di mata siapa saja yang pernah bergaul dekat dengannya. Seorang yang rendah hati. Seorang yang sangat penyantun. Kepergian pak Umar secara sangat tiba-tiba seperti itu sungguh sangat mengejutkan setiap orang yang mendengarkan berita itu. Tetapi memang begitulah kalau Allah Subhanahu wa ta’alaa berkehendak.

Menjelang jam tiga jenazah diantarkan ke taman pemakaman umum Pondok Kelapa. Luar biasa banyaknya yang ikut mengantar. Suasana haru kembali terlihat ketika jenazah pak Umar dimasukkan ke liang lahat. Paman Usman, dibantu Faisal dan Amir yang menerima dan memasukkan jasad ayah mereka ke liang lahat itu. Dengan tegar. Harus dengan tegar.

Selesailah acara pemakaman itu. Rombongan besar pelayat itu kembali pulang ke rumah mereka masing-masing. Dengan rasa duka yang tertoreh sangat dalam. Semua merasa kehilangan atas kepergian pak Umar. Seorang ayah, seorang suami, seorang kakak, seorang imam, seorang atasan, seorang guru, seorang kawan. Yang sangat penyantun. Yang selalu mau mendengarkan. Yang selalu siap menolong. Yang tidak mementingkan diri sendiri. Tidak ada yang tidak terkejut mendengar kematian pak Umar. Hampir semua orang yang mengenal pak Umar mengetahui bahwa beliau adalah sosok yang sangat baik luar biasa. Allah menginginkan agar orang sebaik pak Umar segera kembali kepadaNya. Meskipun usianya masih sangat muda. Baru empat puluh lima tahun.

Tinggallah pusara dengan onggokan tanah merah itu kini. Dengan hanya sebuah batu kali sebagai nisan. Dan akan seperti itulah makam itu adanya. Sesuai dengan sunnah Rasulullah seperti yang selalu diingatkan pak Umar kepada keluarganya, agar kuburan jangan ditembok dan dihiasi.


T a m a t

No comments: