Thursday, February 28, 2008

SEMINGGU DI RANAH BAKO (bag.25)

25. Senja Di Sepanjang Jalan Danau Singkarak

Sudah menjelang senja waktu mereka meninggalkan rumah makan merangkap kedai kopi di pinggir danau Singkarak. Sudah hampir jam enam sore. Tapi masih terang benderang. Perjalanan mereka lanjutkan menyusuri danau Singkarak. Di sebelah kanan jalan, rel keretapi kadang-kadang terletak lebih tinggi dari jalan raya. Dengan pokok pohon kapas berbaris-baris di sisinya. Dan jalan ini masih setia menemani pinggiran danau. Air danau yang tidak sampai satu meter di bawah jalan, dibatasi tebing yang kadang-kadang ditanggul dengan beton. Karena riak danau yang tenang ini, adakalanya mampu pula menghempas menimbulkan penggerusan ke pinggir danau, menyebabkan longsor, sehingga mengancam jalan raya.

Aswin bisa melihat lepas ke arah danau, yang beriak kecil. Yang ada beberapa perahu layar sedang melaju pelan di dalamnya. Perahu layar dengan warna layar mencolok sedang berlayar beriring-iring. Perahu para pelancong yang berlayar menurutkan hembusan angin senja. Berlayar dari arah selatan ke utara. Di latar belakang terlihat air danau membiru kemerahan berkilau ditimpa sinar matahari senja, beriak berkejaran menuju pantai. Sungguh pemandangan yang seronok dan indah. Dan karena jalan yang berbelok, pemandangan ke arah danau itu seperti timbul tenggelam dari pandangan. Kadang nampak, kadang terlindung oleh bangunan rumah atau kedai di pinggir danau.

Sore semakin menjelang malam. Matahari sudah tenggelam ke balik bukit di seberang danau di sebelah barat. Namun cahayanya masih leluasa menguasai tepi siang. Dan mobil melaju terus di sepanjang tepi danau ke arah utara. Menemani dua bus pariwisata di hadapan yang sedang menuju ke arah yang sama. Lamat-lamat terdengar suara orang mengaji dari mesjid di pinggir danau. Mungkin kaset orang mengaji lebih tepatnya. Tanda hari sudah menjelang maghrib. Di langit di atas danau terlihat kawanan kelelawar terbang. Mau pergi dinas malam. Entah dimana pula mereka akan panen malam ini. Memanen buah-buahan di kebun penduduk.

Malampun menjelang. Azan maghrib terdengar samar-samar dari mesjid yang entah di mana keberadaannya kali ini karena tidak terlihat di tepi jalan ini. Membuat suasana sangat syahdu, di jalan di pinggir danau yang indah ini. Suara azan yang menyerukan nama Allah. Allah Yang Maha Besar. Yang menguasai seantero jagad. Yang menciptakan keindahan dan keelokan ini. Kemudian jalan ini terlihat sunyi karena mereka sedang berada di pesawangan. Di jalan yang tidak ada kampung. Yang ada hanyalah tepi danau di sebelah kiri. Dan tebing bukit di sebelah jalan keretapi di sebelah kanan. Tidak ada yang lain. Mobil mereka terus juga melaju. Dan redup malam semakin kentara. Ketika di sebuah belokan mobil ini mengarah ke tengah danau, kelihatan langit merah bermega-mega seperti yang mereka lihat beberapa hari yang lalu di atas danau.

’Di mana kita shalat maghrib?’ tanya Aswin.

’Di mesjid Ombilin, di tempat kita shalat waktu itu,’ jawab Pohan.

’Masih jauh?’ tanya Aswin lagi.

’Kira-kira sepuluh menit perjalanan lagi,’ jawab Pohan pula.

Benar saja. Sepuluh menit kemudian mereka sudah sampai di mesjid Ombilin. Di kampung yang agak ramai karena di sini banyak terdapat rumah makan dan kedai-kedai yang masih tetap buka sampai saat sesudah maghrib seperti sekarang. Pohan memarkir mobil di pinggir jalan. Mereka menuju mesjid yang terletak di tempat agak ketinggian yang ada tangga batu untuk mencapainya. Orang sudah selesai shalat maghrib. Aswin dan Pohan shalat berdua saja. Menjamak shalat maghrib dan isya.

Seorang tua menghampiri mereka ketika mereka sedang memakai sepatu di luar mesjid sesudah selesai shalat, dan menyapa ramah.

’Anak berdua ini yang shalat di sini hari Sabtu senja beberapa hari yang lalu ya?’ tanyanya ramah.

’Benar pak,’ jawab Pohan pendek.

’Dari meraun-raun tampaknya. Dimana tinggal?’

’Benar, kami dari berkeliling-keliling. Sekarang mau pulang ke Koto Gadang,’ jawab Pohan lagi.

’Tadi dari mana rupanya?’

’Dari danau kembar, pak.’

’Ooh. Singgahlah dulu. Rumah ambo di sebelah ini,’ kata orang tua itu pula.

’Terima kasih pak. Biarlah kami terus dahulu. Sudah malam,’ jawab Pohan berbasa basi.

Mereka turuni tangga ke bawah, menuju ke tempat parkir. Dan mereka lanjutkan perjalanan. Masih di jalan di pinggir danau yang mulai sedikit mendaki dan berbelok-belok. Makin lama makin meninggalkan pinggir danau dan terus juga mendaki. Menuju ke Padang Panjang.

’Kenapa orang tua tadi bertanya? Kamu mengenalnya?’ tanya Aswin.

’Itukan pertanyaan basa basi saja. Dia rupanya ingat telah melihat kita pada hari Sabtu yang lalu waktu kita shalat disana,’ jawab Pohan.

’OK. Aku pikir dia mengenal kamu, sampai mengajak mampir.’

’Ya, begitulah basa basi. Orang Minang sangat terkenal pandai berbasa basi. Di kedai nasi, meskipun dia menghadapi sepiring nasi, orang satu kedai ditawarinya makan bersama. Itulah basa basi.’

’Bagaimana kalau kita tiba-tiba mau ikut mampir ketika diajaknya seperti tadi? Apakah kita sopan namanya?’

’Boleh saja. Kalau memang merasa berkepentingan untuk mampir. Atau mungkin untuk menghormatinya lalu kita bersedia mampir. Tapi dalam prakteknya, orang tahu mana ajakan basa basi, mana ajakan sungguh-sungguh,’ jawab Pohan.

’OK. Aku mengerti.’

Semakin dekat mereka ke Padang Panjang. Sebenarnya sudah waktunya makan. Pohan mengingatkan Aswin.

’Tidak kepingin makan sate mak Syukur lagi?’ tanya Pohan.

’He..he..he.. Good idea. Tapi setelah itu kita langsung pulang saja. Kita sudah cukup capek hari ini. Bagaimana kalau kita bawakan sate untuk etek dan nenek juga? Menurutmu apakah mereka sudah makan malam?’

’Biar aku tanya,’ jawab Pohan, sambil mengeluarkan hand phone, mau menelpon ke rumah.

’Sebaiknya kamu berhenti dulu kalau mau menelpon. Jangan menggunakan mobile phone sambil menyetir,’ kata Aswin.

Pohan menurut. Di kepinggirkannya mobil. Berhenti sebentar, dan dia telpon etek di rumah. Dan etek bertanya, jam berapa mereka akan sampai di rumah. Kalau terlalu malam, tidak usah repot membawakan sate mak Syukur. Waktu diberitahu mereka akan segera pulang etek setuju dan katanya akan menunggu kedatangan mereka.

’Kalau begitu kita bawa pulang saja dan kita makan bersama-sama di rumah. Bagaimana pendapatmu?’ tanya Aswin.

’Itu lebih baik,’ jawab Pohan.

Mereka singgah di kedai sate mak Syukur. Yang tetap ramai. Dan bau wangi sate yang dibakar menitikkan selera. Mereka minta dibungkuskan empat bungkus sate. Plus satu bungkus sate extra tanpa ketupat. Untuk dibawa pulang. Aswin mengamati sate yang dibungkus dengan daun pisang. Disiapkan oleh tukang sate mak Syukur yang sangat cekatan. Tidak lama mereka menunggu, sate-sate itu sudah siap. Dan mereka segera meneruskan lagi perjalanan pulang.

Jam delapan lebih waktu mereka sampai di rumah. Ditunggu etek dan nenek yang memang masih belum tidur. Mereka segera menikmati sate mak Syukur yang ternyata masih panas. Sambil berbincang-bincang tentang pemandangan yang mereka nikmati dua hari terakhir.

’Tadi siang di mana kalian makan?’ tanya etek.

’Di restoran di pinggir jalan ke Solok,’ jawab Aswin.

’Sari Manggis?’ etek menebak.

’Ya, Sari Manggis. Rupanya sangat populer restoran itu. Dan memang enak makan di sana,’ jawab Aswin.

’Siang tadi kami kelaparan. Sesudah kecapekan berenang di Teluk Bungus. Dan karena sarapan tidak makan ketupat sayur, tapi makan roti bakar he..he..he..’ kata Pohan.

’Kamu yang kelaparan atau kalian keduanya?’ tanya etek pula.

’Kami berdua. Perut Amerika dan perut Minang sama-sama kelaparan sesudah kecapekan berenang,’ jawab Pohan.

’Di maa kalian sambayang bagai?’ tanya nenek.

’Di mushala di danau Di Atas siang tadi, dan di mesjid di Ombilin waktu maghrib,’ jawab Aswin yang mengerti pertanyaan-pertanyaan singkat nenek.

’Syukurlah. Jaan ditingga-tinggaan sambayang,’ kata nenek pula.

Aswin agak berfikir mendengar kalimat nenek yang terakhir ini. Nenek rupanya menyadarinya.

’I said, don’t you ever forget to perform your daily prayers,’ nenek menambahkan.

‘Ya, nek,’ jawab Aswin tersenyum.

Mereka lanjutkan obrolan mereka sampai sekitar jam sepuluh. Sebelum pergi tidur.


*****

No comments: