Sunday, February 20, 2011

KENANGAN MASA PRRI (3)

3. Berpetaruh

Sesudah sembahyang asar, Junaidi pergi ke rumah engku Mukhtar. Engku Mukhtar adalah guru senior di tempat Junaidi mengajar. Usianya sudah hampir 30 tahun. Dia tinggal di rumah istrinya yang juga jadi guru agama di sekolah di kampung mereka. Istri engku Mukhtar tamatan PGA Dinyah.

Uni Salma, istri engku Mukhtar mendengar ketika Junaidi mengucapkan salam. Dia sedang memasak di dapur.

‘Ada engku di rumah, uni?’ tanya Junaidi.

‘Ada. Naiklah, Jun! Beliau ada di atas.’

‘Apakah beliau sedang beristirahat? Kalau boleh, ambo ada perlu dengan engku sebentar.’

‘Tidak. Beliau tidak sedang istirahat. Sedang merintang-rintang si Bungsu. Naik sajalah ke rumah.’

Engku Mukhtar rupanya mendengar pembicaraan itu. Dijemputnya Junaidi ke pintu.

‘Ke rumahlah!’ katanya.

Junaidi segera naik ke rumah. Diikutinya engku Mukhtar ke ruangan tengah rumah gedang itu. Sebuah buayan bayi tergantung dengan tali-talinya diikatkan ke tonggak rumah. Buayan itu masih berayun-ayun. Di dalamnya ada bayi berumur tiga bulan sedang tidur. Kedua orang laki-laki itu duduk di tikar. Engku Mukhtar sekali-sekali menggoyangkan buayan itu agar tetap berayun.

‘Dari rumah, kau?’ tanya engku Mukhtar.

‘Ya, engku……,’ jawab Junaidi.

‘Bagaimana kabar etek Munah?’

‘Baik-baik saja engku.’

‘Bagaimana ceritanya sampai kau dibawa ke Lasi kemarin itu? Aku dengar kau sedang mengirik di sawah.’

‘Benar. Kami sedang mengirik di Bandar Panjang. Tiba-tiba sudah muncul saja tiga orang serdadu APRI itu. Mata mereka tertuju sangat ke ambo. Entah kenapa, sangat benar benci mereka kepada anak-anak muda. Ambo dihardiknya menanyakan apakah ambo tentara pemberontak. Ambo jawab bahwa ambo guru. Ditanyakannya surat-surat. Di mana pula terpikir akan membawa surat-surat ke sawah. Ambo jawab bahwa ambo tidak membawa surat apapun. Marah dia. Ambo ditamparnya. Begitulah. Setelah itu ambo, mak Kari Mudo dan mak Lenggang, kami bertiga dibawanya ke Lasi.’

‘Sampai disana? Apa yang mereka lakukan?’

‘Kami disuruh menggali lobang. Lobang besar mengelilingi rumah yang rupanya dijadikan markas mereka.’

‘Berapa orang semua yang disuruh bekerja seperti itu?’

‘Ada sekitar empat puluh orang. Mungkin lebih. Orang Biaro, orang Balai Gurah, orang Ampang Gadang.’

‘Ada pula yang kena tangan di sana?’

‘Tidak… Tapi kami dibentak-bentak mereka.’

‘Apa yang mereka katakan?’

‘Mereka katakan kami semua saudara-saudaranya pemberontak. Mereka bilang, mereka akan menghabisi semua pemberontak itu.’

‘Jumawa sekali…..’

‘Memang…. Mereka sangat sombong-sombong. Memandang kita seperti melihat sampah. Tidak ada sopan santunnya sedikit juga. Padahal banyak juga di antara kami yang sudah berumur.’

‘Peperangan memang selalu bengis. Selalu mengerikan. Terutama untuk rakyat yang tidak ikut-ikut berperang.’

Engku Mukhtar kembali mengayun-ayunkan anaknya dalam buayan. Anak itu terbangun dan merengek-rengek kecil.

‘Sampai jam berapa bekerja?’ engku Mukhtar melanjutkan.

‘Kira-kira sampai jam setengah lima.’

‘Lalu? Setelah itu disuruh pulang?’

‘Ya…. Kami disuruh pulang.’

‘Semua disuruh pulang? Tidak ada yang ditahan?’

‘Semua. Rupanya kami ditangkapi memang untuk dipekerjakan menggali lobang itu saja.’

‘Ya, syukurlah kau tidak diapa-apakan mereka….. Sangat memilukan nasib si Nurman, si Taufik, si Bahrin dan si Firman yang tertembak kemarin. Si Bahrin serupa pula dengan si Pudin yang mati pekan yang lalu, pecah kepalanya.’

‘Engku melihatnya?’

‘Ya, aku melihatnya. Bagaimana tidak akan melihatnya, dia terjelapak di bawah pohon damar di seberang tebat di belakang rumah ini.’

‘Engku sendiri? Dimana kemarin ketika tentara-tentara itu masuk kampung?’

‘Aku di rumah. Kami bersunyi diri saja di rumah. Kalau seandainya mereka naik, tentu kuperlihatkan saja surat keterangan kita. Tapi untunglah tidak ada yang naik ke rumah. Di halaman terdengar teriakan-teriakan dan sumpah serapah mereka.’

‘Terdengar tentunya bunyi tembakan?’

‘Sangat jelas terdengar. Anak-anak menjerit ketakutan. Waktu mendengar bunyi letusan itu mulut anak-anak kami tutup dengan tangan.’

‘Ya…. Itulah…. Enteng betul nyawa manusia bagi tentara-tentara kepuyuk itu….’

Sedang mereka berbincang-bincang itu, uni Salma datang membawa nasi dan gulai. Mereka rupanya akan makan sore. Junaidi agak salah tingkah. Mau ditinggal pergi, padahal dia belum sempat menyampaikan keperluannya.

‘Atau….. Biarlah ambo pergi dulu engku. Biar nanti ambo kembali lagi….,’ kata Junaidi ragu-ragu.

‘Mau kemana pula, kau? Di luar hari hujan. Ini si Salma meletakkan nasi. Makan kita dulu.’

‘Ndak usahlah engku….. Biarlah ambo……’ Junaidi tidak menyelesaikan kata-katanya karena dipotong oleh Salma.

‘Hei….. janganlah bertea-tea Junaid, di sini bukan rumah orang lain. Uni meletakkan nasi, masakan engkau mau pergi. Jangan pergi…… Makan dulu, nanti kita teruskan rundingan. Ada cerita yang akan uni sampaikan,’ kata Salma berwibawa.

Junaidi tidak berani lagi menolak.

Dan mereka makan sore beramai-ramai. Dengan mak tuo, ibu Salma dan juga dengan anak-anaknya.

‘Uni sudah sampaikan ke pak Tarmizi, agar kau diperbolehkan mengajar di sini saja. Jadi tidak usah berulang ke Lambah. Uni katakan, terlalu besar resiko bagi orang muda seusiamu, melintasi jalan besar di Biaro dalam suasana seperti sekarang ini,’ uni Salma bercerita sementara mereka makan.

‘Apa kata pak Tarmizi?’ tanya engku Mukhtar.

‘Beliau tidak menganjurkan tapi tidak pula melarang. Beliau faham bahwa anak-anak muda seusia Junaidi ini memang jadi sasaran tentara pusat itu. Uni simpulkan saja bahwa beliau mengizinkan.’

‘Bagaimana dengan engku Mukhtar sendiri?’ tanya Junaidi.

‘Uni usulkan juga. Tapi uda bersikukuh tidak mau pindah.’

‘Orang seusia aku ini mudah-mudahan tidak lagi jadi incaran tentara pusat. Aku tambah tuakan penampilan, aku selalu berkopiah dan aku bawa tas guru. Kalau mereka hentikan juga, aku perlihatkan surat keterangan,’ engku Mukhtar menjelaskan.

‘Sudah pernah engku berserobok dengan mereka?’

‘Sudah tiga kali. Sekali di Biaro, sekali di Lambah dan yang terakhir di lebuh kita ini.’

‘Aman-aman saja?’

‘Kecuali hardikan dan bentakan, alhamdulillah aman-aman saja. Bentakan-bentakan itu biarkan sajalah.’

Mereka selesai makan. Di luar hujan masih turun.

‘Sebenarnya begini, engku,’ kata Junaidi mengawali pembicaraan kembali.

‘Begini bagaimana? Apa yang ingin kau sampaikan?’

‘Ambo ingin mintak tolong, engku. Ambo berhutang kepada engku Rusyad dua puluh rupiah. Ambo mintak tolong disampaikan kepada beliau uang ini,’ kata Junaidi menyerahkan sebuah amplop yang dikeluarkannya dari saku bajunya.

‘Kok aneh benar? Kalaupun pindah mengajar ke sekolah di sini, apa tak sebaiknya engkau usahakan juga berpamitan dengan guru-guru di Lambah itu?’ tanya engku Mukhtar.

‘Mungkin tidak sempat lagi ambo ke sana engku…..,’ jawab Junaidi pula.

‘Tidak terlakit? Mau kemana kau?’

‘Begini engku…… Ambo akan ikut ke luar…’ jawab Junaidi setengah berbisik.

Engku Mukhtar terbelalak mendengar. Begitu pula dengan uni Salma, istrinya. Tidak ada yang berkata-kata untuk beberapa saat.

‘Engkau…Engkau bersungguh-sungguh?’ engku Mukhtar bertanya setengah tidak percaya.

Junaidi mengangguk.

‘Sudah kau pikirkan betul matang-matang? Bukankah perang ini sangat menakutkan? Kau akan ikut menyabung nyawa?’

‘Ambo sudah berpikir panjang, engku. Dan ambo sudah memutuskan.’

‘Apa kata etek Munah? Kata pak etek?’

‘Ambo telah berusaha meyakinkan beliau. Itu adalah yang terbaik yang dapat ambo lakukan. Tidak ada sedikitpun jaminan keamanan bagi ambo kalau tetap bertahan di kampung.’

‘Bukankah ada surat keterangan dari kepala sekolah?’

‘Tidak ada jaminan engku. Bukankah mereka yang ditembaki tentara pusat itu tanpa ditanya apa-apa? Dibedil begitu saja dari belakang….’

‘Terperangah aku medengar yang kau sampaikan. Tapi tidak pandai pula aku berkomentar..’

Junaidi tersenyum lirih.

‘Kapan kau….. akan pergi?’

‘Belum ada kepastian engku…. Tapi segera…’

‘Ya Allah….. peperangan ini……’ engku Mukhtar tidak meneruskan kata-katanya.

‘Engku….. Biarlah saya mohon diri dulu. Sekali lagi tolong engku sampaikan petaruh saya ini kepada engku Rusyad. Tolong sampaikan permohonan maaf saya kepada engku-engku dan ibu-ibu guru di Lambah.’

Mereka terdiam semua. Uni Salma meneteskan air mata tanpa disadarinya. Tapi itu bukan saat untuk berbagi duka. Junaidi segera berlalu setelah berpamitan.

*****

No comments: