Thursday, December 11, 2008

SANG AMANAH (90)

(90)

Pak Sofyan mencoba menggapai dinding tebing tempat dia tersangkut. Tapi tangannya terasa sakit dan mungkin tangan itu patah. Pak Mursyid memberi tahu agar pak Sofyan berdiam saja di tempat karena dia akan berusaha memberi bantuan. Pak Mursyid mengeluarkan tali dari tas ranselnya. Seuntai tali polyster berukuran hampir satu sentimeter dan panjangnya kira-kira dua puluh meter. Dilemparkannya tali itu ke arah pak Sofyan. Tapi pak Sofyan tidak bisa menyambutnya. Kedua tangannya kaku tidak bisa digerakkan. Apakah kedua tangan pak Sofyan patah?

‘Tangan saya tidak bisa digerakkan. Kalau digerakkan sakit sekali,’ kata pak Sofyan dari bawah sana.

‘Kalau begitu pak Sofyan tunggu sebentar. Saya akan turun menolong,’ jawab pak Mursyid.

Pak Mursyid mengikatkan ujung tali yang di atas ke sebuah pohon. Setelah itu dia minta agar pak Darmaji serta anak-anak yang lain menjaga dan menariknya nanti kalau sudah siap. Pak Mursyid sendiri turun ke bawah. Tidak percuma dia seorang guru olah raga. Dengan cekatan dia turun ke tempat pak Sofyan tersangkut.

‘Apakah tangan pak Sofyan sama sekali tidak bisa digerakkan?’ tanya pak Mursyid.

‘Kelihatannya begitu,’ jawab pak Sofyan.

Pak Mursyid memeriksa tangan pak Sofyan. Tangan kirinya patah sedangkan tangan kanannya mungkin hanya keseleo. Terlalu beresiko kalau pak Sofyan hanya diikat lalu ditarik ke atas karena dia tidak bisa berpegangan. Harus ada yang menahan tubuhnya. Tali ini tidak cukup untuk menarik dua orang secara terpisah karena panjangnya hanya dua puluhan meter. Kalau pak Mursyid hanya mengandalkan berpegangan pada semak-semak yang tumbuh di tebing itu untuk memanjat naik akan terlalu beresiko. Dia tidak bisa menahan dan menjaga tubuh pak Sofyan di samping kalau terpeleset dia bisa jatuh ke dalam lembah.

‘Kita perlu tali tambahan. Tali ini tidak cukup. Saya akan membuat tali dari pelepah pisang di atas sana. Pak Sofyan bisa bertahan menunggu sebentar?’ tanya pak Mursyid.

Pak Sofyan mengangguk. Pak Mursyid bergegas naik kembali dengan bantuan tali polyster itu. Dia mengajak anak-anak untuk mengambil pelepah pisang kering yang banyak terdapat di hutan pisang itu dan mengikat-ikatkan menjadi tali yang cukup panjang. Tali pelepah pisang yang dibuat cukup tebal dan besar itu cukup kuat. Pak Mursyid mengikatkan pula tali pelepah pisang ke pohon tempat dia sudah mengikatkan tali polyster sebelumnya.

Setelah itu dia kembali turun menemui pak Sofyan. Tapi, astaghfirullah……. Ada seekor ular pyton sebesar paha orang dewasa sedang berusaha untuk melilit kaki pak Sofyan. Pak Sofyan tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan untuk berteriakpun dia tidak sanggup. Suaranya tersekat dikerongkongannya. Pak Mursyid bereaksi sangat cepat. Kebetulan di dekat itu ada sebuah ranting kering sebesar jempol kaki. Pak Mursyid mengambil ranting itu. Dikeluarkannya sebuah botol plastik dari ranselnya yang berisi spiritus. Ujung ranting itu disiramnya dengan spiritus lalu dinyalakannya dengan korek api. Ujung kayu itu langsung terbakar. Pak Mursyid mengarahkan ujung ranting yang terbakar itu ke arah kepala ular itu. Syukur alhamdulillah ular itu takut dengan api dan segera berlalu.

Pak Mursyid menunggu beberapa saat sampai ular itu benar-benar sudah menghilang dari sana sebelum memadamkan api di ujung ranting itu. Barulah dia membantu pak Sofyan. Tali polyster tadi diikatkannya ke badan pak Sofyan melalui punggung ke bawah ketiak lalu diikencangkannya. Pak Mursyid mengikatkan tali pisang kepinggangnya. Setelah itu dia memberi aba-aba agar pak Darmaji dan anak-anak di atas menarik tali itu naik. Kedua tali itu ditarik bersamaan. Pak Mursyid menjaga agar tubuh pak Sofyan tidak terantuk-antuk ke dinding tebing yang penuh dengan semak belukar dan patahan ranting kayu.

Alhamdulillah, pak Sofyan berhasil diangkat ke atas. Ternyata kakinya juga keseleo dan kelihatannya sangat sakit waktu digerakkan. Pak Sofyan meringis tanpa bersuara waktu kakinya coba digerakkan pak Mursyid. Anak-anak itu heran melihat pak Sofyan masih belum bisa berbicara, dan airmatanya bercucuran. Kenapa pak Sofyan menangis?

Pak Mursyid menceritakan apa yang baru saja terjadi di bawah sana. Anak-anak itu begidik mendengarnya. Pak Mursyid menyuruh mereka untuk tenang. Dibantu oleh Darmanto dan Iwan, pak Mursyid merawat tangan pak Sofyan yang patah dengan memasang dua bilah bambu yang mereka dapatkan tidak jauh dari tempat itu. Waktu tangannya dibebat dengan bambu itu pak Sofyan menjerit kesakitan. Pak Mursyid minta agar pak Darmaji duluan turun ke Cidahu mencari pinjaman tandu karena kelihatannya pak Sofyan tidak akan sanggup berjalan. Pak Darmaji segera berangkat ditemani empat orang anak. Anto yang ikut bersama pak Darmaji menanyakan apakah mereka memerlukan ambulan. Menurut pak Mursyid tidak usah. Mereka akan menyewa mobil saja nanti di Cidahu untuk pergi ke Cimande ke tempat tukang urut patah tulang.

Hari sudah jam setengah lima sore. Matahari masih bersinar sampai jam segini. Pak Mursyid menghitung waktu, kalau harus menunggu pak Darmaji kembali, mungkin dia baru akan sampai di sini sekitar waktu maghrib. Paling tidak perlu waktu dua jam untuk pulang balik ke Cidahu dari tempat ini. Belum lagi kalau tandunya tidak segera dapat. Edwin menawarkan untuk membuat tandu darurat dari kayu. Anak itu ternyata membawa pisau besar di tasnya. Pak Mursyid langsung setuju. Edwin mencari dua pohon kecil untuk dijadikan tongkat. Kedua batang tongkat itu berukuran kira-kira tiga sentimeter, cukup kuat untuk dijadikan tandu darurat. Pak Mursyid mencoba mematahkan kayu itu untuk menguji kekuatannya. Ternyata kayunya liat dan keras sekali. Dia lalu menganyam tali polyster di antara kedua tongkat itu dan menyuruh anak-anak untuk mengambil daun pisang kering untuk alasnya. Tandu darurat itupun selesai. Mereka mengangkat tubuh pak Sofyan ke atas tandu darurat itu. Pak Sofyan menggigit bibirnya menahan sakit. Tandu itu lalu diangkat berempat. Tapi jalan yang akan ditempuh tidak cukup lebar untuk dua orang berjalan sejajar. Jadi hanya dua orang yang mengangkat tandu itu satu di depan dan satu di belakang. Pak Mursyid mengangkat di depan dan Edwin di belakang. Lumayan berat. Tapi tidak ada pilihan lain. Merekapun bergerak meninggalkan tempat itu.

Mereka bergantian meminggul tubuh pak Sofyan. Untung perjalanannya menurun jadi tidak terlalu melelahkan. Ada cukup anak-anak yang bertubuh besar yang mampu mengangkat tandu itu. Di samping Edwin ada Darmanto, Wisman, Junaidi, Ilham, Bagus, Yulianto dan masih ada yang lain. Mereka bahkan berebutan ingin bergantian mengangkat tandu itu. Hampir menjelang desa Cidahu mereka bertemu dengan rombongan pak Darmaji yang membawa tandu. Tandu itu tidak lebih baik dari tandu darurat buatan Pak Mursyid dan Edwin jadi pak Sofyan tidak dipindahkan. Jam setengah enam mereka sampai di Cidahu. Pak Darmaji sudah menyewa sebuah mobil Kijang kendaraan pribadi untuk membawa pak Sofyan. Sebenarnya di sana cukup banyak kendaraan angkot yang bisa di sewa sampai ke Bogor. Pak Mursyid meminta dua orang anak untuk ikut menemaninya mengantarkan pak Sofyan ke tukang urut patah tulang di desa Cimande. Edwin dan Anto langsung menyanggupinya. Rombongan yang lain disuruh pulang bersama-sama pak Darmaji ke Jakarta. Beberapa orang anak yang lain sebenarnya ingin ikut mengantar pak Sofyan tapi dilarang oleh pak Mursyid.

Pak Sofyan dibaringkan di jok tengah Kijang itu dan kakinya terpaksa ditekuk. Dia berusaha menahan sakit kaki itu. Menahan rasa sakit di tangannya yang patah dan keseleo. Kasihan betul pak Sofyan.

Waktu tadi berangkat duluan dari arah gunung Salak menuju desa Cidahu, Anto menghubungi papi melalui HPnya, untuk memberi tahu tentang musibah itu. Anto mengatakan mungkin mereka akan terlambat sampai di Jakarta. Papi menyuruh memberi kabar lagi kalau pak Sofyan sudah berhasil dibawa ke Cidahu. Sekarang Anto kembali menghubungi papi, memberi tahu bahwa dia ikut dengan pak Mursyid mengantar pak Sofyan ke Cimande. Papi mengatakan bahwa dia akan menyusul mereka ke sana.


*****


Desa Cimande tidak terlalu jauh sebenarnya dari Cidahu. Persis sesudah azan maghrib rombongan pak Sofyan yang ditemani pak Mursyid serta Anto dan Edwin sudah sampai di sana. Mereka dibawa ke rumah Abah yang terkenal punya keahlian merawat orang patah tulang. Mereka menunggu sampai orang-orang selesai shalat maghrib. Sesudah itu si Abah langsung memeriksa dan merawat pak Sofyan. Pak Sofyan menjerit waktu tangannya yang patah itu diurut si Abah. Tangan itu dibubuhi obat dari daun-daunan yang ditumbuk halus lalu dibebat kembali dengan kayu. Si Abah menyarankan agar pak Sofyan tinggal untuk dirawatnya dua atau tiga hari di sana. Pak Sofyan menerima dengan pasrah, kalau memang dia harus tinggal dan dirawat, dia akan tinggal. Selain diurut tulangnya yang patah, tangan dan kaki pak Sofyan yang keseleo harus pula diurut. Bagian yang keseleo ini dikerjakan oleh tukang urut lain, mang Tisna. Urutan demi urutan itu pasti sangat sakit sekali. Pak Sofyan merintih sampai menjerit menahan rasa sakit.

Sesudah pak Sofyan selesai diurut, pak Mursyid bersiap-siap untuk pulang. Pak Sofyan menitip pesan ke keluarganya di rumah. Pak Mursyid menyanggupi dan mengatakan akan mengajak istrinya serta membawa istri pak Sofyan untuk mengunjunginya kembali besok ke sini. Pak Mursyid sudah ingin pamit. Tapi Anto memberi tahu bahwa ayahnya sedang dalam perjalanan ke Cimande. Mereka tidak jadi berangkat tapi menunggu sampai ayah Anto datang.

Jam delapan malam pak Suryanto dan ibu Ningsih sampai di Cimande. Mereka melihat keadaan pak Sofyan yang sudah tenang sesudah diurut tadi. Pak Sofyan sudah bisa menggerakkan tangan kanannya dan kakinya dengan pelan-pelan tanpa rasa sakit. Ibu Ningsih membawakan makanan yang tadi dibeli di Bogor. Dia sudah diberi tahu Anto sebelumnya bahwa pak Sofyan harus menginap di Cimande.

Akhirnya mereka makan malam dulu bersama-sama di rumah si Abah. Anto dan Edwin membantu menyuapi pak Sofyan karena tangan kanannya masih belum bisa dipakai untuk menyuap makanan sendiri. Pak Sofyan merasa bersyukur karena telah mendapat pertolongan dan terhindar dari bahaya yang lebih besar.

Jam sembilan malam barulah rombongan itu meninggalkan rumah si Abah untuk kembali ke Jakarta. Mereka berangkat setelah terlebih dahulu berpamitan dengan tuan rumah serta pak Sofyan. Tak lupa pak Mursyid mengucapkan terima kasih atas pertolongan Abah dan mang Tisna.

Sepanjang jalan mereka berbincang-bincang tentang kejadian yang menimpa pak Sofyan sore tadi. Pak Suryanto dan ibu Ningsih mendengarkan dengan penuh perhatian. Betul-betul sebuah pengalaman dahsyat dan mengkhawatirkan. Untunglah semua berakhir tidak terlalu fatal.

‘Bagaimana To? Kamu kapok jadi anggota Grup Pencinta Alam?’ tanya pak Mursyid memancing.

‘Mudah-mudahan sih enggak pak. Saya malahan jadi makin tertarik,’ jawab Anto.

‘Kalau ada acara out bonding lagi mau ikut lagi?’

‘Maksud bapak acara seperti naik gunung lagi seperti hari ini?’

‘Ya. Atau bisa juga yang lain. Seperti acara menyusuri sungai dengan perahu karet?’

‘Kedengarannya menarik juga itu pak. Kayaknya saya tertarik juga tuh untuk mencobanya,’ jawab Anto.

‘Maksudnya, seperti arung jeram, begitu?’ tanya pak Suryanto menimpali.

‘Bukan pak. Kalau arung jeram itu terlalu menantang bahaya. Terlalu tinggi resikonya,’ jawab pak Mursyid.

‘Jadi yang pak Mursyid maksud?’ tanya pak Suryanto kembali.

‘Hanya melintasi sungai dengan perahu dan sungainya jangan yang arusnya deras. Jadi seperti wisata sungai begitu,’ pak Mursyid menjelaskan.

‘Memangnya ada yang seperti itu pak Mursyid?’

‘Bisa saja kita adakan, pak. Tujuan kita hanya untuk menanamkan kecintaan terhadap alam kepada anggota grup ini tanpa keinginan untuk menaklukkan atau menantang alam,’ jawab pak Mursyid menjelaskan.

‘Bagaimana pula dengan yang hobi memanjat tebing batu, misalnya. Seperti yang sering ditayangkan tivi?’ tanya pak Suryanto pula.

‘Hobi memanjat dinding batu itu juga terlalu menghadang bahaya, pak. Saya pribadi, terus terang tidak menyukainya. Grup Pencinta Alam ini cukuplah untuk menjelajahi alam dengan wajar dan biasa-biasa saja. Ya, seperti mendaki gunung melalui rintisan resmi yang sudah dikenal. Boleh juga membuat rintisan sendiri asal tidak ngawur. Harus berbekal peta yang jelas dan bisa dipercaya,’ jawab pak Mursyid pula.

‘Beruntung sekali tadi bapak membawa tali dan spiritus untuk menyalakan api untuk mengusir ular yang nyaris mencelakai pak Sofyan. Tapi kenapa bapak tidak mengingatkan kami untuk membawa peralatan yang sama?’ tanya Anto.

‘Betul sekali. Saya jadi sadar bahwa peralatan sederhana seperti itu memang wajib ada di dalam tas punggung kita. Termasuk obat luka beserta pembalut luka untuk P3K. Bahkan pisau yang cukup besar dan tajam seperti yang dibawa Edwin. Saya membawa pisau lipat dalam ransel. Jadi, kamu tentu mengerti sekarang bahwa kalau kita menjelajahi alam perlu alat-alat seperti yang kita sebutkan itu. Saya tidak mengingatkan kalian, yang ternyata saya keliru, karena saya menganggap segalanya akan berjalan lancar-lancar saja. Di sinilah kekeliruannya. Saya mengakui kesalahan itu,’ ujar pak Mursyid.

No comments: