Saturday, December 29, 2007

KETIKA MUSIBAH MENYAPA TANAH BUNDO

KETIKA MUSIBAH MENYAPA TANAH BUNDO

Prakata;

Ulasan mengenai musibah yang agak bertubi menimpa negeri ini dan lebih khusus tanah Minangkabau.

Adakah kita memetik pelajaran dari rangkaian pristiwa ini??

Penulis

*****


1. Istano Pagar Ruyung Terbakar

Aku baru menyelesaikan bagian ke 22 dari cerita ’Seminggu Di Ranah Bako’ tanggal 27 Februari 2007 malam itu. Dan langsung mengirimnya untuk konsumsi Rantau Net. Ketika memposting jam 22.15 malam itu, sempat sekilas aku melihat di email yang masuk, berita tentang ’ Istano Pagar Ruyung terbakar.’ Inna lillahi wa inna ilaihi raa’jiuun, secara spontan ungkapan itu keluar dari mulutku. Subhanallah, Istano Pagar Ruyung itu bahkan sudah masuk kedalam ceritaku, pada bagian ke 12 yang aku posting tanggal 8 Februari 2007. Sebuah bangunan adat yang indah, untuk menunjukkan keelokan Negeri Minangkabau dan memang seolah menjadi ikon pariwisata Ranah Bundo. Aku pernah masuk beberapa kali ke dalam bangunan rumah adat yang anggun itu.

Berita itu terasa sangat memilukan. Dalam waktu sekitar dua jam saja bangunan kayu beratap ijuk itu habis ludes dilalap api, yang tinggal hanya tiang-tiang beton kerangkanya. Bahkan sebuah rangkiang yang terletak sekitar dua puluh meter di hadapannya ikut hangus terbakar. Berita itu semakin jelas, ketika aku membaca informasi bahwa ’Istano Pagar Ruyung di tembak patuih tungga’. Dan pemadam kebakaran tidak dapat berbuat banyak untuk menyelamatkannya.

Besoknya, tanggal 28 Februari, ketika aku menghadiri acara pelantikan anakku di Universitas Tri Sakti, kebetulan aku diminta memberi kata sambutan mewakili orang tua dokter gigi baru. Mungkin saja karena mendengar bahasa Indonesia yang ber ’nuansa’ Minang, Dekan FKG ketika bersalaman denganku berkata, ’kabarnya istana Pagar Ruyung terbakar tadi malam,’ dan aku jawab, ’ya saya baca di internet tentang berita itu’. Sedangkan orang luar Minang yang mengetahui kejadian itu terharu, apatah lagi kita orang Minang.

Berbagai macam reaksi masyarakat di perantauan, begitupun yang terpantau di Rantau-Net. Ada yang larut di dalam duka, ada yang timbul emosi keminangannya, ada yang realistis, ada yang kurang realistis, semua bercampur dan bergalau. Ada yang bak rasa akan didatanginya Pagar Ruyung sebentar itu juga. Bak rasa akan ditebang betung, ditebang pohon, ditarah kayu, dikumpulkan ijuk untuk segera menegakkan kembali pengganti rumah gadang yang sudah habis terpanggang itu. Ada yang menghimbau agar perantau Minang turun ’berdoncek’, beriyur mengumpulkan uang untuk membangun kembali Istano Pagar Ruyung.
Jarang terbaca yang menyikapi terbakarnya istano itu dengan mengambil pelajaran bahwa ini sebuah peringatan Allah. Bahwa ini sesuatu yang terjadi dengan kekuasaan Allah, murni. Bahkan tidak ada ’lobang’ untuk menunjuk ’kambing hitam’. Bangunan indah itu disambar petir Allah.

Aku termasuk yang tidak bereaksi ketika ada ajakan ’berturun’ atau beriyur untuk menghimpun dana bagi pembangunan kembali Istano Pagar Ruyung. Biarlah dulu sebentar, kita lihat bagaimana rencana pemerintah termasuk pemerintah daerah. Karena membangun istano basa itu tidak akan mungkin tercapai dengan uang iyuran masyarakat secara pribadi-pribadi. Begitu pendapatku pribadi.

2. Gempa Raya Ranah Minang

Tepat seminggu sesudah musibah kebakaran di Pagar Ruyung, ketika membuka internet sehabis makan siang hari Selasa tanggal 6 Maret, aku membaca berita tentang berita gempa yang baru saja melanda Bukit Tinggi. Kekuatannya 5.8 skala Richter dan terasa sampai ke Pekan Baru. Gempa memang kejadian sehari-hari di negeri ini dan 5.8 skala Richter bukanlah sesuatu yang besar sangat. Itu yang terbayang di benakku.

Sekitar jam dua siang, berita gempa di Padang makin ramai. Teman-teman sekantor mengatakan gempa itu dahsyat dan ada korban jiwa. Aku telpon kakak sepupu di Bukit Tinggi untuk mengecek berita ini. Ternyata benar. Gempa ’barusan’ itu dahsyat dan terjadi berulang-ulang. Yang pertama sekitar jam 10.45 dan yang terakhir yang lebih keras jam 12.45, begitu kata kakakku. Kabarnya, katanya, daerah Solok yang paling parah. Sedang disini, di Bukit Tinggi, Pasar Ateh sedang terbakar. Entah ada hubungannya dengan gempa entah tidak, belum tahu lagi.

Sore harinya aku lihat di tv, korban jiwa akibat gempa itu sudah dihitung sebanyak 79 orang. Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’uun. Aku mengajak jamaah mesjid untuk shalat janazah gaib sesudah shalat maghrib. Kami membiasakan mengerjakan shalat jenazah gaib setiap kali ada musibah yang menelan banyak korban jiwa.

Malamnya berita itu semakin jelas. Banyak korban, baik korban harta benda maupun korban nyawa. Aku tersentuh melihatnya. Hatiku menyuruh berbuat sesuatu, tapi apa? Besoknya ada himbauan untuk ’berdoncek’ lagi di Rantau Net. Bahkan ada usul agar aku menampung sumbangan. Insya Allah jawabku. Aku beritahukan nomor tabungan BCA-ku dan mengajak mereka yang ingin menyumbang mentransfer uang ke rekening tersebut.

Terpikir pula, kenapa tidak mengajak jamaah mesjid untuk ikut berpartisipasi. Jamaah yang sudah beberapa kali teruji dan terbukti ikhlas untuk menyumbang bagi hal-hal seperti ini. Cukup aku umumkan, dan beri contoh dalam arti kata aku awali ikut menyumbang. Dan yang lain insya Allah akan ikut serta. Begitu kami buktikan untuk Jogya, untuk Pangandaran, untuk banjir Jakarta dan dulu untuk Aceh. Alhamdulillah kali inipun reaksinya sama.

Hari Kamis pagi tanggal 8 Maret, sudah terbayang bisa terkumpul uang hampir Rp 10 juta, dari Rantau Net ditambah dengan dari mesjid Al Husna. Alhamdulillah, aku hubungi ustad Zulharbi Salim di Bukit Tinggi dan aku kabarkan tentang jumlah sumbangan ini serta minta tolong kepada beliau untuk mengancar-ancar kemana baiknya sumbangan ini diserahkan. Berita yang kubaca semakin membuat trenyuh. Kali ini pikiranku berubah, aku ingin pergi langsung menyerahkan sumbangan itu kesana. Ya, aku akan ke Solok, ke Bukit Tinggi. Aku hubungi ustad Zulharbi dan aku sampaikan niatku ini. Beliau gembira mendengarnya dan memberi tahu bahwa kita bisa pergi ke Solok pada hari pertama kunjungan itu yang direncanakan Sabtu siang. Dan hari berikutnya di sekitar Bukit Tinggi dan Batu Sangkar.

Aku beritahu keluargaku di rumah tentang rencana ini. Anakku nomor dua bertanya apakah dia boleh ikut dan aku jawab boleh. Aku memesan tiket untuk berangkat hari Sabtu siang dan mendapatkan tempat di pesawat Lion.

3. Jumlah Sumbangan Itu

Ketika dalam perjalanan ke kantor hari Kamis pagi aku mendapat sms dari nyiak Sunguik alias mak Ngah Sjamsir menanyakan namaku sesuai yang tertulis di KTP. Beliau ingin mengirim sumbangan pula untuk korban gampo. Kubalas sms itu. Sungguh luar biasa, siang harinya aku mendapat sms lagi dari beliau memberi tahu bahwa beliau sudah mengirim uang melalui moneygram yang dapat aku ambil di Lippo atau Bank Danamon. Bank Lippo kebetulan bertetangga dengan bangunan kantorku. Aku langsung kesana dan dengan cukup mudah menerima kiriman nyiak Sunguik sebesar Rp 1,001,000.- sesudah dipotong biaya meterai.

Di kantor aku tidak mengajak siapa-siapa, tidak juga ’urang-urang awak’ teman sekantor. Biarlah yang lain yang berinisiatif menghimpunnya, pikirku. Tak urung, teman di sebelah ruangan yang mungkin mendengar ketika aku berkomunikasi dengan ustad Zulharbi dan ketika aku memesan tiket, spontan mendatangiku dengan mengatakan, ’pak, nitip sedikit untuk korban gampo.’ Dia menyerahkan sebuah amplop ke tanganku.

Sehabis shalat Jum’at aku mampir ke BCA, mengecek sekaligus mengambil semua sumbangan Rantau Net. Jumlahnya berikut yang dari nyiak Sunguik sudah lebih dari Rp 5 juta. Alhamdulillah. Setelah mengambil uang itu aku baca email dari dunsanak Darul Makmur St. Parapatiah memberi tahu bahwa dia sudah memindahbukukan pula uang sebanyak Rp 820,000 ke BCA-ku. Biarlah ini aku ambil besok saja di ATM sebelum berangkat.

Sore itu aku terima tiket untuk perjalanan besok. Lion Air yang akan berangkat dari Jakarta pukul 12.05. Aku sudah memberi tahu ustad Zulharbi tentang rencana kedatangan di MIA besok.

Sesudah shalat subuh hari Sabtu pagi aku terima dari jamaah mesjid Al Husna di kompleks tempat tinggalku sebanyak Rp 6,415,000.- Jumlah 15,000 diujungnya menunjukkan bahwa yang menyumbang sesuai dengan kemampuan masing-masing. ’Gadang kayu gadang bahan’. Maklumlah komplek kami ini dihuni oleh mayoritas pensiunan. Aku sekalian pamit dengan jamaah untuk dua hari ini dan meminta agar aku didoakan dalam perjalanan. Ketika aku sampai di rumah, masih ada yang datang menyusul ingin menambahkan sumbangan itu. Akhirnya terkumpul sebanyak Rp 6,715,000. Aku terharu menerimanya.

Sebelum berangkat ke Bandara aku mampir di ATM BCA mengambil tambahan Rp 820,000 yang disusulkan angku Patiah. Dengan demikian jumlah keseluruhan yang aku bawa adalah;

Rp 6,715,000.- dari jamaah mesjid Al Husna
Rp 5,931,000.- dari Rantau Net (dibulatkan)
Rp 200,000.- dari teman di sebelah ruangan di kantor

Jumlah Rp 12,846,000.-

Di Bukit Tinggi seorang keponakan yang tinggal di Jogya yang mengetahui aku sedang pergi menyampaikan sumbangan secara spontan ikut pula menyumbang sebesar Rp 1,000,000.- sehingga jumlah akhir menjadi Rp 13,846,000.- Jumlah inilah yang kami bagi-bagikan pada hari Sabtu dan Ahad 10-11 Maret yang lalu.


4. Berangkat Ke Sumatera Barat

Hari Sabtu tanggal 10 Maret kami, aku dan anakku nomor dua, berangkat dari rumah jam 10 pagi diantar oleh adikku ke Bandara Sukarno-Hatta. Kami mampir dulu di ATM mengambil kiriman dari mak Darul St. Parapatiah yang Rp 820,000.- Jalan tol Cikampek agak macet. Memasuki jalan tol dalam kota terlihat kemacetan di pintu tol Cawang. Kelihatannya macet di jalur ke arah Grogol. Kami memilih jalan melalui Tanjung Priok, yang alhamdulillah ternyata cukup lancar. Tak urung, sudah hampir jam setengah dua belas ketika kami sampai di bandara. Kami langsung check in dan diingatkan oleh petugas Lion agar segera masuk ke ruang tunggu karena sebentar lagi akan boarding. Tergesa-gesa kami menuju ke ruang tunggu. Ternyata masih belum akan boarding. Pesawat itu terlambat seperempat jam dari jadwal 12.05. Masih lumayanlah. Sebelum menaiki pesawat aku tidak lupa mengirim sms ke ustad Zulharbi, memberi tahu bahwa kami segera berangkat.

Penerbangan ke MIA di Padang berjalan sangat mulus, alhamdulillah, tidak ada hambatan sama sekali. Jam dua kurang kami sudah mendarat di MIA. Ketika menyalakan hp sebelum turun dari pesawat aku lihat ada sms dari ustad Zul, memberitahu bahwa beliau sudah ada di bandara. Langsung aku telpon untuk mengetahui dimana persisnya beliau menunggu. Kami bertemu di depan Bank Nagari. Ustad Zulharbi bersama adik ipar beliau pak H. Masdar. Anakku minta tunggu sebentar karena dia belum shalat (aku sudah shalat di pesawat) dan diantarkan ke mushala. Rupanya disana juga ada istri ustad Zul sedang shalat (yang nantinya aku panggil umi).

Sesudah itu barulah kami meninggalkan bandara sambil berunding kemana tujuan pertama. Kami sepakat untuk menuju ke Solok. Mobil yang kami gunakan adalah minibus travel yang dikemudikan oleh pak Masdar. Sebelumnya memang aku sudah minta tolong kepada ustad Zulharbi untuk mencarikan mobil untuk disewa.

Sambil berjalan kami berdiskusi bagaimana baiknya memberikan sumbangan. Ustad Zulharbi mengusulkan dua kemungkinan. Memberikan uang kontan (dimasukkan amplop) atau memberikan kupon yang bisa ditukar dengan DO semen. Yang terakhir ini tentu harus mendatangi pula terlebih dahulu toko material bangunan, yang mungkin sudah tutup saat kami sampai di Solok nanti. Akhirnya kami setuju untuk memberikan uang dalam amplop saja. Biar para korban gempa itu nanti yang menggunakan sesuai dengan kebutuhan mereka yang paling utama.

Kami sepakati pula untuk memasukkan seratus ribu rupiah per amplop dan uang yang Rp 12,846,000 (sebelum ditambah Rp satu juta) akan kami bagi tiga masing-masing untuk Solok dan sekitarnya, Bukit Tinggi dan sekitarnya serta terakhir Batu Sangkar dan sekitarnya. Ternyata ustad Zul sudah siap dengan amplop. Kami bertiga (aku, umi Yusra dan anakku) bergotong royong memasukkan uang ke dalam amplop.

Mobil kami melaju menuju ke arah Padang Panjang. Tidak terlihat kerusakan akibat gempa di sepanjang jalan ini sampai ke Kayu Tanam. Di lembah Anai barulah terlihat bekas longsoran tebing yang sudah dibersihkan. Umi Yusra yang rupanya membawa bekal untuk makan siang mengingatkan untuk mencari tempat yang nyaman untuk berhenti dan makan. Tapi waktu mobil mau dihentikan dekat sebuah tebing beliau melarangnya. Khawatir kalau-kalau tebing itu nanti runtuh pula. Akhirnya kami tidak jadi berhenti. Mobil terus melaju. Kira-kira 300 meter sesudah air terjun Anai kami lihat bongkah batu sebesar meja menutupi rel keretapi. Aku mengajak berhenti sebentar untuk memotretnya.

Kami teruskan lagi perjalanan. Entah kenapa (mungkin ustad Zulharbi yang memutuskan) kami berhenti di restoran pak Datuak di Padang Panjang untuk makan siang. Memang sudah lumayan lapar karena sudah jam tiga lebih dan di pesawat kami hanya dapat segelas air.


5. Menuju Solok

Sesudah makan kami lanjutkan perjalanan. Cuaca yang tadinya hujan sejak kami melalui Kayu Tanam sekarang sudah kembali cerah. Di pasar Padang Panjang kami berhenti lagi sebentar karena anakku minta tolong dicarikan cassete untuk handicam. Tapi sayang kami tidak menemukan, mungkin karena toko masih banyak yang tutup.

Sekarang kami menuju arah ke Solok. Sejak keluar dari kota Padang Panjang kerusakan akibat gempa sudah kelihatan. Bahkan masih di kota Padang Panjang kami lihat sebuah pesantren di sebelah kiri jalan yang menggelar tenda di pekarangannya. Menurut ustad Zulharbi dinding pesantren itu retak-retak. Di Batipuah, Batipuah Baruah dan terus sampai ke Ombilin banyak rumah-rumah yang hancur. Bahkan jalan yang akan kami tempuh ada yang retak. Banyak posko di pinggir jalan ini, dari bermacam organisasi dan partai. Karena kami sudah berniat untuk terus ke Solok dan karena dekat tempat yang kami lalui ini banyak posko, kami tidak berhenti disitu.

Beruntung jalan hampir tidak terganggu menuju Solok, kecuali ada retak di beberapa tempat. Mobil dapat berlari normal sepanjang pinggir danau Singkarak. Danau yang kelihatan tenang sekali sore itu, konon menimbulkan tsunami saat terjadi gempa hari Selasa yang lalu. Ini mengingatkanku kepada cerita Buya Hamka dalam tafsir beliau (yang aku lupa entah di juz ke berapa) tentang tsunami danau Maninjau ketika gempa tahun 1926. Danau yang bak bejana besar berguncang airnya akibat gempa yang dahsyat, itulah tsunami. Dan sekarang, di pinggir danau Singkarak ini aman-aman saja seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Air danau hanya beriak halus dan perahu nelayan terapung tak bergoyang.

Jam lima kurang kami sampai di Sumani, sebelum kota Solok. Pemandangan disini sangat mengharukan. Kami lihat sebuah gedung pertemuan di sebelah kanan jalan yang hanya sedikit bagian di kedua ujungnya yang tinggal sementara bagian tengahnya sudah tidak ada lagi. Puingnyapun sudah pula disingkirkan. Dan rumah yang terjungkal ke dalam sungai, rumah yang hancur dindingnya. Di sekitar bangunan rusak ini, di dekat pasar juga sudah ada posko dari organisasi-organisasi maupun partai. Kami berhenti dan berbelok ke pekarangan mesjid Fathur Rahman di sebelah kiri jalan. Satu dari dua kubahnya (kubah di bagian mihrab) runtuh. Bagian dalam mesjid ini juga hancur. Kami temui seorang anak muda di pekarangan mesjid dan kami tanyakan kalau kami boleh bertemu dengan pengurus mesjid. Dia menyuruh seseorang untuk mencari ketua pengurus mesjid. Ustad Zulharbi mengusulkan agar kita menyumbang untuk mesjid ini dalam bentuk semen. Aku setuju saja. Tapi untuk membeli semen atau mengeluarkan DO semen tentu kita harus mencari toko bahan bangunan dulu. Seperti kami bahas sebelumnya kelihatannya cukup repot. Akhirnya kami masukkan uang sebanyak Rp 200,000 ke dalam sebuah amplop dan diberi catatan agar dibelikan 5 sak semen.

Ketua pengurus mesjid itu datang. Nama beliau Yusri Herizal. Kepadanya kami serahkan sumbangan sebesar Rp 200,000 untuk membeli 5 sak semen dan kami sampaikan bahwa sumbangan ini berasal dari RantauNet dan jamaah mesjid Al Husna di Bekasi. Begitu ustad Zulharbi menyampaikan. Kami tanyakan apakah ada mesid yang rusak lagi dekat mesjid itu. Kami diberitahu bahwa sekitar 500m ke arah Solok ada lagi mesjid Aur Duri yang juga rusak parah. Kami menuju ke sana.

Dan betul sekali. Mesjid itu bersebelahan dengan sebuah pondok pesantren (Pesantren Darus Salam). Gonjong kubah mesjid ini bahkan jatuh terguling ke tanah. Sementara pesantren di sampingnya mengalami rusak pada dinding-dindingnya. Kami serahkan pula masing-masing sebuah amplop a Rp 200,000 yang diterima bapak D. Datuak Bagindo Malano imam mesjid dan bapak Drs. H. Burhanuddin Chatib sebagai pimpinan pondok pesantren Darus Salam.

Di pesantren ini kami dengar cerita tentang ke Maha Kuasa an Allah. Seorang ibu guru yang hamil 9 bulan terperangkap di bawah runtuhan tembok pesantren dalam ruangan sempit sekedar tempat dia berbaring. Alhamdulillah dia tidak terluka. Yang mengagumkan dia keluar sendiri dari lubang di sela runtuhan puing yang sangat kecil. Rasanya tidak mungkin seorang wanita hamil 9 bulan bisa melalui lubang sebesar itu untuk keluar. Tapi itulah yang terjadi dan ibu muda itu selamat. Diselamatkan Allah Yang Maha Penolong.

Kami tanyakan dimana daerah yang parah kerusakannya dekat tempat itu. Mereka menyebutkan Malalo di seberang danau Singkarak atau kalau mau yang agak dekat ke Ranah di sebelah timur Sumani. Kami memutuskan untuk menuju Ranah. Sebelum menuju Ranah, kami mampir di depan dua buah rumah yang menurut kabar dihuni seorang wanita tua dan rumah itu hancur. Kami datangi rumah itu tapi tidak bertemu dengan ibu tua itu. Kami titipkan sebuah amplop ke tetangganya yang rumahnya juga hancur (yang juga kami beri sebuah amplop).


6. Jorong Ranah

Kami menuju ke jorong Ranah. Untuk menuju kampung ini kita berbelok ke kiri di pasar Sumani kalau kita sedang mengarah ke kota Solok dari arah Padang Panjang. Jalannya lebih kecil dari jalan raya arah ke Solok tapi diaspal. Hari sudah mulai agak gelap. Ada pertigaan di kampung Ranah ini dan di pertigaan itu sudah ada posko. Kami melanjutkan perjalanan masuk lebih ke dalam. dan menemukan rumah-rumah yang rusak. Yang runtuh, yang dindingnya lepas, yang sebagian ternganga. Listrik kelihatannya dimatikan oleh PLN karena cukup berbahaya. Kami berhenti di sebuah tempat yang ada tenda di halaman rumah-rumah yang rusak. Orang sedang shalat maghrib di dalam tenda itu. Ustad Zulharbi langsung saja mendata. Siapa yang punya rumah yang rusak ini, tanya beliau di setiap rumah rusak itu. Pemiliknya dipanggil dan kepadanya diberikan sebuah amplop. Nama orang tersebut terlebih dahulu dicatat ustad Zulharbi dan ketika sudah menerima amplop orang itu disuruh menandatangani daftar yang sudah disiapkan.

Kami tidak melakukan shalat maghrib di situ dan berniat akan menjamak ta’khirkan saja nanti, karena di tempat itu kurang leluasa untuk berwudhu.

Kami datangi rumah demi rumah yang rusak maupun hancur dan kami bagi-bagikan amplop berisi Rp 100,000.- Masyarakat itu sangat berterima kasih dan ada yang mencucurkan air mata. Waktu kami sedang mendata di satu rumah, lalu ada orang datang meminta diberi sumbangan, kami tanyakan apakah rumahnya juga rusak. Kalau dia jawab iya, kami datangi rumahnya yang rusak itu. Secara keseluruhan membagi seperti itu cukup tertib. Orang kampung itu ada yang datang meminta tapi tidak agresif. Ketika diminta menunjukkan rumah mereka yang rusak mereka tunjukkan. Waktu kami menunjuk ke satu rumah, pemiliknya mengaku bahwa dia sudah dapat amplop tadi.

Keadaan mereka memang sangat memprihatinkan. Ibu-ibu memasak di halaman atau dalam ’parak’. Namun anak-anak masih ceria-ceria saja. Umumnya kesehatan mereka masih baik-baik saja pada waktu itu.

Kami masuk sampai ke ujung kampung Ranah sebelum kembali ke simpang tiga. Dari simpang tiga kami tuju pula jalan yang satunya lagi dan mendapatkan beberapa buah rumah yang juga hancur di situ. Sama saja, disana kami lakukan pembagian dengan cara yang sama. Seorang anak muda pengurus mushala di kampung itu menanyakan kenapa kami tidak menyerahkan saja ke posko dan biar posko yang membagikan kepada warga. Kami jawab bahwa kami dapat amanah untuk membagikannya langsung kepada korban gempa. Dia menanyakan apakah kami bisa menyumbang untuk mushala yang juga rusak di kampung itu dan kami jawab, bisa, tapi kami ingin melihat mushalanya dan bertemu dengan pengurus mushala itu. Anak muda ini berjanji akan memberitahu pengurus mushala kalau kami melalui depan mushala pada saat kami akan keluar ke jalan raya nanti. Kami selesaikan membagi-bagikan sebanyak 35 buah amplop kepada masyarakat di kampung Ranah itu.

Sesuai janji dengan anak muda tadi, yang menunggu kami di simpang tiga, kami berjalan kaki menuju mushala Taqwa yang rupanya memang rusak di bagian dalam. Kami bertemu denga ketua pengurus mushala ini dan kami berikan sumbangan Rp 200,000 untuk 5 sak semen.

Dari pengamatan sepintas terlihat bahwa umumnya rumah-rumah yang rusak adalah rumah semi permanen, rumah yang dibangun tanpa tiang beton untuk menambah kekuatan penahan goncangan. Inilah pelajaran yang seharusnya diambil masyarakat kalau nanti mereka membangun kembali rumah-rumah mereka.

Sesudah selesai membagi-bagikan amplop di kampung Ranah kami menuju ke Bukit Tinggi untuk beristirahat. Waktu itu sudah lebih jam delapan malam. Kami berbincang-bincang sepanjang jalan, mengenai akibat gempa yang baru kami saksikan. Aku sampaikan kepada ustad Zulharbi, kelihatannya bertambah berat tanggung jawab ulama di Minangkabau sesudah ’pelajaran’ ini. Banyak sekali mesjid yang rusak. Terlepas dari sunatullah bahwa barangkali saja konstruksi mesjid-mesjid itu memang kurang kokoh tapi bukan sekedar kebetulan bahwa sebegitu banyaknya bangunan sarana ibadah itu yang rusak. Tentu kita harus bijaksana membaca peringatan Allah dengan bencana yang ditimpakan Allah tersebut.

Ustad Zulharbi berkomentar bahwa boleh jadi karena ’kita’ cenderung gemar memperindah mesjid, tapi ’lupa’ memakmurkan mesjid. Wallahu a’lam. Beliau berkata pula, susah memahami kenapa ada rumah yang masih berdiri tegak dengan utuh sementara di kiri dan kanannya bangunan pada hancur. Aku coba menerangkan bahwa negeri kita itu ibarat sebuah piring porselen, dimana semua bahagiannya berpotensi untuk pecah. Jika piring porselen itu terjatuh dia akan pecah. Tapi tidak ada yang tahu sebelumnya bahagian mana yang akan pecah tersebut. Dan ketika dia pecah, di garis pecahnya itu dapat saja dia berderai tapi di bahagian lain dia tetap utuh. Begitulah lebih kurang kondisi semua tempat di bagian barat pulau Sumatera.

Sudah hampir jam setengah sepuluh ketika kami sampai di Bukit Tinggi. Aku minta tolong diantarkan ke Belakang Balok, ke tempat kakak sepupuku. Kami berjanji akan meneruskan kunjungan di sekitar Bukit Tinggi jam sembilan pagi besok.


7. Di Sekitar Bukit Tinggi

Jam sembilan tepat rombongan kemarin sudah datang menjemput kami di Belakang Balok. Ditambah dengan Rahima Rahim, ustadzah muda yang kini tinggal di Bukit Tinggi. Aku baru sekarang ini bertemu muka dengan Rahima meski kami sudah berbicara beberapa kali di telepon. Pagi ini kami bergegas saja berangkat, mampir sebentar ke pasar, ke Kampuang Cino. Ustad Zulharbi mau singgah di ATM BCA dan aku mencoba menanyakan cassete untuk handicam. Tidak ada disana dan kepadaku dianjurkan melihatnya di toko dekat lapangan kantin. Kami menuju kesana, dan alhamdulillah mendapatkan cassete kosong tersebut.

Sekarang kami mulai kunjungan ke daerah korban gempa. Tidak jauh-jauh, di Koto Baru – Jambu Air di sisi ngarai Sianok. Pinggir kota Bukit Tinggi yang inipun baru kali ini aku tempuh. Kami jumpai jalan yang ditutup dan ditandai bendera merah karena berada persis di sisi ngarai yang runtuh. Jalan ini sudah retak-retak. Kalau dilalui kendaraan bermotor memang sangat dikhawatirkan tanah dibawahnya sudah tidak kuat menopang dan bisa runtuh. Di depan kami adalah ngarai Sianok dengan bagian tebingnya yang runtuh. Kami berjalan menuju perumahan penduduk dan kami dapati rumah-rumah yang rusak. Tidak hancur benar seperti yang tadi malam kami lihat di Sumani, tapi kerusakannya umumnya cukup parah. Umumnya dindingnya hancur dan di bagian dalam rumah langit-langit rumah terban. Ada 13 buah rumah rusak yang kami temui dan kepada pemiliknya kami bagikan amplop berisi Rp 100,000.-

Di kampung ini ada tenda darurat tempat masyarakat bernaung dan waktu kami datang masih mereka gunakan. Seorang ibu yang rumahnya juga rusak, dalam keadaan sakit dan bernaung di tenda ini. Kepadanya tentu saja kami berikan pula sumbangan. Kami selesaikan kunjungan di kampung ini. Sekarang kami menuju ke arah Taluak IV Suku.

Ustad Zulharbi menunjukkan mesjid Taluak yang antik yang jadi kebanggaan mak Amzar Bandaro. Menaranya yang anggun terletak di luar mesjid. Menara itu kini retak dan kelihatan bidang retaknya. Menurut informasi yang kami dapat disana Dinas PU sudah menginstruksikan agar menara itu diruntuhkan. Disini kami berkunjung pula ke rumah mantan walikota Padang Panjang yang rupanya kenal baik dengan ustad Zulharbi. Kunjungan ’menyilau’ rumah beliau yang juga rusak akibat gempa.

Setelah itu barulah kami mengunjungi penduduk yang rumahnya rusak. Kerusakan disini juga tidak separah di Sumani. Ada delapan buah amplop yang kami bagikan di Taluak ditambah sebuah amplop untuk pengurus mesjid Taluak yang menaranya rusak itu.

Kami terus lagi ke arah selatan ke Ladang Laweh. Disini ada tujuh buah rumah yang rusak yang kami bagi sumbangan. Umumnya rumah-rumah kayu. Ada juga kami lihat rumah gadang yang ditinggal pemiliknya (rumah kosong) yang ikut rusak akibat gempa di kampung ini.

Tujuan berikutnya adalah nagari Sungai Tanang yang menurut ustad Zulharbi cukup parah keadaannya. Sebelum melanjutkan perjalanan ke Sungai Tanang kami mampir sebentar di pasar Padang Lua, karena umi Yusra ingin membeli penganan dan buah ’nan ka digatok di ateh oto’. Dia pergi sebentar ditemani Rahima. Kami menunggu di mobil di simpang arah ke Koto Tuo.

Aku termangu memikirkan kerusakan yang aku lihat sejak kemarin. Kelihatan bahwa umumnya rumah penduduk memang tidak disiapkan untuk ’tahan gempa’. Di beberapa buah rumah yang rusak aku lihat bahwa rumah itu tidak mempunyai tiang yang memadai. Tiang di sudut rumah hanya dibuat dari batu bata merah yang didobelkan. Tentulah bangun seperti itu tidak memadai untuk menahan goncangan. Begitu keadaan rumah-rumah lama dan begitu juga dengan rumah-rumah yang relatif baru di kampung-kampung. Pikiranku melayang pula ke masalah perijinan mendirikan bangunan. Setiap bangunan yang akan didirikan wajib mempunyai izin bangunan. Tapi kegunaan surat izin mendirikan bangunan atau IMB itu seringkali sekedar formalitas saja. Tidak ada kontrol dari dinas yang mengawasi perumahan yang dibangun. Masalah ini jadi sangat nyata ketidakbersungguh-sungguhannya ketika melihat betapa mudahnya masyarakat merenovasi rumah tinggal mereka sesuka-suka mereka tanpa memperhatikan aspek keamanan dan keselamatan. Padahal seyogianya instansi yang mengeluarkan IMB itu juga memperhitungkan dan mengawasi faktor-faktor tersebut.


8. Sungai Tanang jo Koto Gadang

Sejak sekolah di SR dulu sudah biasa aku mendengar lagu ’Ba bendi-bendi ka Sungai Tanang’ tapi baru kali ini pula aku mengunjungi nagari yang sebenarnya sangat terkenal ini. ’Janiah ayianyo Sungai Tanang, Minuman nak rang Bukik Tinggi, Tuan kanduang tadanga sanang, Baolah tompang badan kami’. Dan kami tidak datang ba bendi-bendi kesini.

Sampailah kami di kampung Sungai Tanang di kaki gunung Singgalang. Kampung yang indah dengan kolam air besar yang airnya berasal dari mata air di dasar kolam itu. Kesibukan masyarakat di kampung ini kelihatannya sudah seperti biasa, tapi pemandangan rumah-rumah hancur sangat menyedihkan. Ada posko besar di tengah kampung. Di simpang tiga kami berbelok ke kiri. Sekarang di sebelah kiri kami mesjid jami’ Sungai Tanang, persis di hadapan kolam besar Sungai Tanang. Mesjid ini rusak parah. Di belakang mesjid ada rumah yang runtuh sampai atapnya mengheram ke tanah. Masya Allah. Di sisi lain kolam ada bangunan mirip mesjid bertingkat yang rupanya adalah sekolah Taman Pendidikan Al Quran. Bangunan ini juga rusak.

Ustad Zulharbi mencari pengurus mesjid. Tidak kunjung bertemu. Kami balik ke samping posko, bertanya di kantor yang aku lupa entah kantor apa. Ada beberapa orang petugas disana. Karena tetap tidak menemukan pengurus mesjid kami menanyakan apakah kami boleh menitipkan sumbangan untuk mesjid jami’. Bapak Faisal bersedia menerimanya untuk diserahkan kepada pengurus mesjid (Rp 200,000) dan pengurus TPA (Rp 100,000). Tapi beliau tidak bersedia memberitahu kepada siapa saja sebaiknya sumbangan diberikan dikalangan penduduk. Menurut beliau kalau beliau menyebutkan nama, dikhawatirkan nanti akan disalahtafsirkan masyarakat dan beliau anjurkan agar kami langsung saja melihat kondisinya di tengah kampung.

Kami langsung saja menemui penduduk yang rumahnya rusak di sepanjang pinggir jalan. Perjalanan itu kami teruskan sampai ke Sungai Tanang Ketek. Disini ada sebuah surau, Al Abrar namanya yang kami beri pula sumbangan. Dan kami temui pula penduduk yang rumahnya rusak. Hanya dua belas buah rumah yang mendapatkan sumbangan kami di kampung ini. Kerusakan rumah disini memang lebih parah dibandingkan dengan yang kami lihat di sekitar Bukit Tinggi sebelumnya.

Belakangan aku membaca di sebuah posting yang berasal dari koran Padang Express tentang kejadian yang menimpa seorang ibu yang terkorban ditimpa bagian bangunan mesjid yang runtuh ketika sedang shalat di mesjid jami’ Sungai Tanang itu. Pada waktu gempa kedua terjadi sekitar jam 12.45 orang sedang shalat berjamaah zuhur di mesjid. Pada saat gempa terjadi, jamaah lain berhamburan keluar menyelamatkan diri kecuali ibu itu yang tetap khusyuk dalam shalatnya. Akibatnya beliau syahid, meninggal dalam keadaan shalat. Dan menurut berita itu, jenazah beliau berbau harum ketika diselenggarakan untuk pemakaman. Subhanallah. Cerita ini tentu bukan dongeng karena baru saja terjadi. Dengan memuat di koran orang dapat mengecek kebenarannya seandainya mau. Dan aku yakin seyakin-yakinnya bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala menyampaikan pesan yang sangat jelas dalam kejadian itu. Mudah-mudahan ibu yang terkorban itu mendapat keutamaan yang tinggi disisi Allah.

Kami tinggalkan kampung Sungai Tanang. Sekarang kami menuju Koto Gadang melalui Guguak. Di sepanjang jalan ini tidak tampak pengaruh gempa. Sampailah kami di depan mesjid Nurul Iman Koto Gadang. Mesjid yang bagaikan terbelah, hancur. Saat itu masyarakat sedang bergotong royong meruntuhkan bagian yang ’tagurajai’ dan rusak-rusak dengan cara menariknya dengan tali. Sedih melihat pemandangan seperti itu. Dan ini entah mesjid yang ke berapa yang rusak yang aku lihat sejak kemarin.

Menurut cerita penduduk di situ, jamaah sedang shalat zuhur berjamaah pula ketika gempa kedua hari Selasa itu terjadi. Ada delapan orang bapak-bapak yang sedang shalat dan menyelesaikan shalat mereka sampai tuntas. Waktu mereka mengucapkan salam di akhir shalat, bagian belakang mesjid itu sudah menganga akibat runtuhnya dinding mesjid.

Ada petugas Metro TV mendatangiku dan mengatakan ingin mewawancaraiku sehubungan dengan musibah di mesjid itu. Aku katakan bahwa aku juga pengunjung dan kusuruh petugas itu mencari pengurus mesjid saja.

Kami berikan pula sumbangan kepada pengurus mesjid untuk rehabilitasi mesjid. Tapi kami tidak berkunjung ke dalam kampung di Koto Gadang.

Bertambah termangu-mangu aku menyaksikan akibat yang ditinggalkan oleh gempa. Kalau Allah berkehendak, betapa mudahnya bagi Allah menghancurkan apa saja. Laa haula wa laa quwwata illaa billaahi.


9. Ke Batu Sangkar

Kami sudahi kunjungan kami di Koto Gadang sampai di simpang di depan mesjid Nurul Iman itu saja. Di jalan keluar ke arah Koto Tuo ada sebuah rumah gadang batu bagonjong yang retak-retak di sebelah kiri jalan. Rumah yang dikabarkan rusak oleh dunsanak Q. Sutan Nan Labiah beberapa hari sebelumnya. Kami tidak mampir ke rumah itu.

Sudah terasa lapar karena sudah hampir jam dua siang. Kamipun belum shalat. Aku umumkan bahwa aku mengundang kami semua yang dalam mobil itu untuk makan siang di restoran mana saja sebelum ke Batu Sangkar. Rahima langsung mematahkan undanganku tersebut dengan mengatakan, ’Mak Lembang tamu, jadi tidak boleh mengundang. Saya yang mengundang,’ begitu katanya. Aku berusaha membantah, mengatakan bahwa aku asli orang Bukik Tinggi bagaimana mau dikatakan tamu. Ustad Zulharbi menengahi dan mengatakan, ’kalau kami ke Jakarta nanti kapan-kapan bolehlah angku Lembang mengundang kami,’ kata beliau.

Kami singgah di rumah makan Ayia Badarun di jalan ke Padang Panjang. Ada mushala yang cukup bersih di depan rumah makan itu. Kami shalat terlebih dahulu, dijamak dan diqasar. Barulah sesudah itu kami makan di restoran yang ramai pengunjungnya itu. Karena memang sudah lapar, bertambah enak rasanya makan. Masih aku coba ’merayu’ agar biar aku saja yang membayar, sesudah kami selesai makan tapi Rahima lebih ’gesit’ dariku.

Sudah kenyang perut, kami lanjutkan lagi perjalanan, menurun ke Padang Panjang, berbelok ke arah Solok. Menyusuri jalan yang kemarin sore kami tempuh sampai ke Ombilin. Hari cerah di sepanjang jalan. Di Ombilin kami jumpai dua mobil regu penolong dari Uni Emirat Arab beserta krunya. Dua buah Toyota Land Cruisser besar yang kelihatannya dibawa langsung dari negeri mereka. Kemarin aku lihat ada sebuah pesawat cargo berwarna putih di MIA, mungkin itu agaknya pesawat mereka. Mereka sedang menuju ke arah Solok.

Kami mengambil jalan melalui arah ke Simawang untuk menuju ke Batu Sangkar. Mungkin karena tadi malam kami sempat saling mengurai cerita dan terbuka obrolan bahwa istriku berasal dari Simawang (meskipun dia sangat tidak tahu sudut nagari Simawang itu). Aku katakan kepada anakku bahwa kita akan melalui kampungnya. Dia tersenyum mendengar meski agak exited bahwa dia akan melalui kampung neneknya. Tapi kami tidak masuk ke kampung Simawang melainkan terus menuju arah Batu Sangkar. Namun kami berhenti di sebuah panorama dengan pemandangan ke arah Simawang di seberang lembah. Ada sebuah rumah baru di pinggir jalan yang rusak pula. Kami singgah melihat rumah itu. Berjumpa dengan pemiliknya, seorang penghulu, Datuak Asa Kayo. Menurut beliau rumah itu baru dua bulan ditinggali. Dindingnya retak-retak tapi tidak parah. Aku tanyakan kalau beliau mengenal famili keluarga istriku dan ternyata belaiu mengenalnya. Tempat itu masih bagian dari Simawang, sebuah nagari dengan 7 buah jorong.

Jalan inipun baru kali ini aku tempuh. Ternyata hampir tidak ada rumah yang rusak di sepanjang jalan ini. Kami baru menjumpai ada rumah yang rusak kampung Bukik Siangok, menjelang Batu Sangkar. Itupun tidak parah.

Ustad Zulharbi membawa kami singgah ke Pabalutan di mana beliau sedang merintis pendirian sebuah pesantren. Kampung ini rupanya adalah kampung asal beliau. Kami kunjungi pula mesjid Ihsan di kampung itu, yang juga agak sedikit rusak oleh gempa. Pada waktu kejadian gempa hari Selasa itu ustad Zulharbi sedang shalat berjamaah pula di mesjid ini.

Masih banyak amplop yang belum kami bagikan sedangkan di daerah ini tidak ada korban gempa. Besok rencananya aku akan kembali ke Jakarta. Jadi lanjutannya akan diteruskan oleh ustad Zulharbi, mungkin di sekitar Parabek dekat Bukit Tinggi yang tidak kami datangi tadi pagi.

10. Singgah Di Pagar Ruyung

Hari baru jam lima sore waktu kami memasuki kota Batu Sangkar. Rahima ternyata baru sekali ini kesini. Kami putuskan untuk mampir sebentar ke Pagar Ruyung melihat bekas kebakaran. Meskipun ini bukan lagi kunjungan mengantarkan sumbangan gempa. Karena di daerah sekitar Batu Sangkar yang kami lalui tidak terlihat adanya korban gempa.
Masih sore dan sangat terang waktu kami sampai di Pagar Ruyung. Tepatnya di bekas Istano Pagar Ruyung. Yang tinggal hanyalah tiang-tiang beton dan dua buah bangunan kecil (salah satunya tabuah larangan) yang masih tersisa. Banyak juga pengunjung sore itu, mungkin karena hari Ahad. Ada foto-foto pada saat terjadinya kebakaran dipajang di sebuah board bertutup kaca. Mataku menangkap foto api bertulisan arab Allah (tanpa alif) dan foto asap juga bertulisan seperti itu. Wallahu a’lam. Pedagang asongan di depan bekas istana itu menawarkan VCD kebakaran. Aku membelinya sebuah.

Rahima menanyakan apakah Istano itu tidak dilengkapi dengan penangkal petir. Aku jawab, mungkin ada. Hanya tidak dilengkapi dengan penangkal ’kehendak Allah’. Kalau Allah berkehendak bangunan itu terpanggang meski dilengkapi penangkal petir sekalipun, apalah akan daya sang penangkal petir.

Menjelang maghrib kami tinggalkan Pagar Ruyung dan kami menuju Bukit Tinggi melalui Tabek Patah. Kami mampir untuk shalat maghrib di mesjid Rao-Rao. Sebuah mesjid tua yang anggun, bercat biru. Dan mesjid ini selamat dari gempa.

Kami teruskan lagi perjalanan menuju Baso. Lalu ke Biaro. Aku ajak juga rombongan mampir sekedar ’menyilau’ kampungku, Koto Tuo Balai Gurah. Kampung yang kok semakin luar biasa sepinya, kata anakku. Alhamdulillah, keadaan disana aman-aman saja. Tapi kami tidak mampir ke rumah. Karena rumah-rumah ’kaumku’ semuanya kosong terkunci, ditinggal merantau.

Karena sudah lebih jam delapan malam aku ajak rombongan untuk mampir makan malam di sebuah lepau di Garegeh. Lepau yang dulu seingatku cukup menyelera masakan ala rumahnya, malam itu aku dapatkan sudah sangat ’biasa-biasa’ saja, tidak seenak dulu lagi. Sesudah makan malam aku minta tolong diantarkan ke rumah adik iparku, tidak jauh dari tempat kami makan di Garegeh itu juga. Kami berpisah setelah rombongan mampir sebentar di rumah iparku. Sisa amplop akan dilanjutkan pembagiannya oleh ustad Zulharbi insya Allah.

Di tempat adik iparku itu sudah ada kakak iparku yang datang menjemput anakku untuk dibawa ke Sawah Lunto malam itu. Aku diantarkan mereka ke Belakang Balok untuk beristirahat. Besoknya aku berangkat ke Padang melihat kakak iparku (istri dari kakak sepupuku) yang sedang sakit di Rumah Sakit Islam Padang. Dan sorenya aku berangkat kembali ke Jakarta.

Hari Rabu ustad Zulharbi menyelesaikan pembagian amplop sumbangan itu di Parabek, Sungai Tanang (lagi), Banto Laweh, Bukik Batabuah, Sungai Pua, Sungai Landai, Guguak Randah, Galo Gandang. Dan keseluruhan dana yang aku bawa sebanyak Rp 13,841,000.- terbagikan. Selisih hitung Rp 5000 yang terjadi dari jumlah yang seharusnya Rp 13,846,000.- aku harap sudah termasuk kedalam ’katidiang’ untuk korban gempa yang disodorkan orang di pompa bensin, pada hari Ahad sore sebelum kami singgah makan di rumah makan Ayia Badarun.


tamat

No comments: