Sunday, April 19, 2009

DERAI-DERAI CINTA (8)

8. MUSIBAH ITU BERNAMA GALODO

Mak etek Tamrin mencari tangga betung di malam hari itu sementara mak etek Nursal mengambil kunci rumah tua, di rumah tembok, di bawah. Rumah tua itu selamat karena posisinya persis di sebelah rumah ini. Jadi terlindung dari hantaman. Tangga betung dibawa mak etek Tamrin masuk ke rumah dan disandarkan baik-baik di sisi kamar yang tidak terban. Dia turun untuk mengambil jenazah ibu. Mak etek memanggul jenazah itu sendiri kemudian menaiki tangga. Imran mengiringkan dari belakang. Imran masih terisak-isak. Jenazah ibu itu dibawa ke rumah kayu di sebelah dan dibaringkan di tengah rumah.

Jam satu malam saat itu. Sunyi sepi. Mereka duduk berempat menghadapi jenazah ibu. Jenazah dengan wajah tersenyum. Imran memandangi wajah itu dalam isak tangis. Mak etek Nursal mengurut-urut punggung Imran. Mengingatkannya agar bersabar. Semua itu adalah takdir Allah.

Mak etek Tamrin memperhatikan selendang di kepala nenek yang merah oleh bekas darah. Luka di kening nenek sudah kering sendiri karena sejak tadi beliau tutup dengan selendang.

‘Bagaimana keadaan di luar? Bagaimana jalan dari rumah anak kalian sampai kesini?’ tanya nenek.

‘Jalan penuh batu, berlumpur dan berpasir. Batu berselengkang pengkang banyak sekali. Batu-batu besar dan kayu-kayu besar. Batu sebesar ketiding padi. Dan pasir berlumpur. Agaknya banyak jatuh korban,’ jawab mak etek Nursal.

‘Di rumah si Ema bagaimana? Dan di rumah si Edah, Tamrin ?’

‘Disana karena ketinggian, alhamdulillah aman, mak. Tapi bunyi deru batu turun tadi itu sungguh mengerikan. Begitu suaranya sudah tidak terdengar, ambo bergegas menjemput si Nursal untuk kesini,’ jawab mak etek Tamrin.

‘Lepau kopi di simpang jalan runtuh separo,’ mak etek Nursal menambahkan.

‘Kau lihat orang lepaunya? Adakah selamat?’

‘Tuan Danan. Biasanya dia sendiri tidur di lepau itu. Tadi ambo mendengar suaranya. Ada beberapa orang tadi di dekat lepau itu,’ jawab mak etek Nursal.

‘Kau tidak ikut jatuh. Dimana kau tadi waktu kamar runtuh, Ran?’ tanya mak etek Tamrin.

‘Dia ke bawah menolong mak. Di bawanya mak ke samping rumah ini, terhindar dari terjangan batu. Lalu terdengar bunyi hantaman di sisi sebelah ke mudik. Terdengar bunyi kayu patah dan seperti ada yang runtuh. Si Imran bergegas ke sana, dan mak susul ketika sudah tidak terdengar lagi bunyi menderu,’ nek Piah menerangkan.

‘Takdir Tuhan Allah. Apa-apa yang sudah ditetapkan Allah untuk terjadi, maka terjadi dia. Kita harus banyak-banyak bersabar,’ kata mak etek Nursal.

Imran tidak berhenti-henti sesenggukan.

Mereka berempat menunggui jenazah itu sampai subuh. Sampai pagi. Setelah agak terang, mak etek Tamrin pergi untuk memberi tahu orang kampung.


***

Galodo. Itulah yang terjadi tadi malam. Keadaan kampung itu betul-betul hancur mengerikan. Batu-batu besar, ranting dan pokok kayu, sampah-sampah, bangkai binatang bertebaran dalam lautan pasir dan lumpur. Ditemukan pula mayat-mayat yang terbawa hanyut lalu terbenam dalam lumpur dan pasir. Mengerikan sekali. Galodo menimpa kampung dan nagari lain yang berdekatan. Tapi kampung ini mungkin yang terparah kerusakannya. Diperlukan bantuan alat-alat berat untuk membersihkan hamparan kehancuran itu. Orang kampung mencoba mendata berapa banyak korban yang jatuh. Berapa banyak rumah yang hancur. Berapa luas sawah yang tertimbun.


Sampai jam sembilan siang berhasil terdata bahwa dua puluh tiga buah rumah rusak. Enam di antaranya hancur total. Termasuk rumah dangau di tepi batang air tempat orang main koa. Korban manusia sembilan belas orang. Kehilangan binatang ternak susah untuk didata sementara. Sawah dan kebun yang rusak sangat luas. Banyak di antara sawah-sawah yang rusak itu sudah menjelang panen.

***

Muncak Amat bertemu dengan guru Sofyan ketika beliau-beliau ini melayat ke rumah. Mereka kembali terlibat dalam sebuah diskusi.

‘Dari mana datang batu-batu besar ini, guru?’ tanya Muncak Amat.

‘Dari atas sana engku. Dari lembah-lembah di sepanjang aliran sungai di atas,’ jawab guru Sofyan.

‘Maksud saya, batu-batu ini bukan berasal dari kepundan gunung Marapi, kan ?’ tanya Muncak.

‘Dulu sekali, mungkin ratusan, mungkin ribuan tahun yang lalu, batu-batu ini dilemparkan dari kepundan gunung Marapi, engku. Ketika gunung berapi meletus, bukan hanya gunung Marapi ini saja, kekuatan semburannya luar biasa. Batu sebesar-besar rumah sanggup dia melemparkan ke udara. Semburannya itu berhamburan ke mana-mana di sekitar gunung. Begitu pula yang pernah terjadi dengan gunung Marapi ini. Bahkan kalau engku perhatikan di pinggir jalan Bukit Tinggi – Paya Kumbuh, terlihat batu-batu sebesar kerbau bahkan lebih besar lagi. Semua itu dulu dimuntahkan oleh gunung Marapi. Dulu yang entah kapan-kapan. Dimasa belum ber belum. Sesudah itu, dalam perjalanan waktu, banyak di antara batu-batu itu yang berpindah dan bergeser. Ada yang bergeser sedikit demi sedikit dari tempat jatuhnya mula-mula. Itu terjadi di lembah-lembah. Dia jatuh dari punggungan gunung, mungkin karena goncangan gempa. Atau bisa juga batu-batu itu hanyut akibat terjangan air seperti ini. Oleh galodo, seperti ini,’ guru Sofyan menjelaskan.

‘Dahsyat sekali kekuatan air yang menghanyutkan batu-batu sebesar ini,’ kata Muncak Amat bergumam.

‘Memang demikian engku. Kalau sebuah telaga besar, seperti yang kita bincangkan beberapa hari yang lalu, lepas sumbatnya, diakibatkan desakan air juga, maka air di kolam raksasa itu tumpah ruah ke bawah. Menghanyutkan apa saja. Itulah yang terjadi tadi malam.’

‘Adakah hubungannya dengan penebangan kayu yang dilakukan secara serampangan di atas sana, guru ?’

‘Agak berbeda engku. Penebangan kayu, kalau memang itu terjadi di atas sana, bisa menyebabkan terjadinya longsor. Longsor itu artinya sebuah tebing jatuh dari tempatnya semula dan jatuhnya tidak terlalu jauh dari keberadaannya. Kalau galodo, itu murni dikarenakan tekanan air dalam jumlah banyak. Air yang menghanyutkan apa saja yang dilandanya.’

‘Kalau kita berandai-andai, seandainya kita ingin menghindari terjadinya galodo, apa yang harus dilakukan guru?’ tanya Muncak Amat lagi.

‘Mengawasi dan memeriksa terus menerus setiap lembah-lembah yang berpotensi menjadi telaga sementara. Potensi itu terjadi ketika mulut sebuah lembah tertutup. Misalnya oleh pohon kayu tumbang. Pohon yang tumbang sendirinya, tidak mesti yang ditebang manusia. Lalu pohon itu menyekat batu-batu. Menyekat sampah-sampah seperti ranting dan daun-daun kayu. Kalau ini terjadi, maka air akan tergenang di lembah. Genangan yang semakin tinggi akan mendesak tutup atau hempangan yang terbuat secara alami tadi.’

‘Perlu pula ada petugas kehutanan kalau begitu,’ jawab Muncak.

‘Ya, kalau kita ingin mengurangi ancaman galodo,’ tambah guru Sofyan.

***

Bantuan alat-alat berat dari kabupaten datang menjelang siang. Untuk membantu menyingkirkan batu-batu besar yang berhamburan. Sementara diketepikan saja dulu. Serombongan tentara dari Bukit Tinggi datang pula membantu. Mereka bekerja bergotong royong dengan penduduk kampung.

Semua orang sibuk seharian. Termasuk kesibukan memakamkan korban yang meninggal. Etek Rohana, ibu Imran dimakamkan di samping makam suaminya. Rupanya ini maksud ibu ketika mengatakan ingin menziarahi makam ayah, kenang Imran dalam hati. Dan rupanya ini arti mimpinya beberapa hari yang lalu. Sebagian besar pohon-pohon pisang di kampung ini habis rontok disapu batu-batuan.

Imran merasa sangat kesepian. Seolah-olah separo rohnya dibawa pergi oleh ibu. Ibu yang sangat dikasihinya. Ibu yang dirawatnya dengan penuh kasih sayang. Karena ibu juga sangat menyayanginya. Sekarang semua seperti berhenti dengan cara sangat tidak terduga. Dalam waktu sekejap dia telah menjadi yatim piatu. Imran merasa seperti dicampakkan dari rumah tempat dia bernaung selama ini. Rumah yang kini dalam keadaan rusak berat dan pasti tidak aman untuk ditinggali. Sesak dadanya membayangkan semua itu.

Tapi dia segera sadar. Dia masih perlu bersyukur. Untung masih ada nenek. Masih ada mak etek Nursal dan mak etek Tamrin. Meski Imran tidak tahu entah akan bagaimana nasibnya besok-besok. Tadi sudah disepakati, di antara nenek dan kedua mak etek itu, bahwa nenek dan Imran akan tinggal sementara di rumah lama ini. Rumah yang selalu dirawat dan dipelihara nenek meskipun beliau menempati rumah tembok baru. Karena sekarang rumah tembok itu dalam keadaan rusak pula. Sebagian besar jendela kacanya hancur.


*****

No comments: