Friday, February 25, 2011

KENANGAN MASA PRRI (4)

4. Di Lengangnya Malam

Jam sembilan malam di malam yang gelap. Malam yang kelam. Kelam pirik kata orang di kampung. Gelap yang sedemikian rupa sehingga seseorang tidak bisa melihat tangannya sendiri yang diacungkan ke mukanya. Gelap karena langit tak berbintang, ditutupi awan. Tapi bukan malam yang sunyi. Suara kodok heboh di mana-mana. Kodok selalu berpesta pora di musim penghujan seperti sekarang ini. Dan suara jengkerik yang nyaring bersahut-sahutan. Kadang-kadang terdengar pula suara kepakan kelelawar.

Junaidi berjalan menggunakan naluri di jalan yang lanyah di dalam gelap itu. Menuju rumah tuan Asmar, wali jorong. Rumah itu agak terjorok ke dalam di tengah kampung. Melalui parak atau kebun betung. Suara desir daun betung ditiup angin ikut menambah ramai orkes malam di dalam gelap gulita itu. Ada tebat besar di samping rumah tuan Asmar. Junaidi berjalan meraba-raba di sisi tebat agar tidak jatuh terjerembab masuk air. Tuan Asmar memelihara anjing, yang dulu, sebelum perang sering dibawanya pergi berburu. Anjing itu menyalak ketika Junaidi mendekat ke rumah itu tapi hanya sebentar. Mungkin anjing itu segera mengenali bahwa yang datang adalah orang yang biasa datang. Junaidi sudah sampai di halaman rumah tuan Asmar tapi dia harus memutar. Kamar tuan Asmar terletak di sisi sebelah ke hilir.

Junaidi bergeritik pelan di dinding dekat kamar tuan Asmar. Lalu menunggu beberapa puluh detik. Setelah itu dari dalam terdengar pula ketukan halus di dinding papan rumah itu. Terakhir Junaidi mengulangi lagi dengan ketukan pelan-pelan. Ditunggunya lagi beberapa saat sampai akhirnya terdengar suara pelan dari arah kamar.

‘Engkau?’ suara itu setengah berbisik.

‘Iya,’ jawab Junaidi, juga hampir berbisik.

‘Lalulah ke pintu,’ perintah dari dalam.

Junaidi sudah diberi tahu semua prosedur itu waktu dua hari yang lalu dia datang ke rumah ini. Dia harus datang dengan sangat rahasia, tidak boleh dilihat siapapun. Karena kalau ketahuan, akan buruk akibatnya untuk tuan rumah dalam suasana perang seperti sekarang ini. ‘Lalulah ke pintu’ yang dimaksud tuan Asmar adalah melewati pintu kandang. Pintu kandang itu terletak di bagian belakang rumah, dipasak dengan tongkat dari dalam rumah. Tuan Asmar berjalan berjinjit-jinjit ke dekat pasak kandang itu dan menarik tongkatnya. Junaidi mendorong pintu itu, lalu masuk, menutup pintu kembali, untuk kemudian meraba-raba ke arah tangga. Ada tangga untuk masuk ke rumah, ke bilik di bagian belakang rumah. Pintu masuk dari kandang ke bilik itu adalah lantai rumah yang dipotong dan bisa diangkat. Biasanya lantai yang dipotong jadi pintu itu ditutupi dengan tikar.

Junaidi naik ke rumah. Bilik itu diterangi sebuah lampu togok yang nyalanya sangat kecil. Tuan Asmar sudah duduk di lantai bilik itu.

‘Sudah benar-benar siap, kau?’ tuan Asmar bertanya dengan berbisik.

‘Sudah, tuan,’ jawab Junaidi, juga berbisik.

Mereka melanjutkan pembicaraan dengan berbisik-bisik.

‘Apa saja yang kau bawa dalam buntilmu ini?’

‘Pakaian tiga pasang dan kain sarung,’ jawab Junaidi.

‘Cukuplah itu. Kau tidak membawa-bawa uang, kan?’

‘Ada, dua ratus rupiah.’

‘Ya sudahlah. Tidak ada kau bawa barang-barang berharga, kan? Tidak kau bawa barang emas misalnya…’

‘Hanya jam tangan ini. Yang lain tidak ada, tuan.’

‘Apakah kau memerlukan benar jam tangan itu?’

‘Kenapa tuan?’

‘Untuk berjaga-jaga saja. Supaya tidak menjadi sesuatu yang menimbulkan perhatian. Yang aku khawatirkan, dalam keadaan tidak seperti biasanya di luar sana kawan-kawan pun bisa saja tergoda berbuat jahat. Faham kau?’

‘Akan ambo simpan di kantong saja kalau begitu tuan. Kalau memang tidak ada yang memakai jam tangan, tidak akan ambo pakai.’

‘Baiklah kalau begitu. Begini….. Kau tidur saja dulu di sini. Tan Basa akan datang lewat tengah malam nanti.’

‘Baik, tuan.’

‘Ada yang akan kau tanyakan?’

‘Tidak ada, tuan.’

‘Kau tentu sudah dinasihati orang tua kau tadi di rumah. Aku tidak akan menambahkan apa-apa lagi selain mengingatkan kau agar pandai-pandai menjaga diri. Yang akan kau sabung adalah nyawamu. Senantiasalah kau mengingat Tuhan Allah.’

‘Ya, tuan. Ambo pegang teguh nasihat tuan.’

‘Sudahlah…... Aku akan kembali ke bilikku dulu.’

Tuan Asmar meninggalkan Junaidi di dalam bilik itu. Dia keluar dengan berjinjit-jinjit kembali ke kamarnya.

Junaidi duduk bersandar ke dinding. Sambil menerawang. Mengingat langkah yang sudah dibuatnya sampai detik itu. Sejak dia berbicara menggunakan bahasa rahasia dengan tuan Asmar dua hari yang lalu. Bahasa kode yang diketahuinya dari temannya Tamrin yang dulu mengajaknya untuk ikut ke luar. Tamrin sudah ikut bergabung dengan tentara luar sejak tiga bulan yang lalu. Tamrin dulu mengajarkan, bagaimana caranya membuka pembicaraan dengan tuan Asmar seandainya suatu hari dia juga ingin ikut.

Mulanya, tuan Asmar tidak menanggapinya. Mungkin beliau tidak percaya bahwa Junaidi akan ikut-ikutan lari ke hutan. Bukankah dia seorang guru? Junaidi bercerita singkat tentang pengalamannya ditangkap dan dipekerjakan tentara APRI hari itu. Dan keinginannya untuk ikut bergabung dengan tentara luar dikarenakan pengalaman pahitnya itu. Tuan Asmar menanyakan kesungguh-sungguhannya, yang dijawabnya bahwa dia sangat bersungguh-sungguh. Wali jorong itu akhirnya percaya, bahkan mengatakan seandainya dia siap dia bisa langsung ikut malam itu juga.

Tapi Junaidi baru siap hari itu. Waktu mereka bertemu dan berbicara dengan berhati-hati dua hari yang lalu, tuan Asmar memberi tahu agar datang paling cepat jam sembilan malam. Lalu diberitahunya pula kode yang akan digunakan. Maksudnya agar jangan sampai ada orang kampung yang tahu atau melihat bahwa Junaidi datang ke rumah tuan Asmar sebelum dia menghilang dari kampung.

Tadi dia sudah berpamitan dengan ayah dan mak. Sudah berpergilah bertinggallah. Mak terlihat lebih tegar di saat-saat terakhir ini. Sejak kedatangan mak dang Endah Kayo tadi sore. Mak hanya berpesan agar dia senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhan Allah. Tidak melupakan sembahyang. Ayah pun berpesan begitu pula. Dalam keadaan takut, dalam keadaan bahaya, sembahyang itu bahkan boleh dikerjakan dalam keadaan berjalan. Begitu ketetapan Tuhan Allah di dalam al Quran. Jadi, kata ayah, jangan sekali-kali sampai kau meninggalkan sembahyang. Kalaulah Tuhan Allah berkehendak, engkau terkorban, ayah doakan agar kau menjadi seorang syuhada. Begitu kata ayah memberinya nasihat. Disalaminya ayah dan mak dengan takzim. Dia minta doa restu dan minta maaf. Minta agar diikhlaskan seandainya terjadi apa-apa dengan dirinya selama dia pergi meninggalkan rumah. Dan mak sungguh sangat tegar. Beliau tidak meneteskan air mata sedikitpun.

Dan sekarang dia sudah berada di sini. Di rumah tuan Asmar. Menunggu rombongan tentara luar yang akan membawanya ikut pergi. Dan dia sudah siap untuk sehidup semati dengan mereka. Niatnya, melawan kemungkaran. Melawan kelaliman dan kesemena-menaan seperti yang telah dialaminya sendiri. Sudah disaksikannya korban berjatuhan di kampungnya. Anak-anak muda teman sepermainannya.

Dia tahu, yang dihadangnya adalah kesulitan. Tentara luar itu tinggal di hutan. Mungkin bukan di tempat yang layak. Mungkin tidak jelas bagaimana makan minumnya. Dan dia sudah siap. Kalau semua makan rumput hutan dia akan ikut makan rumput hutan. Kalau semua tidur di alam terbuka dia akan ikut tidur di alam terbuka. Dan semua telah diawalinya sejak menapakkan kaki dari rumah orang tuanya tadi. Dengan bismillah.

Malam semakin larut. Di luar terdengar suara kodok bersahut-sahutan, tidak berhenti-henti dari tadi. Dan suara jengkerik. Dan suara lolongan anjing di kejauhan.

Junaidi tidak berusaha tidur. Dia ingin menunggu sampai rombongan itu datang. Mungkin tiga jam lagi. Digiringnya ingatannya ke awal peperangan ini.

Terbayang di pelupuk matanya ketika puluhan pesawat terbang APRI menderu dari arah timur, melintas di udara. Saat itu dia sedang berada di atas bendi di Parit Putus akan menuju Bukit Tinggi. Pesawat-pesawat itu rupanya datang untuk membom pemancar RRI di Simpang Limau. Entah kenapa pemancar itu yang jadi sasaran. Melihat pesawat-pesawat itu meraung-raung di udara dan mendengar suara tembakan, mak kusir memutuskan untuk kembali ke Biaro. Mengerikan sekali pemandangan ketika itu. Kuda-kuda bendi bagaikan dipacu kusirnya menjauh dari Bukit Tinggi.

Beberapa pekan kemudian suasana perang semakin terasa. Tiap hari terdengar suara letusan mortir ditembakkan dari Bukit Tinggi ke arah Lasi di kaki gunung Marapi. Dimana-mana orang membicarakan peperangan. Kampung jadi ramai karena orang-orang dari kota-kota pulang ke kampung. Orang berharap di kampung bisa terhindar dari suasana perang.

Dan dia ingat Tamrin, temannya di Sekolah Rakyat. Junaidi melanjutkan sekolah ke SGB di Bukit Tinggi, sedangkan Tamrin melanjutkan ke SMP di Tanjung Alam. Ketika perang itu pecah, Tamrin sudah duduk di kelas tiga SMA B Bukit Tinggi, tapi dia tidak bisa melanjutkan sekolah karena Bukit Tinggi sudah diduduki tentara APRI. Tamrin memutuskan untuk ikut bergabung dengan tentara PRRI. Diajaknya Junaidi ikut. Alasannya karena negeri kita diserang dan kita diperangi, jadi kita ikut membela negeri. Alasan Tamrin hanya seperti itu. Junaidi faham dengan apa yang dikatakan Tamrin. Tapi dia sedang menikmati pekerjaannya sebagai guru. Dia berkeyakinan guru tidak akan terganggu oleh peperangan.

Ternyata dugaannya salah. Sebagai remaja berumur sembilan belas tahun dia tidak aman sedikitpun. Belum terlalu fatal yang dialaminya. Dan dia tidak ingin sampai kejadian yang benar-benar fatal itu menimpa dirinya.

*****

Sunday, February 20, 2011

KENANGAN MASA PRRI (3)

3. Berpetaruh

Sesudah sembahyang asar, Junaidi pergi ke rumah engku Mukhtar. Engku Mukhtar adalah guru senior di tempat Junaidi mengajar. Usianya sudah hampir 30 tahun. Dia tinggal di rumah istrinya yang juga jadi guru agama di sekolah di kampung mereka. Istri engku Mukhtar tamatan PGA Dinyah.

Uni Salma, istri engku Mukhtar mendengar ketika Junaidi mengucapkan salam. Dia sedang memasak di dapur.

‘Ada engku di rumah, uni?’ tanya Junaidi.

‘Ada. Naiklah, Jun! Beliau ada di atas.’

‘Apakah beliau sedang beristirahat? Kalau boleh, ambo ada perlu dengan engku sebentar.’

‘Tidak. Beliau tidak sedang istirahat. Sedang merintang-rintang si Bungsu. Naik sajalah ke rumah.’

Engku Mukhtar rupanya mendengar pembicaraan itu. Dijemputnya Junaidi ke pintu.

‘Ke rumahlah!’ katanya.

Junaidi segera naik ke rumah. Diikutinya engku Mukhtar ke ruangan tengah rumah gedang itu. Sebuah buayan bayi tergantung dengan tali-talinya diikatkan ke tonggak rumah. Buayan itu masih berayun-ayun. Di dalamnya ada bayi berumur tiga bulan sedang tidur. Kedua orang laki-laki itu duduk di tikar. Engku Mukhtar sekali-sekali menggoyangkan buayan itu agar tetap berayun.

‘Dari rumah, kau?’ tanya engku Mukhtar.

‘Ya, engku……,’ jawab Junaidi.

‘Bagaimana kabar etek Munah?’

‘Baik-baik saja engku.’

‘Bagaimana ceritanya sampai kau dibawa ke Lasi kemarin itu? Aku dengar kau sedang mengirik di sawah.’

‘Benar. Kami sedang mengirik di Bandar Panjang. Tiba-tiba sudah muncul saja tiga orang serdadu APRI itu. Mata mereka tertuju sangat ke ambo. Entah kenapa, sangat benar benci mereka kepada anak-anak muda. Ambo dihardiknya menanyakan apakah ambo tentara pemberontak. Ambo jawab bahwa ambo guru. Ditanyakannya surat-surat. Di mana pula terpikir akan membawa surat-surat ke sawah. Ambo jawab bahwa ambo tidak membawa surat apapun. Marah dia. Ambo ditamparnya. Begitulah. Setelah itu ambo, mak Kari Mudo dan mak Lenggang, kami bertiga dibawanya ke Lasi.’

‘Sampai disana? Apa yang mereka lakukan?’

‘Kami disuruh menggali lobang. Lobang besar mengelilingi rumah yang rupanya dijadikan markas mereka.’

‘Berapa orang semua yang disuruh bekerja seperti itu?’

‘Ada sekitar empat puluh orang. Mungkin lebih. Orang Biaro, orang Balai Gurah, orang Ampang Gadang.’

‘Ada pula yang kena tangan di sana?’

‘Tidak… Tapi kami dibentak-bentak mereka.’

‘Apa yang mereka katakan?’

‘Mereka katakan kami semua saudara-saudaranya pemberontak. Mereka bilang, mereka akan menghabisi semua pemberontak itu.’

‘Jumawa sekali…..’

‘Memang…. Mereka sangat sombong-sombong. Memandang kita seperti melihat sampah. Tidak ada sopan santunnya sedikit juga. Padahal banyak juga di antara kami yang sudah berumur.’

‘Peperangan memang selalu bengis. Selalu mengerikan. Terutama untuk rakyat yang tidak ikut-ikut berperang.’

Engku Mukhtar kembali mengayun-ayunkan anaknya dalam buayan. Anak itu terbangun dan merengek-rengek kecil.

‘Sampai jam berapa bekerja?’ engku Mukhtar melanjutkan.

‘Kira-kira sampai jam setengah lima.’

‘Lalu? Setelah itu disuruh pulang?’

‘Ya…. Kami disuruh pulang.’

‘Semua disuruh pulang? Tidak ada yang ditahan?’

‘Semua. Rupanya kami ditangkapi memang untuk dipekerjakan menggali lobang itu saja.’

‘Ya, syukurlah kau tidak diapa-apakan mereka….. Sangat memilukan nasib si Nurman, si Taufik, si Bahrin dan si Firman yang tertembak kemarin. Si Bahrin serupa pula dengan si Pudin yang mati pekan yang lalu, pecah kepalanya.’

‘Engku melihatnya?’

‘Ya, aku melihatnya. Bagaimana tidak akan melihatnya, dia terjelapak di bawah pohon damar di seberang tebat di belakang rumah ini.’

‘Engku sendiri? Dimana kemarin ketika tentara-tentara itu masuk kampung?’

‘Aku di rumah. Kami bersunyi diri saja di rumah. Kalau seandainya mereka naik, tentu kuperlihatkan saja surat keterangan kita. Tapi untunglah tidak ada yang naik ke rumah. Di halaman terdengar teriakan-teriakan dan sumpah serapah mereka.’

‘Terdengar tentunya bunyi tembakan?’

‘Sangat jelas terdengar. Anak-anak menjerit ketakutan. Waktu mendengar bunyi letusan itu mulut anak-anak kami tutup dengan tangan.’

‘Ya…. Itulah…. Enteng betul nyawa manusia bagi tentara-tentara kepuyuk itu….’

Sedang mereka berbincang-bincang itu, uni Salma datang membawa nasi dan gulai. Mereka rupanya akan makan sore. Junaidi agak salah tingkah. Mau ditinggal pergi, padahal dia belum sempat menyampaikan keperluannya.

‘Atau….. Biarlah ambo pergi dulu engku. Biar nanti ambo kembali lagi….,’ kata Junaidi ragu-ragu.

‘Mau kemana pula, kau? Di luar hari hujan. Ini si Salma meletakkan nasi. Makan kita dulu.’

‘Ndak usahlah engku….. Biarlah ambo……’ Junaidi tidak menyelesaikan kata-katanya karena dipotong oleh Salma.

‘Hei….. janganlah bertea-tea Junaid, di sini bukan rumah orang lain. Uni meletakkan nasi, masakan engkau mau pergi. Jangan pergi…… Makan dulu, nanti kita teruskan rundingan. Ada cerita yang akan uni sampaikan,’ kata Salma berwibawa.

Junaidi tidak berani lagi menolak.

Dan mereka makan sore beramai-ramai. Dengan mak tuo, ibu Salma dan juga dengan anak-anaknya.

‘Uni sudah sampaikan ke pak Tarmizi, agar kau diperbolehkan mengajar di sini saja. Jadi tidak usah berulang ke Lambah. Uni katakan, terlalu besar resiko bagi orang muda seusiamu, melintasi jalan besar di Biaro dalam suasana seperti sekarang ini,’ uni Salma bercerita sementara mereka makan.

‘Apa kata pak Tarmizi?’ tanya engku Mukhtar.

‘Beliau tidak menganjurkan tapi tidak pula melarang. Beliau faham bahwa anak-anak muda seusia Junaidi ini memang jadi sasaran tentara pusat itu. Uni simpulkan saja bahwa beliau mengizinkan.’

‘Bagaimana dengan engku Mukhtar sendiri?’ tanya Junaidi.

‘Uni usulkan juga. Tapi uda bersikukuh tidak mau pindah.’

‘Orang seusia aku ini mudah-mudahan tidak lagi jadi incaran tentara pusat. Aku tambah tuakan penampilan, aku selalu berkopiah dan aku bawa tas guru. Kalau mereka hentikan juga, aku perlihatkan surat keterangan,’ engku Mukhtar menjelaskan.

‘Sudah pernah engku berserobok dengan mereka?’

‘Sudah tiga kali. Sekali di Biaro, sekali di Lambah dan yang terakhir di lebuh kita ini.’

‘Aman-aman saja?’

‘Kecuali hardikan dan bentakan, alhamdulillah aman-aman saja. Bentakan-bentakan itu biarkan sajalah.’

Mereka selesai makan. Di luar hujan masih turun.

‘Sebenarnya begini, engku,’ kata Junaidi mengawali pembicaraan kembali.

‘Begini bagaimana? Apa yang ingin kau sampaikan?’

‘Ambo ingin mintak tolong, engku. Ambo berhutang kepada engku Rusyad dua puluh rupiah. Ambo mintak tolong disampaikan kepada beliau uang ini,’ kata Junaidi menyerahkan sebuah amplop yang dikeluarkannya dari saku bajunya.

‘Kok aneh benar? Kalaupun pindah mengajar ke sekolah di sini, apa tak sebaiknya engkau usahakan juga berpamitan dengan guru-guru di Lambah itu?’ tanya engku Mukhtar.

‘Mungkin tidak sempat lagi ambo ke sana engku…..,’ jawab Junaidi pula.

‘Tidak terlakit? Mau kemana kau?’

‘Begini engku…… Ambo akan ikut ke luar…’ jawab Junaidi setengah berbisik.

Engku Mukhtar terbelalak mendengar. Begitu pula dengan uni Salma, istrinya. Tidak ada yang berkata-kata untuk beberapa saat.

‘Engkau…Engkau bersungguh-sungguh?’ engku Mukhtar bertanya setengah tidak percaya.

Junaidi mengangguk.

‘Sudah kau pikirkan betul matang-matang? Bukankah perang ini sangat menakutkan? Kau akan ikut menyabung nyawa?’

‘Ambo sudah berpikir panjang, engku. Dan ambo sudah memutuskan.’

‘Apa kata etek Munah? Kata pak etek?’

‘Ambo telah berusaha meyakinkan beliau. Itu adalah yang terbaik yang dapat ambo lakukan. Tidak ada sedikitpun jaminan keamanan bagi ambo kalau tetap bertahan di kampung.’

‘Bukankah ada surat keterangan dari kepala sekolah?’

‘Tidak ada jaminan engku. Bukankah mereka yang ditembaki tentara pusat itu tanpa ditanya apa-apa? Dibedil begitu saja dari belakang….’

‘Terperangah aku medengar yang kau sampaikan. Tapi tidak pandai pula aku berkomentar..’

Junaidi tersenyum lirih.

‘Kapan kau….. akan pergi?’

‘Belum ada kepastian engku…. Tapi segera…’

‘Ya Allah….. peperangan ini……’ engku Mukhtar tidak meneruskan kata-katanya.

‘Engku….. Biarlah saya mohon diri dulu. Sekali lagi tolong engku sampaikan petaruh saya ini kepada engku Rusyad. Tolong sampaikan permohonan maaf saya kepada engku-engku dan ibu-ibu guru di Lambah.’

Mereka terdiam semua. Uni Salma meneteskan air mata tanpa disadarinya. Tapi itu bukan saat untuk berbagi duka. Junaidi segera berlalu setelah berpamitan.

*****

KENANGAN MASA PRRI (2)

2. Ketika Tekad Sudah Bulat

Jam lima petang hari. Matahari yang bersinar cemerlang sudah mendekati ufuk di tepi langit sebelah barat. Hujan panas di sore itu, sesudah hampir seharian cuaca senantiasa gelap-gelap panas. Di langit, di kaki gunung Marapi ada pelangi. Mangindo namanya kata orang kampung. Merah, kuning, biru, jingga yang sangat cemerlang, melengkung indah di atas bukit Bulek di ujung gunung Marapi. Saat itu memang di musim penghujan di tahun 1958. Batang air dan tali bandar dialiri air cukup deras. Dan lanyah di mana-mana.

Yazid Endah Kayo sedang menuju ke rumah saudara perempuannya, Maimunah di bawah kucuran hujan. Bertudung daun pisang. Adiknya itu memintanya datang ke rumah karena ada hal musykil yang ingin dibicarakannya. Sebenarnya Endah Kayo sudah tahu tentang hal musykil yang dimaksudkan adiknya itu. Maimunah memang sangat memerlukan sumbangan pemikiran, di saat hatinya sedang terombang-ambing dalam kegalauan.

Endah Kayo menaiki tangga rumah adiknya itu. Tudung daun pisang disandarkannya di cibuak betung tempat air pencuci kaki. Di rumah sudah ada Salim Sutan Panduko suami Maimunah. Mereka duduk di tikar menghadapi hidangan makan sore, menunggu kehadiran Endah Kayo. Di kampung orang makan di sore hari, terlebih-lebih sejak bergejolaknya perang. Orang jadi takut beraktifitas di malam hari. Sesudah waktu isya, kampung biasanya sudah sunyi senyap.

Mereka makan bertiga. Tanpa bicara. Endah Kayo melihat mata adiknya yang sembab. Tentu karena banyak menangis.

‘Apakah si Junaid sudah berbicara dengan tuan?’ tanya Sutan Panduko sesudah mereka selesai makan.

‘Ya, sudah,’ jawab Endah Kayo pendek.

Dinyalakannya sebatang rokok. Dihisapnya rokok itu dalam-dalam. Mata Endah Kayo menerawang mencari-cari. Semua terdiam. Tidak tahu entah dari mana akan memulai pembicaraan lanjutan.

‘Sekarang kemana dia?’ tanya Endah Kayo pula.

‘Tadi katanya mau menemui guru Mukhtar. Sudah sejak waktu asar tadi dia pergi,’ jawab Maimunah.

‘Kelihatannya sudah keras benar hatinya,’ kata Endah Kayo.

‘Kan itulah tuan. Itu yang mencemaskan kami benar. Sepertinya memang seperti yang tuan katakan, tidak bisa dilerai lagi. Bagaimana eloknya menurut tuan?’ tanya Sutan Panduko.

Endah Kayo menarik nafas Asap rokoknya bergabun-gabun ke udara.

‘Apa yang dikatakannya kepada tuan?’ giliran Maimunah bertanya, memecah kesunyian.

‘Dia mengatakan bahwa dia akan ikut ke luar. Itu saja…..’ jawab Endah Kayo.

‘Tidak tuan nasihati dia? Tidak tuan larang dia pergi?’

‘Aku tanyai. Apa alasan kau pergi? Apa gara-gara kau disuruh mereka menggali lobang di Lasi itu? Hanya karena itu kau mau ikut-ikutan ke luar? Begitu kukatakan.’

‘Apa katanya kepada tuan?’

‘Bukan hanya karena itu, katanya. Dia akan melawan kelaliman. Tentara pusat itu tentara lalim. Tentara yang tidak tahu sopan santun. Bengis, pembunuh rakyat sipil. Pembunuh anak-anak muda. Itu semua adalah kelaliman. Dan dia ingin ikut memerangi mereka. Begitu katanya.’

‘Tidakkah tuan nasihati dia? Bahwa yang akan dihadangnya adalah maut? Pergi berperang….. Ya Allah….., baru sembilan belas tahun umurnya. Akan ikut pula dia berperang,’ Maimunah berkeluh kesah.

‘Apa lagi yang mesti kukatakan? Apa yang disebutkannya benar belaka. Memang seperti itu pula yang aku perhatikan. Aku……. Kalaulah umurku masih sedikit lebih muda, mau pula rasanya aku pergi….’

‘Ya Allah! Usahlah tuan. Usahlah itu yang tuan sebut….’

‘Maaf…. Waktu kepada tuan tentara itu melepaskan tangan pula….. di hari mengirik kemarin itu… Apa yang dikatakannya?’ tanya Sutan Panduko.

‘Apa yang dikatakannya? Dia tanyakan apakah aku pemberontak. Aku jawab, tidak, aku ini petani. Eh, plak…… Langsung sampai tangannya di pipiku. Tidak pandaikah berbahasa Indonesia? katanya ketika menampar itu. Sudah hampir enam puluh tahun umurku. Ditampar tentara yang seumur dengan si Junaid itu. Memang sangat menyakitkan. Sakit hatiku kalau mengingat-ingat hal itu. Tentara-tentara ini lebih bejad dari tentara Jepang dulu. Orang Jepang main pukul juga, tapi tidak sembarangan menembak orang lalu lalang. Ini…. Di kampung kita ini. Sudah bertujuh anak-anak muda mati. Anak-anak muda tak bersenjata….. Anak-anak muda tak berdosa apa-apa.’

‘Ya… bertujuh. Termasuk si Pudin,’ kata Sutan Panduko lirih.

Semua kembali terdiam. Pasti Sutan Panduko juga teringat kepada kemenakannya Safruddin yang mati tertembak sepuluh hari yang lalu. Tertembak di rumpun betung, ketika dia akan mengeluarkan kerbau dari kandang. Si Pudin memang agak kurang pendengarannya. Mungkin dia tidak sadar ketika tentara pusat itu datang. Mungkin dia tidak mendengar ketika tentara itu berteriak ke arahnya. Lalu dia ditembak. Peluru menembus kepalanya dari arah samping sehingga otaknya berhamburan.

‘Jadi kalau menurut tuan?’ tanya Sutan Panduko.

‘Kalau menurutku, biarkanlah dia pergi. Lebih terjamin jiwanya dengan lari ke luar itu. Tinggal di kampung, meski dia guru, meski diperlihatkannya surat keterangan bahwa dia guru, aku khawatir ada saja di antara tentara-tentara yang tidak sendereh itu akan melepaskan tangan kepadanya. Dan aku khawatir pula, seandainya sekali waktu, tanpa sadar dilawannya tentara-tentara itu, maka serta merta habislah dia. Jadi….. kalau menurut pendapatku, biarlah dia pergi.’

‘Ya Allah….. Kalau nyampang singkat umurnya. Betapa akan pedihnya hatiku……’ ujar Maimunah.

‘Ucapanmu itu seperti kata-kata orang tidak beriman. Urusan umur ada di tangan Tuhan Allah. Di sini akan mati. Di luar akan mati. Eloklah di sana dia mati. Apatah lagi dia berniat berperang melawan kelaliman. Kita tidak mengerti urusan politik, tapi dengan apa yang diniatkannya itu, maka itu sudah yang sebaik-baik niat. Seandainya dia mati, insya Allah matinya syahid di jalan Allah.’

Salim Sutan Panduko mengangguk-angguk. Yang disampaikan iparnya itu benar belaka. Lebih banyak kemungkinan anaknya akan terpelihara kalau dia tidak tetap berada di kampung. Kemarin ditawarkannya pula untuk pergi merantau saja. Entah ke Medan, entah ke Jawa. Tapi Junaidi menolaknya. Dia sudah memilih untuk jadi guru, dan dia hanya mau jadi guru di kampung. Tapi sementara keadaan bergolak seperti saat ini, dia akan ikut pergi ke luar, bergabung bersama tentara PRRI. Kalau umur panjang, insya Allah nanti dia akan kembali melanjutkan jadi guru. Di kampung.

‘Kalau pendapatku pula,’ Endah Kayo melanjutkan. ‘Biarlah dia pergi dan kita tolong dengan doa. Kita titipkan dia kepada Tuhan Allah. Mudah-mudahan terpelihara jiwanya, selesai perang, kembali lagi dia dengan selamat.’

‘Perang yang entah akan kapan selesainya,’ Maimunah mendesah.

Airmatanya kembali bercucuran.

‘Itupun kita tidak tahu. Kita serahkan saja kepada Yang Maha Kuasa.’

‘Ya Allah….. Berat sungguh cobaan ini….. Perang…. Negeri ini diamuk perang,’ Maimunah mengusap matanya dengan selendang.

‘Sudahlah! Bertawakkal sajalah. Itu lebih baik.’

Maimunah sudah tidak dapat berkata-kata lagi. Di dalam hatinya dia menyadari bahwa dengan pergi ke luar masih ada harapan anaknya Junaidi akan kembali pulang. Sementara kalau dia bertahan di kampung, seperti yang dikatakan kakaknya Endah Kayo, banyak pula kemungkinan dia akan celaka. Kemenakan suaminya sudah celaka beberapa hari yang lalu. Dengan cara sangat mengenaskan. Dengan tubuh hancur kena peluru. Masya Allah…… Seandainya Junaidi terbunuh pula seperti itu di kampung ini…. Tidak…. Hatinya tiba-tiba jadi mantap. Biarlah Junaidi pergi. Biarlah dia berpisah dengan anaknya itu. Seperti kata kakaknya, biarlah urusan itu diserahkan saja kepada Allah. Memang hal ini bukan pilihan yang mudah, tapi mudah-mudahan itu jalan keluar yang terbaik.

‘Apakah dia mengatakan kapan dia akan pergi itu?’ tanya Endah Kayo pula sesudah mereka terdiam beberapa saat.

‘Katanya malam ini, tuan?’ jawab Sutan Panduko.

‘Malam ini?’

‘Begitu katanya.’

‘Dengan siapa dia berurusan?’

‘Dengan wali jorong, kalau tidak salah.’

‘Eloklah kalau begitu….. Aku mendengar Sutan Basa, komandan tentara luar itu sangat santun. Dari kampung kita ini sudah ada dua orang yang ikut dengannya,’ kata Endah Kayo.

‘Selain melalui wali jorong, ada lagikah yang mengurus orang pergi ke luar itu?’ Maimunah ikut bertanya.

‘Ada. Si Bahar anak kak Naemah kan ikut jadi tentara pelajar. Ada pula kawan-kawannya yang dibawanya.’

Diluar hujan sudah mulai reda. Sedang mereka berbincang-bincang itu Junaidi pulang. Wajahnya cerah dan bersemangat. Maknya, Maimunah mengambilkan piring untuknya.

‘Makanlah! Kami semua sudah selesai makan,’ kata mak.

‘Ambo sudah makan di rumah uda Mukhtar mak,’ jawab Junaidi.

‘Urusan apa kau ke sana?’ tanya Endah Kayo.

‘Menitipkan pesan mak dang,’ jawab Junaidi.

‘Benarkah, malam ini kau akan pergi?’ tanya Endah Kayo.

Junaidi memperhatikan ketiga orang tua itu sebelum menjawab. Dilihatnya muka mak tidak lagi penuh kecemasan seperti tadi.

‘Insya Allah iya, mak dang,’ jawab Junaidi pendek.

‘Kami telah membicarakannya panjang lebar. Kami akan mendoakanmu. Mudah-mudahan Tuhan Allah senantiasa melindungimu,’ kata Endah Kayo.

‘Amiiin. Terima kasih mak dang.’

‘Tentu kau hafal ayat Kursiy?’

‘Insya Allah hafal mak dang.’

‘Banyak-banyak kau membacanya, sambil difahami artinya. Kalau belum hafal artinya, tuliskan dan hafalkan.’

‘Ya mak dang. Insya Allah, mak dang.’

*****

Monday, February 7, 2011

OH JODOH

OH JODOH

Sore itu Sutan Sinaro datang ke rumah Sutan Bagindo dengan wajah ditekuk. Dengan kening berkerut dan muka terlihat tegang. Sutan Bagindo menyambutnya dengan terheran-heran. Tapi dia masih berusaha untuk sedikit berseloroh.

‘Ada apa yang terjadi ini, Naro? Kok seperti langit sudah mau runtuh saja,’ Sutan Bagindo mengawali perbincangan.

‘Memang seperti langit mau runtuh, Gindo. Malu. Entah kemana malu akan kusurukkan kalau hal ini benar-benar sampai terjadi,’ jawab Sutan Sinaro

‘Apa maksudnya?’

‘Kan itulah, Gindo. Makanya aku ingin minta sifat. Minta petuah Gindo. Karena Gindo lebih faham tentang agama dariku.’

‘Oooo…. jadi masalah yang bersangkut paut dengan agama? Cobalah teruskan!’

‘Tolonglah Gindo curai-paparkan. Bagaimana hukumnya pernikahan antara dua orang yang tidak seagama…..’

‘Antara orang Islam dengan orang beragama lain maksudnya?’

‘Iyalah….. Antara orang Islam dengan orang Nashrani. Antara wanita Islam dengan laki-laki Nashrani tepatnya.’

‘Wah….. kalau itu jelas tidak boleh. Dilarang Allah. Simaklah ayat al Quran surah al Baqarah ayat 221; ‘Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya hamba wanita yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang musyrik kepada wanita mukmin sebelum mereka beriman. Seorang hamba yang mukmin lebih baik dari pada seorang musyrik walaupun dia menarik hatimu…..’ Begitu perintah dan peringatan Allah. Sangat-sangat jelas. Tidak ada keraguan sedikitpun lagi.’

‘Tapi…… Apakah orang Nashrani itu orang musyrik? Siapa saja yang dimaksud dengan orang musyrik itu?’

‘Orang yang menyembah Tuhan selain Allah. Orang yang mengakui adanya Tuhan selain Allah. Mereka itulah yang disebut orang-orang musyrik. Musyrik itu artinya adalah mempersekutukan. Mempersekutukan Allah.’

‘Jadi? Orang Nashrani itu termasuk musyrik? Karena ada pula yang mengatakan orang Nashrani itu Ahli Kitab. Bagaimana itu?’

‘Menurut keterangan dari al Quran, mereka mempercayai bahwa Nabi Isa itu adalah anak Tuhan. Bahagian dari Tuhan. Jadi selain Allah mereka juga mempunyai Tuhan yang lain. Menurut pandangan Islam itu syirik namanya.’

‘Apa yang dimaksud dengan Ahli Kitab?’

‘Mereka-mereka yang pernah mendapat kitab petunjuk dari Allah. Nabi-nabi mereka menerima kitab dari Allah. Pengikut Nabi Musa adalah Ahli Kitab. Begitupun pengikut Nabi Isa adalah Ahli Kitab. Yaitu para pengikut Nabi Musa atau Nabi Isa yang mengikuti syariat yang dibawa oleh nabi-nabi itu. Syariat atau ketetapan dari Allah agar mereka mengesakan Allah, beribadah semata-mata hanya kepada Allah dan tidak menyembah kepada yang selain Allah.’

‘Jadi….. Orang-orang Nashrani sekarang? Bagaimana kedudukan mereka?’

‘Mereka tidak menjalankan syariat Nabi Isa. Mereka bahkan menganggap bahwa Nabi Isa itu adalah anak Tuhan. Atau bahagian dari Tuhan. Atau sepertiga dari Tuhan. Atau apa sajalah, yang sama sekali tidak pernah diajarkan oleh Nabi Isa.’

‘Bukankah mereka mempunyai kitab suci? Mereka mempunyai Injil?’

‘Ya. Tapi sekali lagi, mereka tidak mengesakan Allah. Tidak mentauhidkan Allah. Mereka tidak mengikuti Injil seperti yang diturunkan kepada Nabi Isa.’

‘Jadi….. Orang Nashrani yang sekarang itu tidak lagi dianggap Ahli Kitab dan menikah dengan mereka itu terlarang?’

‘Ya. Tapi….. Ngomong-ngomong siapa yang akan kawin berbeda agama.’

‘Itulah Gindo. Kemenakanku. Si Rita. Berkenalan dengan seorang Nashrani. Lalu merasa suka sama suka. Mereka ingin menikah. Adikku sudah melarang. Tapi sumando kita itu, mas Sugondo menganggap itu tidak ada halangan. Cobalah baca di al Quran ada ayat mengatakan makanan orang ahli kitab itu halal kita makan. Menikah dengan ahli kitab itu juga boleh. Apa memang iya ada ayat seperti itu, Gindo?’

‘Ayat yang mengatakan bahwa makanan Ahli Kitab halal bagi kita serta menikah dengan wanita Ahli Kitab juga diperbolehkan ada pada surah kelima, surah al Maidah ayat 5. Tetapi sekali lagi pengertian Ahli Kitab itu sangat jelas, sebagai orang yang beragama sesuai dengan tuntunan alkitab atau kitab suci.’

‘Orang-orang Nashrani…… tidak menjalankan agamanya sesuai dengan isi alkitab? Apakah Gindo yakin dengan penjelasan ini?’

‘Sudah aku jelaskan tadi, kan? Agama yang dibawa Nabi Isa, adalah agama yang menyuruh pengikutnya mengimani Allah Yang Tunggal untuk disembah. Allah tidak pernah mengutus nabi yang manapun dan menyuruh agar Dia disembah bersama-sama dengan Tuhan lain. Allah sangat murka dengan anggapan, perkataan, keyakinan bahwa ada sekutu baginya. Allah Maha Suci dari apa yang mereka sifatkan, bahwa Allah memerlukan sekutu.’

‘Jadi, apa yang terjadi atas kitab suci mereka. Kitab Injil yang mereka baca sekarang ini?’

‘Kitab itu tidak asli lagi? Dalam ketidak-asliannya itupun, tidak ada keterangan atau perintah agar pengikutnya menyembah Nabi Isa tertulis dalam kitab itu.’

Sutan Sinaro mengangguk-angguk. Tapi wajahnya tetap saja muram.

‘Jadi bagaimanalah caranya aku menjelaskan….,’ kata Sutan Sinaro lirih.

‘Sudahkah Naro ikut menasihati kemenakan itu?’

‘Belum…. Aku diminta si Ema, ibunya untuk mencoba memberi pencerahan kepada suami dan anaknya.’

‘Sampaikanlah seperti itu kalau begitu! Apa lagi yang jadi masalah?’

‘Yang membuat pusing adalah pendapat suaminya yang mengatakan hal itu tidak masalah, karena sudah jodoh, begitu katanya. Ini yang agak berat. Dia sudah berencana akan menyuruh anak gadisnya itu pergi menikah ke Australia.’

‘Banyak sebenarnya masalah dari apa yang diungkapkannya itu. Cobalah tengok tentang keyakinan bahwa mereka sudah jodoh. Itu adalah keyakinan yang sangat naïf. Kalaulah dia tahu sedikit tentang agama islam, tentang resiko yang akan dihadapi oleh pasangan berbeda agama itu di dunia ini saja, seperti bagaimana nanti dengan anak-anak mereka, agama siapa yang akan diikuti anak-anak mereka. Tentang resiko, bahwa sangat mungkin anak perempuannya itu nanti lambat laun justru akan terpengaruh dan akhirnya murtad. Keluar dari agama Islam.

Di samping itu, seharusnya dia mengerti bahwa pernikahan seperti itu tidak diizinkan di negara kita. Tapi dia masih juga nekad, menyuruh pergi meresmikan perkawinan anaknya itu ke luar negeri. Hukum luar negeri tidak akan berlaku di negeri ini. Artinya di sini tetap saja dia itu resminya belum menikah.

Kalau dia faham bahwa pernikahan itu adalah sesuatu yang suci di sisi Allah. Sepasang manusia menjadi halal sesudah mereka dinikahkan. Tetapi mereka tidak halal kalau belum dinikahkan. Di sini jelas sekali makna dari kehalalan itu harus disesuaikan dengan ajaran Allah. Dengan ajaran al Quran. Karena hakikat dari pernikahan itu adalah untuk saling melindungi dari ancaman api neraka kelak di akhirat. ‘Peliharalah dirimu dan keluargamu dari siksaan api neraka.’ Begitu firman Allah.’

‘Jadi menurut Gindo tidak tepat bahwa mereka, kemenakanku itu dikatakan berjodoh dengan laki-laki yang tidak seagama itu?’

‘Jelas tidak tepat. Bukankah dia masih bisa mendapatkan jodoh yang lain? Bukankah dengan laki-laki yang sekarang ini sementara ini dia belum terikat oleh jalinan apa-apa? Belum tentu itu jodohnya. Belum boleh dikatakan bahwa dia berjodoh dengan orang itu.’

‘Atau? Menurut Gindo? Masih mungkinkah…….?’

‘Masih mungkinkah mereka tidak berjodoh?’

‘Allah Yang Maha Tahu. Kalau Allah berkehendak bisa saja mereka dipisahkan. Kalau keduanya nekad juga melangsungkan apa yang mereka niatkan bisa pula mereka berjodoh. Tapi sekali lagi, saat ini kedua kemungkinan itu ada. Terpulang kepada keinginan mereka. Hanya saja, kalau mereka melanjutkan, artinya mereka melakukan yang dilarang Allah.’

‘Jadi…… maksudnya…. Harus ada ikhtiar sebelum jodoh itu ditetapkan Allah?’

‘Tepat sekali.’

‘Akan aku coba menerangkan seperti ini kepada iparku dan kemenakanku itu. Mudah-mudahan mereka bisa memahaminya.’

‘Aku iringi dengan doa.’

*****