Wednesday, January 16, 2008

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (13)

ANAK MANUSIA KORBAN POLITIK (13)

13. SURABAYA

Marwan melanjutkan lagi ceritanya.

‘Aku berangkat dari kampung akhir tahun 66. Mula-mula ada terniat di hatiku untuk memberi tahu ke beberapa orang teman tentang keberangkatanku tapi akhirnya aku batalkan. Aku malu, kalau nanti teman-teman tahu alasanku meninggalkan kampung. Aku malu dan khawatir kalau-kalau nanti mereka semua tahu bahwa ayahku sedang di penjara karena beliau seorang anggota PKI. Bahkan setelah sampai di Surabaya dan bersekolah disana, aku sengaja tidak menulis surat kepada siapapun di antara teman-teman kita. Dengan alasan yang sama.

Aku berangkat berdua dengan mertua pak etek yang juga diminta datang oleh beliau. Aku dititipkanlah ibaratnya kepada mertua beliau itu. Nenek itu sudah berumur sekitar 60 tahun, masih gesit dan lincah. Dia sudah tiga kali bolak balik ke Surabaya. Kami naik kapal laut dari Teluk Bayur menuju Jakarta. Di Jakarta kami dijemput anak nenek itu, adik dari istri pak etek. Dua hari kemudian kami berangkat ke Surabaya dengan keretapi.

Di Surabaya, aku dimasukkan ke SMA. Aku mulai sekolah. Aku cepat beradaptasi dengan suasana sekolah. Dengan modal pandai main gitar seperti di SMP. Aku mulai punya teman. Mulai terlibat dalam kegiatan-kegiatan olah raga. Main voli dan main bola.

Di rumah aku berusaha menyesuaikan diri pula sebaik-baiknya. Aku bersyukur karena anak-anak pak etek itu sangat baik-baik kepadaku. Mereka benar-benar menganggapku sebagai kakak mereka. Mereka lebih banyak menggunakan bahasa Jawa Surabaya di rumah. Sesama mereka atau bahkan kadang-kadang kalau berbicara dengan ayah mereka. Dalam waktu singkat akupun mulai pandai berbahasa Jawa.

Hari Minggu aku menawarkan diri untuk membantu pak etek di toko beliau. Beliau mempunyai toko buku di pasar Tunjungan. Beliau mengijinkan dan aku ikut dengan beliau ke toko. Pelan-pelan aku berlatih mengingat dan menghafal harga buku-buku yang ratusan banyaknya. Berlatih melayani pembeli. Ternyata jauh hari kemudian ilmu itu yang paling banyak kupakai dalam hidup. Ketika aku punya toko buku sendiri seperti sekarang.

Dengan kesibukan baik di sekolah, di rumah dan di toko buku, aku betah-betah saja disana. Meskipun pada awal-awalnya, hampir setiap malam pikiranku selalu melayang ke kampung. Aku rajin menulis surat ke ayah dan ibuku. Beliaupun rajin membalas. Surat untuk ayah aku kirim melalui ibu di kampung. Ayahku sangat senang mendengar ceritaku seperti yang selalu beliau tulis di dalam surat-surat beliau. Beliau selalu berharap agar aku bisa melanjutkan sekolahku sampai ke perguruan tinggi. Ayahku menaruh harapan sangat besar padaku. Dan aku menyadari betul hal itu.

Begitulah kehidupanku pada waktu itu. Prestasi di sekolah hampir-hampir sama saja seperti ketika di SMP. Aku termasuk golongan sedikit di atas rata-rata,’ Marwan berhenti sejenak untuk meneguk teh telor.

‘Tidak ada berpomle-pomle?’ tanya Desi sambil tertawa.

‘Boleh dikatakan tidak ada. Ada teman-teman wanita, seperti di SMP juga. Tapi teman selama di sekolah saja. Anak-anak SMA waktu itu sudah ada yang berani berjalan berdua-dua pulang sekolah. Tapi aku belum berani. Tidak berani. Aku menjaga benar jangan sampai ditegor pak etek,’ jawab Marwan.

‘Kau bilang ikut main voli dan main bola. Ikut bertanding juga seperti ketika kita di SMP?’ tanyaku.

‘Main voli aku kurang masuk hitungan di sana. Banyak anak-anak lain yang lebih hebat dariku. Paling-paling aku terpakai kalau pertandingan antar kelas. Tapi main bola aku tetap terpakai. Kami cukup sering pergi bertanding antar sekolah. Ada juga hampir-hampir berkelahi. Biasalah, main bola, kalau tidak ada main kasar-kasarnya kan bukan main bola namanya. Kami pernah pergi bertanding ke luar kota. Ke Malang, ke Blitar. Pokoknya lumayan, aku bisa ikut melihat-lihat negeri orang.

Aku juga ikut bermain basket. Permainan yang juga aku sukai. Kadang-kadang diikutsertakan dalam pertandingan.

Dan aku pernah diajak ikut bermain band. Karena aku pandai bergitar. Untuk mengisi acara-acara sekolah, terutama mendekati tanggal tujuh belas Agustus. Ketika disekolah diadakan banyak perlombaan-perlombaan. Waktu di sekolah aku ikut. Teman-temanku mengajak untuk latihan hari Minggu. Cita-cita mereka ingin membuat grup band benaran di luar sekolah. Aku menolak, karena hari Minggu benar-benar aku gunakan untuk bekerja di toko.’

‘Dengan kegiatan seperti itu apakah kau tidak menjadi bintang? Sehingga disenangi anak-anak perempuan? Kan anak-anak perempuan senang kepada anak laki-laki yang olahragawan, yang pemain musik, apa bukan begitu?’ tanyaku.

‘Iya ya. Kalau uda pasti sudah dikerubuti anak-anak gadis barangkali ya? Sudah banyak pomle,’ Desi mengusik.

Aku tersenyum.

‘Ternyata tidak. Tapi entah jugalah. Mungkin karena aku berusaha benar untuk tidak berpacaran. Tidak mau mendekati, tidak mau didekati anak-anak perempuan,’ jawab Marwan.

‘Di luar sekolah tidak ada kegiatan?’

‘Ada, banyak. Aku ikut jadi anggota karang taruna. Aku ikut aktif jadi remaja mesjid di dekat kami tinggal. Aku ikut lagi jadi anggota PII. Ini secara tidak sengaja. Karena aktif di mesjid ada yang mengajakku masuk anggota PII. Aku bilang aku sudah jadi anggota PII. Kebetulan kartu anggota yang aku dapat di kampung dulu kubawa. Teman-teman itu sangat senang dan sejak itu aku selalu diajak ikut kegiatan mereka. Dan aku usahakan selalu ikut. Biasanya setiap hari Jumat dan Sabtu sore. Kadang-kadang hari Minggu pagi. Sekali-sekali aku minta izin pak etek untuk ikut. Sebenarnya pak etekku itu mengizinkan aku ikut kegiatan-kegiatan remaja di luar sekolah. Tapi aku harus tetap tahu diri.

Ada suatu pengalaman lucu dengan kegiatan PII. Aku ikut pelatihan selama seminggu ketika libur sekolah. Orang-orang Surabaya berbahasa Jawa agak kasar. Ini menurut pengakuan mereka sendiri. Dalam omongan sehari-hari sering kali mereka mengeluarkan kata-kata carut. Di dalam masa pelatihan itu semua peserta diminta menghindarkan kata-kata carut itu. Tapi mungkin karena sudah bagian dari kebiasaan, mereka tidak bercarut tapi mengganti setiap makian dengan kata PKI. Kalau ada hal yang kurang menyenangkan, mereka mengatakan, PKI tenan. Aku bergidik setiap kali ada yang mengeluarkan kata PKI.

Satu saat, aku bertanya kenapa dia mengganti kata makian dengan ‘PKI’. Jawabnya, karena PKI itu memang sama dengan carut. Maksudnya PKI itu brengsek.

Lalu kami membahas tentang keberengsekan PKI. Temanku itu bercerita bagaimana jahil dan biadabnya orang-orang PKI itu di kampung-kampung di Jawa Timur sebelum meletusnya peristiwa Gestapu. Mereka meneror masyarakat jauh lebih kejam. Kata temanku itu ada yang berani menyerang orang sedang shalat subuh di mesjid. Imam dan jamaah mesjid itu dipukuli ketika mereka sedang shalat. Ada yang membakar mesjid terang-terangan. Itulah sebabnya ketika kemudian PKI dan Gestapunya gagal, orang-orang PKI itu banyak yang dibunuhi masyarakat beramai-ramai.’

‘Seingatku di daerah kita tidak ada sampai kejadian seperti itu.’

‘Setahuku juga tidak pernah. Makanya orang-orang di kampungku mengatakan, seandainya Datuk Rajo Bamegomego tidak lari ke Medan dia akan selamat di kampung.’

‘Tapi mungkin dikirim ke pulau Buru,’ kataku.

‘Ya, itu sangat mungkin. Dan cerita itu belum selesai.

Aku bertanya kepada temanku itu, apakah cerita yang baru disampaikannya itu, tentang pembunuhan orang-orang PKI, dia dengar dari orang lain? Dia bilang, di antara peserta sekarang ini ada yang jadi saksi langsung. Nanti aku kenalkan, katanya. Dan aku berkenalan dengan seorang teman yang lain. Kakak ayahnya, atau pakdenya termasuk salah seorang anggota PKI yang terbunuh dikampungnya. Dia bercerita dengan nada biasa-biasa saja. Lalu aku tanya, apakah ketika PKI masih jaya, pakdenya itu pernah berlaku jahat juga di kampung itu? Jawabnya sungguh mengerikan. Di samping jahat dan beringasan, orang itu membunuh kakaknya sendiri yang adalah imam mesjid di kampung itu. Alasannya sangat di buat-buat. Katanya karena kakaknya tidak membagi harta warisan secara adil. Padahal harta warisan itu sudah dibagi ayah mereka dengan adil sesuai syariat Islam. Dua orang saudara wanita mereka mendapat seperempat bagian untuk berdua dan mereka bertiga laki-laki masing-masing mendapat seperempat. Kakak yang paling tua itu karena memang lebih baik ekonominya memberikan sebagian dari pembagiannya kepada kedua adik wanitanya sebagai tambahan. Lalu bapak yang PKI ini juga ikut-ikutan meminta dan tidak dikasih. Dia langsung naik pitam dan membunuh kakaknya. Sesudah kejadian itu dia ditahan polisi sebentar tapi segera dilepas lagi. Karena dia orang pentingnya PKI di kecamatan.’

‘Mengerikan sekali,’ ujar Desi

‘Memang mengerikan. Dan orang itu akhirnya dibunuh massa. Tapi bukan karena alasan pembunuhan kakaknya itu saja. Banyak kesewenang-wenangan yang dilakukannya di kampung sehingga penduduk kampung benar-benar sangat membencinya.’

‘Betul-betul mengerikan,’ aku ikut bergidik mendengarnya.

‘Sepertinya orang-orang PKI di Jawa memang lebih buas. Paling tidak dari apa yang aku dengar. Ada dua tiga orang temanku yang bercerita tentang prilaku orang-orang PKI di kampung mereka. Nadanya mirip semua. Suka meneror dan membuat onar.’

‘Tapi kemudian juga banyak orang PKI yang terbunuh, begitu aku pernah baca di koran.’

‘Benar. Seperti yang diceritakan temanku itu. Waktu mereka sudah tidak berkuku lagi, habis mereka. Ceritanya mengenaskan juga. Ribuan orang-orang PKI itu dibunuh. Pokoknya kacaulah. Dendam dibalas dendam. Kejahatan dibalas kejahatan. Di daerah kita rasanya tidak ada cerita seperti itu.’

‘Dan kau tidak bercerita..... Tentang orang-orang PKI di kampung kita?’ tanyaku.

‘Aku menahan diri untuk tidak bercerita. Aku takut kelepasan omong tentang ayah. Aku tidak ingin orang tahu ayahku juga PKI.’

Kami kembali terdiam. Aku mencomot sebuah pisang goreng. Marwan juga. Sementara kami menyibukkan diri dengan goreng pisang raja. Desi menanyakan apakah kami mau minum yang lain. Marwan minta segelas air putih.

‘Kau tidak pulang kampung waktu ayahmu dibebaskan?’ tanyaku lagi beberapa saat kemudian.

‘Tidak. Kebetulan pak etekku sudah berencana untuk membawa keluarganya pulang kampung ketika liburan sekolah. Tadinya dia menanyakan apakah aku juga ingin ikut pulang atau mau tinggal di Surabaya. Kalau aku mau tinggal, tokonya akan dipercayakannya kepadaku selama beliau pergi. Kalau aku memilih ikut pulang toko itu akan dipercayakan kepada kawannya. Aku bingung menjawabnya. Sebenarnya, tentu saja aku juga ingin pulang melihat ayah. Tapi tawaran mengurus toko merupakan tantangan yang cukup menarik. Aku menulis surat kepada ayahku menanyakan pendapat beliau. Beliau mengatakan, tidak usah pulang. Ambil kesempatan belajar mengurus toko itu dan usahakan sebaik-baiknya, jangan sampai gagal. Begitu pesan ayahku. Aku tidak ikut pulang kampung dan menggantikan pak etek mengurus toko. Tidak sulit bagiku karena selama dua tahun disana aku selalu berlatih setiap libur dan hari Minggu. Sebelum itu, pernah juga beliau menyuruhku menjaga toko sehari dua kalau beliau ada urusan ke Jakarta atau ke tempat lain.’

‘Apa saja pekerjaan di toko buku itu ?’ tanyaku.

‘Selain menjual buku juga memesan buku-buku baru. Menerima kiriman buku-buku baru dari penerbit. Mengirim buku yang dipesan pembeli. Semua tentu harus dicatat sehingga nanti mudah melaporkannya.’

‘Dan kau kerjakan sendirian ?’

‘Tidak. Ada seorang karyawan yang membantu.’

‘Berapa lama pak etekmu di kampung?’

‘Tiga minggu termasuk di perjalanan. Di kampungnya mungkin hanya dua minggu. Mereka naik kereta ke Jakarta dan naik kapal laut ke Padang.’

‘Dan kau berhasil menjalankan tugas itu dengan baik?’

‘Alhamdulillah, aku berhasil. Pak etek sangat senang. Ayahku yang kemudian kukabari juga senang. Kata pak etek aku boleh pulang kampung tahun berikutnya. Tapi tahun berikutnya aku sudah kelas tiga. Aku ingin masuk ITS. Jadi aku tidak menggunakan tawaran itu karena aku sibuk dengan pelajaran. Aku bekerja keras untuk menghadapi ujian akhir dan ujian saringan masuk.’

‘Dan kau hanya mendaftar untuk masuk ke ITS?’

‘Aku disuruh pak etek ikut test masuk di Gajah Mada. Sebagai cadangan seandainya gagal ke ITS. Tapi aku berharap agar aku diterima di Surabaya. Maksudku dengan demikian aku tetap bisa membantu-bantu beliau. Kalau aku sekolah di Yogya dengan biaya dari beliau rasanya kurang pas. Aku berdoa setiap saat agar aku dapat sekolah di Surabaya. Alhamdulillah doaku dikabulkan Allah. Malahan yang di Gajah Mada itu aku tidak lulus.’

‘Selama itu kau tidak pernah bertemu dengan siapapun dari kampung kita? Entah teman-teman atau siapa saja?’

‘Orang kampung yang aku kenal sejak di kampung tidak pernah. Ada orang kampung kami tapi sudah lama menetap di Surabaya dan aku baru kenal disana. Dengan teman-teman sama sekali tidak pernah. Aku sudah hilang lenyap dari mereka dan mereka sudah hilang dariku. Pelan-pelan aku sudah berubah kejawa-jawaan. Kecuali dengan pak etek dan etek di rumah aku tidak pernah lagi berbahasa Minang.’

‘Aku ingat, kali kedua mampir ditokomu, aku hampir menyapamu tapi tidak jadi karena aku mendengar kau berbahasa Jawa dengan orang di depanku.’

‘Ya, karena aku bergaul dengan orang Jawa semua.’

‘Lalu sesudah kau diterima di ITS?’

‘Begini lagi ceritanya,’ jawab Marwan.

Diapun melanjutkan ceritanya kembali.


*****

No comments: